Banyak jalan setapak yang menyesatkan di antara Sungai Marna yang mengalir ke arah Tenggara. Saat mereka bertiga berjalan di sisi sungai, pendar kilauan dari cahaya kuning terang pagi hari memberi kesan butiran-butiran mutiara yang terbentang di atas riak sungai. Memberi semangat mereka untuk melangkahkan kakinya yang terasa lelah. Burung doflamingo berjalan berarak di sisi sungai membentuk barisan-barisan yang mengagumkan. Seolah ini ucapan selamat jalan untuk Damar yang tertegun menatapnya.
Jalan setapak yang mereka lalui menuju ke arah perbukitan landai dan terkadang terjal. Jalan ini sebagian besar dihuni mahluk-mahluk wildster jahat ketika malam hari nanti. Sekalipun Damar bisa mencoba untuk berkomunikasi dengan mereka. Hal itu sangat berisiko. Selain itu, keahliannya sebagai enchanter masih sangat minim. Apabila komunikasinya berjalan buruk dan wildtser itu tersinggung, para wildster akan dengan mudahnya menyergap mereka saat malam hari. Lagipula Damar tidak tau apa yang harus mereka bicarakan. Mengulangi konsentrasi yang dalam seperti dulu di saat perjalanan seperti ini sangat melelahkan. Terlebih mereka harus mengirit bahan makanan selama perjalanan.
Di tengah pergejolakan pikirannya, Damar merasa risih dengan satu hal.
"Apakah aman kita mengeluarkan naga itu?" usul Damar. "Aku merasa kasihan padanya."
"Ya.." jawab Alazar singkat.
"Kau yakin?"
"Jalur yang kita lalui adalah jalur yang tidak dilalui orang lokal, meskipun berbahaya secara prospek, tapi aku mengusahakan kita tidak terlihat oleh penduduk disekitar sini." Katanya mengusap janggut. "Biarkan dia bebas."
Sewaktu Damar membuka kandang anyam bambunya, naga itu merayap keluar, menghembuskan uap keabuan dari cupingnya lalu menguap di bahu Damar, merasa nyaman.
Melalui jam demi jam, mereka hanya berhenti untuk makan dan setelah itu mulai berjalan dan terus berjalan. Sudah berhari-hari mereka menyusuri Sungai Marna, perbukitan di depannya seperti gundukan tanah gembur berwarna hijau yang tidak pernah mendekat. seolah perbukitan itu memberinya jarak tanpa batas.
Sesekali Damar mengintip ke belakangnya, pegunungan helmaer masih terbentang dengan puncaknya yang bergerigi. Tajuk-tajuk hutan Vardelle yang hijau samar-samar mengingatkannya kampung halaman yang aman dan tentram, tepat sebelum morgul menyerang desanya. Damar akhirnya mengumpat dan menengok lagi ke dunia didepannya, langit masih berwarna biru pucat dengan gumpalan kapas yang tipis.
Alazar bilang di balik bukit itu ada Desa Acton, disana mereka akan membeli kuda. Tentu perjalanan dengan menggunakan kuda akan memberinya kesempatan yang lebih mudah. Mereka akan dengan mudah menghindari wildster yang mengejar ataupun morgul yang sebagian besar hanya berjalan kaki.
Rasa antusias mulai merasuki dirinya, seperti apakah desa itu? Apa setenang SideVardelle? Pekerjaan mereka apa?
Sejak dirinya dibesarkan di SideVardelle oleh Garry adik dari Garreth, dia belum pernah berpergian jauh selain Desa Norbury, desa tetangga SideVardelle. Sisanya ia hanya mendengar itu dari pedagang-pedagang nomaden, tentang keindahan Kerajaan Gallard yang berlapis emas, atau Kerajaan Moriandor yang artistik dan berbatu granit yang kokoh. Perjalanan ini menghibur hatinya, tapi di sisi lain juga menyayat bagian hatinya yang lain. Perjalanan ini bukan sekedar senang-senang, mereka membawa mahluk gagah dan anggun. Seekor naga yang kini sejinak kucing, tapi seberbahaya harimau.
Selama hari-hari sebelumnya Damar sudah mencoba memasuki benak naga itu, mencoba mengucapkan salam dan berbasa-basi untuk menyapanya. Sayangnya tidak ada apapun balasan yang memasuki benaknya. Apakah naga itu masih terlalu kecil untuk berbicara? dia hanya menguap, menguik dan mengejang.
