Chereads / DAMAR The Breath of Gold and Silver / Chapter 11 - 11. KEMATIAN UNTUK MELINDUNGI

Chapter 11 - 11. KEMATIAN UNTUK MELINDUNGI

Damar termenung sambil memandang sederetan pohon Pinus di balik jendela pondok kecil. Dia menguap, lalu mengendus aroma udara dingin yang sejuk menerpa wajahnya. Cahaya senja yang mulai terbias kemerahan membanjiri cakrawala di balik puncak-puncak Gunung Helmaer. Segerombolan burung pekakak terbang melintas di atas pondok membentuk siluet bumerang yang anggun, membelah angin menuju pantai di Barat.

Damar memaksimalkan waktu terakhirnya menikmati pemandangan di hadapan Pondok kecil. Sebelum dia harus meninggalkannya menuju perjalanan panjang tidak terduga. Damar telah mengemas perbekalan dan perlengkapan baju dalam bungkusan sederhana yang menyerupai ransel. Di belakangnya Will terlihat gelisah dan waspada. Bukan kah kita akan berpetualang? Kenapa dia tidak menikmatinya, pikir Damar berpura-pura senang.

Mulai merasa jenuh dan ingin udara yang lebih. Damar keluar pondok lalu berjalan di sepanjang jalan SideVardelle. Melewati rumah-rumah sederhana milik pemburu lainnya. Seorang istri-istri pembunu nampak sedang menjemur dan memasak, sebagian terlihat di balik jendela. Anak-anak dengan riang berlari mengejar dan mengayunkan ranting kecil. Menghunus dan menusuk musuh-musuh imajiner mereka.

Damar tersenyum, waktu terasa berlalu begitu cepat. Sewaktu kenangan dirinya bersama Will di tanah ini. Garry mengajarnya berburu dengan menggunakan busur dan belati. Sosok imajiner Garry berdiri di hadapannya bersama dengan bayangan dirinya sewaktu kecil. Menghempaskan anak panah melewati udara lalu menancap di batang pohon mahoni yang berdiri kokoh.

Dia kemudian berjalan meninggalkan imajiner Garry dan dirinya. Menuruni perbukitan dengan hati-hati. Menuju pemakaman yang berada di kaki bukit tidak jauh dari SideVardelle. Dihadapannya tertancap papan-papan nisan bertuliskan nama-nama mereka yang tiada. Di atas gundukan makam para mendiang, bertabur kelopak-kelopak bunga yang sangat wangi.

Satu makam yang tidak lepas dari mata Damar di kejauhan ia memandang. Ia mendekati makam itu, memoles batu nisan itu dan menghapus lumut-lumut yang memudarkan namanya. Batu nisan itu tertulis.

Telah beristirahat dengan Damai, Garry dan Helena

Sejenak Damar diam, memandang batu nisan itu. Kenangan bergejolak dalam benaknya. Ingatannya tentang ayah angkatnya Garry dan Ibu angkatnya Helena membanjiri pikirannya.

"Aku tidak pernah tau siapa ayah dan ibuku hingga sekarang," katanya mengusap kelopak mata yang mulai berair.

"Aku tidak pernah menyesal menjalani kehidupanku seperti sekarang Garry. Kau telah memberiku banyak arti mengenai perjuangan dan keberanian eh," katanya mencoba tersenyum.

"Sejak hari ini dan seterusnya, mungkin akan sulit bagiku untuk mengunjungi kalian. Seandainya aku bisa menjelaskannya. Mungkin kita bisa membicarakannya sambil minum secangkir kopi seduh di kedai. Tapi jangan melarangku, aku memiliki seekor naga sekarang, dan Will menemani perjalananku. Pasti akan menyenangkan."

Sewaktu Damar menatap langit, angin berhembus mengibarkan helai rambutnya yang coklat. Mengeringkan air mata di pipinya yang tirus. Memberinya senyuman hangat yang tipis.

"Tidak perlu kuatir. Aku akan menjagamu dari semua kecerobohanmu, menjauhkanmu dari tepi jurang yang dalam, mendorongmu ketika kau menginjak lumpur hisap, membunuh hewan buas yang menyergapmu dan meremukan tengkorak morgul yang menyerang."

Damar menoleh terkejut, di belakangnya berdiri Will yang melipat lengannya.

"Terima kasih. Meskipun kita bukan saudara kandung, kau selalu memperlakukanku selayaknya kita saudara sedarah."

"Jangan begitu," kata Will sedih.

