Chereads / DAMAR The Breath of Gold and Silver / Chapter 21 - 20. Pengakuan Alazar

Chapter 21 - 20. Pengakuan Alazar

Will nampak tidak senang, perasaannya saat itu dipenuhi kejengkelan dan kekesalan karena hampir seharian dia belum dapat mengontrol energi dalam miliknya. Berkali-kali dia merasa energi dalam itu hanyalah bualan belaka dan tipuan dari penyihir. Tapi ketika dia melihat Damar yang semakin mahir mengangkat sebuah batu dengan energi miliknya. Dia sadar energi itu ada dan dia hanyalah terlalu lambat untuk menguasai pengontrolannya.

Dia mencoba berpaling dari latihannya dan melihat ke dekat kemah. Kali ini dia ingat ada seorang anak muda bernama Harith yang entah bagaimana bisa semudah itu akrab dengan Damar. Bagaimanapun Will juga menganggap Damar sebagainya adiknya. Mereka berbeda 3 tahun. Namun yang menjadi masalah untuk Will adalah kekuatiannya terhadap rahasia yang mereka bawa bersama misi menuju Horien.

Will berjalan lambar, berpura-pura latihan lalu menguping percakapan Damar dan Harith. Sejujurnya dia masih belum mempercayai Harith.

"Apa? Kau bisa berbicara dengan naga ini? Siapa tadi namanya, ah iya! Solphin!" kata Harith penuh semangat.

"Silvar! Aku belum bisa bicara dengannya, entah mungkin dia belum cukup dewasa untuk mau berbincang denganku."

Will mengepalkan tangan, dia tidak tahan lagi. Ia mendadak muncul di balik semak. Harith terlonjak menjatuhkan gelas berisi rebusan bunga rosmela.

"Kau kenapa sih?" kata Damar kesal.

"Apa kau sinting?" katanya menganga, "Kau mau menceritakan semua tentang itu kepada anak kecil yang baru kau kenal tadi siang!"

"Hei, aku bukan anak kecil lagi, aku berumur 12 tahun!"

"Itu termasuk anak kecil!" kata Will dengan nada nyaring, "Kita tidak tau dia siapa, bukannya Alazar sudah memberitahu untuk merahasiakannya?"

"Oh tidak, apakah dia terlihat sangat membahayakan? Ayolah! Aku juga membutuhkan teman, lagipula pengetahuannya lebih dari kita!" kata Damar, membela.

"Pengetahuan apa?" Will sedikit tertarik.

"Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu ketakutan sih? aku hanya menyebutkan karakter sifat-sifat dari naga ini, semua tertulis jelas di buku panduan Wildster kuno milik Elias Heart."

"Buku panduan?" kata Will menelaah.

"Aku dan pamanku sangat suka mengoleksi buku-buku dari pada pedagang nomaden yang singgah di bardford tiap setahun sekali. Di rumahku berjejer banyak sekali buku, tentang ramuan, petualangan dan wildster," Kata Harith, wajahnya berseri.

"Lihat? Dia sangat pintar! aku tertarik dengan apa yang dia pelajari," kata Damar.

"Well, pedagang nomaden itu juga singgah di desa kita kan, meskipun memang mereka tidak terlalu tertarik menawarkan dagangan berupa buku. Yah.. dulu kita tidak peduli dengan itu sih, kita hanyalah pemburu," kata Will.

"Tapi kalian bukan penjelajah? Seperti Elias Heart!" kata Harith, ada kekecewaan di wajahnya sedikit.

"Well, aku tidak tau siapa itu Elias Heart, kami pemburu dan secara sebutan lain memang kami sedang melakukan sesuatu yang penting, tapi itu bukan urusanmu," kata Will dingin, lalu dia duduk dan menyeduh teh.

"Ayolah, Will. Kau pasti tertarik padanya kan, lagipula kita tidak ada kerjaan di sini, kita bisa banyak mendapatkan hal dari dia," kata Damar.

"Begitupun aku bisa mendengar kisah petualangan kalian!" kata Harith.

Will masih ragu, ia mengusap dagunya dua kali.

"Kenapa kau tidak takut pada Wildster? Bukannya semua orang di daerah gallard sangat takut dengan kehadiran Wildster, tapi kau nampak tertarik," Will masih curiga.

"Tidak untukku! Aku bukan lahir di wilayah Gallard, aku lahir di Moriandor, di sana mereka percaya Wildster memberikan keseimbangan untuk kehidupan. Pamanku pun mengajariku bahwa Manusia dan Wildster seharusnya bisa hidup berdampingan seperti apa yang banga elf coba lakukan dulu!"

Damar dan Will terbelalak. Mereka merasa kagum dengan jawaban Harith. Mata Will mulai berkaca-kaca sekarang, ia terlihat sangat tertarik. Sejenak suasana hening karena Will seperti beku mendengan jawaban Harith.

"Dan bagaimana kisah petualangan kalian? Kurasa sekarang aku sangat ingin mendengar kisah perjalanan kalian."

Damar memejam seperti mempertimbangkan, lalu menghembuskan napas dan berkata, "Well, sangat sulit kukatakan tapi kita sedang dalam.."

"Pengembalian anak naga," kata Will memotong Damar. Ia langsung menatap Damar dan mengedipkan matanya. "Seperti yang sudah Damar bilang, dia menemukan anak naga ini di desa kami di Vardelle, desa itu sangat jauh dan terlalu hijau hutannya. Kami sangat kuatir apabila naga ini besar dia akan menghabiskan seluruh hewan buruan kami di hutan, lagipula siapa yang berharap ada naga besar terbang di atas rumah mereka selagi mereka sedang makan bersama anak-anaknya," kata Will mencoba berkelit.

Harith menganga dan ia merasa takjub, "Misi kalian luar biasa. Naga memang seharusnya hidup di tebing-tebing curam dan pegunungan yang besar. Dia harus membuat sarang di celah bebatuan cadas untuk melindungi anaknya. Kupikir jenis naga sudah punah, tapi tak kusangnya masih ada di dekat desa kalian. Ini luar biasa aku harus mencatatnya!"

Damar merasa bersalah, tapi ia sedikit lega. Nyaris saja ia menceritakan tentang teror morgul di desanya dan tentang pemburuan telur ini oleh gallardian. Seharusnya Harith tidak mendengar tentang kisah itu, ia berterima kasih dengan Will yang membuat cerita yang cukup masuk akal.

Setelah itu mereka saling bergantian bercerita, Harith bercerita tentang pembuatan dasar ramuan, bahwa di luar sana ramuan memiliki fungsi penting untuk pengobatan dan peperangan. Tapi Harith lebih tertarik sebagai pengobatan, dia sedang mencari bunga rosmela untuk percobaan ramuannya dalam mengatasi sulit tidur, kata buku itu ramuan dari tiga siung rosmela dengan campuran teh akan membuat tidur lebih nyenyak.