Pusing memikirkan tentang hal yang rumit, Damar kembali menatap eksotisme sungai Marna yang arusnya sangat tenang. Berbeda dengan Sungai Raen di Hutan Vardelle. Kehidupan dapat terbentuk sangat mudah di sepinggiran sungai ini, teratai tumbuh subur dengan bunga-bunganya yang pink di sisi kelopaknya. Ikan trout dan salmon terlihat berenang gemulai ddi dalam air yang sejernih kaca. Bukan hanya dirinya, Will di depannya berjalan lebih cepat dari dirinya juga ikut mengagumi keindahan sungai ini. Walaupun rautnya masih terlihat masam dan muram, mungkin karena banyak hal yang dia takutkan dan kuatirkan.
"Bersabarlah, kita akan istirahat di kaki bukit itu," kata Alazar menunjuk sesuatu lereng bukit yang menjanjikan.
"Oh!" kata Damar. Saat itu ia merasa lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Berulang kali ia terbayang membakar perapian atau api unggun di samping pondok kecil bersama Will dan Hans sekalipun kini Hans tidak bersama mereka, tapi Damar masih mengingatnya. Nyanyian lagu pemburu.
"Setelah bukit ini, desa Acton akan berdiri dan kalian dapat melihatnya dari atas bukit, kuharap akan membuat kalian senang," katanya tersenyum.
Kedengarannya memang enak. Tapi mereka belum sampai kesana dan hari semakin larut. Bukan hanya bahaya dari hewan luar yang mengancam mereka, wildster, morgul dan cuaca dingin pun jadi ancaman.
Tampaknya Alazar tidak mengada-ngada, di hadapan mereka terbentang daratan luas berwarna oranye. Seperti percikan cat air yang berlumuran di atas rerumpuran setinggi telapak kaki. Sekitar satu kilo di ujung jarak pandang, terdapat lereng berwarna keaburan dan guratan celah berwarna hitam. Kalau kita bernaung di sana, pasti akan terlindung dari dinginnya malam! Pikirnya.
Damar berlarian menginjak rerumputan itu dengan perasaan senang, seakan ia membebaskan dirinya di daratan itu. Ia menghirup dalam-dalam udara, mengendus aroma padang rumput yang asing dan memejamkan mata.
Di bawah ceruk lereng, mereka beristirahat. Membakar ranting kering yang berserakan di sekitar rumput-rumput yang membatasi bebatuan. Alazar merapalkan mantra dengan suara kecil, tidak terdengar bahasanya tapi bisikan itu sangat jelas terdengar di kesunyian malam ini.
Api kecil menjalar di seperti benang berwarna merah. Mengerogoti rerumputan kering di bawah tumpukan ranting yang disusun. Will membantu meniupnya untuk menyulut bara. Tidak lama api kecil membakar tumpukan itu dan api unggun kecil tercipta.
"Kekuatan sihir itu sangat mengagumkan," kata Damar, tertegun.
"Tapi sihir dapat menjadi sesuatu yang sangat jahat," kata Alazar mengulurkan telapaknya ke arah api.
"Kau terlihat membenci sihir," Kata Damar mendekat bergabung.
Alazar hening dan akhirnya menjawab, "Kenyataannya. Benar."
Damar mengangkat alisnya, "Kenapa kau harus menggunakan sihir ketika itu menjadi sesuatu yang kau benci?"
"Kau tidak bisa melupakan sesuatu yang sudah kau pelajari untuk melindungi, meskipun pada akhirnya kau pernah menggunakan untuk menyakiti."
"Jadi kau pernah menyakiti mahluk lain dengan sihir?" kata Will menyahut.
"Disengaja dan tanpa disengaja," Kata Alazar, mengerutkan matanya. "Selama perjalananku aku sudah banyak menggunakan sihir dari dua sisi, baik dan jahat. Ketika kau berada pada sisi manapun, sangat sulit bagi kita untuk ada pada sisi itu selamanya. Bagaimanapun sihir adalah bentuk ilmu pertahanan dan penyerangan. Sama seperti ilmu beladiri, kau bisa melindungi orang yang kau sayang dengan kemampuanmu, tapi di lain hal, kau merenggut kebahagiaan orang lain dengan mlindungi kebahagiaanmu. Tapi, meskipun sihir memiliki kelemahan dan kekurangan, seorang enchanter wajib menguasai sihir, namun dengan cara yang bertanggung jawab."
"Apa aku harus belajar sihir?" kata Damar, bimbang.
"Harus, tapi tidak saat ini," jawab Alazar, sambil mengambil cerutu di sakunya.
"Mengapa?"
Alazar belum menjawab dan membakar cerutunya dengan ujung ranting yang menjadi bara. "Karena kemampuan bertempur kalian masih buruk, jelek dan payah."
"Kau menghina kami? Kami adalah pemburu muda yang mampu menyaingi orang-orang dewasa di SideVardelle! " kata Will tidak terima.
Tidak banyak bicara, Alazar tiba-tiba melemparkan tongkat kayu berukuran sedang kepada Will. Ia menyambarnya dengar gerakan refleks meskipun telapak tangannya terasa berdenyut.