Menunduk sejenak, Damar bangkit menatap bentangan hijau di hadapannya. Will mendekati lalu menepuk pundak Damar dengan lembut. Pada saat itu udara berhembus hangat dan beraroma. Sewaktu mereka hendak meninggalkan daerah pemakaman, suara jeritan terdengar dari kejauhan. Suara-suara itu berasal dari desa yang berada di balik tebing-tebing dekat pemakaman.

Damar dan Will berlari kencang menuju desa. Melompati banyak undakan dengan gerakan lincah dan mengabaikan rasa pegal di kakinya. Sewaktu tiba di Pinggir Vardelle, para penduduk berlarian dan berhamburan keluar rumah. Mereka menghindari hujanan anak panah yang berterbangan di udara.

Para Morgul berlarian dari tepi hutan dengan gada dan pedang karatnya yang tergenggam. Mreka mengaum buas dan menebas semua penduduk yang melewati di depannya. Pemandangan itu sangat mengerikan dan membuat bulu kuduk Damar berdiri hebat. Di balik sela-sela batu damar berbisik pada Will.

"Kita harus membantu mereka," suaranya lirih.

Will menggeleng, "Tidak sekarang, jumlah mereka sangat banyak, kita akan langsung mati jika menyerang sekarang."

"Bagaimana naganya?"

"Alazar menjaganya, kita harus menemui Alazar!"

Dengan langkah pelan sambil menunduk, Damar menyelinap di balik sela-sela pohon dan rumah. Menghindari area penyerangan untuk menuju gubuk Alazar yang berada di sisi pedesaan. Mereka berusaha sebaik mungkin menghindari anak-anak panah yang terus terhempas sewaktu mereka mengintip menuju area terbuka.

Para morgul dengan ganasnya membantai wanita dan anak-anak yang berlarian. Mereka mendobrak rumah dengan kakinya, mengacak isi dan membantai siapapun didalamnya. Suara jeritan tidak pernah berhenti di iringi kepulan asap akibat api yang berkobar.

Selama beberapa menit perut Damar terasa mual saat dia harus melewati tubuh tidak bernyawa dihadapannya.

"Kau harus kuat, aku juga mual," kata Will.

Ketika hendak menyebrangi jalan utama, seorang morgul yang berbadan kecil menghalangi mereka, wajahnya mencibir mengerikan. Damar dan Will spontan lari menghindari morgul itu. Tidak berhenti sampai disana, morgul lainnya mengikuti si morgul kecil dan mendesis memperlihatkan gigi-giginya yang hitam. Damar bersembunyi di balik dinding rumah. Morgul itu berjalan membungkuk dengan posisi siaga, mencari Damar yang bersembunyi sambil mencaci.

Sewaktu jaraknya sudah mencapai satu meter, Will menikam dagunya dengan belati yang menembus kerongkongannya. Darah hitam mengucur membanjiri tangan Will. Menyadari kawannya mati, morgul lainnya menggeram sambil mengejar Damar dan Will yang berlari.

Di sisi lain, para pria penduduk desa yang berhamburan mulai mencoba melawan, mereka mengambil busur-busur yang tergantung di dinding rumahnya dan mengisi dengan panah berbulu angsa. Melesatkan anak-anak panah itu mengarah ke kepala Morgul yang tidak terlindungi. Begitu anak panah itu menancap di dahi morgul itu, dia langsung jatuh tidak bernyawa.

Damar berteriak dan menjejakkan kakinya ke undakan saat melihat morgul lainnya mendekati Will yang terpojok. Mengibaskan belatinya ke arah leher morgul yang sedang lengah. Menyadari sergapan Damar yang ceroboh, Morgul itu menghindari ayunan belatinya, dan mencekik Damar dengan keras. Dengan wajah buruk yang sombong morgul itu berkata, "Dimana naga itu?" lalu menyeringai.

Jemari Damar gemetaran, Damar berusaha membebaskan diri dari kengerian ini. Melihat Damar terancam, Will bangkit dan menerjang maju bagai kilat. Menusuk leher belakang si morgul. Seketika morgul itu tersungkur dan menjatuhkan Damar ke tumpukan bebatuan. Damar mengerang kesakitan, tapi tidak lama Will menggopohnya bangkit. Menjauhi kengerian ini.

"Cepat, kita tidak bisa berlama-lama di sini!" kata Will.

Mereka bergerak secepat kelinci meninggalkan mayat-mayat di belakang mereka. Tidak jauh dari tempat terakhir mereka bangkit, mereka bersembunyi lagi dan mengintip di balik puing-puing rumah yang hancur.