Waktu terasa sangat cepat hingga matahari semakin hilang di batas horizon. Sewaktu angkasa menunjukan warna violet kebiruan. Harith beranjak, dia sadar dia sudah berada di sana cukup lama. Pamannya pasti marah dan mencarinya. Sebelum dia pergi, dia meminta izin untuk kembali lagi suatu hari nanti.

Harith akan membawakan bukunya yang berjudul, ,panduan Widster Kuno milik Elias Heart. Damar sedih, seakan dia merasa sangat dekat dengan Harith. Anak itu sangat asik dan periang. Mengingatkannya pada desa Vardelle.

Sewaktu, Harith mulai berjalan meninggalkan kemah Damar dan Will. Ia berkata sambil melambai, "Mungkin aku akan sulit ke sini lagi, kurasa tidak bisa besok, pamanku akan melarangku pergi selarut ini. Tapi aku akan menceritakan kisah perjalanan kalian! Dia pasti akan sangat senang."

Damar tersenyum dan membalas melambai.

"Jangan sampai membuat pamanmu kuatir lagi anak nakal! Sampaikan salam kami pada pamanmu!" kata Will terkekeh.

"Tentu! Paman Rayner pasti akan senang, semoga aku bisa segera menemui kalian lagi para petualang dari Desa Vardelle."

Nama itu seolah mengambang di udara. Damar dan Will berdiri membeku seperti patung. Dilihatnya Harith berlari menuju siluet Bardford dan menghilang dalam beberapa detik. Damar dan Will saling pandang, mereka menelan ludah dan berkata kaku, "RAYNER".

*

Dua hari setelah kedatangan Harith, Damar mondar-mandir tidak karuan di tepi perkemahannya. Ia tidak dapat kabar apapun dari Alazar di Bardford, ia belum saja kembali. Ia memelototi kota Bardford di kejauahan lalu kembali mondar-mandir. Damar menghentikan langkahnya ketika perutnya terasa lapar.

Silvar dilihatnya sedang berlarian di atas batu, menggapai kupu-kupu berwana biru yang terbang mengejek. Silvar mengepakkan sayapnya seperti kipas kecil. Ia berusaha terbang dan melompat dari batu, mencoba menghukum kupu-kupu itu dengan memakannya. Sewaktu dia melompat dan mengambang di udara, sayapnya mengepak hebat. Tapi kemudian tidak lama ia terjatuh ke alas rumput. Uap kecil keluar dari cupingnya, ia merasa jengkel.

Will sedang membakar daging kelinci yang sangat wangi, di sampingnya tergeletak gelas berisi seduhan rosmela beruap. Harith banyak meninggalkan bunga-bunga rosmela untuk mereka sebelum pergi. Benar saja, rebusan itu membuat mereka tidur sangat nyenyak, sebelum Damar gelisah menunggu kabar dari Alazar.

Mereka perlu menyampaikan informasi yang penting padanya. Bocah yang kini menjadi temannya itu mengenal Rayner. Bukan hanya mengenak, dia adalah pamannya. Damar menyesal, kenapa dia tidak menanyakan nama pamannya sejak awal. Dia terlalu sibuk dengan kepintaran Harith. Mereka asik bercerita dan lupa tentang hal yang penting. Lagipula Harith akan datang lagi, tapi kapan? Apa pamannya menentangnya dan tidak menyukai dia bergaul dengan kami, tentu saja, Will banyak berbohong tentang cerita perjalanan kami, meskipun sedikit ada benarnya.

Damar duduk di sebelah Will dan ikut memakan kelinci bakar itu, awalnya Will enggan berbagi, tapi tidak lama dia membiarkannya. Sewaktu kelinci itu tinggal sisa tulang, terdengar suara langkah kaki. Damar dan Will berdiri waspada lalu bersembunyi. Wajah Alazar terlihat dan Damar melambai memanggilnya.

Setelah mereka duduk, Damar mulai bertanya, "Kau lama sekali."

"Kota itu semakin padat, bukan karena penduduknya, tapi banyak prajurit gallardian berkeliaran," kata Alazar sambil mengusap keringat. "Aku menelurusi hampir seluruh pinggiran desanya untuk memantau jadwal patroli mereka."

"Lalu hasilnya?" kata Will, gemetar.

"Mereka berjaga bergantian, prajurit itu keluar masuk kota utama seperti sekerumuman semut, aku berkali-kali hampir ketahuan karena pakaianku sangat berbeda dengan penduduk Bardford."

"Sangat jelas. Tapi pakaianmu sekarang beda?" kata Will cemas. "Tunik itu apa kau mencurinya?"

"Aku beli, salah seorang prajurit menghentikanku dan bertanya tujuanku." Damar mengerutkan kening. "Aku membual dan bilang kalau aku hanyalah pengemis, dia semakin mencurigaiku dan terpaksa aku harus.."

"Kau membunuhnya!" sela Damar ketakutan.

"Membuatnya pingsan!" Alazar membelalak. "Aku simpan tubuhnya di balik tumpukan jerami dan aku ambil sedikit uang di kantungnya. Setelah itu aku membeli pakaian bekas dan mulai mncari siapa Rayner."

Setelah kata-kata itu Damar ingin segera menyela Alazar, tetapi Will memberi isyarat diam. Dia berharap Damar membiarkan Alazar menyelesaikan ceritanya, Damar mengangguk.

"Dengan pakaian lokal, tentu aku hanyalah terlihat seperti orang tua yang ingin jalan-jalan. Prajurit tidak terlalu memerhatikan. Setelah itu aku mulai bertanya-tanya siapa itu Rayner pada petani dan pedagang."

Alazar lalu berhenti, ia mencium bau yang menarik. Ia kemudian mengambil gelasnya dan menuangkan rebusan bunga rosmela. Sorot matanya menyipit tersembunyi di balik alis kelabunya, menyorot Damar dan Will. Tapi ia berpura-pura acuh dan melanjutkan.

"Sangat mudah untuk mengetahui siapa itu Rayner," katanya kembali meneguk. "Dia adalah komandan Bardford, kupastikan semua prajurit di Bardford ada pada kendalinya."

"Komandan? Apa dia yang kita temui di Grasta?" tanya Damar.

"Kemungkinan iya, tapi sewaktu aku mencoba menguping pembicaraan para prajurit di kedai, mereka terlihat tidak menyukai Rayner. Mereka banyak membicarakan tentang komandannya yang payah dan terlalu, lunak."

"Hal serupa yang kita lihat di Grasta, dua bawahannya juga meremehkannya, maksudku, terlebih yang berbadan kurus," Kata Will.