"Tunjukan kemampuanmu!" raung Alazar.
Will memandang tongkat kayu liar itu, penuh serat-serat kasar dan cukup berat. Jika ingin, pedang itu mampu membuat kepala retak jika dihantam dengan keras. Seberapa keras keinginannya melawanku? Kuakui kekuatan sihirnya melebihi akal sehat, tapi dengan usia setua itu, dia tidak akan bisa menyamai kekuatanku saat beradu pedang, pikir Will.
Ia bangkit, mereka berdua saling memandang mengitari api unggun. Tidak jauh dari api unggun itu, Damar bersandar pada tebing yang permukaannya tidak kasar, menikmati pertunjukan kedua orang di depannya.
Will memulai serangan dengan gerakan yang siap, tongkatnya di ayunkan ke arah pinggang Alazar yang terbuka. Alazar menangkis serangan itu dan memulai serangan balasan. Merasa dalam posisi tidak menguntungkan, Will melompat mundur, tapi dengan gerakan cepat Alazar menyambarnya dengan satu hantaman di dada kanannya. Will menjerit.
Di ambang kesakitan, ia menyadari serangan itu bukanlah kekuatan penuh, penyihir tua itu tidak terlihat kelelahan sama sekali. Tanpa berpikir, Will mengabaikan rasa sakitnya dan menerjang sekali lagi, tapi dengan mudah Alazar menghindari semua serangan Will dengan gerakan gemulai.
Merasa bosan menghindar, Alazar mencoba memainkan tongkat eknya untuk menerima serangan Will di segala sisi. Bunyi derakan terdengar hebat, beradu seperti tanduk-tanduk rusa. "lebih cepat Will!" seru Alazar, matanya berkilau terpantul api unggun.
Menit selanjutnya, gerakan Will mulai terasa lincah, tubuhnya semakin hangat dan berkeringat. Tapi tidak ada satupun serangannya yang mengenai Alazar. Sewaktu wajah Will terlihat putus asa, Alazar meregangkan tubuhnya, wajahnya kemudian menoleh kepada Damar. Ia memberi Damar isyarat yang bersantai di pojokan dan berkata, "Sekarang kalian berdua yang menyerangku."
Kepercayaan diri muncul di ambang benak Will yang kelelahan, jika sendiri aku kesulitan maka berdua dengan damar akan mempermudah kami untuk menyerangnya. Dengan gerakan sigap, Damar beronjak dan mulai saling bertatapan dengan Alazar. Mereka kemudian saling bergerak mengitari. Hingga beberapa menit tidak ada serangkaian serangan yang terjadi, mereka hanya terpisahkan oleh kobaran api unggun yang membara, dan saling mengawasi.
Tanpa pikir panjang lagi, Will menerjang sisi kiri Alazar yang terbuka dengan sebuah tusukan gesit. Alazar sudah mengantisipasi serangan itu dengan hindaran yang sederhana, di sisi lain Damar mengayunkan tongkatnya mengarah rusuk kanan Alazar. Mengetahui bertahan melawan dua serangan sekaligus sangat tidak efektif, Alazar melompat mundur sementara.
Damar tertegun, bahkan Alazar belum melakukan serangan balik sama sekali. Semua tindakannya seolah pertunjukan yang akan diperlihatkannya sebagai bahan latihan dan pengalaman untuk mereka.
"Hanya segitu?" kata penyihir itu mencibir.
Will mengerutkan alis matanya, dalam satu hembusan napas. Dia kembali mengejar Alazar di depannya dan berteriak pada Damar, "Ayo serang dia lagi!"
Selama sepuluh menit mereka beradu tongkat, derak kayu itu bergema di sepanjang menit. Pertarungan sparing mereka dengan Alazar menguras stamina mereka hingga tenggorokan mereka berdua serasa . kelelahan mulai menyerang kedua pemuda itu. Keringat mulai mengucur dari dahi menetes melalui dagu. Tapi Alazar tidak kelelahan sama sekali. Masih menatapnya dengan sorotan tajam penuh wibawa.
"Si tua itu sangat kuat ketika pertarungan fisik, tapi mudah kelelahan saat menggunakan sihir," kata Will putus asa.
"Kuanggap kata itu adalah klimaks latihan ini," kata Alazar. Kemudian suara buk terdengar ketika dia menerjang Will dan Damar dengan cepat. Kilatan serangan itu seperti sesuatu siluet yang sulit di jelaskan. Entah serangan itu mungkin mengenai beberapa bagian-bagian tubuh mereka berdua yang terbuka.
Sekerasnya mereka berusaha menangkis serangan Alazar, tapi sia-sia. Hantaman telak itu membuat pandangan mereka semakin melemah dan seketika pandangan menjadi hitam dan kosong. Mereka berdua pun pingsan.