Chereads / Kembali Hidup Untuknya : Malaikat Pelindung Sang Pilot / Chapter 17 - Pensiun setelah 10 juta kilometer

Chapter 17 - Pensiun setelah 10 juta kilometer

Ardi memasang kancing terakhir kemejanya, meluruskan lengan bajunya, dan melangkah keluar.

Pak Pur masih merasa khawatir, tapi dia tahu bahwa tuan mudanya yang bandel itu takkan mendengarkan apapun perkataannya.

Setelah meninggalkan bangsal, dia menyerahkan koper kepada si pengawal dan buru-buru mengikuti di belakang tuan muda berkaki jangkung itu.

Pejabat senior rumah sakit secara pribadi mengantarkan mereka ke dalam mobil.

Menuju rumah keluarga Cokroaminoto, mobil melaju melalui jalan panjang yang diapit pepohonan, memasuki pintu gerbang, dan menyusuri jalan pegunungan selama lebih dari sepuluh menit. Selama periode ini, Pak Pur masih terus menceritakan pengalaman hidup tuan mudanya.

"Tuan, Anda telah belajar di sekolah Eropa sejak Anda masih sangat muda, dan Anda juga kuliah di MIT. Anda menguasai tiga bahasa yakni Inggris, Prancis dan Jerman ..."

Mobil berhenti di depan rumah.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan hujan gerimis menyambut mereka. Pak Pur melangkah turun dari mobil dan membukakan payung hitam besar untuk melindungi tuan mudanya dari hujan. Ardi melangkah dengan cepat dan memasuki pintu utama dalam tiga langkah saja. Ada air hujan yang berdiam di pundak pakaiannya tapi dia sama sekali tida mau repot-repot untuk menyekanya.

Kakek tua itu sepertinya baru saja kembali dari bermain golf di halaman belakang. Dia melepaskan jas hujannya, dan si pelayan menerimanya dengan sigap lalu menyerahkan handuk kering.

Agung menyeka kepalanya yang beruban dan melemparkan handuk ke arah pelayan yang ada disampingnya. Dia tampak ketika melihat Ardi.

Ardi melangkah maju dan menyapanya.

Agung berkata sambil menghela nafas panjang, "Kamu mendengarkan kata-kata terakhir ayahmu yang ingin melihatmu menjadi seorang pilot. Apakah itu artinya kakekmu ini juga harus meninggal dunia dan meninggalkan kata terakhir bagimu untuk mengambil alih perusahaan, supaya kamu mau mendengarkanku?"

Suasananya agak tegang, dan Pak Pur tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Topik yang tidak berubah untuk kakek dan cucu ini adalah--

"Kapan kamu akan mewarisi perusahaanku?"

"Untuk seorang kakek, kamu seharusnya memberikan nasihat yang baik."

"Perbedaan antara aku dan ayahmu tidak lebih dari seseorang telah meninggal dan yang lainnya masih hidup." Ardi tidak menanggapinya.

Lalu dia melanjutkan, "Apa kamu juga ingin supaya aku mati jadi kamu mau memenuhi permintaan terakhirku?"

Dalam perjalanan kemari, Pak Pur telah memberi Ardi sedikit pengetahuan tentang ini.

"Anda berjanji akan pensiun setelah jarak tempuh penerbangan mencapai 10 juta kilometer."

Pak Pur berkata terus terang, "Tuan muda sering terbang ke Munich. Jaraknya hampir 20.000 kilometer bolak-balik. Kalau Anda terbang dua kali seminggu, itu artinya 2 juta kilometer setahun. Sudah empat tahun. Saya rasa, kalau Anda terbang untuk satu tahun lagi, janji itu sudah akan terpenuhi..."

Agung menghela napas panjang "Apa kamu tidak tahu, banyak anggota keluarga Cokroaminoto yang lain, paman dan sepupumu. Mereka semua sibuk berkarir dan kamu justru menyia-nyiakan kesempatanmu. Apa kamu tidak takut kalau perusahaan keluarga kita akan direbut oleh para serigala yang rakus itu?"

"Ada ibu yang masih menjabat. Dia adalah wanita karir yang sangat berpengaruh. Tidak akan mudah untuk merebut perusahaan keluarga kita."

Ini juga hal yang dikatakan Pak Pur kepadanya di perjalanan tadi.

Setelah memastikan tidak ada lagi yang ingin dikatakan Aguna padanya, Ardi berkata, "Aku sedikit lelah. Aku akan naik ke atas untuk beristirahat."

Keluarga besar ini adalah satu-satunya yang berani memperlakukannya seperti ini.

Melihat punggung Ardi, Agung semakin marah dan kesal padanya. Kenapa putra tunggalnya harus meninggal dunia lebih awal dan meninggalkan cucu yang seperti itu?

Pak Pur bergegas menuangkan teh untuk Agung, "Tuan muda yang bersikap seperti ini, bukankah itu menunjukkan bahwa dia sedang memenuhi janjinya? Dia berjanji pada ayahnya untuk terbang sejauh 10 juta kilometer, setelah menyelesaikannya dia mungkin akan memasuki dunia bisnis. Dia pasti tidak akan mengingkari janjinya dan menyelesaikannya dalam setahun."

Agung merasa sangat khawatir "Aku tidak tahu apa ini hanya ilusi. Aku merasa kalau aku bukan lagi diriku yang dulu. Aku sudah tua dan aku hanya bisa meletakkan harapanku padanya."

