Chereads / DAMAR The Breath of Gold and Silver / Chapter 17 - 17. PENYERGAPAN

Chapter 17 - 17. PENYERGAPAN

Di pagi harinya Damar terbangun dengan perasaan kesal. Dadanya terasa sakit, sendinya pegal dan tubuhnya penuh lebam biru. Ia juga mimpi buruk, ia mimpi tidur di kasur yang empuk dan Alazar membangunkan dengan tusukan tongkat eeknya di perut.

Ia bangkit dan melihat sekeliling, Alazar masih tidur sambil bersandar di sebuah tunggul. ia mendengkur dengan kepala naik turun. Di depannya Will tidur dibalut kantung tidurnya yang compang-camping. Damar mendengar suara eraman kecil "serang.. serang.." sepertinya Will masih bermimpi berlatih.

Biasanya setiap pagi Alazar selalu bangun lebih awal dan pergi berburu. setidaknya dia selalu membangunkan ia atau Will. Saat itu menjelang subuh cahaya masih remang-remang berwarna abu-abu. Alazar belum bangun, mungkin terlalu lelah melatih dirinya.

Damar merasa menang, pada dasarnya orang tua pasti akan kelelahan juga, pikirnya. Bisa juga mungkin karena ia bangun terlalu cepat?

Damar lalu menuju ke kandar Silvar, naga itu bangun melihat kehadirannya dan menyeruduk tepi-tepi kandangnya, merasa bosan. Damar tidak tega padanya.

"Aku ingin mengeluarkanmu, tapi jangan pergi jauh-jauh, kau mengerti?"

Silvar antusias, dan mengangguk.

Damar bimbang dan diam sebentar, lalu membuka kandang dan membiarkan Silvar keluar.

"Entah berapa lama lagi badannya tidak akan muat di kandang itu, aku ngerti sih," katanya sambil berjongkok mencoba membelai Silvar.

Silvar mengeram ke dalam hutan, lalu menggigit jari Damar, lalu melompat menghilang diantara akar-akar pohon yang padat. Damar kesakitan, ia merasa jengkel dan mengejar silvar masuk ke dalam hutan.

Hutan ini sesungguhnya tidak serapat Vardelle, Damar masih bisa bergerak lebih lincah dari Vardelle. Tapi akar pohonnya mencuat seperti sulur-sulur seukuran kaki orang dewasa dan bergelombang. Sudah tiga kali damar tergelincir.

"Kemana lagi sih naga nakal itu," katanya semakin jengkel.

Ia lalu berbelok ke kanan, damar hanya mengikuti bunyi derakan ranting semak yang patah. Setelah membelah semak dan sulur benalu yang menghalangi, ia menemukan silvar duduk dengan ekor bergerak-gerak di atas dahan besar pohon beringin.

"Hei! Kembali!" kata Damar berbisik kencang.

Damar lalu terbeku setelah beberapa saat dia mendengar bunyi derakan yang kencang di balik pepohonan di depannya. Suara itu seperti langkah yang mengendap-ngendap.

Jantungnya mulai berdebar, ia lalu bergerak hati-hati. Mencoba memanjat pohon beringin didepannya, ia memanjat cukup cepat karena terbasa memanjat di hutan Vardelle untuk mengawasi buruan. Sewaktu ia berada di dahan pohon yang sama dengan silvar, Damar mencoba tenang.

Ia memicingkan matanya dan mengawasi bawahnya dengan waspada. Beberapa detik kemudian Damar mendengar suara yang berat. suara ini pernah dikenalinya di Vardelle, seakan mahluk ini sudah berteriak ratusan kali hingga tidak bisa dibedakan suara seraknya. Terdapat dua morgul yang muncul di balik pepohonan yang rindang.

"Bagaimana? Kau melamun lagi kan!" kata suara serak morgul yang jangkung.

���A-aku yakin tadi mendengar sesuatu dari sini, tapi menghilang," kata morgul yang lebih pendek dan kurus, dengan jubah lilitan besi.

