Semua mata di pasar Vardelle tertuju oleh dua pemuda itu. Orang-orang saling berbisik, sisanya hanya menatapnya dengan picing. Lalu-lalang tidak hentinya berhenti, semua memiliki perannya yang vital di pasar Norbury. Tetapi waktu telah di bekukan oleh kehadian Will dan Hans, bersama kulit hitam berbulu mengkilap di atas karavan dorongnya. Kehadiran Will dan Hans menjadi pusat perhatian para pedagang dan pembeli di pasar.
Pandangan itu membuat Will dan Hans merasa risih, tetapi mereka tidak mengindahkan itu dan terus berjalan. Mencari tempat lapak-lapak pusat pasar didirikan. Para pedagang mendirikan lapak-lapaknya di pusat pasar, mengantung daging-daging untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Sayuran-sayuran juga terpajang di meja kayu di hadapan penjual, ada juga yang di baringkan beralaskan kain yang lebar.
Mereka tiba di pusat pasar Vardelle, penjual daging berkumpul dan berteriak menjajakan daging hasil buruan atau ternakan. Semakin lama mereka berjalan pandangan orang-orang semakin tajam. Orang-orang semakin membicarakan mereka. Semua tertarik dengan apa yang mereka bawa.
Semua orang yakin itu bukanlah buruan biasa, bukan berasa dari hewan yang normal. Semua yang dijual di pasar Vardelle kebanyakan hanyalah bahan-bahan kebutuhan hidup seperti, gula, garam, selada, jagung, gandum, dan daging-dagingan. Tidak ada satupun di pasar itu yang menjajakan perhiasan dan barang antik lainnya.
Will dan Alazar berhenti di salah satu lapak, pedagang di sebelahnya menatap dengan tegang.
"Kami ingin menjual kulit ini. Hitam dan mengkilat, kau bisa melihatnya sendiri," kata Hans.
Orang itu nampak ragu untuk memerika, Dia berdiri dari tempatnya, hanya menegok sekilas. Terlihat enggan untuk menyentuhnya.
"Apa itu kulit beruang?" katanya sinis.
"Kau bisa sebut apapun yang kau mau, jadi berapa harganya?" jawab Hans singkat ingin segera selesai.
"Tapi apa kulit itu bisa dimakan?" Pria itu mendongak sekali lagi.
"Apa harus segala sesuatu yang pemburu bawa kesini berupa daging yang dimakan? Berpikirlah, kulit ini bisa menjadi hiasan dindin yang bagus! Orang akan kagum saat mereka bertamu ke rumahmu dengan pajangan kulit hewan yang berwarna hitam mengkilap!" Hans meninggi.
Pria kurus itu nampak panik, orang-orang semakin melihat ke arahnya, berbisik tidak menyenangkan.
"Li-lima gold!" kata pria kurus itu sambil menyeka dahinya dengan kain.
"Lima gold? Itu harga yang pantas untuk daging usang yang kau pajang di ini!" kata Hand mendobrak meja kayu lapak pria kurus itu.
Will, memegang bahu Hans, menepuknya untuk segera menyudahi emosinya.
"Terima kasih, mohon maaf atas keributan ini," kata Will sopan. Dia mendorong Hans menjauhi lapak Pria kurus itu. Pria kurus itu terdiam dan menunduk.
"Kita akan pulang ke pondok dengan kulitm ini tanpa uang apabila kau menjual dengan cara seperti itu!" kata Will berbisik kencang pada Hans di depannya.
Kau lihat sendiri bagaimana pedagang bodoh itu? Menghargai kulit wildster ini dengan lima Gold, bahkan jumlah itu hanya cukup selama dua sampai tiga hari!" bisik Hans keras.
Will mendekati Hans dan berbisik di telinganya. "Bodoh! Jangan menyebut nama wildster di keramaian ini! Kau akan semakin menarik perhatian mereka!"
