Damar terbangun sewaktu naga perak temuannya menjilati mata dan wajahnya. Lidah itu terasa kasar tapi tidak tajam, cukup membuat damar geli dan membuka matanya sebelum ia mengusap wajahnya dengan kain bajunya. Naga itu terlihat riang dan bergulingan di dada Damar yang masih terbaring.
Dia segera bangkit dari ranjangnya di ruang tengah yang lebih sederhana dari pondok miliknya dan Will. Rumah penyihir itu terasa semakin menekan ketika matanya tertuju pada Will yang gelisah.
Sejak tadi Will berjalan memutar di sekitar jendela, sesekali ia melirik jendela lalu mengecek panas dari ketel yang dimasaknya dan kembali mengintip keluar jendela. Damar dapat melihat raut wajahnya yang mengkerut seolah rumah ini akan di serang oleh siapapun. Sewaktu Will bosan melihat ke arah jendela sibuk menyiapkan teh untuknya sendiri sambil menuangkan air dalam ketel milik Alazar yang sudah cukup mendidih. Tangannya bergetar dan airnya tumpah mengenai jemari-jemarinya. Will menggerutu menggerakkan jarinya seperti cacing kepanasan.
Damar bergabung dengannya dan mencari tempat sandaran di sudut ruangan sambil meraba bagian tubuhnya yang sakit. Naga peraknya mengikuti dengan ekor kecil yang melecut-lecut. Hari ini tubuh Damar serasa babak belur seperti tembok yang retak, tubuhnya penuh lebam dan nyeri ketika digerakkan. Otot-ototnya terasa pegal. Damar merasa susah tidur karena takut Morgul itu menyerang mereka saat tidur nyenyak. Dilihatnya kulit pinggang dan lengannya membiru dan lebam. Ototnya masih terasa keram dan sulit di gerakkan.
Kepalanya terasa mual saat membayangkan darah-darah hitam morgul itu membanjiri rerumputan malam itu. Suara berat dan wajah jeleknya masih tergambar jelas di pikirannya. Kutukan apa yang menghampiri Vardelle?
"Bagaimana Alazar?" tanya Damar mencoba mengalihkan pikirannya.
"Masih belum sadar, dia tidur lebih lama dari kita eh," kata Will lalu menyeruput the miliknnya.
Tidak lama Damar bangkit dan ingin membuat teh untuk dirinya, perutnya terasa lapar tetapi dia tidak berselera untuk makan. Pertempurannya dengan morgul membunuh minatnya untuk menikmati makanan. Sewaktu Damar menuangkan air itu ke gelas teh miliknya, mengaduk dan mencampurnya dengan tetesan madu, suara derapan terdengar dari luar rumah Alazar. Derapan itu semakin terdengar membuat Will yang kembali melirik jendela dengan waspada.
"Siapa itu?" tanya Damar curiga.
Will menatamkan matanya di balik jendela, memastikan orang di kejauhan dan menjawab dengan pasti. "Aline dan Garreth!"
Sewaktu mereka tiba di pintu depan Will segeram membuka pintunya dan menyambutnya dengan gembira. Aline memeluk Will dan Damar bergantian dengan Erat setelah itu giliran Garreth, Damar nampak sesak ketika lelaki gendut itu memeluknya.
Mereka berdua masuk dengan cepat dan menutup pintunya rapat-rapat. Semua duduk saling berhadapan. Sewaktu Will ingin menyeduh teh Garreth mengangkat tangannya dan mencobanya untuk tenang dan menyuruhnya duduk kembali.
Aline Terbelalak sewaktu Naga perak itu bermanja dengan kakinya dan menggesek-gesekkan tanduk kecilnya di sekitar kaki Aline. Awanya Aline takut tetapi menyadari betapa jinaknya naga itu terhadap dirinya dia mencoba menggaruk leher naga itu sepeti menggaruk leher kucing yang lapar. Naga itu nampak gembira dan sayap mungilnya terangkat memperlihatkan membran putih yang tembus pandang. Aline terlihat menikmatinya dan tersenyum.
"Jadi bagaimana?" Will memulai.