"Itu menjadi bukti bahwa dia adalah orang yang sama. Berbeda dengan para pedagang dan petani, mereka menyukainya, mereka bilang, Rayner adalah komandan terbaik yang dimiliki Gallard. Aku yakin sebelumnya mereka menjumpai komandan yang bengis dan sombong."

Damar memandang Alazar, "Well, sebetulnya sewaktu kau di kota, kami berkenalan dengan seseorang."

"Aku sudah menduganya," Alazar tersenyum, keriputnya semakin jelas.

"Bagaimana?" tanya Will.

"Rosmela tidak tumbuh di Vardelle, terlalu dingin. Dan untuk seorang pemburu yang tidak paham tumbuhan herbal, kecil kemungkinan dia akan menyeduh bunga itu dengan komposisi yang tepat, menghasilkan wangi yang harum dan rasa yang enak. Kecuali ada orang yang mengajari kalian meraciknya dan mengidentifikasinya," kata Alazar matanya seperti bersinar.

"Seorang anak berumur dua belas tahun mengajari kami, aku menemuinya dekat sini saat sedang berburu, kami bercerita banyak dan," lidah damar serasa tercekik, lalu ia meneguk rosmela. "Dia mengetahui tentang Silvar."

"Apa itu tidak berlebihan?" kata Alazar mencoba tenang.

"Dia anak yang pintar, bukan anak kecil biasa, dia mengenalkan kami banyak kisah tentang wildster dari buku Elias, dan beberapa ilmu ramuan dari buku panduan ramuan miliknya. Percayalah dia hanya seorang anak berumur dua belas, namanya Harith."

Pupil Alazar membesar, ia mulai penasaran.

Damar menceritakan semua pertemuannya dan bagaimana Will sedikit merubah cerita perjalanan mereka, Alazar mendengarkan dengan hati-hati, sesekali ia tersenyum. Sewaktu Damar memberitahu Harith adalah keponakan Rayner, Alazar gembira.

"Kita beruntung," ia memetik jarinya.

"Jadi rencana selanjutnya apa kau akan tetap pergi memantau Bardford?" tanya Will penasaran.

"Sudah jelas tentunya kalau aku bijak, kita menunggu Harith datang. Kupikir mencoba untuk membujuknya kita menemui Rayner," Alazar terlihat lega.

Suasana hening sejenak, hingga gagak-gagak mulai berkoak di langit atas kepala mereka. Hari semakin gelap, semburat cahaya bulan pucat timbul menembus daun-daun cemara.

Alazar memutuskan untuk mencari bahan makanan, sebelum dia menyuruh Damar dan Will kembali latihan penguasaan energi dalam. Damar sebenarnya merasa kurang nyaman berlatih di dekat Will, karena dia sepenuhnya mampu mengangkat beberapa batuan akhir-akhir ini melalui energinya.

Usaha Will seperti terasa sia-sia, ia sama sekali tidak mampu mengangkat sedikitpun bahkan menggerak kerikil itu di telapaknya. Bagaimanapun ia selalu berkata pada Damar dengan rasa jengkel, ia merasakan sesuatu yang hangat dari ulu hatinya, tetapi seolah energinya menolak untuk di salurkan. Kenyataan itu membuat sesi latihan Will tidak berlangsung baik karena Will menjadi mudah kesal.

Alazar kembali dengan tangkapan rusa betina berukuran sedang. Ia kembali sangat cepat sehingga Damar berpikir diam-diam Alazar pasti memburu buruan itu dengan sihir. Tapi ia tidak begitu peduli, Alazar nampak tidak ingin lagi meninggalkan mereka dalam waktu yang lama. Mereka sudah terlalu lama untuk mencapai tujuannya.

Sampai suatu ketika Damar berpikir, apa pertemuannya dengan surat dari Capo justru menghambat perjalanan mereka menuju Horien? Ketika ia terbayang mayat-mayat yang bergelimpangan di setiap sisi Acton membuatnya mual dan menyesal berpikir demikian. Informasi napas emas itu pasti sangat berguna untuk menentukan pilihan rencana mereka kedepan. Damar menghela napas panjang dan dia mulai membantu Will membakar api unggun, di sebelahnya Alazar menguliti tubuh rusa itu dengan cekatan. Silvar duduk menguis tidak sabar menanti potongan daging rusa itu.

Malam semakin larut, ketika Damar dan Will berlatih tempur dengan tongkat kayu. Titik Api terlihat mendekat dari arah Bardforf. Mereka segera berhenti dan melaporkan pada Alazar. Mereka menunggu dengan waspada dengan senjatanya masing-masing. Api itu semakin dekat, kobarannya terkoyak perlahan, terlihat seseorang berjalan cepat dengan menggenggam obor.

"Damar! Will! Kalian disana?" kata Harith berbisik memanggil.

Damar merasa lega, dia segera keluar dari persembunyiannya diikuti Will dan Alazar. Damar menyambut panggilan Harith. Harith terlihat berkeringat, wajahnya tidak menampakan kegembiraan saat itu, tangannya kanannya memegang obor dengan gemetar dan kirinya memegang sebuah perkamen yang sedikit kusut.

"Senang melihatmu Harith, kau kesini malam sekali bukahkan ini bahaya?" kata Damar menenangkan.

"Damar, Will, kalian harus liat ini! Tadi siang Paman membawa ini ke rumah dan aku sangat kaget melihatnya!" kata Harith sambil terengah, ia bernapas cepat. "Ah! selamat malam tuan," Sapa Harith pada Alazar seperti sudah pernah melihatnya.

Diberikannya perkamen itu, sebelum di buka Alazar meminta mereka kembali ke kemah untuk menenangkan diri. Di sana ia diberi gelas berisi sisa bunga rosmela, Harith meneguknya dengan cepat seperti berada di gurun. Alazar membuka perkamen itu yang terlipat dan kusut, Damar dan Will mendekat.

Perkamen itu berisi sketsa wajah dari Damar, Will dan Alazar dengan potret wajah tanpa senyum. Sketsa itu bukanlah gambar yang sempurna tetapi detilnya sangat akurat. Di bawah potret itu tertulis sebuah nilai angka sebesar 250 gold untuk Damar dan Will, 1000 gold untuk Alazar. Dalam keterangan tertulis dengan jelas,

HIDUP ATAU MATI

BURONAN KERAJAAN GALARDIAN DALAM UPAYA PENCURIAN ASET KERAJAAN BESAR GALLARDIAN.

Damar berkali-kali memerika perkamen itu, meyakinkan dirinya bahwa semua yang tergambar dan tertulis hanyalah kebohongan. Semua terasa nyata dan segel cap berwarna merah dengan simbol helm emas mencuat di tiap perkamennya.

"Aku tidak menduga bagaimana kita bisa ketahuan?" kata Alazar, ia tidak terlihat takut, rautnya seperti menganalisa serangkaian kejadian.