Hans mereda, mereka berkeliling sepanjang pasar itu. Menemui banyak penjaja daging dan perkakas. Tapi tidak satupun tertarik dengan apa yang mereka bawa. Orang-orang hanya melihat dan mcibir, tanpa ada satupun yang bertanya. Will dan Hans tiba di ujung jalan. Mereka kelelahan, tidak ada satupuk lapak pedagang yang mau membeli kulit wildster miliknya.
Will bersandar di sebuah pohon yang jauh dari keramaian pasar, setidaknya itu membuat mereka merasa sedikit nyaman karena tidak menjadi bahan perhatian orang. Will melihat sekeliling sedangkan Hans berbaring di atas rumput sebelah pohon itu. Memastikan mereka sudah mendatangi lapak pedagang dan pembeli hasil buruan. Tapi mereka sangat kehausan dan kelaparan, berjalan mengelilingi pasar di Desa Vardelle sangat menguras tenaganya. Membawa barang itu kembali ke pondok kecil tanpa sepeser pun uang akan membuat perjalananya sia-sia. Haruskah ia mendatangi Luke?
"Aku kenal seseorang," Will tiba-tiba.
Hans mengintip dari matanya yang terpejam, "lalu?"
"Dia adalah orang sinting, percayalah aku dan Damar sangat membencinya. Sejak kami kecil dia selalu merendahkanku, tapi ku akui kemampuannya berdagangnya sangat luar biasa. Mungkin, Saat ini pasti dia sudah menjadi orang kaya di Vardelle."
"Kenapa hal itu tidak kau sampaikan sejak kedatangan kita?"
"Aku sudah bilang, aku membencinya. Kau pasti akan merasakan hal yang sama saat kau berbicara dengannya. Biasanya orang kaya selalu memandang rendah para pemburu kotor seperti kita."
"Itu tidak berlaku saat kita membutuhkan uang, lebih baik bawa kulit ini menuju orang itu. Kita akan tau apakah dia saudagar yang cerdas atau bodoh."
Mereka berjalan melanjutkan langkahnya, menjauhi keramaian pasar. Will diam sejenak mengamati sekitar, mengingat-ingat dimana Luke tinggal dan mengikuti arah bangunan-bangunan yang kokoh. Bangunan itu memiliki atap yang terbuat dari jerami, dan ada yang terbuat dari genteng. Will mendengarkan orang-orang berbicara dengan suara yang keras, memarahi anak-anak yang berkelahi.
Will mendorong gerobaknya, menyusuri sela-sela rumah. Di ujung jalan mereka tiba di sebuah rumah yang besar, cerobong asap mencuat dari atap rumah itu membubungkan asap keabuan yang mengepul. Di depan pintunya terpasang papan persegi berbahan kayu berkualitas, di ukir dengan pahat sedekimian rupa proporsional. Tertulis Kios Luke.
Perasaan mual meninju perutnya, mengingat wajah luke saja sudah membuat dirinya ingin menjauhi rumah itu. Semua sudah berlalu, dia harus segera menemuinya sebelum hari sudah gelap. Will mendorong pintu hingga terbuka dan hampir berdebum, ruangan yang luas itu terasa hangat dan sunyi. Api berkobar di perapian batu bata berwarna merah. Meja membentang di ujung ruangan. Ruangan itu sangat bersih, lilin putih tergantung di setiap sisi dindingnya. Seakan pemiliknya tidak ingin kegelapan memakan ruangan mewah itu.
Di belakang meja, berdiri Luke. Wajahnya pucat, mata hitamnya memandang gelisah, seperti menolak tamu di depannya. Dia berpura-pura mengelap gelas yang terpajang di rak belakangnya. Entah apa yang perlu di elap, semua gelas sudah mengkilap.
Mulut Luke berdesis, saat gerobak kecil itu dipaksa masuk ke dalam ruangannya yang bersih oleh Hans. Hans duduk, dan Will mendekati Luke.
Luke memandangnya lugas, dan menyilangkan lengannya, "Well, lihat apa yang kutemui siang ini. Dua orang pemburu menyedihkan, dengan hewan buruan di dalam gerobak peot. Kuharap isinya tidak menumpahkan tetesan darah di lantaiku!"
