Perut Damar keroncongan.
Ia berbaring di atas rerumputan jarang dengan kedua kaki terlipat, sudah berjam-jam dia berlatih mengendalikan energi dalam. Latihan ini terasa lebih berat daripada dia harus berburu rusa di Vardelle selama tiga hari penuh.
Kemajuan yang dialami damar melebihi Will dan bahkan berbeda sama sekali. Di sebelahnya Will masih bersemedi memejamkan mata, mencoba merasakan uap hangat yang keluar dari pori-pori tubuhnya. Tapi tidak ada sama sekali. Will terlihat frustasi, ia berkali-kali bangkit lalu melepas anak panah ke arah pohon pinus di sekelilingnya. Semua anak panahnya tepat mengenai buah-buah pinus itu tanpa tersisa. Seperti biasa, Will memiliki pandangan yang sangat tajam.
Damar mengesampingkan rasa laparnya, ia mencoba tenang dan tersenyum.
"Kau memiliki sesuatu bakat yang lebih hebat, heh?" kata Damar tersenyum lepas.
"Tapi lawan kita mungkin bukan sekedar mahluk yang mati dengan anak panah kan?" kata Will masih jengkel.
"Setidaknya musuh itu belum terlihat saat ini dan kita masih terus berlatih," kata Damar mengusap keringatnya karena terik semakin tinggi.
"Aku mengkuatirkan dirimu," kata Will lesu.
"Jangan begitu," Damar memerah. "Aku sudah bukan anak kecil lagi, kita tumbuh bersama-sama di hutan Vardelle bersama para pemburu yang handal. Suatu saat aku tidak bisa selalu mengandalkanmu, kita harus saling membantu Will."
"Well, caramu bicara semakin dewasa saja," kata Will tertawa tipis. "Tapi aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengontrol energi dalamku, berbeda denganmu."
"Aku tidak tau, mungkin berkaitan dengan sesuatu yang akan kita ketahui nanti."
Mereka berdua lalu menatap langit yang biru dengan awan yang sedikit. Hembusan angin saat itu sangat jarang, membuat mereka kepanasan. Sewaktu tubuh mereka terpapar terik matahari yang menyengat. Mereka teringat tentang Uzieg dan para morgulnya, kematian penduduk Acton seperti binatang.
Perut Damar serasa terlilit dan amarah mulai memenuhi dadanya.
"Sihir atau fisik, kita akan menjadi kuat. Aku harus memastikan kematian penduduk Acton akan terbayar dengan kematian Uzieg," Kata Damar tiba-tiba.
Dari kejauhan Alazar melambai, bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Alazar meminta untuk berlatih sambil berjalan, dia kuatir keberadaan mreka akan mudah di ketahui Uzieg dan anak buahnya. Mereka harus bergerak lebih cepat.
Setelah itu, mereka melanjutkan hampir seminggu mereka berjalan menyusuri sungai dan dari tempat mereka memulai langkah ke Barat, dari kejauhan mereka bisa melihat struktur menakjubkan Bardford.
Kota itu dibangun dua tingkat. Tingkat pertama berada di luar tembok yang dibangun dengan struktur batu granit putih yang rata. mereka bisa melihat bangunan-bangunan beratap yang kecil. Bardford terlihat sangat indah di kejauhan, gumpalan awan putih seperti kapas mengumpul menyebar di atas kota itu. Menara pengawas setinggi lima belas meter menjulang bewarna kuning dengan ukiran kapak dan pedang menyilang.
Sebelum mereka tiba di Bardford, Alazar meminta mereka menepi di pohon mahoni yang besar, untuk berteduh dari terik yang panas.
"Ingat bahwa kota di depan kita adalah kota dalam pengawasan kerajaan Gallard," kata Alazar kuatir. "Kita memiliki tugas untuk mencari orang bernama rayner dan menyerahkan surat ini untuk selanjutnya mengetahui apa dibalik si napas emas."
Damar menelan ludahnya, jantungnya berdegub kencang.
"Apa mereka tau tentang kita?" katanya sambil melihat Bardford lagi dari kejauahan.