***

Fira kembali ke rumah sakit meski hari sedang hujan. Dia merasa bahwa sebagai pacar, dia telah sangat berdedikasi dan diberitahu oleh perawat bahwa 'Tuan Ardi telah dipulangkan.'

Dia merasa sedikit terkejut karena tidak diberitahu tentang itu.

Sambil masih membawa payung, dia baru akan melangkah menuju lift. Saat melewati pintu tangga darurat, dia mendengar seseorang menyebutkan nama Ardi.

"Yah, Ardi belum mati."

Bab 34 Wajah tampan yang diperbesar

Melalui celah pintu, Fira melihat seorang pria berkemeja hitam sedang memunggunginya. Sepertinya dia sedang menelepon. Pria itu memegang ponsel di satu tangan dan sebatang rokok di tangan lainnya. Dia mengangkat tangannya yang memegang rokok dan lengan kemejanya tertarik ke atas. Samar-samar, dia bisa melihat ada tato huruf di lengan bawahnya.

Ketika dia ingin melihat lebih dekat, pria berkemeja hitam itu membalikkan badan. Fira sangat terkejut dan buru-buru melarikan diri.

Fira duduk lama di lobi bagian rawat inap, dan tidak melihat pria dengan bentuk tubuh yang besar itu. Mungkin mobilnya diparkir di garasi bawah tanah dan karenanya dia langsung keluar dari garasi bawah tanah.

'Ardi tidak mati', pria itu sepertinya menyiratkan nada penyesalan ketika dia mengucapkan kalimat ini.

Fira tampak serius. Mungkinkah kecelakaan mobil yang dialami Ardi bukan kecelakaan biasa?

Ya, keluarga Cokroaminoto memang memiliki bisnis besar. Tadi malam, Ratih melakukan panggilan video dengannya dan mengatakan padanya, "Nilai pasar properti keluarga Cokroaminoto adalah ratusan miliar, dan kamu berpotensi menjadi wanita muda berpendapatan seratus miliar di masa depan. Fira, kamu akan memiliki kehidupan yang baik di masa depan dan aku akan selalu bersamamu,"

Dia juga mendengar bahwa meskipun Ardi merupakan satu-satunya pewaris utama di keluarga Cokroaminoto, ada banyak saudara di dalam keluarga itu dan hubungan mereka sangat rumit. Semua orang pasti menginginkan bagian yang besar dalam perusahaan itu.

Telepon Fira bergetar, dan ternyata itu adalah pengacaranya, Reinald Subakti. Pengacara itu juga merupakan pengacara utama keluarga Ratih.

"Nona Setiawan, panggilan pengadilan telah dikeluarkan. Saya ingin bertanya ke mana Anda ingin saya mengirimkannya."

"Ah, tolong bantu saya mengirimkannya ke Tuan Rudi Setiawan. Tolong beri tahu kepada siapapun yang mengirimnya agar menekankan bahwa surat itu adalah panggilan pengadilan yang mendesak dari putrinya yang meminta tunjangan."

"Saya akan memenuhi permintaan Anda."

Fira menutup telepon dengan senang hati setelah berterima kasih padanya.

Setelah keluar dari bagian rawat inap, dia menunggu bus di halte bus dekat rumah sakit. Satu jam kemudian dia sudah tiba kembali di rumahnya.

Jalan sempit di gang itu dipenuhi aliran air hujan, dan Fira kembali ke rumah sambil masih membawa payungnya.

Yudhi dan Zaki sedang bermain game dengan menggunakan headphone, sementara Yudha duduk di sofa dan membaca buku komik.

Yudhi berteriak ke Zaki "Timur laut, ada mobil, hati-hati, penuh ..."

"Semuanya tersebar di sana."

"Bodoh, siapa berani menabrak mobilku? Sudah tahu bensinku hampir habis. Berikan bensinnya padaku?!!"

Mendengar percakapan mereka, Fira memutar matanya dan bertanya pada Yudha, "Apa dia sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya?"

Yudha mengangguk.

"Kamu sudah memeriksanya?"

Yudha memakai sandal lalu kembali ke kamar dan mengambil dua buku PR, fisika dan kimia, lalu memberikannya pada kakak perempuannya.

Fira melihat ada tanda-tanda koreksi disana sini.

"Apa kamu sudah memeriksa semuanya?"

Yudha diam-diam menganggukkan kepalanya.

"Lalu, apakah kamu memberi tahunya bagian mana yang salah?"

Yudha mengambil kertas coretan, dan disana terdapat koreksi untuk jawaban pertanyaan yang salah. Koreksinya cukup lengkap. Fira merasa lega dan mengusap kepala Yudha.

"Teruskanlah membaca buku komik."

Fira memasuki kamarnya. Kamarnya sangat kecil. Hanya ada tempat tidur, lemari, dan meja. Dua orang dewasa tidak akan bisa muat ke dalamnya.

Dia duduk di meja dan melakukan panggilan video ke Ardi.

Dalam waktu kurang dari dua detik, dia mengangkatnya. Tiba-tiba saja ada wajah tampan yang diperbesar di layar, dan detak jantung Fira berdegup kencang.

Ardi mengenakan jubah tidur berwarna hitam yang menunjukkan lemari berisi minuman anggur di belakangnya. Setelah menyesapnya sedikit, dia menambahkan dua butir es batu ke dalam gelas minumannya lalu memandang santai ke arah Fira, "Ada apa?"