"Kita seharusnya kembali ke Dura, bagaimanapun gerakan kita tidak boleh sampai di curigai," kata morgul yang jangkung.

"Ini perintah Uzieg, mereka terpaksa harus ke Dura untuk membuat semua terlihat natural, dan kita yang harus menyisiri ini, asal kau tau aku tidak mau berlama-lama, mereka sudah berpesta sekarang!" kata suara yang lebih pendek, menyeringai.

Mereka diam sejenak, lalu morgul yang jangkung tersenyum tipis dengan taring-taring berwarna hitam kotor. "Kau tau? Si napas emas memang sangat mudah di bohongi," katanya cekikikan ngeri.

Morgul yang kecil ikut tertawa dan membuang ludah mencibir, "kita hanya tinggal menunggu saatnya masa kejayaan Zenoth kembali, setelah si napas emas hancur tentunya."

"Jangan lupa, masih ada napas perak, Zenoth lebih mengkuatirkan napas perak daripada napas emas, bodoh!" kata si jangkung.

"Bah, itu hanyalah ramalan, apa mungkin ramalan selalu menjadi kenyataan," kata si kurus kali ini mengibas pedang karatnya ke batang pohon.

"Kau bisa di penggal kalau Uzieg tau."

Sesaat kalimat itu mengambang, hingga mereka menyarungkan lagi senjatanya di pinggang, "Kalau tidak ada apa-apa, cepatlah tinggalkan tempat ini, aku sudah muak berpatroli seperti kerjaan manusia saja."

"Ngomong-ngomong soal manusia, apa kau ingat saat kita membantai orang-orang itu, di Acton?" kata morgul kurus memancing.

Morgul jangkung menjilati bibirnya dengan lidahnya, "Ah ya, wajah memelas mereka, meminta perhomohan untuk diampuni, sungguh puas sekali aku membantai mereka."

Mereka berdua lalu tertawa dengan sangat jelek, di atasnya perut damar terasa melilit dan mendidih. Ia sangat marah. Tangannya di kepal hingga lecet oleh kukunya, kalau bisa ia ingin rasanya menghabisi morgul itu saat ini juga.

Setelah itu morgul itu sekali lagi mengawasi dan pergi menghilang di balik batang-batang pohon yang rapat. Damar turun dari pohon dan langsung berlari dengan cepat, kembali ke kemahnya secepat yang ia bisa, di belakangnya silvar mengikuti.

Setibanya di kemah, Alazar sedang membakar tembakau dan merebus air hangat untuk minum. Will yang melihat Damar tiba bangkit mendadak dan berkata "Kau bodoh! Darimana.."

"Ada morgul!" Damar memotong.

"Morgul?" kata Will langsung mengambil busur di punggungnya.

Alazar sedikit terkejut tapi tetap tenang, ia menghembuskan cerutunya. "Bagaimana?"

"Silvar yang menemukannya, itu bukanlah yang penting sih, yang pasti mereka sedang menyisiri hutan ini, atas perintah uzieg, dan mereka membicarakan tentang napas emas dan napas perak!" kata Damar tersengal.

Alazar menyisir jengotnya dengan jarinya, "kata itu juga ada di dalam surat. Sepertinya kata itu memiliki arti yang penting, napas perak itu sesuai dengan silvar. Aku sepertinya tahu sesuatu tentang napas perak. Itu berkaitan tentang ramalan dari para bangsa elf, disebutkan oleh rada Eldrin tentang catatan elvish kuno. Ketika suatu perak telah tiba dan bernapas maka kilaunya akan menghapus kegelapan dalam bentuk apapun. Sedangkan napas emas? Entahlah."

Damar dan Will terbelalak, "Apakah benar silvar? Silvar hanyalah seekor naga dan ramalan itu terlsalu berat untuknya jika menjadi kenyataan."