"Aku belum bisa memastikan hal itu sayangnya, kita baru menjadi buronan untuk kaum morgul, tidak dengan anggota kerajaan."
"Untuk sementara kita akan berkemah di sini, kita harus mengetahui kapan saja prajurit kerajaan patroli," Alazar mencari-cari sesuatu seperti ranting dan mencoret tanah dengan ranting itu, membentuk sebuah lingkaran yang kasar. " Pusat kota bardford adalah kota berbentuk lingkaran yang dikelilingi tembok di luar tembok hanya berdiri desa-desa rumah kecil."
"Kau sepertinya pernah ke Bardford?" kata Will curiga.
"Ya, dulu untuk sesuatu yang tidak penting, aku pun sudah tidak terlalu ingat isi kota itu," Alazar mulai murung.
Setelah itu Alazar mendiskusikan hal penting terkait rencana memasuki kota. Awalnya dia menawarkan diri untuk masuk terlebih dulu, melihat situasi dan kembali ke perkemahan untuk memberitahukan hasilnya. Selama Alazar berada di kota untuk mengintai, dia menyuruh Damar dan Will untuk teus belatih sihi sambil sesekali berlatih pedang.
Saat itu Damar kurang setuju dengan ide itu, dengan keadaan tanpa Alazar mereka merasa seperti harus terus brsembunyi dan ketakutan kalau sesuatu terjadi pada Alazar. Kesepakatan di awal adalah mereka melalui ini bersama-sama dan terpisah bukan ide yang mnurutnya benar.
Will sedikit setuju dengan Alazar, Will merasa apabila mereka berjalan bersamaan bertiga di dalam kota yang penuh dengan prajurit gallard akan menambah peluang untuk di curigai, belum lagi Silvar yang harus mereka jaga dan mereka bawa.
"Tentunya kita tidak akan selalu bisa menjaga silvar tetap tenang ketika di dalam kota, kan?" katanya meyakinkan.
Alazar mengangguk dan menunggu jawaban. Sejenak ia kembali membakar cerutunya dan menghembuskan dengan sangat panjang. "Percayalah ini tidak akan lama, aku lebih mudah melarikan diri daripada kalian, setelah kupastikan siapa itu Rayner, aku akan menjemput kalian dan kita bisa langsung menemuinya."
Damar melihat ke arah langit yang biru, ia mempertimbangankan lagi keputusan ini. Ia berdiri dan melihat Silvar yang berlarian dan mencoba memanjat pohon cemara di dekatnya dengan cakar yang tajam, mencoba meraih cicak liar. Damar lalu mengangguk, "Baiklah, sementara aku di sini bersama Will, kembalilah dengan berita yang memuaskan alazar."
Alazar mengangguk dan mulai bangkit, ia kemudian berjalan ke arh kota yang terlihat kecil dari kejauhan, Alazar menutupi kepalanya dengan tudung jubahnya. Damar melihatnya mulai mengecil perlahan dan akhirnya menghilang.
*
Hari masih pagi ketika Damar terbangun, cahaya samar merembes melalui daun jarum dari cemara, membangkitkan semangatnya. Di sebelahnya Will masih tertidur pulas dengan gumam singkat, "terangkat, batunya terangkat."
Damar mencoba terlentang lagi, tapi matanya melirik sesuatu yang bergelantungan di atas. Merasa terganggu, ia bangkit dan mengerang, melemaskan sendi-sendirnya yang kaku. Ternyata di atas sedang bergelayutan seekor naga perak yang terpantul cahaya pagi. Warna peraknya sangat terak menusuk.
"Sudah ahli memanjat kau sekarang," katanya sambil menguap.
Damar lalu memanjat pohon cemara itu, kulit cemara itu kasar dan bercelah lebar. Membuatnya memanjat lebih mudah daripada segala jenis pohon di desanya dulu di Vardelle. Dalam beberapa menit ia sudah tiba di dahan yang sama dengan silvar, silvar bergetar dalam tidurnya yang melingkar. Menyadari kehadiran Damar ia berguling dan menguap, gigi taringnya yang tajam putih mencuat dan cuping hidungnya mengeluarkan asap.