"Tidak akan," kata Will.
"Jadi itu daging kering?" tanya Luke sombong.
"Bukan daging," Will menatapnya, melihat kecurigaan terpancar dalam garis mata Luke.
"Lihat apa yang Pemburu kotor ini bawa ke dalam tokoku, bukan hewan, bukan daging," suara Luke terdengar merendahkan. Sejak dulu Luke selalu memperlakukan Will dengan jijik. Menganggapnya sebagai anak buangan terlantar yang secara kebetulan di asuh oleh kepala desa.
Semenjak istrinya meninggal, hanya satu orang perempuan yang dia perdulikan, yaitu anak gadisnya Tia. Bagi Luke semua orang selain Tia adalah pengisi kekosongan kehidupan dunia saja.
"Cepat katakan apa yang kau bawa dan segera selesaikan pembicaraan ini," caci Luke.
Tentu Will setuju, dia pun merasa muak, harus melihatnya hari ini. Will membawa gerobaknya mendekat, memaksa Luke untuk mencodongkan badannya, melewati meja di depannya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Hans duduk memperhatikan. Bulu pada kulit itu memantulkan cahaya lilin, Luke mencoba menyentuhnya, sangat lembut pikirnya.
"Aku terpana," kata Luke pura-pura. "Kulit hewan apa itu?"
"Wildster, kami membunuhnya semalam," jawab Will singkat.
"Ku akui ini cantik, tapi berapa nilainya?��� kata Luke sambil mengelus kembali bulunya, memperhatikan tiap helaian bulu yang mengkilap.
"Menurutmu? Aku bukanlah pedagang, seharusnya kau tau harga itu melebihi orang-orang di pasar apabila kau menyebut dirimu saudagar," kata Will menantang.
"Menarik sekali, seorang pemburu kotor membunuh salah satu mahluk legenda, bagaimana rupa mahluk itu," gumam Luke.
"Aku ke sini untuk menjualnya bukan bercerita, sebutkan harga darimu. Kau bukanlah pria bodoh yang akan membeli benda itu sangat murah, itu akan mempermalukan dirimu sebagai tukang kios terbesar di desa ini," cibir Will, meskipun dia merasa tidak nyaman berbicara seperti itu.
"Jelas sekali," kata Luke dengan kesabaran dibuat-buat. Luke mengelus dagu gundulnya, memperhatikan sekali lagi kulit berbulu hitam legam itu, matanya tidak henti-hentinya memandang pantulan cahaya lilin dari tiap helai bulu. "Tawaranku untuk kulit itu sebesar dua puluh gold."
"Itu terlalu murah! Seharusnya kulit ini mampu bernilai hingga berkali-kali lipat dari itu!" protes Hans. Dua puluh gold tidak akan mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga selama seminggu, tidak saat musim dingin akan datang.
"Terserah, kalau kau tidak suka tawaranku, kalian bisa kembali menawarkannya kepada para pedagang kecil di pasar Vardelle. Kecuali kalian tidak cukup pintar, mengetahui nilai yang ditawarkan pedagang di pasar itu jauh lebih rendah. Mereka tidak memperdulikan keindahan dan kualitas kulit ini, hanya sesuatu yang dapat masuk kedalam perut mereka," Luke sambil tersenyum licik.
Will setuju, nilai yang mereka dapatkan dari para pedagang di pasar jauh lebih rendah dari Luke. Sekalipun harga itu tidak masuk akal. Jauh lebih baik ketimbang tidak satupun gold dapat mereka kantungi.
"Omong kosong!" Hans meninggi.
"Kami terima," potong Will.
"Harga segitu tidak sebanding dengan apa yang hampir menimpa kita dan Damar!" protes Hans.
"Apa yang menimpa Damar karena ke egoisanmu dan kita dihadapkan pilihan terakhir saat ini, kau pikir dimana lagi kita akan menjual kulit ini dengan harga yang tinggi?" Will tersulut.