Setengah mil dari tempat mereka bersembunyi, Damar melihat segerombolan morgul berkumpul. Para morgul itu tampak cemberut dan berantakan. Senjata mereka hitam berkarat dan baju zirahnya penyok. Morgul-morgul itu berkerumun menjadi satu. Mereka menghadap morgul satunya yang bertubuh jangkung dan kekar.

Satu orang morgul memberanikan diri bertanya, "lebih dari seperempat pasukan kita mati di tangan para pemburu dungu itu. Aku tidak peduli meski harus menjilati telapak kaki pasukan ini sebelum mendapat perintah dari ras kita!"

"Apakah aku bukan ras kita?" kata Morgul yang tinggi dan kkar itu, menatap dengan tatapan mengerikan.

"Benar Tuan Uzieg, tapi orang manusia yang memerintahkan melalui komando kau…"

Morgul itu tidak sempat melanjutkan, karena Morgul kekar itu meremukkan kepalanya dengan satu kepalan tangan. Memecahkan kepala morgul itu seperti kaca. Morgul lainnya membeku melihat kejadian itu dan menunduk. Sewaktu Uzieg mengusap-usap tangannya seperti membersihkan debu, ia berkata "Keraguan kalianlah kedunguan yang sebenarnya, melebihi para otak udang para pemburu desa ini."

Dari kejauhan Damar ketakutan setengah mati, berharap persembunyian cukup untuk menyembunyikan mereka berdua.

Uzieg lalu memperhatikan para anak buahnya, menatapnya satu-satu dengan sorotan tajam. "Zenoth tau apa yang dilakukannya, manusia penguasa itu cukup bodoh untuk menyetujui kesepakatan ini. Biarkan mereka merasa kemenangan menjadi milik mereka, dan pada saat itu kita sudah membuatnya lengah. Cara kita adalah menghancurkan mereka saat mereka merasa sudah menang, mengerti?"

Tepat pada saat itu, ada gerakan menarik perhatian Damar dan Will. Mereka memandang ke arah jalan tempat para penduduk SideVardelle berdiri, pria-pria itu nampak berwajah mantap dan marah. Pakaian mereka kotor karena debu, ada juga yang kotor karena darah yang mengering. Masing-masing menggenggam senjata yang beragam, mulai dari sekop, garpu tanaman, martil, busur dan pisau daging. Para penduduk itu berhamburan dari arah rumah masing-masing yang masih utuh dan memandang ke arah segerombolan morgul dengan Uzieg di tengahnya.

Kurang dari semenit kemudian, suara Uzieg menggema di langit yang tertutup kepulan asap kelabu. "Dengan berdiri menghadap kami, kalian memilih takdir untuk mati lebih banyak!"

Salah seorang pria dari SideVardelle menjawab, "Desa ini akan menjadi kuburan bagi makhluk kotor bertaring seperti kalian! Kami akan menancapkan anak panah kami menembus batok kepala kalian seperti kami memburu babi di pagi hari, dan menggemukkan badan anjing-anjing kami dengan mayat kalian!"

Para penduduk maju menerjang segerombolan morgul yang masih belum beranjang, mengibaskan semua peralatan tempur mereka ke hadapan para morgul. Di balik puing rumah yang runtuh, Damar melesatkan anak panah, membunuh satu morgul yang hampir menebas seorang wanita.

Dari suatu tempat di area pertempuran, suara menjerit terdengar sangat nyaring. Jantung Damar terasa seperti ingin putus, tangahnya berkeringat hebat dan lembab. Ia juga mendengan bunyi pecahan-pecahan kaca rumah dan balok kayu yang rubuh. Desinga anak panah pun melesat seperti deburan jemari yang terkoyak.

"Kita harus segera menemukan Alazar, desa ini membutuhkan bantuannya!" kata Damar.

Mereka lalu berputar menuju ke daratan yang lebih tinggi, menuju gubuk Alazar yang berjarak satu kilo. Sewaktu mereka merayap menjauhi, sesuatu mencengkram kaki Damar hingga kuku tangannya menembus kulit kaki damar. Damar mengerang kesakitan dan menengok ke arah belakangnya.

Seorang morgul yang terluka dan berlumuran darah menyeringai sambil menarik kakinya dari semak-semak. "Apa sebaiknya kucabik perutmu, lihat wajah kalian yang ketakutan seperti keledai tolol."

Damar kehilangan keseimbangan, memutar tubuhnya lalu menendang wajah morgul itu. Tendangannya tidak cukup kuat untuk membuatnya melepaskan cengkraman tangannya. Wajah morgul itu semakin menyeringai dan memperlihatkan mulut dan gigi yang hitam, darah menetes dari sela-sela bibirnya.