Berkali-kali Damar tidak pernah kehilangan pesonanya terhadap silvar. Ia merenung sejenak, lalu duduk di dahan pinuh itu dalam waktu yang cukup lama. Ia memandang kota Bardford dari kejauahan. Dari ketinggian itu ia melihat dinding kota yang melingkar di tengahnya dengan gerbang jeruji besi yang besar. Di dekatnya berdiri menara-menara pemantau dari genting berwarna putih. Di bawahnya desa-desa kecil berdiri berwarna jerami. Dengan banyak ladang berwarna hijau kekuningan.
"Kota itu sangat megah, berbeda dengan desa kami di Vardelle," katanya kepada silvar di sebelahnya. Silvar menguik malas. "Kau tidak menarik sekali sih."
Tidak lama, ia mendengar Will memanggil dari bawah, mukanya masam karena baru bangun tidur. Tapi ada sedikit senyuman yang jelas. Ia menuruni dahan demi dahan untuk menemui Will, lalu ia sedikit meledek, "batunya sudah bisa terbang juga ya, kau berhasil."
Muka Will memerah dan ia merasa malu, "apa sih?"
"Mimpimu yang mengatakannya."
Will jengkel dan ia merasa sangat malu, ia kemudian berjalan memunggungi Damar mencari bebatuan yang besar untuk di naiki, lalu memejam mata dan mulai kembali berlatih sambil memejamkan mata.
"Kau mau sarapan?"
"Duluan saja, aku sedang bersemangat berlatih," katanya sambil terpejam. Lalu damar mendengar bisikan seperti gumam dari mulutnya yang terus bergerak. Damar tertawa cekikikan kecil, ia meninggalkan Will untuk berburu bahan makanan.
Di dalam hutan kecil di dekat Bardford, damar mengamati seekor kelinci coklat sedang keluar dari sarangnya di balik lubang kecil. Ia mengamati kelinci itu dengan waspada. Sambil memegang belatinya di pinggang, Damar merayap perlawan, menghindari bunyi sekecil apapun.
Sesaat bunyi ranting terinjak terdengar kecil, menarik perhatian si kelinci coklat itu. Tapi beberapa detik kemudian kelinci itu merasa keliru dan kembali tenang dan mengunyah rerumputan dengan gigi kecilnya.. Damar menelan ludahnya, ia bernafas sangat pelan sekali hingga ia sadar hidungnya jadi terasa hangat.
Sewaktu jarak antara kelinci dan damar tinggal tiga meter, ia bersiap melompat. Damar sudah memperkirakan tusukannya akan cukup langsung membunuh kelinci itu tanpa rasa sakit. Ia bersiap melompat sambil mengatur napas. Tapi ia terlonjak karena bunyi derakan yang datang tiba-tiba. Silvar melompat di belakangnya menaiki punggung dan bertengger di bahunya. Gerakan dia cepat hingga membuat kelinci itu sadarm lalu menghilang ke arah semak.
Damar jengkel, ia mengantungi lagi belatinya di pinggang dan bangkit untuk melihat sekeliling ia berjalan menjauhi hutan itu untuk keluar dari sisi lainnya.. Ia melihat hamparan savana hijau terbentang dengan titik-titik putih yang anggun.
Tanaman dandelion liar tumbuh membentang dengan berbagai capung berwarna terbang melintar hilir bergantian. Damar merasa takjub, sambil membawa silvar di pundaknya, ia menunduk rendah, memetik satu helai dandelion yang ukurannya bulat seperti telur. Damar lalu meniupnya dan helai bunga berterbangan di iringi capung berwarna-warni di sekitarnya.
Kesenangan itu tidak lama sampai ia mendengar suara derakan lagi di kejauhan. Matanya mulai waspada mengawasi asal bunyi dan iya menunduk kembali. Apakah suara itu asalnya dari hewan liar? Wildster?