"Cukup! Cepat putuskan atau kalian bisa tinggalkan toko ini!" kata Luke mendobrak meja hingga bergetar.
Will mengangguk, Hans keluar meninggalkan kios, debuman keras terdengar pada pintu yang terbanting oleh Hans.
"Pemburu sinting!" kata Luke, ia segera mengeluarkan koin-koin dari laci kecil di meja, menghitung dengan cepat dan meyodorkannya pada Will. Will segera menerima, tangan Luke mengibas-ngibas ke arah tubuh Will. Will mengangguk, dia segera meninggalkan toko itu.
"Terkutuk!" maki Hans di luar jauh dari kios Luke.
"Sudah puas?" tanya Will, berpura-pura sabar dan mendekati Hans. "Kesabaranku sudah habis, katakan sejujurnya apa yang kau harapkan hidup bersama kami."
Hans mencengkeram tanganya, Wajah Hans terlihat kusut dan pucat. Emosinya semakin sulit terkendali. Will merasa sangat kesal dengan sikap Hans beberapa bulan ini. Ia tau ada kebohongan dia sembunyikan.
"Kau bilang kau suka berburu, tapi itu bukan alasan sebenarnya kau tinggal bersama kami," kata Will bernada memaksa. Dia tidak puas melihat Hans terdiam.
"Jika memang kau memaksa untuk jujur. Aku muak dengan kehidupan miskin ini," gumam Hans.
"Itu pilihanmu, kau yang memutuskan untuk tinggal dengan kami, " kata Will menatap tajam. "kenapa kau memilih tinggal bersama kami? kupikir kau menyukai hidup liar dan penuh tantangan."
"Tidak ada satupun pilihan itu yang membuatku senang," Hans meninju batang pohon, tapi tangannya kesakitan. ia kemudian mondar-mandir tidak karuan di sepanjang tepi jalan. "Tujuanku ikut bersama pedagang itu karena aku benci berada di Gallard, melihat kehidupan para bangsawan keluarga raja Helbert, hidup penuh kejayaan dan harta. Membuatku iri!"
"Kau tidak bisa egois dan menyalahkan takdirmu, kenyataannya kita semua berusaha untuk hidup lebih baik," Will mengangkat bahu, menatapnya wajah Hans penuh kekesalan. "Kupikir kau menyukai kehidupan liar, ketika kau bertemu aku dan Damar kau seharusnya sadar bahwa kami tidak akan membawakan kekayaan kepadamu."
"Aku hanya mencoba hidup berbeda, melupakan bayang-bayang kehidupan para bangsawan di Gallard, di bawah atap emas tahta kerajaan, baju-baju sutra, sajian makanan mewah berupa daging-daging panggang dan kue raspberry, dan para pelayan yang siap melayani mereka tiap jam," wajah Hans berubah muram.
Will menatapnya dingin, "Lalu itu yang membuatmu meninggalkan Ibukota Gallard?"
"Pada saat itu, para pedagang nomaden singgah di Gallard, membangun tenda-tenda di tepi hutan dekat kota. Aku mengunjunginya, dan berharap tidak pernah menemuni para keturunan bangsawan yang sombong. Di tenda itu para pedagang membicarakan hal yang menarik perhatianku. Mereka berbicara tentang cerita legenda wildster, hal yang paling kuingat 'memburu wildster akan membuatmu kaya dan terpandang'. Pada saat itu semua pedagang tertawa keras dan mencibir lalu membalas 'tapi memburu wildster akan membunuhmu lebih cepat". Berbeda denganku aku mendengarnya dengan khidmat setiap perkataan dari perbincangan pedagang itu."
"Jadi kau memutuskan untuk berburu wildster?" kata Will tiba tiba.