"Acton! Mereka pasti mlihat kita di Acton!" kata Will mulai panik.

"Tidak ada anggota kerajaan di Acton, aku yakin itu, dan selama ini kita hanya menemui morgul menjijikan itu," kata Alazar.

"Aku kira kerajaan masih mengira Silvar berada di hutan Vardelle!" kata Damar.

"Begitupun aku, tapi aku mulai mencurigai sesuatu," kata Alazar, matanya bersinar.

"Apa?" tanya Will.

Alazar enggan untuk menjawab Will, ia lalu melirik ke arah Harith, "Harith, bagaimana pendapatnya?"

Harith terdiam, iya memenuhi paru-parunya dengan udara, seakan banyak hal yang ingin dia ceritakan.

"Aku menceritakannya, aku beritahu paman, tentang Damar dan Will, maksudnya mereka adalah temanku! Awalnya paman Rayner mulai ketakutan, tapi aku ceritakan siapa sebenarnya Damar dan Will, mereka ingin menyelamatkan naga itu, sepertinya saat itu paman menduga naga itu yang menjadikan kalian burnonan!"

Damar dan Will gemetar, mereka merasa sangat takut.

"Dan apa Pamanmu sekarang akan memburu kami?" tanya Alazar hati-hati.

Pertanyaan itu seperti mengambang di antara mereka, Harith terdiam, tapi rautnya tidak menunjukan penolakan dan penentangan pada mereka bertiga.

"Paman ingin bertemu kalian," kata Harith yakin.

"Apakah untuk menangkap kami?"

"Tidak! Tidak!" kata Harith mengangkat kedua tangannya. "Sesungguhnya, paman Rayner bukanlah orang yang kalian bayangkan! Dia menyukai wildster! Mungkin dia satu-satunya komandan gallardian yang menentang perburuan wildster di Westeria, dia sama sepertiku, hanya saja dia tidak bisa terang-terangan untuk menyatakan dirinya menentang keputusan Raja!"

Alazar tertegun, "Well, aku percaya. Selama aku mengintai di Bardford, aku banyak mendengar tentang Komandan Rayner, dia adalah komandan hebat, semua penduduk memuji dan mempercayainya. Satu hal yang aku yakini tentang pertentangannya bahwa reaksi yang para prajurit gallardian tunjukan sangat berbeda dengan para penduduk." Kata kata Alazar terdengar sangat pelan.

Harith mengangguk, terlihat air matanya menetes. "Acton, aku dengar kalian sudah ke Acton? Apa kalian menemui adik Paman Rayner? Kuharap dia baik-baik saja."

"Acton, sudah…" kata Will.

"Tidak Will! Tidak di sini," Alazar menggeleng kepalanya memperingartkan Will. "Dimana kita bisa menemui Rayner? Keberuntungan peristiwa ini tentu memiliki suatu tujuan untuk kedepan, kurasa kita harus benar-benar menemui pamanmu, ada sesuatu surat yang ingin kita tunjukkan padanya, untuk membuktikan kecurigaanku."

Harith hening, ia ingin bertanya, tetapi dia tau Alazar tidak akan menjawabnya, lalu ia mulai bangkit dan memantik obornya lagi. "Ikuti aku, kita akan ke pondok di bawah pohon maple di timur Bardford, itu adalah rumah Paman Rayner."

Mereka lalu memadamkan api unggun, membersihkan kemahnya dan merayu silvar untuk masuk ke kandangnya. Perlu waktu lama untuk membuatnya menurut masuk kandang, Will sampai harus memancingnya dengan paha rusa yang di potong kasar. Silvar masuk dengan malas dan menggigit jari Will hingga berdarah.

"Maaf Silvar," kata Damar perihatin. Silvar membalas dengan menguap, memamerkan giginya yang runcing lalu berbaring melingkar. Damar segera menutupi kandangnya dengan kain hitam, Will lalu menentengnya.

Mereka berjalan melewti banyak semak dan akar pohon yang rimbun. Langit bersih sekali tanpa awan, bulan mulai bersinar terang keperakan, mereka berjalan di bawah sinar rembulan yang penuh. Melewasi sisi rumah-rumah dan gang-gang. Para keluarga sedang berbincang di dalam rumah-rumah, ada juga rumah yang sepi dan hanya ada cahaya remang-rmang dari lilin. Sesekali mereka bertemu dengan prajurit yang berkumpul dan bergosip. Mereka mendengar sedikit tentang para prajurit itu yang membicarakan komandannya yang payah, mencibir dan lalu tertawa bersama.

Setelah itu mereka melalui perkebunan jagung dan menelinap di balik tumpukan pohon jagung mengering. Dari sana Damar melihat sebuah pohon maple yang besar dan bertajuk rimbun. Mereka belok ke kiti dan mengikuti jalan setapak kecil.

Terdapat sebuah rumah yang sederhana, dengan pekarangan bunga mawar dan bunga terompet, di pekarangan seberangnya tumbuh sayur-sayuran seperti wortel dan terong. Rumah itu terlihat sunyi, tapi cahaya remang dari lilin menandakan rumah itu berpenghuni.

Tanpa mengetuk pintu Harith langsung membuka pintu kayu itu dan masuk kedalam. Di luar rumah, Damar, Will dan Alazar menunggu dalam diam. Tidak lama Harith membuka pintu, hanya mengeluarkan kepalanya, "Kalian tunggu apa! Cepat masuk!"

Ruangan rumah itu sangat sederhana, lukisan kebun gandum berwarna kuning dengan latar gunung, di bawahnya berderet lemari yang dipenuhi buku-buku tebal, ada buku yang terlihat sangat tua dan coklat ada buku baru. Mereka dapar melihat seorang laki-laki yang kekar sedang duduk di lantai, wajahnya terlihat gelisah. Tidak sulit untuk mengenali pria itu, goresan wajah penuh luka dengan rambut panjang sebahu, dia adalah komandan yang mereka temui di Grasta.

Rayner saat ini dia tidak memakai jubah besi seperti saat mereka menemuinya di Grasta. Dia hanya menggunakan tunik berwarna abu, dengan sebuah sarung tangan kulit. Wajahnya mengamati kedatangan mereka dengan cemas. Alazar, Damar dan Will masih terdiam di dekat pintu.

"Pastikan mereka tidak di ikuti, Harith!" kata Rayner, lalu tatapannya berganti pada mereka bertiga. "Buatlah diri kalian senyaman mungkin! Duduk, ah kau bisa duduk di lantai atau kursi, ingin the? Kopi?"

"Tidak perlu Komandan, kami tidak berniat merepotkan," kata Alazar menunduk.

Mereka bergita lalu duduk di atas sebuah karpet kusam berwarna coklat, Will menaruh kandang Silvar di atas meja makan.