"Sampai saat ini pun aku tidak mengerti napas perak yang dimaksud, itu bisa berarti banyak hal. Bisa dalam bentuk senjata, bisa wildster dan bisa juga sebuat spirit. Dunia kita penuh hal mistis nak, kita hanyalah bagian kecil dari takdir besar yang akan kita hadapi."

"Apa kau hanya mengetahui segitu?" kata Will.

"Ya sungguh," Alazar singkat.

"Terakhir kali kau tidak menceritakan kami bahwa kau mantan bagian dari bayangan Zenoth dan kami belum sama sekali mendengar apapun tentang masa lalu kau," kata Will, alisnya berkedut.

"Belum saatnya kuceritakan."

Will mengepalkan tangannya erat membentuk tinju, kesabarannya sudah habis.

"Apa kau ingin menjebak kami?" kata Will mengancam.

"Will hentikan!" kata Damar berlari mendekati Will yang kalap.

Sewaktu Will terus melaju mendekati Alazar, Alazar bangkit dan membuang cerutunya. "Aku akan menceritakan masa laluku. "Will berhenti, kepalannya tertahan dan ia merasa lega. Lalu Alazar melanjutkan, "Tapi setelah aku mengetahui apa napas emas ini, aku tahu kau pasti takut dan aku pun begitu apabila ada di posisi kalian. Tapi kurasa, ini berkaitan dan aku tidak ingin menceritakannya setengah-setengah."

"Omong kosong!" kata Will kembali tersulut.

"Pilihan kita ada dua untuk mengetahui apa itu napas emas.." kata Alazar lembut. "Kita sergap morgul tadi, memaksanya berbicara pada kita, atau bersabar dan menemui orang bernama Rayner itu? Dan pastinya kalian masih marah bukan mengingat pembantaian di Acton. Apa kalian tidak ingin sedikit membalasnya pada pembunuh mereka?"

Meski kesal Will mengangguk, lalu diikuti Damar. Setelah sepakat mereka mengepakkan perkemahannya dan mulai bergerak menyusuri jejak morgul di Westwood. Awalnya mereka sedikit kerepotan membujuk silvar masuk kandang, setelah di bubuhi potongan daging rusa kering, silvar diam menurut dengan sedikit jengkel.

Saat pagi hutan itu penuh aroma bunga dengan cahaya kuning redup yang membanjiri batang-batang mahoni dan cemara. Mereka bergerak cepat memperhatikan jejak-jejak lintasan morgul.

"Mereka bergerak sangat serampangan, mudah dikenali," kata Alazar sambil mengamati ranting yang patah tanpa terputus. Lantai hutan bekas pijakannya juga dipenuhi lumpur dengan bekas tapak sepatu boot yang besar.

Sudah hampir berjam-jam mereka mengikuti sisa-sisa jejak. Mereka mulai mendengar sedikit suara dari kejauhan didepannya. Alazar mengisaratkan untuk diam dan mereka berjalan merayap. Dihadapan mereka berdiri dua morgul yang sedang duduk di antara akar tunjang yang besar.

Cahaya pagi menjelaskan fisik mereka yang buruk, dengan kulit kecoklatan yang kasar seperti kayu lapuk dan rambut bergelombang berwarna keabuan. Mata merah mereka terlihat samar dan menyala. Saat itu mereka sedang membakar sebuah tikus hutan sebesar telapak kaki.

"Kau sudah terlalu banyak makan, bodoh!" kata si morgul yang kurus, memperlihatkan taringnya.

"Diam, aku mudah lapar tidak sepertimu!" kata morgul jangkung.

"Kita masih jauh dari Dura, apa kau masih mau memperlambat perjalanan kita kembali? Cepat selesaikan makanmu dan kita terus bergerak!"

Mereka saling pandang dan mengeram, air liur merembes dari mulutnya. "Kau terlalu banyak bicara, ceking!"

Di balik tunggul damar berbisik, "mereka berkelahi!"