"Hampir, tapi hari demi hari mereka bergosip semakin sering. Hampir tiap perbincangan malam di sela makan malam dan gelas bir perbincangan antara pedagang dengan penduduk Gallard semakin intens. Semua keluarga kerajaan senang apabila seseorang membawa tubuh wildster di hadapan Raja, berdiri penuh kesombongan di depan tubuh wildster yang mati. Pihak kerajaan menganggap keberadaan wildster mengancam kehidupan manusia di Westeria, semua pikiran itu menancap di seluruh keluarga elit kerajaan. Raja akan menghadiahkan harta dan posisi bangsawan apabila seorang pemburu, atau prajurit di bawa simbol kerajaan Gallard membawa mayat wildster ke hadapan Raja Ambert."
"Kau yakin itu bukan bualan?"
"Entah, belum pernah aku melihat wildster seekorpun dalam hidupku saat itu, belum prnah juga aku mendengar seorangpun berhasil membawanya ke hadapan raja," iya menggosok kepalan jarinya yg lecet.
"Jadi itu alasanmu kenapa kau menetap di pinggir Vardelle bersamaku dan Damar? Berharap menemukan Wildster dan memuaskan pencarianmu?" tanya Will, penasaran.
"Benar, Setelah pedagang itu berencana meninggalkan Gallard, aku memilih untuk meninggalkan Gallard. satu bulan penuh aku tinggal bersama pedagang berpindah-pindah tempat. Menuju Bardford, melintasi sungai nuin, mereka menerimaku dengan sangat baik. Mengajariku cara untuk berdagang dan memberi banyak informasi tentang wildster. Ketika mereka memutuskan menutup tenda-tenda dan meninggalkan Gallard Aku memutuskan berkelana bersama para pedagang untuk memburu wildster, berharap menemukan lokasi dimana wildster hidup dan membawanya ke Gallard."
"Kenyataannya adalah jarak kita dengan Gallard sangat jauh, dan dengan keadaan keuangan kita saat ini tidak memungkinkan membawa mayat Wildster itu ke Gallard. Terlebih para bandit dan morgul yang berkeliaran di luar sana," kata Hans menatap Will dengan tajam. "Satu-satunya yang sama dari kita adalah kita tidak tau siapa orang tua kita, lalu Kupikir tinggal bersama kalian akan membuatku lebih baik melupakan semua kenyataan bahwa aku adalah anak yatim piatu dari keluarga petani."
"Haus akan kekayaan akan mengakibatkan dirimu menjadi sinting, semakin sulit untuk membuatmu berpikir jernih," balas Will menatap balik.
"Itu karena kau belum melihat seperti apa Gallard, kau tidak akan pernah terbayang kehidupan makmur bangsawan keluarga Ambert."
"lagipula aku tidak tertarik engan kekayaan."
"Ya, kau bodoh. Memilih hidup menyedihkan bersama adikmu," Ejek Hans.
"Jangan begitu,��� potong Will.
"Kau sudah lihat sendiri betapa menyedihkannya Vardelle, semakin jelas mengapa pihak kerajaan mengacuhkan wilayah Vardelle. Mereka adalah orang-orang menyedihkan," maki Hans.
Will mengepalkan tangannya, emosinya tersulut. "Kau lebih menyedihkan! Berkali-kali membuat hidup kami terancam, menginginkan ambisi bodoh yang mustahil kau dapatkan," balas Will.
Hans bangkit dari duduknya, ia mengepalkan juga tangannya dan menghempaskan tinju ke arah pipi kiri Will. Will menghindar, mencengkeram lengannya yang terhunus dan membantingnya. Will tersungkur dan bangkit lalu mencaci. Debu-debu berterbangan di pijakan yang tercabik-cabik gerakan lihai Will dan Hans.
Orang-orang di sekitar datang berkumpul, menontonnya dan bersorak. Memberi dukungan ke entah siapa, hanya merasa gembira melihat perkelahian. Will dan Hans berguling-guling saling mengikat, wajah keduanya lebam dan kotor tersiram debu jalanan.
seorang gadis datang, dia anak Tia anak Luke. Membelah kerumunan orang semakin rapat menonton perkelahian Will dan Hans. Tia lalu memisahkan Hans dari kuncian Will di atas tanah, Mereka berdua kelelahan saling menatap dingin dan menggosok darah yang keluar dari hidung. Pandangan Hans kabur karena debu tapi dia sadar ada seorang wanita yang melerainya.
