Mata Fira menatap dengan dingin "Karena kamu buta tentang hukum, maka aku akan memberimu sedikit ilmu. Rudi bisa membelikanmu berbagai benda senilai ratusan juta, dan membeli piano seharga dua ratus juta untuk putri tirinya. Yudhi, Yudha dan aku adalah putra dan putri kandungnya. Dia wajib menopang semua kebutuhan kami sebagai anak-anaknya. Kamu datang kemari untuk mencari masalah dengan ibuku. Ini sudah termasuk memprovokasi masalah. Aku bisa menuntutmu di pengadilan untuk ini."
Ada sisa minuman soda yang menetes di rambut Tantri. Dia tahu bahwa Fira adalah anak yang vulgar, tapi dia bisa tahu bahwa dia bukanlah lawannya yang sesungguhnya. Dia melihat si pemilik toko yang sudah menyingsingkan lengan bajunya. Kalau dia tetap bertahan disini, dia mungkin akan kalah.
Beberapa orang berbisik dan menambahkan, "Benar-benar contoh ibu yang buruk. Sama sekali tidak ada hal yang baik darinya."
Fira mengambil secangkir kopi dari kasir dan memercikkannya ke seluruh wajah Tantri.
Cairan kopi itu masih hangat, dan membuat Tantri berteriak, "Kamu..."
Fira berkata dengan dingin, "Apa kamu masih tidak mau pergi dari sini?"
Tantri segera melarikan diri dari toko dengan panik.
Fira menoleh dan melihat ekspresi wajah ibunya tampak muram. Ibunya selalu berwatak lembut dan baik hati. Tapi dia benar, dia tumbuh dengan keras.
Kalau dia tidak bersikap keras seperti ini, dia hanya akan menjadi target untuk diganggu.
Dalam hidup ini, dia tidak ingin diganggu.
Begitu Tantri pergi, Fira kembali bersikap seperti semula. Dia melangkah mendekati Yuni dan berbisik ke arahnya "Bu ... Pak Anto."
Anto buru-buru berkata "Yuni, pulanglah lebih awal bersama Fira. Aku akan mengemasi semua barangnya untuk kau bawa pulang."
Ketika Anto masih mengemasi barang-barang yang bisa dibawanya pulang, Yuni sudah menarik Fira keluar dari supermarket itu.
Hanya butuh sepuluh menit untuk berjalan kaki pulang dari supermarket itu, dan Yuni tidak mengatakan apa-apa di sepanjang jalan.
Didikannya mencegahnya untuk memarahi anak-anaknya di luar rumah.
Sampai di depan pintu rumah, di halaman rumah yang kecil, Yudhi dan Yudha sedang mengerjakan pekerjaan rumah di atas meja kayu elm tua. Yudha menutup mulutnya dan batuk dengan lembut, seolah sedang pilek.
Yudhi melihat Fira sudah pulang dan baru akan melangkah maju, tapi aksinya itu dihentikan oleh tatapan tajam Fira.
Fira segera ditarik ke kamar oleh Yuni.
"Beritahu aku, ada apa sebenarnya?"
Fira dengan lembut meletakkan tas kecapi-nya. Dia merapikan rambutnya dengan sedikit tidak nyaman "Memangnya ada apa?"
"Kenapa kamu meminta uang dari ayahmu?" suara Yuni bergetar, dan matanya merah.
"Kenapa aku tidak boleh memintanya? Dia adalah ayah kami dalam artian hukum. Dia punya tiga orang anak. Dia memiliki kewajiban untuk menghidupi kami bertiga. Itulah jumlah uang yang harus dibayarnya."
Air mata Yuni membasahi matanya "Fira, bagaimana dengan harga diri? Tidakkah kamu ingin mempertahankan harga dirimu sendiri? Apa kamu tidak memikirkan harga diri ibu? Kita harus hidup dengan bermartabat."
"Bu, kamu tidak bisa menukar harga diri yang tidak masuk akal itu dengan kesehatanmu. Kamu tidak bisa hanya mementingkan dirimu sendiri!"
Begitu mendengar itu, air mata Yuni tak bisa dibendung lagi dan mengalir jatuh.
Hati Fira bergetar melihatnya. Dia tahu dia mungkin sudah keterlaluan. Dia ingin meraih ibunya tapi ibunya mendorongnya dan melangkah keluar.
Hati Fira seolah diiris pisau "Bu ... Bu, aku tidak bermaksud mengatakan itu... Bu, aku mengatakan sesuatu yang salah."
Yuni menyeka air matanya, dan berbicara pelan, "Aku harus pergi ke toko buah untuk membeli beberapa buah pir yang bisa direbus untuk Yudha. Dia sudah batuk selama dua hari."
Setelah selesai mengatakan itu, dia melangkah pergi dengan cepat.
Fira mengetuk kepalanya sendiri dengan kesal. Kenapa dia tidak berhati-hati saat mengatakan itu tadi?
Cahaya di halaman meredup, Yudhi berjalan masuk sambil menggigit penanya, lalu bertanya dengan hati-hati "Ada apa?"
Yudha juga menatapnya dengan cemas.
***
Fira menepuk pundak Yudhi "Tidak ada apa-apa. Masuk saja ke dalam rumah dan nyalakan lampu untuk mengerjakan PR. Cahaya diluar jadi redup, itu buruk untuk penglihatan."