"Bah, prajurit kerajaan semakin memenuhi Vardelle!" katanya emosi. "Mulanya mereka hanya membangun kemah di pinggir desa, tapi tidak untuk hari-hari selanjutnya."
"Mereka mengetahui kabar bahwa telur itu kemungkinan sudah menetas," kata Aline.
"Mustahil!" kata Damar terperangah. "Goa itu tersembunyi di dasar jurang dan perlu pemburu berpengalaman untuk menemukannya, letaknya terlalu dalam aku yang sudah menjelajahi hutan itu bersama Will selama ini tidak pernah menemukan goanya, apabila Orgwa itu menyerang kami."
"Oh nak! Seandainya kami adalah mata-mata kerajaan dengan bayaran mahal dan penjagaan istimewa aku pasti bisa menjawab pertanyaan itu," kata Garreth mengangkat alisnya. "Semua kejadian ini terjadi sangat tiba-tiba seperti badai salju, baru kemarin kalian memanggilku memasuki hutan Vardelle, membantu menggopoh penyihir sekarat itu, dan mengetahui fakta kalian menyimpan naga buruan kerajaan dengan imbalan yang setimpal untuk seluruh penduduk Vardelle selama setahun penuh!"
"Jangan begitu," kata Aline mengusap bahu Garreth.
"Maaf."
"Sungguh aku mengkuatirkan kalian," kata Garreth mencoba tenang. "Penyihir adalah mahluk yang ditakuti kerajaan di Westeria, tidak sebelum elf penghianat itu menghianati para raja-raja manusia terdahulu. Sekarang kalian bisanya berteman dengan penyihir dan seekor naga."
"Kumohon tidak bahasan itu lagi Garreth. Bukankah aku sudah menceritakannya, penyihir itu menyelamatkan kami dari serangan morgul, dan jika Alazar terlambat mungkin kita sudah disantap mereka!" kata Will tidak terima.
"Demi langit cerah, para prajurit akan sampai di pinggir Vardelle sore ini, Aline sudah memastikannya dari Beth si penjual bunga. Prajurit-prajurit mesum terus menggodanya dan dengan mudah Beth bisa menggali informasi dari para prajurit sial itu. Sewaktu Aline bertanya tentang informasi bagaimana mereka tahu telur itu menetas, prajurit menjadi ketakutan dan enggan menjawab, mereka hanya diberi perintah oleh si Virlius sombong itu!"
"Jadi hanya Virlius yang tahu informasi sangat rahasia itu?" tanya Damar sedih.
Garreth mengangguk.
"Prajurit Gallardian itu sebagian sudah berkemas, menggulung tenda-tenda mereka, membawa sayuran dan daging. Selain itu juga mereka banyak melepas ikatan tambat kuda-kuda jantannya untuk menuju Pinggir Vardelle Vardelle. Itu sebabnya kami lari secepat keledai meskipun tubuhku menolak untuk lari," kata Garreth, bibirnya tersenyum di balik kumisnya yang lebat.
Garreth berdiri dan mondar-manding tidak karuan. "Setelah tiba, prajurit-prajurit itu pasti akan menginterogerasi semua pemburu yang tinggal di sini, mengumumkan hadiah pencarian. Kau tidak akan bisa berbohong dari mereka, mereka akan membaca raut wajah kalian dan menyadari keberadaan naga itu dengan cepat!"
Dahi Damar mengkerut, dia menyadari posisinya yang semakin sulit. Kita kehabisan solusi, pikirnya muram.
"Apakah kami bisa menyembunyikan naga ini di tempatmu Garreth? Kumohon gudang atau ruang apapun tidak masalah," kata Damar, melebarkan tangannya membujuk.
"Well, aku tidak bisa Damar, sungguh!" Garreth menggeleng. "Penduduk yang setuju dan mendukung pencarian itu berkeliaran menyebar di seluruh Desa Vardelle. Mereka mengira naga atau telur itu berada di sekitar desa. Yah, intinya mereka pengecut yang tidak berani memasuki Hutan Vardelle dan mencoba peruntungan bodoh, dan itu menyulitkan untuk menyembunyikan naga!"
"Kita kehabisan solusi," kata Damar mengetuk jarinya ke lantai.