"Hentikan, kalian harus berhenti sekarang," kata Tia yang berada diantara Will dan Hans.
Tia lalu membubarkan orang-orang yang menonton, mereka tampak kecewa tapi berlalu dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Will menatap Tia terperangah, gadis itu bertambah dewasa, wajahnya tirus dan rambutnya yang lurus seperti benang sutra tergerai sampai di bahunya. Matanya bulat dan wajah mengkerut karena marah.
"Kenapa dengamu Will?" kata Tia bernada cemas dan marah.
"Ah Tia, sudah lama tidak bertemu. Kami berkelahi," kata Will singkat.
"Aku tahu itu! Kalian seperti anak-anak," kata Tia sambil mengelap dahi Will yang tergores dan menatap Hans dingin memaksa untuk berbicara.
Hans mengangkat bahu. "Tanya saja Will, dia yang memulai. Semua menjadi rumit dan terjadi begitu saja."
"Omong kosong, kau yang memulai!" kata Will, mereka saling menatap lagi terpisah dengan siluet Tia.
"Kumohon cukup, temuilah Garreth, dia pasti merindukanmu saat ini," kata Tia bepura-pura sabar.
"Ah iya, Garreth, Aku mengerti, cukup sedih mengingat aku di sini tanpa kehadiran Garry," kata Will menyesal, ia bangkit dan menepok pinggul dan pahanya, menerbangkan debu yang melekat. Pinggulnya terasa sakit, sepertinya tinju hans berkali-kali mengenai pinggangnya saat dia mengunci tubuh hans dengan lengannya. Will berbicara kepada Hans, "Kau sudah puas?"
"Entah," kata Hans, ia juga bangkit dengan kesakitan. "Jadi setelah ini apa yang akan kita lakukan? Kembali ke pondok kecil?"
"Bukan ide bagus," kata Hans tidak setuju. "melihat cuaca yang semakin gelap kita membutuhkan tempat singgah sementara, bagaimana?"
"Lebih baik kalian mengunjungi Garreth, sudah pasti dia akan mengijinkan kalian tinggal sampai besok," saran Tia.
"Aku setuju, mungkin Garreth akan banyak bertanya juga padamu," kata Will ke arah Hans
"Tidak masalah, aku sudah terbiasa menghadapi hal itu," balas Hans singkat.
Will dan Hans berjalan mengikuti arah jalan sepatak kecil yang lurus. Melewati sela-sela rumah berpagar kayu yang di ikat tali dan rumah-rumah yang sederhana. Langkah mereka pelan dan terhuyung-huyung. Will dan Hans kelaparan, sekalipun Will masih sangat merasa kesal dengan Hans, dia mencoba bersabar. Dia tau Hans semakin berubah akhir-akhir ini. Perasaan itu membuat kepalanya serasa ingin meledak ketika memikirkan tentang hans.
Mereka tiba di ujung jalan, di depannya terhampar kebun gandum yang memenuhi mata. Di tengahnya terdapat jalan kecil yang membelah hamparan kebun gandum, menuju ke sebuah rumah kecil di akhir jalan kecil itu.
Seorang lelaki cukup tua duduk sambil mengunyah kue pie cherry. Pria itu cukup gemuk, seperti sebuah karung goni yang terisi penuh oleh butiran gandum. Mata coklatnya membelalak saat melihat seseorang yang cukup membuatnya bernostalgia. Segera dia meninggalkan pienya di meja kecil dan melambai.
"Will! Tia," teriak Garreth dari kejauhan. Wajahnya nampak kebingungan melihat Hans, Garreth tidak mengenali Hans, dia berpikir mungkin orang itu pemburu seperti Will yang tinggal di pinggir Vardelle.
"Hai Garreth ," jawab Will.