"Jangan komandan, Rayner sana, Harith, buatkan mereka teh hangat dan beberapa camilan. Setelah itu masuk kamarmu dan segera tidur," kata Rayner, Harith terlihat merengut, lalu bangkit menuju dapur.

"Aku mendengar ceritanya dari keponakanku dan.. well, sejujurnya aku sudah bertemu kalian di Grasta dan aku tidak terbayang apapun tentang hal lain," Rayner berbicara sangat cepat, rautnya tidak tenang, ia lalu minum segelas air putih dan melanjutkan dengan pelan. "Apa kalian benar membawa seekor wildster ras naga? Aku yakin di dalam kandang itu?"

Alazar tidak berbicara, ia menatap Damar dengan sorot mata yang halus, ia menunjuk Damar dan memintanya membuka kain hitam penutup kandang Silvar. Jantung Rayner berdegub kencang, ia berjalan mendekat, sewaktu kain itu di lepas, Silvar berdiri waspada, pupil matanya membesar dan ia mengesdus-ngendus sekelilingnya.

Silvar menatap Rayner sejenak, lalu berpaling tanpa minat, ekornya bergerak-gerak setelah dia melihat sesuatu di ujung meja, daging ayam sisa makan malam Rayner.

Rayner nyaris saja terlonjak, dia sekali lagi memandang tubuh Silvar perlahan. Corak perak dari sisik silvar memantulkan kilauan cahaya yang terang. Ia meneguk ludahnya, tidak bisa melepas pandangannya dari kekaguman dirinya terhadap naga kecil itu.

"Luar biasa, aku bisa melihatnya langsung!"

"Aku tidak bermaksud lancang, tapi kupikir kau akan bereaksi lain," kata Will, ragu.

Rayner sedikit tersinggung, tapi ia pria tetap sabar. Ia lalu duduk bersila sambil bersandar. Tidak lama Harith datang membawakan teh, ia nampaknya tidak ingin segera tidur dan ikut menyimak perbincangan penting itu. Tapi Rayner mencpba bersikap tegas. Harith masuk ke kamar, ia merasa sangat jengkel.

Tidak ada yang berbicara satupun dan ruangan itu hening, lalu Rayner berkata. "Jangan salah sangka, aku sangat mengagumi wildster, mereka adalah mahluk suci yang ada sebelum manusia menginjakkan kaki di benua ini. Jika kalian berpikir lambang gallardian yang terpahat di baju zirahku merupakan tanda aku ikut andil dalam pembantaian wildster, kalian salah besar! aku bukanlah keturunan dari Eldart, ayahku merupakan keturunan Raja Edgar dari Kerajaan Moriandor."

"Demi menjaga hubungan dua kerajaan ini, ayahku mengutusku dan adikku Rayden untuk menjadi komando di kota di bawah kekuasaan Gallardian, aku ditugaskan di Bardford, dan Rayden di Acton, well.. Acton mungkin hanya sebuah kota kecil yang mirip pedesaan."

"Tapi sampai saat ini aku merasa bergulat dengan hatiku sendiri, penerapan kebijakan kerajaan terhadap kota di bawah kekuasaan Eldart sungguh menyedihkan. Dia menerapkan pajak yang sangat tinggi, penduduk desa dipaksa untuk menghasilkan pertanian dengan upah yang sedikit. Hal itu karena tanah di Bardford sangat subur, sayuran tumbuh hijau, buah-buahan berbuah manis, bahkan aku pun memiliki kebun kecilku sendiri. Gallardian sangat memanfaatkan kesempatan itu untuk memperoleh sumber bahan makanan dari kota ini."

"Jadi itu yang membuat prajurit banyak menentangmu." kata Alazar.

"Tepat sekali, sampai saat ini kearoganan prajurit sudah sangat besar, satu hal yang membuat mereka tidak berani menentangku adalah aku masih menjabat komandan mereka. Akhir-akhir ini aku merasa tidak terlalu memperdulikan cibiran prajurit itu, senyuman dari penduduk kota sudah membuatku merasa bahagia.

"Kau tau, setiap kali penyerahan pajak dimulai tiap akhir bulan di pusat kota, diam-diam aku memberikan keringanan pada mereka, keluarga Brad pemilik kebun gandum terbesar hanya membayar setengahnya dan aku yang menanggung sisanya. Kau tidak akan tega melihat upaya mereka untuk kerajaan dimanfaatkan secara tamak oleh Eldart Aegum!"

"Tapi apa yang terjadi kalau prajurit mereka memberontak kepadamu," tanya Damar.

"Kemungkinan itu sangat kecil, selama aku masih menjadi komandan disini," Rayner tertawa. Rayner lalu minum teh hangat sebelum melanjutkan. "Well, jadi apa yang membuat kalian berada di Bardford? Ini bukanlan sarang untuk melepas naga. Kalian pasti punya tujuan, ceritakanlah, aku akan membantu kalian."

"Sebelum aku menceritakan yang sebenarnya, aku ingin menyampaikan surat untukmu, berasal dari Acton saat kami singgah," kata Alazar berpura-pura tenang. "Bacalah dengan hati yang bijak dan damai."

"Kalian singgah di Acton? Bagaimana desa itu, kalian seharusnya bertemu adikku, Di sana lebih damai daripada di Bardford, kalian bisa menikmati kualitas daging unggas yang terbaik di Acton."

Kata-kata itu seolah mengambang diantara mereka, Damar dan Will menangis dan menahan amarah. Kukunya mencengkram paha sampai celananya berkerut.

"Desa itu hancur, morgul membantai desa itu tanpa ampun, saat kami tiba, tidak ada satupun yang hidup," kata Alazar, air matanya menetes.

Rayner menganga, dia merenung lalu memenuhi paru-parunya dengan udara. Tetapi tidak lama tangisnya pecah. Berkali-kali iya bertanya apa itu kenyataan, Alazar meyakinkannya dan mengulangi kondisi saat mereka tiba di Acton dan bagaimana surat itu bisa sampai kepadanya.

Rayner lalu mengambil surat itu dengan tangan yang masih gemetar. Ia membayangkan bagaimana desa itu sekarang hancur, tidak ada satupun yang masih hidup di sana, bahkan mungkin Rayden. "Ini tulisan Rayden, jadi dia sudah?"

Alazar mengangguk. Air mata Rayner kembali bercucuran. Rayner membacakannya perlahan pada mereka.

Rayner, waktuku tidak banyak. Aku berusaha menulis surat ini sesingkat mungkin sebelum para mahluk busuk itu menyerang desa kami. Sehari sebelumnya aku sedang pergi mencari hewan liar yang selalu mencuri ternak di Acton bersama Tom. Bukannya Hewan buas, justru kami menemukan perkemahan morgul. Kuputuskan untuk menyuruh Tom pulang untuk memperingatkan desa lalu aku akan mengintai mereka.