Si morgul jangkung lalu mencekik morgul yang lebih pendek hingga lidah kawannya terjulur dan mengangkatnya sampai ia mendongak.

"Kau seperti beo saja, banyak bicara tapi tidak berguna!"

Morgul yang tercekik mengibaskan kedua kakinya yang melayang di udara, tapi sia-sia. Dalam beberapa menit morgul ceking itu terangkat, dan tubuhnya mulai lemas. Wajahnya mengkerut seperti roti basi dan mati dengan mulut ternganga.

"Ups, kau sudah mati ya, ceking?" kata si morgul besar merasa menang. Dia melemparkan kawannya seperti seonggok karung buah hingga membentur pohon besar dan tergeletak di atas rumput yang dipenuhi belalang.

Sewaktu Morgul dia menepuk-nepuk tangannya di pinggul kekarnya untuk membersihkan debu dan bercak, dua anak panah berdesing menembus kabut tipis dan menancap di kaki kanan dan lengan kirinya.

Seketika morgul itu terjatuh, ia meraung hebat, seperti anjing yang menginjak paku. Damar dan Will melesat maju dengan menggenggam belati. Menghunusnya di hadapan morgul yang kesakitan itu.

"Bajingan!" kata Morgul itu murka, darah hitamnya mulai merembes di antara rumput-rumput kecil.

"Yang bajingan adalah yang membunuh kawannya sendiri, yah, bagaimanapun ras kalian tetaplah ras busuk!" kata Will hendak menebas leher morgul itu, tapi Damar menahannya.

Alazar dibelakangnya bergerak mendekat, ia lalu setengah bersujud dengan menumpu pada tongkat eeknya menatap wajah morgul itu dengan tatapan serius.

"Apa itu napas emas?" katanya singkat.

Dalam baringnya morgul itu meludahkan darah hitam ke arah wajah Alazar, Alazar menghindarinya tapi sedikit percikannya mengenai jubah abunya, hingga ia murung. "Bah, siapa kalian sampai aku harus peduli untuk memberitahukannya!" katanya sombong.

"Du vrongar," bisik Alazar sambil terpejam.

Api biru melingkar di panah yang tertancap, seperti untaian benang yang bergejolak dan makin menyambung menjadi kobaran api yang menyelimuti kedua anak panah itu. Morgul itu semakin menjerit dan wajahnya lebih menyedihkan daripada morgul kawannya yang mati.

"Hentikan, panas! Sakit!" katanya memelas dengan parau.

"Aku bisa membuat api itu menjalar melalui urat nadimu dan mengalir seperti darah kental kalian. Membakar secara perlahan tanpa membunuh dalam berhari-hari, penasaran?" kata Alazar mncibir dengan lembut.

"Apa yang kalian inginkan! Kau penyihir busuk! Apa kalian dari Acton? Kalian ingin membalas dendam? Bunuh saja, cepat!" katanya menunjukan taringnya mengancam.

"Balas dendam itu terlalu emosional," kata Alazar, dibelakangnya Damar menyeringai. "Yang kami butuhkan adalah informasi, tentang napas emas dan napas perak yang kau dan bangkai temanmu bilang."

Morgul itu tertawa memaksa, hingga darah menyembur dari mulutnya. "Bah, aku tidak akan pernah memberitahu kalian!"

Alazar merapalkan mantranya lagi hingga kobaran api biru itu membesar dan bergejolak, asap merembes dari tubuh morgul itu seperti daging beku, ia lalu menggeliat dan menjerit.

"Bunuh saja dasar tolol!" katanya pasrah.

"Masih tidak mau bicara?" kata Alazar sedikit mengancam.

Raut wajahnya semakin mengkerut, ia mulai sedikit ketakutan dan merintih menyedihkan.

"Napas emas itu, terlalu bodoh, dengan mudahnya Zenoth membodohi para napas emas," kata si morgul mencoba menyeringai sambil merintih. "Lagipula apa pentingnya informasi itu bagi kalian, manusia rendahan?"