Tidak, tidak mungkin wildster. Alazar sudah menjelaskan di daerah dekat kerajaan tidak mungkin hidup wildster, kerajaan sudah membasmi semua jenis wildster yang tinggal di daerah gallard.
Jantungnya mulai berdegub kencang, kemungkinan terburuk yang merasuki pikirannya saat ini adalah bunyi itu berasal dari sepatu boots tebal milik morgul. Posisi Damar saat ini sangat buruk. Iya berada di lahan terbuka dengan alang-alang setinggi lutut yang menghalangi. Kalau benar morgus melintasi daerah ini, ia pasti ketahuan dan Will masih jauh di belakang.
Damar mengangkat tangannya, membelah alang-alang, mengintip di balik celah daunnya yang panjang dan tipis. Sosok itu mulai terlihat muncul di balik pepohonan. Seorang anak muda bertubuh lebih pendek darinya berjalan, mengamati. Anak muda itu bertubuh lebih gemuk sedikit dengan rambut hitam yang tumbuh berantakan. Ia menggenggam sebuah buku tebal yang dibawanya dengan susah payah dan tergopoh-gopoh.
Sesekali ia berhenti di tempat tertentu dan membuka bukunya, lalu menyumpah dirinya sendiri dengan cacian. Damar memperkirakan anak itu berusia dua tahun atau tiga tahun di bawahnya.
Damar mengikuti, ia sadar anak itu bukan sesuatu yang berbahaya, lagipula Silvar sangat tenang bertengger di bahunya tanpa suara. Biasanya dia sangat galak ketika mencium seseorang yang berpotensi menjadi musuh, pikirnya.
Mereka tiba, di suatu kumpulan tanaman dengan bunga berwarna merah mekar seperti terompet dengan sulur berwarna kuning. Anak itu diam dan membuka halaman bukunya dengan sangat cepat. Sampai dalam keheningan yang singkat, ia terlonjak dan mengumpat.
"Aha!"
Bunga itu dipetiknya dan di hirup. Ia merasa sangat tertarik dan mengangguk senang. Prospek ini membuat Damar semakin penasaran. Apa yang dia temukan?
Ia berjalan perlahan mengendap, anak itu tidak menyadari. Lalu dengan tiba-tiba Damar menyentuh pundaknya dan berkata, "Apa yang kau temukan?"
Anak itu kaget luar biasa, jantungnya serasa di tikam oleh pisau dan ia terjatuh sebelum menengok ke belakang. Bunga-bunga yang sudah dia kumpulkan jatuh bertebaran, memenuhi tubuh dan wajahnya.
"Siapa kau!" katanya mengancam dengan suara cicitan.
"Maaf mengagetkan, tapi aku tertarik dengan apa yang kau temukan," kata Damar tidak sabaran.
Anak itu menarik napas panjang, mengelap keringat dahinya dengan kaus beludru lalu berkata, "Aku menemukannya, untuk percobaanku. Kurasa buku, ramuan dasar dari…"
"AH! Dragona!"
Damar panik bukan main, dia lupa silvar masih bertengger malas di bahunya, sesaat ia merasa seperti harus membuat pingsan anak itu di depannya dan berharap dia akan lupa ingatan. Apakah anak itu akan pingsan melihat silvar? Katanya panik.
"Luar biasa! Kau dapat dimana dragona! Naga! Dan dia masih kecil?" kata Anak itu mencoba bangkit, dan ia lupa dengan bunga-bunga koleksinya lalu mengamati silvar dengan bahagia.
"Err, kau cukup mengetahui tentang wildster ini?" kata Damar mencoba tenang, sambil memikirkan cara membuat anak ini pingsan.
"Aku tahu! Semua tertulis di dalam buku catatan perjalanan Elias Heart 'Panduan Wildster Kuno Selama Perjalanan'."
"Panduan Wildster, err elias, apa?"
"Sudah kuduga kau seperti anak-anak lainnya di Bardford, pengetahuanmu payah!" kata Anak itu mengacuhkan damar dan mengamati Silvar seperti suatu permata indah yang tidak terlepas dari pandangannya. Silvar hanya membalas menatapnya lalu menguap.