Aku mendengarnya Rayner! Mereka berbicara dengan pemimpin mereka yang bertubuh sangat besar, mereka memanggilnya Uzieg. Mereka tertawa seperti merayakan sesuatu. Aku mendengar mereka membicarakan kesombongan raja Galladian dan memuji-muji sang raja kegelapan Zenoth!

Aku memutuskan menguping mereka lebih lama lagi! Dan di akhir aku mendengarnya, kau tidak akan mempercayainya Rayner! Napas emas telah melebur bersama para napas itu! Aku tidak menyangka hidup di dunia yang sinting! Bagaimana mungkin, Raja Helbert bekerja sama dengan para morgul, tidak! Raja kegelapan!

Aku panik dan berlari secepatnya dari sana, mungkin mereka telah mengetahui mereka telah intai, tidak lama mereka akan menyerang Acton, kuharap surat ini bisa sampai kepadamu, Aku akan memberikannya setelah menahan mereka Rayner. Mereka pikir mereka bisa menyerang Acton semudah itu?

Setelah ia selesai membaca, tubuhnya kesemutan seperti ada sambaran kilat. Wajahnya mengkerut dan ia duduk membeku seperti bayangan pohon. Seluruh tangannya menutupi wajahnya dan ia menangis lagi "Ini mengerikan, berita mengerikan. Oh.. Rayden, tidak Rayden.."

"Ternyata benar dugaanku, kita berada di situasi yang sangat sulit apabila Raja Eldart memutuskan bergabung dengan raja kegelapan Zenoth," kata Alazar, marah. "Semua akhirnya terjawab, bagaimana mereka bisa berkeliaran dengan bebas di sepanjang Vardelle sampai ke Acton. Itu juga menjelaskan kenapa kerajaan tau siapa pembawa naga itu."

"Kenapa? Kenapa Raja Eldart harus bekerjasama dengan Enchanter jahat itu?" kata Damar juga marah.

"Imbalan besar, harta? Kejayaan? Zenoth bisa menjanjikan apapun dan sayangnya aku tidak tau apa itu."

"Dan kau menceritakannya!" kata Will, ia mendadak berdiri dan marah. "Alazar, kau penghianat Zenoth kan, itu yang Jgurlan bilang, kau adalah mantan para bayangan! Siapa sebenarnya dirimu!"

Alazar tidak memandang Will, tapi dia tau semua orang menatapnya pada saat itu. Alazar menatap ke arah lilin di meja, ia membuka kenangan tentang masa lalu dirinya seperti sebuah rangkaian kejadian yang ingin dilupakannya.

"Aku akan menceritakannya, ini akan membutuhkan waktu yang lama. Kuharap kalian mendengarkan dengan tenang, aku sadar ini saat yang tepat untuk menceritakan padamu Damar, dan Will, pendamping yang bijak. Duduklah dan siapkan teh hangatmu, malam ini akan panjang."

Urat wajah Will berkedut, tapi ia dapat melihat wajah Alazar yang memelas. Dia adalah orang yang sudah tua, dia tau dia perlu memaafkan penyihir itu. Sewaktu Will duduk, Alazar memejamkan mata, air matanya menetes.

"Dario adalah kakak Zenoth, dia seorang elf yang baik hati. Aku bertemu dengannya saat mereka melewati desa tempat aku tinggal, waktu itu aku masih muda seperti kalian. Desaku sangat miskin, terlupakan, jauh lebih menyedihkan dari Vardelle, mungkin kau tidak akan menyangka desa itu pernah ada. Orang tua lebih senang berjudi dan berkelahi, mereka banyak menghabiskan waktu untuk mabuk di kedai dan saling membunuh karena kalah taruhan! Pertanian terbengkalai dan ternak kelaparan. Berkali-kali aku merasa, apakah aku hidup di tempat yang salah?"

"Suatu ketika ayahku pulang dengan keadaan mabuk, ibuku marah, dia merasa laki-laki itu banyak menyiakan hidupnya untuk kesenangan! Aku saat itu hanya mampu melihat mereka berkelahi, setiap malam, kau bisa bayangkan, hidup dalam lingkungan seperti neraka?" Alazar mengusap matanya yang berair.

"Hari terus berlalu semakin buruk, tanah kami semakin tandus, semua orang putus asa, kami sangat kelaparan. Di saat keputus asaan itu timbul dan semakin menusuk. Kami kehilangan kepercayaan terhadap kehidupan. Aku merasa mungkin desa kami akan binasa, tidak ada orang-orang yang ingin hidup di sini, mereka bodoh dan egois, termasuk ayahku. Kuputuskan untuk meninggalkan desa itu dengan ibuku, mencari kehidupan yang lebih baik, sekalipun melewati tebing yang tajam, hutan yang gelap, bahkan wildster yang kelaparan."

"Ibuku hanya menangis! Dia menolak, sekalipun mereka sering berkelahi, dia tetap mencintainya dan tidak akan pernah meninggalkan ayahku. Ketika ayahku pulang dalam keadaan mabuk, dia melihatku yang membujuk ibu untujk pergi. Tangannya segera menangkapku dengan erat, dia marah dan memukulku berkali-kali. Ibu datang membelaku, dia menghentikan ayah, tetapi ayahku semakin murka dan menyalahkan ibuku. Aku melihat kegelapan dari wajahnya saat itu, dia mencekik ibuku.

"Aku merasa itu tidak nyata! Aku berlari dan terys lari sejauhnya dari desa sambil menangis, hingga aku tidak sadar seberapa jauh kaki ini melangkah, kusadari kakiku penuh darah. Seberapa jauh aku pergi dari desa itu? Apa aku sudah bebas dari desa terkutuk dan ayah?"

"Bagaimanapun aku sangat kelaparan, aku tidak bisa berburu, tidak bisa bertani, aku sendiri di tengah tanah tandus yang kering. Aku terbaring, mungkin itu saatnya aku mati. Namun satu hal yang membuatku senang adalah aku mati tidak di desa terkutuk itu."

Alazar berdiri, ia berjalan ke arah jendela, menatap bintang-bintang yang bertabur seperti pasir yang menyala di angkasa. Sorot matanya kini sayu. "Saat aku terbaring, pandanganku semakin kabur, semakin gelap dan tubuhku mati rasa. Tapi, telingaku terbuka lebar, aku mendengar suara derakan kuda datang. Dari arah mana? Aku tidak tahu, mataku sudah setengah terpejam! Lalu suara seseorang terdengar, 'Kau baik-baik saja? Dia seorang manusia, sekarat!' kata suara itu lembut, suara itu terdengar seperti nyanyian merdu."

"Aku mencoba membuka mataku dan memandang siapa orang yang mengangkatku, aku hanya melihat bayangan samar, telinga runcing, rambut perak dan bola mata hijau. Mereka adalah elf yang baik."