Will kemudian duduk di kursi kayu kecil tepat di samping Garreth, sedangkan tia masuk ke dalam rumah, mencoba mengambil sesuatu apapun yang bisa meredakan luka perkelahian Will dan Hans. Hans hanya menunduk dan tersenyum tipis. Dia mencari tempat duduk terdekat tetapi akhirnya memilih untuk bersandar memandang kebun gandum yang luas. Jemarinya masih meraba-raba lebam di wajahnya, semua masih terasa sakit.
"Ada apa dengan kalian? Aku melihat bekas perkelahian," kata Garreth penasaran.
Hans tidak menjawab dan memandang ke arah ladang gandum yang membentang di hadapannya. Will menunggu Hans menjawab, tetapi dia hanya diam tidak memberi komentar. Will lalu membelah sedikit pie cherry milik Garreth untuk menenangkan dirinya, membuka balasan. "Kami sedikit berdebat, bukan hal penting untuk dipermasalahkan. Sepertinya, Aku akan tinggal sementara di sini, kami harus melalui satu malam ini untuk kembali ke Vardelle."
"Sesuatu permasalahan yang di selesaikan dengan perkelahian dapat berujung sangat fatal tergantung bagaimana kondisi itu mengalir. Banyak diantara pria labil yang sulit mengontrol kejernihan cara berpikirnya, melupakan jalan penyelesaian yang seharusnya dan berakhir sia-sia". Kata-kata itu menancap di kepala Hans yang termenung, dia merasa malu, tetapi masih diam mengamati.
"Kalian bisa tinggal sesuka kalian, di sini terdapat banyak makanan, ada kue Cherry, kue apel, keju, roti dan sedikit daging asap. Aku sudah harus mengurangi porsi makanku, Aline mudah marah akhir-akhir ini melihat kerakusanku," kata Garreth terbahak-bahak.
"Lagipula, Vardelle hari ini sangat ramai, apa kalian tahu besok para pedagang nomaden akan singgah di Vardelle? Aku mendengar isu dari para pedagang Vardelle dan tukang jagal bahwa akan ada prajurit kerajaan dan bangsawan datang membawa berita pengumuman."
Kata-kata itu terdengar jelas di telinga Hans, tapi Hans sengaja berpura-pura menahan keingintahuannya.
"Pengumuman?" kata Will masih mengunyah pienya.
"Untuk apa pasukan Gallardian datang menuju desa terpencil di Westeria bersama para pedagang? Prajurit dengan tingkat kehormatan yang tinggi tentu sulit berarak bersama pedagang." lanjut Will curiga.
"Isu-isu itu berdatangan melalui mulut pedagang yang kembali dari Gallard, membawa banyak berita mengenai kerajaan tanpa sepengetahuan Gallardian. Biasanya mereka bergosip di kedai milik Josh, sambil menggoda para wanita. Kebetulan aku di sana dan Josh menceritakannya padaku, kau tahu pedagang itu terlalu bodoh untuk mengendalikan mulutnya saat sedang mabuk berat," kata Garreth meringis, lalu meminum seteguk air dalam gelas besarnya.
"Akhir-akhir keganjilan merasuki desa Vardelle, sudah hampir beberapa dekade Vardelle tidak pernah tersentuh oleh pengaruh kerajaan, mungkin saja karena wilayah kita miskin dari sumberdaya yang menggiurkan."
"Lalu kenapa sekarang Gallardian mengnjungi Vardelle?" tanya Will.
"Apapun, kita semua tau Vardelle memang misterius. Hutan itu seolah tidak ingin menguak rahasianya kepada kita, para pemburu termasuk kau Damar, dan Garry, tahu betul isinya hanya berisi hewan liar, kanopi rapat dan juga wildster ganas. Seharusnya hal tersebut bisa jadi sesuatu yang membosankan bagi kerajaan. Tapi melihat keseriusan para prajurit dan bangsawan untuk sampai ke desa terpencil seperti ini," kata Garreth, matanya menyipit. "Aku yakin ada sesuatu yang besar di Vardelle."