"Dia akan segera remaja, ah dia menguap, pasti kau memberinya makan yang cukup! Menurut Buku Elias, naga yang menuju remaja akan mudah mengantuk dan mengisi perutnya dengan makanan cukup banyak untuk membuatnya cepat besar."
"Hmm," Damar berpura-pura mengerti, dia merasa benar, Silvar sudah memburu cicak hampir semalaman sebelum akhirnya dia tertidur malads di dahan cemara.
"Well," kata Damar singkat. "Semua sudah terlanjur, aku sebetulnya tidak ingin memperlihatkan naga ini kepadamu, karena sangat rumit. Tapi ku akui kau cukup mengenal jenisnya. Kau berasal dari Bardford? Siapa kau? Aku Damar dan dari err.. Utara mungkin."
Anak itu kembali kagum, matanya terlihat berkaca-kaca dan ada air mata kesenangan, "Kau petualang! Tidak heran kau memiliki dragona! Ceritakan, ceritakan petualanganmu! Ah ya namaku Harith."
Wajah Damar tersipu malu dan memerah. Ia terlihat sedikit tegas meskipun hatinya senang karena merasa seperti punya seorang bawahan. Tapi ia tidak boleh gegabah. Apabila anak ini membocorkan rahasianya, mereka dalam bahaya.
Damar diam sejenak, didepannya Anak itu diam memandang Damar dengan tatapan yang riang. Lagipula tidak ada salahnya, Alazar tidak akan kembali secepatnya ke kemah mereka. Berteman dengan penduduk Bardford mungkin dapat memberinya informasi untuk dirinya dan Will selagi menunggu Alazar kembali. Apa salahnya bercerita kepada anak kecil.
"Baiklah, err. Harit.."
"Harith! Harith Aberdein."
Nama itu memiliki marga yang bagus, pikir damar ragu. Apa dia anak bangsawan? Ah mungkin nama penduduk kota yang megah memang bagus, ia tidak pikir panjang.
"Oke, kita bisa kembali ke kemahku tidak jauh dari sini."
Anak itu melompat kegirangan, dia menepuk paha dan bajunya yang terpapar debu dan memunguti bunga-bunga itu lalu membawa bukunya. Anak itu terlihat sibuk sekali dan repot. Damar hanya cekikikan.
Mereka lalu bangkit dan mulai berjalan kembali.
"Sebelumnya aku ingin kita sepakat, ceritaku mungkin akan istimewa. Kurasa tidak bijak kalau ada prajurit yang-"
"Pasti!" kata Harith mendadak, "Akupun tidak terlalu meyukai mereka, kau tau, para prajurit emas itu terlebih pamanku juga sedang bingung tentangnya."
"Eh, paman? Siapa kau maksud paman?" kata Damar penasaran.
"Pamanku, umm bukan apa-apa Damar, " katanya tersenyum lebar, "Dia tinggal di sisi Bardford, nanti kuajak kau kesana, untuk mampir?"
"Well, nanti-nanti," kata Damar menyeringai.
Mereka berjalan dengan santai, melintasi alang-alang yang rimbun menuju hutan kecil di depannya. Perjalanan itu terasa sejuk, sudah lama Damar tidak bercakap-cakap dengan orang lain tanpa kecemasan. Dia dengan Harith sudah sangat membaur. Mereka lalu melewati pohon-pohon cemara yang berlumut tipis.
Will pasti sudah sangat kuatir, ataumungkin dia masih sibuk berlatih pengendalian energi hingga tidak terlalu memerdulikan dirinya. Hutan ini lagipula aman, tidak ada hal-hal ajaib ataupun sesuatu yang jahat di dekatnya.
Sewaktu mereka tiba, Will masih berdiri di atas batu, wajahnya sangat kesal dan jengkel. Damar sadar sepertinya latihannya tidak berjalan mulus. Ketika ia mulai terlihat oleh Will, Will kaget bukan main. Ia lalu berdiri dan menunjuk dengan marah, "Kau.. Kau bersama siapa?"