"Kami menjadi seperti seorang adik dan kakak, aku dan dia bercerita banyak hal, berbagi kisah yang menakjubkan tentang benua yang kita tinggali. Dario mengajariku membaca dan menulis, mengajariku menggunakan pedang dan busur, kebiasaan terhormat bangsa elf yang mengutamakan kesopanan dan bagaimana pola pikir mereka yang lebih rumit dari manusia. Aku merasa seperti kehidupan itu muncul kembali seperti mengalir di nadi-nadiku, itulah pertama kali saat aku merasa bangsa elf telah menyelamatkan hidupku, membuatku menyesal terlahir sebagai bangsa manusia yang arogan, bodoh dan keras kepala!"

"Bertahun-tahun aku sudah hidup bersama Dario. Aku seperti menjadi bagian dari mereka, bersenandung bersama mereka, dan berbahasa seperti mereka. Saat itu aku merasa aku diselamatkan oleh orang yang tepat! Saat itu Dario mengatakan misi mereka adalah untuk membebaskan Wildster dari kekejaman gallardian. Oh! Tentu saja aku mendukung, para manusia tamak itu selalu mengacau di manapun. Sampai suatu hari kami tiba di Croselle, untuk menemui Zenoth."

Semua yang mendengar terlihat tegang, pecahan cerita itu akan membawanya pada kenyataan yang menakutkan. Damar dan Will mengangguk terus mendengarkan, tetapi Alazar berhenti. Melanjutkan cerita ini sangat berat baginya. Ia lalu membuka jendela rumah sampai setengah terbuka dan membakar cerutu. Apakah perlu ia melanjutkan?

"Apakah saat itu kau sudah direkrut menjadi bayangan?" tanya Damar.

"Tidak, pada saat itu Zenoth belum menjadi raja kegelapan, dia hanyalah seorang enchanter seperti kakanya, Croselle merupakan pertemuan antara enchanter, penyihir elf dan wildster untuk persiapan pertempuran mereka dengan Raja Ambert."

Alazar lalu tersenyum lebar, "Ah Croselle, itu adalah perkemahan yang indah, kau akan melihat bagaimana seekor centaur yang berlatih busur bersama dengan elf, griffin, satyr dan minourus. Meskipun sering kujumpai pertikaian antar mereka karena ketidak sepahaman sepele. Kemah itu seperti sebuah semesta yang terhubung. Para enchanter melatih mereka demi kebebasan mereka."

"Dan malam itu, mereka dicurangi!" kata Will menggebu.

"Kau benar! Pembunuh bayaran membunuh para enchanter di malam hari, mereka menyamar dengan pakaian elf serta telinga yang sudah diruncingkan. Menipu pengawal dan membunuh enchanter dalam tidurnya!"

Wajah Alazar berubah menjadi merah padam, "Perang itu tidak akan pernah dimenangkan elf. Sebelum eldrin tiba untuk mengirim bantuan, para wildster kehilangan kepercayaan, mereka menyerang elf dan menghancurkan perkemahan di Croselle. Seketika tempat itu menjadi berdarah dan sangat menyedihkan. Wildster saling bunuh, jumlah mereka terus berkurang dan yang masih selamat pun pergi melarikan diri."

Suara Alazar menjadi serak seperti tertahan, dia kini merenung seperti menjelajahi pikirannya., "Zenoth menjadi gila, ia melarikan diri bersama dengan Dario dan diriku. Satu-satunya yang mereka sadari adalah hanya mereka berdua enchanter yang tersisa. Kegelapan yang jahat seperti merasuki dirinya, ia menyumpah semua Gallardian, mencaci seperti orang kesurupan. Dia terus berteriak setiap malam, seolah kejadian itu merasuki mimpinya setiap ia terlelap dan ia selalu bangun dengan mata menghitam!"

"Sungguh menyedihkan, kisah sang raja kegelapan," kata Will menunduk. "Entah mengapa aku sedikit berempati padanya."

"Kejahatan Zenoth dilahirkan dari sebuah penghianatan dan ketakutan diri Zenoth sendiri, tapi apakah kau akan terus mengharapkan perang yang bersih?"

"Kau ingin membela raja kegelapan?" kata Rayner menyipit.

"Bukan, tetapi aku melihat bagaimana perang mengajarkan kita untuk memihak, pada suatu saat kau akan dihadapkan pada situasi bahwa kau harus memilih jalan untukmu. Entah jalan itu untuk melawan, lari, atau diam. Situasi saat itu membuat zenoth menetapkan pilihannya untuk masa depan dirinya."

"Menjadi raja kegelapan yang paling di takuti?" tanya Damar.

"Menciptakan dunia baru," kata Alazar, lalu ia mencengkram tongkatnya erat.

"Sebelum ambisinya terungkap, Dario sangat sayang padanya, ia tidak sanggup melihat Zenoth tersiksa seperti itu seakan dia akan kehilangan Zenoth seperti ia kehilangan sahabat-sahabatnya. Hal itu tetap tidak mengurungkan niat Zenoth untuk melarikan diri dari Horien, ia merasa malu terhadap bangsanya sendiri, ia menyalahkan ayahnya, Raja Eldrin, sebagai bentuk kekecewaannya terhadap kejadian di Croselle. Zenoth yakin sepenuhnya bahwa bangsa elf tidak sungguh-sungguh mendukung perang itu, mereka terlalu takut terhadap perang antar bangsa yang pada akhirnya perang besar tetap terjadi."

"Selama masa pelarian, Zenoth membawaku dan Dario menuju Negeri Izla Morta di Timur. Negeri yang penuh bayang-bayang kegelapan. Mahluk tanpa nama hidup bersemayam di balik ceruk-ceruk bukitnya yang gelap. Ketika kau menginjakan kakimu disana, kau merasa seperti sesuatu akan terus memandangmu dari berbagai sudut, kau seperti menjadi pusat perhatian dari mahluk-mahluk misterius. Negeri itu penuh kutukan."

Rayner mengusap dagunya dengan kuatir, "Dan Zenoth masih ada di Izla Morta?"

"Sudah puluhan tahun dia selalu berada di Izla Morta, hingga kesintingan itu merubah Zenoth seutuhnya. Dia selalu membicarakan setiap hari kepada kami tentang rencana gilanya, untuk membuat dunia baru. Zenoth berencana memusnahkan bangsa manusia sebagai awal mula kekacauan di Westeria. Dia tidak segan melawan kaumnya sendiri apabila Raja Eldrin menentang segala sesuatu yang Zenoth lakukan untuk percapaian pertama, yaitu pemusnahan manusia."

Damar bergidik ngeri, di sebelahnya Will mencaci dan menyumpah atas tindakan menakutkan dari Zenoth. Alazar terlihat berhenti lagi, mulutnya semakin terbata untuk melanjutkan, tapi sewaktu ia menghisap cerutunya berkali-kali ia menjadi sedikit tenang.