"Apakah ada kaitannya dengan wildster, atau emas?" tanya Hans mendadak, wajahnya menegang.
Garreth kaget melihat reaksi Hans, tapi dia berpura-pura tenang, dan menjawab, "Mungkin, kita tau pihak kerajaan sangat membenci keberadaan wildster. Wildster dinilai sangat berbahaya, mengancam dan tidak bernilai. Banyak generasi bangsawan yang terbunuh oleh wildster berabad tahun yang lalu, hampir menghabiskan darah murni Helbert," jawab Garreth menjelaskan. "Tapi, apabila memang yang di incar mereka hanyalah wildster seharusnya pihak kerajaan sudah membangun beberapa pos pengawasan di daerah Vardelle dan melakukan pembersihan."
"Itu sudah cukup menjawab bahwa ada sesuatu hal besar yang di cari oleh Helbert, dan itu bernilai," kata Hans tersenyum tipis memaksa. "Aku akan datang besok, dan mencari tahu apa yang mereka cari."
"Kusarankan jangan terlalu dekat dengan anggota kerajaan," kata Garreth menasehati. "Aku tidak melarang dirimu untuk menemui dan mengingat semua berita manis yang keluar dari mulut bangsawan gallard, tapi mencoba membangun kedekatanmu dengan Gallard akan melahirkan ambisi kebencian yang tajam seperti raja Helbert itu sendiri."
"Apa masalahnya?" Hans tidak terima.
"Masa kepemimpinan Helbert bukanlah masa kepemimpinan yang kita inginkan, semua bangsawan kerajaan menikmati kekayaan di atas kesengsaraan rakyatnya atas aturan pajak dari Helbert. Sudah cukup beruntung wilayah kita sangat jauh dari jangkauan aturan dari Gallard."
"Tapi itu tidak menjawab masalah yang kita bicarakan," kata Hans memprotes. "Menurutku besok adalah kesempatan diriku untuk membuktikan, apa yang orang tuaku lakukan dulu adalah keputusan yang salah, dan aku sebagai keturunan bangsawan berhak mengklaim semua yang seharusnya menjadi milikku. Aku bertekad untuk membersihkan namaku dari kebodohan ayahku."
Garreth tertegun, kata-kata itu keluar dari seorang pemburu biasa. Kata itu keluar bagai amukan deras air yang mencoba mengikis bebatuan-bebatuan yang menghalangi alirannya. Saat itu Garreth tidak tahu tentang pilihan yang salah dan benar. Dia hanya mencoba menjadi dinding tipis penghalang dari ambisi Hans. Garreth tidak ingin berdebat lebih panjang, ia mengangguk dan mengangkat bahu.
Tia lalu keluar membawa obat dan perban linen yang digulung, menaruhnya di meja sebelah pie lalu mengobati luka-luka Will. Tangannya sangat cekatan, lebih lihai daripada kemampuan Will mengobati luka Damar. Dengan cepat untaian perban menutupi luka Will. Tia lalu mendekati Hans, namun Hans menolak.
"Aku akan mengobatinya sendiri," kata Hans, angkuh. Tia sangat kelas dan meringis. Berdiri meninggalkan Hans dan masuk ke dalam rumah untuk menenangkan dirinya yang emosi. Hans menatap Garreth dan Will yang tidak bergeming. Hans lalu beranjak dari sandaranya dan berkata, "Aku sangat berterima kasih kau mengizinkan aku untuk tinggal. Aku akan masuk untuk tidur, kurasa tidak ada yang perlu aku tanyakan dan bicarakan lagi saat ini."
Will mengangguk setuju, tubuhnya serasa remuk dan tidak bertenaga. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk dilalui baginya. Will lalu segera masuk ke dalam rumah Garreth, dia berbaring di sebuah ranjang berukuran tubuhnya yang tergerai di ruangan tengah. Ranjang itu cukup empuk dan nyaman meskipun perasaannya sedang tidak enak. Tanpa pikir panjang, dia memejamkan mata, berharap melalui hari esok tanpa menemui masalah yang aneh.