"Jika penyihir itu sudah sadar, dia seharusnya memiliki semua solusi dari permasalahan ini dan menjelaskan tanpa terputus. Demi kematian, aku akan mengikatnya dan menyerahkan penyihir itu pada kerajaan apabila dia tidak memberikannya dan menyeret kalian kepada masalah yang lebih dari ini!"
"Garreth!" tegur Aline dan memelototinya.
Garreth kembali duduk menghela napas, selanjutnya wajahnya menegang dan menyipitkan matanya.
"Kau tau, kawan sinting kalian kini sudah bergabung dengan kerajaan. Virlius memberika kuda jantan yang megah dan menyuruhnya memimpin pasukan menuju Pinggir Vardelle."
Will dan Damar terbelalak. "Ini semakin serius."
Sepuluh menit berlalu dan memberikan keheningan di ruangan, masing-masing berpikir dan menenangkan pikirannya yang kalut.
"Lalu apa rencana kalian selanjutnya, kalian adalah calon burnonan kerajaan apabila kebenaran ini terungkap,
"Aku juga tidak tahu. Apa mungkin Naga itu juga yang memicu kedatangan para morgul ke Vardelle?" tanya Will, mengerutkan dahi.
Tenggorokan Damar terasa kering dan terbakar ketika mendengar nama Morgul dan ia terbayang lagi dan lagi percikan darah hitam mahluk itu. Ia menyeruput teh miliknya dengan rasa tidak nyaman. Pikiran Damar semakin dipenuhi hal tidak masuk akal.
"Apa perlu kubangunkan penyihir sial itu," kata Garreth tiba-tiba sambil mengepalkan tinju. "Kalian harus segera mendapat jalan atas masalah ini."
"Kurasa kita harus meninggalkan Vardelle," kata Damar memijat keningnya.
Mendengar jawaban itu, wajah Garreth masam. Damar melihat kegelisahan dan emosi terpancar dari wajahnya yang menggelap.
"Lalu kemana? Di sekeliling Norbury penuh dengan perkemahan prajurit dan pasti mereka sudah memburu naga yang masih mereka sangka telur itu. Jalur hutan? aku tidak menjamin para morgul tidak mengintai kalian. Itupun tidak ada sayupun yang tahu berapa jumlahnya, siapa pemimpinnya dan dimana mereka berkemah!"
"Delapan.." Suara lirih terdengar, Alazar keluar dari kamarnya dengan menumpu pada tongkat eknya. "Mereka ada delapan, enam sudah aku bunuh dan dua sisanya adalah yang terakhir dibunuh bersama anak-anak."
"Alazar!"
Aline dengan cepat menuangkan sisa air panas ke dalam gelas, menyiapkan segala sesuatu yang bisa disuguhkan kepada penyihir yang siuman.wajah Alazar nampak lesu seakan kekuatannya menghilang tersapu aliran sungai. Alazar lalu mencari posisi yang senyaman mungkin untuk dirinya. Dia duduk sambil menghadap naga itu yang berguling di atas meja. Wajahnya nampak kagum, matanya bersinar melihat keanggunan naga itu dengan warna perak berkilauan yang sangat sehat. Air mata keluar dari matanya. Meski bibirnya ditutupi kumis dan jenggot putih seperti salju, senyum tipis tersirat di bibirnya nampak teduh.
Sambil menaruh gelas teh Alazar yang masih menguap, Garreth bertanya "Aku tidak ingin mengganggu momen ini tapi.."
"Wajah kalian dipenuhi banyak pertanyaan, aku melihatnya."
Semua mengangguk.
"Sebelum kalian bertanya dan aku menjawab, aku yang terlebih dulu bertanya karena tentu pertanyaan kalian akan melebihi pertanyaanku, pertanyaanku sangat sederhana," Alazar terdiam dan menengguk teh. "Siapa diantara kalian yang menemukan naga ini dan bagaimana bisa?" Alazar melirik Will dan Damar bergantian. "Aku mencarinya setahun ini dengan semua kemampuan sihirku dan tidak bisa melacaknya sedikitpun."