"Pada saat itu, Kaum terkutuk, morgul mendengar tentang kegilaan Zenoth. Mereka selama ini hanya bersembunyi di balik gua-gua menghindari pertempuran. Walaupun aku yakin mereka punya hasrat yang sama dengan Zenoth, para morgul membenci manusia, tapi bukan atas dasar penghianatan. Morgul hanya menyukai pembantaian dan penyiksaan. Hanya saja jumlahnya yang sedikit pada saat itu membuat kaum morgul yakin bahwa mereka akan mudah kalah apabila menyatakan perang di wilayah Gallard. Uzieg si perusak, menyetujui persekutuannya dengan Zenoth untuk menentang Helbert Aegum putra Eldart Aegum dengan saray mereka dijanjikan pembantaian yang aman dan bebas menghabisi manusia dari segala jenis usia."

"Kaum pengecut!" kata Will marah.

"Tahun-tahun berlalu dan kaum manusia lupa tentang masa lalu dendam Zenoth. Sampai saat itu mereka disibukkan oleh ketamakan hasratnya untuk memperluas wilayah kerajaannya, membantai semua wildster di wilayah barat. Sedangkan Zenoth di balik bayang-bayang kabut hitam, mengumpulkan pelayan-pelayan setia yang dia sebut dengan para bayangan."

Alazar sekarang terlihat gusar, lidahnya terasa seperti beku oleh ingatan di benak miliknya.

"Melihat adiknya semakin gila, Dario merasa kuatir. Ia yakin semua tindakannya atas dasar kasih sayang pada adiknya dapat berakhir pada kehancuran Westeria. Dia menjalani hari-demi hari dengan pertentangan batin, setiap Zenoth menculik budak manusia untuk membangun kerajaan Zoroth. Dario menangis setiap malam, mempertanyakan, apakah tindakannya benar."

"Hingga hari itu tiba, morgul melaporkan padanya tentang temuan sarang naga. Zenoth merasa sangat senang, ia sempat berpikir bahwa dragona sudah punah. Ia selalu mengagumi bagaimana leluhur enchanter menceritakan tentang keberadaan naga-naga tua yang kuno di Westeria. Setelah berpuluh tahun bersembunyi di Izla Morta ia akhirnya keluar dan bergegas menuju ke XXX untuk menggunakan kemampuan enchanter untuk merekrut para dragona. Sewaktu ia sampai, ia hanya menjumpai seekor naga betina bernama XXX, dia kagum dengan keindahan sisiknya yang berwarna hijau dan matanya yang berwarna perak. Tapi semua di luar rencana Zenoth, naga itu menentang persekutuannya dan mengusir Zenoth beserta para bayangan. Zenoth merasa tersinggung dan ia murka, terjadilah pertempuran yang besar. Pertempuran itu memakan banyak korban termasuk naga betina itu, hingga Zenoth mengalami banyak patah tulang. Sebelum akhirnya kami meninggalkan XXX, Dario menemukan dua telur di atas sarang XXX. Satu berwarna perak dan satu berwarna Emas."

Alazar merasa ia bagai menceritakan kisah selama seharian penuh. Kala itu, cahaya bulan perak mengantung penuh di langit di luar jendela, membanjiri wajahnya yang kelabu. Sekali lagi Alazar menatap wajah pendengarnya melalui celah kelopak matanya yang berkerut.

"Gario lalu memulai misi rahasianya untuk mencuri telur itu dari Zoroth, rasa sayangnya dikalahkan oleh kepedulian pada keselamatan masa depan. Zenoth tidak pernah curiga pada gario, Gario dibiarkan mengunjungi telur-telur itu yang di simpan di ruangan khusus penuh mantra di Zoroth. Saat malam bulan purnama, ia bercerita padaku akan membawa telur itu ke kaumnya di Horien, tapi Zenoth segera tau dan ia mengerahkan seluruh morgul yang bengis untuk mencarinya, membawa telur itu utuh beserta Gario hidup ataupun mati. Gario lalu pergi menuju Barat, wilayah Barat, sering terlupakan oleh raja-raja dan penguasa. Hingga saat itu, Gario telah mengembara jauh hingga ke barat, tapi Morgul tidak pernah berhenti memburunya, dan seperti yang sudah kuceritakan pada kalian. Gario menghilang pada saat itu aku memulai pencarian telur naga itu."

Suara Alazar mengambang seperti mengiris kulit. Rayner memandangnya penuh takjub, ia mendukung semua tindakan Alazar pada masa lalunya yang kelam. "Apakah kisah ini sudah sudah sampai ke telinga kerajaan?" tanyanya.

"Mungkin tidak dan seharusnya tidak," Alazar tersenyum kecut.

"Sebagai mentan bayangan, kau tentu tahu siapa saja para bayangan itu? Selama ini kami pun tau tentang Uzieg si perusak, morgul buruk rupa yang bengis, tapi tidak dengan yang lain."

Alazar mengetuk jarinya ke bibir jendela berkali-kali sambil mendengar suara serangga malam. "Aku tidak terlalu mengenal lainnya selain Uzieg, mereka seperti batu pualam di dalam kegelapan. Zenoth merekrut mahluk-mahluk tanpa nama dengan kekuatan yang misterius. Uzieg yang paling mencolok karena ia memang sangat bodoh. Tapi, aku akui aku mengenal satu, dia bernama Aldarac, dia adalah elf jahat dari klan Sloria, seorang alkemis gila. Dia terobsesi untuk meracik ramuan dengan bahan-bahan terlarang, untuk menghasilkan ramuan yang mendukung rencana-rencana jahat dari tuannya Zenoth. Percayalah! bahkan aku tidak pernah bertemu dia secara langsung karena dia selalu bau darah."

Di sisi ruangan, Will duduk gemetaran, tubuhnya seperti di tusuki ketakutan yang mengerikan. Ia terlihat sangat ketakutan. "Kita harus segera pergi! Tidak aman berada di daerah kekuasaan Gallard, kita harus segera menuju Horien! Mungkin di sana tempat paling aman saat ini, oh tidak! Apa aku sedang bermimpi? Salah satu raja manusia bersekutu dengan raja kegelapan!" kata Will panik, mungkin ia akan mengompol.

"Biarkan aku membantu kalian! Aku, Rayner putra Edgar dari Moriandor, aku akan mengiringi kalian, bertempur bersama darah yang mengalir di nadiku, aku akan membantu memenggal musuh-musuh kalian. Aku masih tidak menyangka keputusan dari Raja Helbert sangat memalukan. Kuputuskan untuk berhenti dari jabatanku sebagai komandan dengan lambang helm emas di zirahku!" kata Rayner, ia bangkit lalu menatap mereka bertiga bergantian.