Will mengepalkan tangannya sampai urat-uratnya berkedut. Kepalanya serasa mendidih menahan emosi yang dalam, ingin rasanya dirinya segera memecahkan kepala morgul itu tapi Damar menghalangi.

"Kalian para pembantai penduduk Desa Acton, akan kubalaskan dendam mereka, dasar mahluk menjijikan!" kata Will sungguh-sungguh.

Morgul itu tertawa dengan lemas, "Kalian juga bodoh rupanya, pembunuhan itu juga ada sangkut pautnya dengan para napas emas. Apa kalian mengira hanya kami yang busuk?". Morgul itu semakin melemah dan kelopak matanya menghitam mulai sayup-sayup. "Kalian sungguh naif."

"Begitu," kata Alazar lalu iya mendekatkan tubuhnya ke arah morgul yang tersiksa itu, membuka jubah coklatnya yang lusuh hingga menampakkan tubuhnya. Sebuah simbol bulatan penuh berwarna putih yang tertimpa bulatan hitam pekat dan hanya menyisakan sedikit garis putih seperti gerhana cincin, di sisi lingkarannya terdapat guratan hitam rumit seperti sulur-sulur yang menebal dan menipis.

Morgul itu terbelalak, mata merahnya membesar dan ia murka namun kembali terbatuk darah hitam. "Kau! Simbol itu juga terdapat di tuan kami Uzieg, simbol para banyangan, pelayan setia Zenoth!". Sesaat Morgul itu diam dan mencerna situasi. "Manusia.. Penyihir.. kau pasti adalah…"

"Alazar.."

"Kau penghianat, ha!" katanya ingin meninju Alazar dalam tubuhnya yang berbaring, tapi terlalu lemas. Tidak lama ia terkekeh mengerikan. "dan kandang kotor itu pasti berisi telur curian Dario! Asal kau tahu saja, Zenoth menghadiahi imbalan yang sangat besar untuk kaum kami dan para napas emas demi kepalamu. Saat ini Uzieg sangat murka dan ingin sekali menangkap dirimu dan anak buahmu itu!"

Perut Will dan Damar terasa melilit, kami sudah menjadi buronan.

Wajah Alazar berseri, " tangkaplah aku kalau bisa, Tapi lihatlah dirimu sekarang, tersiksa eh?"

Alazar berdiri, mencabut tongkat eeknya. "Sepertinya kau keras kepala, kuputuskan untuk meninggalkanmu dengan api sihirku yang abadi. Pelan-pelan api itu akan membakar dagingmu dari dalam dan sangat pelan sampai kau merasa seperti tusukan jarum kecil yang tumbuh dari sumsum tulangmu!"

"Cih! kau penghianat brengsek!"

Sewaktu Alazar bergerak meninggalkan Morgul itu, Damar dan Will mengikuti. Mereka ingin merasa kasihan. Morgul itu seperti bangkai yang hidup. Berbau semakin busuk dan hangus. Will menahan muntah lagi, tapi ingatannya tentang anak-anak yang mati dengan keji di Desa Acton membuatnya kembali yakin atas tindakan Alazar.

Dalam langkahnya yang mulai menjauh, morgul itu merintih seperti babi yang dibakar, dalam sakitnya ia mencibir, "Aku ingat saat Uzieg bercerita tentang Dario yang pucat di ujung kematiannya, ah ya.. memohon untuk mati."

Alazar marah, kepalanya seperti dihujam belati kasat mata. Dalam amarahnya ia memperkuat sihirnya dan menghanguskan Morgul itu hingga dia menjadi abu berwarna hitam.

Damar dan Will terbelalak, tapi tidak lama mereka melangkah maju ke dalam hutan, semakin mereka masuk jauh ke dalam westwood suara mahluk asing bergema di dalam hutan. Di hutan ini, akan banyak hal ajaib menanti mereka dalam rimbunnya kanopi-kanopi westwood.