Setelah selesai mengatakan itu, Fira ikut melangkah keluar. Di luar pintu rumah ada gang kecil. Fira berjalan keluar, dan tidak jauh dari sana, di sudut halaman bata, dia mendengar suara isakan.
Dia tidak berani melangkah lebih jauh, jadi dia hanya bersandar ke dinding.
Ibunya berjongkok di sudut dan menangis diam-diam disana.
Ibunya sedang menangis. Disaat ibunya rentan seperti ini, dia membutuhkan seseorang yang bisa diandalkan.
Tangisan Yuni sangat pelan dan nyaris tak terdengar. Setelah beberapa saat, Fira mendengar langkah kaki menjauh. Ibunya sudah bisa menenangkan dirinya, dalam jangka waktu hanya sekitar lima menit.
Dalam lima menit itu, ibunya diam-diam menemukan sebuah sudut, menangis sebentar, dan kemudian kembali menghadapi kehidupan nyata.
Ketika Yuni kembali, hujan mengguyur diluar rumah. Dia membawa kantong plastik berisi empat buah pir di tangannya, serta pisang yang sudah berbintik hitam dan beberapa apel.
Fira segera mengambilkan handuk dan menyeka rambut ibunya. Mata Yuni masih merah, tapi dia berkata dengan lembut, "Makanlah pisang, aku akan pergi ke dapur untuk merebus pir untuk Yudha."
Fira mengikuti ibunya dan ikut pergi ke dapur.
Hujan di luar mengguyur deras. Yuni mengupas kulit pir di luar panci, dan Fira berbisik "Bu, maafkan aku."
Yuni menggelengkan kepalanya "Maaf telah membuatmu hidup begitu sulit."
Fira merasa semakin bersalah setelah mendengar itu.
Ibunya telah melakukan yang terbaik untuk membuat mereka semua menjalani hidup yang tidak lebih buruk dari keluarga biasa.
Meskipun uang selalu terbatas, ibunya masih mendaftarkannya ke kelas musik kecapi, hanya karena dia memiliki bakat ini, dan karena dia berpikir bahwa seorang anak perempuan akan lebih baik mempelajari alat musik.
"Bu, meski kita tidak meminta uang ke Rudi selama bertahun-tahun, dia tidak pernah merasa bahwa kita masih memiliki harga diri. Dia sama sekali tidak akan bersimpati sedikit pun saat kita menanggung malu. Kita harus melakukan ini untuk diri kita sendiri. Apa ibu mengerti yang kukatakan?"
Yuni meletakkan pir ke dalam kukusan lalu mengisi bagian bawahnya dengan air. Dia meletakkannya diatas kompor, menyalakan api dan melirik Fira, "Dia masih ayahmu. Jangan panggil dia dengan nama depan."
"Kamu memintaku untuk memperlakukan dia sebagai seorang ayah, tapi dia tidak pernah memperlakukan kami sebagai anak-anaknya. Selama 11 tahun, dia sama sekali tidak mempedulikan kita. Meski itu tidak membuatmu bahagia, aku harus meminta uang itu darinya."
Yuni membuka mulutnya, melihat kekeraskepalaan di mata putrinya, dan mengangkat tangannya, "Ibu hanya khawatir kamu terluka."
Tantri berhasil mengubah posisinya dari sekretaris menjadi istri barunya. Untuk itu, dia pasti memiliki rencana. Putrinya, Lulu, juga seorang gadis kecil yang pandai. Fira selalu menjadi anak yang terus terang. Darimana dia mendapatkan sifatnya itu?
Fira meremas tangan ibunya "Aku akan melindungi diriku sendiri. Aku juga akan melindungi ibu dan saudara-saudaraku."
Yuni akhirnya mengalah "Beritahu ayahmu dengan baik. Kalau kamu tidak bisa mendapatkannya, lupakan saja. Aku akan mencoba menghasilkan lebih banyak uang, oke?"
Fira mengangguk mendengarnya.
Mengatakannya dengan baik?
Mana mungkin dia bisa melakukannya.
Seseorang seperti Rudi bukanlah orang yang bisa diajaknya bicara baik-baik.
Selama setengah jam, pir itu direbus bersama dengan gula batu. Yuni mengisi sebuah mangkuk besar dan membawanya ke ruang depan "Yudha, kemarilah dan minumlah rebusan ini."
Dibandingkan dengan Yudhi, Yudha lebih kurus dan lebih putih, dia duduk di meja dan minum rebusan pir dengan patuh.
Fira menyentuh dahinya "Kalau kamu masih batuk besok, ayo kita pergi ke rumah sakit."
Yudha mengangguk.
Membalikkan badannya, Yudhi sudah melupakan pekerjaan rumahnya dan mulai bermain game di komputer.
Mereka punya dua komputer di rumah, satu berupa desktop dan satunya lagi notebook, yang dibawa pulang oleh Yudha. Dia mengatakan kalau itu adalah hadiah yang diperolehnya dari lotere.
Smartphone yang mereka miliki juga dimenangkan oleh Yudha.
Sekarang Fira jadi sedikit curiga, apakah anak itu memang sangat beruntung?