Bunyi jleb terdengar saat cepat sewaktu pedang berwarna abu mengilap menembus kepala si morgul. Mencipratkan darah hitam ke tubuh Damar yang berbaring. Will segera menarik damar menjauhi mayat morgul itu, dilihatnya Alazar mencabut pedang anggung itu dari tengkorak morgul dan mengelapnya dengan sapu tangah kecoklatan.

"Bawa pedang ini, dan busur ini," kata Alazar memberikan pedang itu pada Damar disusul busur putih pada Will.

"Dimana naga itu?"

"Garreth membawanya bersama Elena, dia menunggu kita di luar desa, Aku harus memastikan kalian aman hingga kita meninggalkan desa ini! Cepat!"

"dan bagaimana Desa ini?" tanya Will kuatir.

"Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan lebih banyak," kata Alazar memejamkan mata dan menggeleng, "Uzieg sudah mencium keberadaan naga itu, saat ini nyawa kalian lebih berharga dari apapun, percayalah, ini jalan yang terbaik!"

Beberapa detik setelah pembicaraan itu, dua morgul menyergap mereka dan mengayun kapaknya ke arah punggung Alazar. Dengan sigap Will menarik anak panah, membunuh satu morgul. Menyadari kehadiran satu morgul lainnya, Alazar memutar tangannya, mengibaskan tongkat kayu ek ke arah rahang si morgul. Menghancurkan tulang leher dan membuat morgul itu terpental sejauh tiga meter.

Kenapa tidak ada prajurit kerajaan yang membantu kami? Pikir Damar.

"Cepat! Cepat!" Alazar menggandeng Damar dan membuatnya bangkit dan merayap setengah berlutut. Mereka berusaha bergerak selincah tikus, semaksimal mungkin bersembunyi dari jangkauan penglihatan morgul yang berhamburan.

Pertempuran semakin kacau. Bunyi dentingan benda bergesekan terdengar di berbagai sudut. Uzieg si perusak menyapu sekawanan penduduk sengan lengannya yang kekar seperti menyapu tumpukan daun-daun pekarangan. Para penduduk pria terpental sejauh jangkauan Uzieg.

"Bunuh! Hancurkan!" katanya mengeram.

Merasa sedih, Damar berhenti dari langkahnya. Menengok dan menatap wajah Alazar di belakangnya, ia mengerutkan kening dan berkata, "Aku tidak sanggup harus kabur di saat mereka bertaruh dengan nyawanya untuk menggorok para morgul itu!"

Will mengangguk setuju. Alazar menghela napas ringan, mencoba bersabar dan memikirkan segala kemungkinan, dia menjawab, "Aku akan mengeluarkan mantra yang cukup untuk membantu para penduduk desa, tapi itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan mereka semua. Kita sedang berperang, dan perang kita yang sebenarnya bukan di sini. Ada waktunya kalian akan membalas semua perbuatan mahluk keji itu diwaktu yang tepat. Dengan kemampuan kalian yang setara dengan morgul terdungu di sini, kalian akan segera mati begitu Uzieg menangkap kalian."

Mereka terdiam dan kemudian mengangguk setuju.

Berjanjilah kita pergi secepat angin dan menjauhi desa ini, mengutamakan misi utama yang sudah kita sepakati kemarin?"

Bibir Alazar merapalkan sesuatu bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh dirinya. Menancapkan tongkat eknya ke tanah dan bersedekap.

"der ono, lamgoroth du vargavarghala!"

Seketika kobaran api menyulut tubuh morgul secara acak, membakar rambut mereka yang panjang dan kusut. Membuat banyak morgul berhamburan. Bau gosong tercium semerbak dari tubuh morgul yang hangus, sebagian mengalami luka bakar yang hebat. Memudahkan para penduduk untuk menyerang pertahanan norgul yang melemah.

"Penyihir! Ada penyihir itu!" kata Uzieg murka. "Cari penyihir itu dan bawa kepalanya padaku!"

Para morgul kini semakin bergerak gencar. Mengamati gerak-gerik penduduk dengan curiga. Sejauh pandangan morgul, mereka hanyalah manusia biasa dan pemburu kampung. Di tengah pertempuran. Uzieg memaki dengan bahasa terkasar morgul sambil mencabik dan meninju penduduk yang melawan.

Dari jarak kejauhan yang terlindungi, Alazar jatuh setengah berlutut. Napasnya terengah-engah, dan wajahnya terlihat sayu. Keringat menetes secara perlahan melalui dahinya yang mengkerut karena usia. Ia Memaksa berdiri, Alazar mendesak.

"Cepat kita harus bergerak," katanya dengan suara lirih.

Dengan sigap mereka berjalan menunduk melewati pinggir rumah-rumah yang masih utuh menuju ke dataran yang lebih tinggi di tenggara. Setiap bayangan morgul yang menyisiri pinggiran terlihat, mereka bersembunyi di balik batang pohon pinus ataupun semak yang rimbun. Sesekali, secara diam-diam Will membunuh morgul yang bergerak sendiri selama pencarian. Menyebunyikan tubuhnya di balik semak.

Pergerakan diam-diam itu memicu amarah Uzieg. Kesibukannya di pusat desa membuatnya menjauh sementara. Uzieg sadar prioritas utamanya saat ini, melihat situasinya yang semakin tidak menguntungkan. Para morgul mundur berhamburan menuju hutan Vardelle.

Waktu berlalu satu jam sewaktu mereka terus bergerak menjauh, tubuh mereka serasa lemas dan pegal. Napas Alazar terdengar lebih berat dari sebelumnya memaksa mereka duduk sejenak. Di belakangnya, pedesaan Sidepide semakin terlihat mengecil. Kepulan asap keabuan membubung seperti kapas kecil yang tertiup angin.

"Di sini, kita menunggu di sini," kata Alazar, langkahnya semakin pelan.

"Kau terlihat kelelahan sekali," kata Damar kuatir.

"Sihir alam menghabiskan lebih banyak energi melebihi sihir penyembuhan," katanya sambil terengah.

"Saat ini kita sudah sangat cukup jauh dari SideVardelle, dimana Garreth?" kata Will.

"Kau tidak melihatnya?"

Dibalik pohon Cemara Garreth berlari bersama Elena, menjinjing kandang beranyam bambu yang digenggamnya dengan erat sambil melambai.

"Oh tidak kalian baik-baik saja, syukurlah!" kata Elena mengusap wajah Damar dan Will yang lusuh dengan kain.

"Bagaimana ini bisa terjadi," kata Garreth meringis. "Morgul merasuki tanah kami! Para Gallardian segera menuju SideVardelle, kuharap mereka membasmi hama itu tanpa menyisakan satu ekor pun!"

Sambil mengatur napas, Alazar berkata, "Mereka sudah mulai bergerak, teror dari Zenoth."

"Kau yakin akan membawa mereka pergi dari Norbury, penyihir?"

"Tidak ada jalan lain, dengan keberadaan naga itu, mereka tidak bisa tinggal di Norbury lagi," kata Alazar. "Saat ini kerajaan belum mengetahui siapa pembawa naga ini, berlindung di balik nama Gallard tidak menjamin keselamatan Damar dan Will."

Sambil berjalan berputar Garreth meninju telapak tangannya, "Sial! Berjanjilah kau akan menjaga mereka, jangan sampai ada bagian tubuhnya yang hilang, aku masih memaklumi sebuah luka, tapi tidak dengan kecacatan, berjanjilah penyihir! Mereka kesayangan mendiang adikku Garry!"

"Aku berjanji Garry."

Garreth kemudian memeluk Damar dan Will.membisikkan kata-kata doa dan harapan di telinganya. Menjanjikan kehidupan yang layak setelah dunia menjadi damai. Disampingnya Elena menangis tersedu-sedu, menciumi kening pemuda itu dan mendoakan keselamatannya.

"Jika memang itu keputusannya, demi langit cerah, kuharap perjalanan kalian diberkati," kata Garreth sambil mengusap air matanya. "Semua perbekalan sudah ada di dalam ransel itu, daging-daging kering dan beberapa pakaian untuk mereka, jaga agar tidak basah."

"Terima kasih Garreth," kata Damar tersendu.

"Setelah ini kau akan membawa mereka kemana?"

"Desa Acton, kami membutuhkan kuda untuk menuju Alaby Hole, rute tercepat menuju kerajaan elf di Ocadena."

Menghela napas penuh kepasrahan, Garreth mengangguk. Sekali lagi mereka berpelukan di bawah langit senja berwarna oranye. Sewaktu salam perpisahan sudah terlalu lama, Mereka bergerak maju ke Tenggara. Memulai takdir baru mereka bersama penyihir yang penuh rahasia dengan seekor naga kecil berwarna perak, naga yang merupakan kunci dari sebuah kotak misteri masa depan.