Damar dan Will saling memandang dan memberi gimik wajah yang ragu. Hampir lima menit pertanyaan Alazar mengambang di antara mereka berdua. Hingga Will mengangguk dan menyetujuinya untuk membicarakannya.
"Aku," jawab Damar.
Alazar tidak nampak terkejut. Wajahnya nampak tenang dan sorot matanya seperti bulan. "Kejadiannya?"
Damar lalu bercerita bagaimana Orgwa berbicara dalam benaknya saat dia hampir pingsan. Semua cerita itu diceritakannya dengan detail dan tenang. Beberapa kalimat terhenti karena Damar ragu ada beberapa yang terlewat. Tetapi dia melanjutkan lagi selancar arus sungai, seolah waktu yang berdetak saat itu adalah miliknya.
Selain menceritakan dengan pertemuannya dengan naga itu, dia juga menceritakan tentang perjuangannya mencari sang induk. Mencoba menyatukan benaknya dengan sang naga dan berkomunikasi tai tidak terjadi apa-apa, dia kecewa dan melajutkan lagi ceritanya sampai selesai.
Sewaktu dia menutup ceritanya, Alazar terbelalak, matanya seterang mutiara. Ia mengusap bibirnya berkali-kali, lalu berkedip dan jemarinya terlihat bergetar.
"Kau seorang Enchanter?". Suara Alazar terdengar lebih berat seperti menahan emosi.
"Aku.. tidak tahu," jawab Damar ragu
Disampingnya Garreth tampak menganga, saat itu Garreth ingin menyela tetapi menahannya dan menutup mulutnya dengan telapaknya. Wajahnya menegang.
"Well, sesungguhnya ceritaku akan sangat panjang dan akan membunuh banyak waktu, kuharap aku dapat menyingkatnya semudah mungkin," tangannya yang kurus dan keriput berusaha menggapai naga di hadapannya. Dia mengusap sisik-sisik berkilawauan naga itu dan memberi kesenangan untuk dirinya. "Sebenarnya Naga ini adalah naga curian dan sahabatku yang mencurinya."
"Demi luka terbuka! Ternyata kau dan temanmu yang memulai semua ini," suara debuman kepalan terdengar sewaktu ia meninju dinding kayu dengan sisi kepalannya
Alazar tersenyum melihatnya dan melanjutkan, "Kisah dimulai ketika Zenoth, elf penghianat itu menghianati perjanjian perdamaian Westeria ratusan tahun yang lalu. Sewaktu Manusia, elf dan wildster saling menyerang satu sama lain. Westeria dipenuhi darah. Raja Eldert ayah dari Ambert dan ayah dari Helbert, atau Buyut dari raja Gallardian sekarang takut akan kebuasan Wildster dan sulitnya melakukan penaklukan untuk memperluas kekuasaan. Tanpa ragu Eldert mengerahkan ratusan ribu prajurit untuk melakukan penaklukan ke di wilayah Selatan Westeria yang sekarang menjadi wilayah kerajaan Gallard."
"Mengetahui penodaan Wildster oleh sang raja Eldert, Eldrin sang raja elf atau si bijaksana mencoba menghentikan invasi Raja Eldert dan mengerahkan prajurit elf terkuatnya dari kerajaan Ocadena untuk menghentikan pembantaian wildster di wilayah Selatan. Para elf beserta enchanternya membangun perkemahan dan merekrut wildster sehingga posisi mereka sangat sulit dikalahkan. Kabar itu tersebar sangat cepat seperti kawanan gagak yang terbang, Raja melakukan siasat kotor. Mengirim pembunuh-pembunuh bayaran yang di beri imbalan besar untuk menyusup ke perkemahan Elf, membunuh para enchanter yang tidur dan prajurit-prajurit lainnya. Tanpa bantuan enchanter para elf kesulitan untuk mengatur strategi penyerangan dan mereka mengalami kekacauan saat perang."
"Raja yang keji," kata Damar menggumam.
Alazar mengangguk dan suasana hening sejenak. Ia menenggak tehnya kembali dan melanjutkan, "Wildster seperti centaur, satyr, dan para naga menjadi tidak terkontrol. Bagaimanapun kekuatan mereka sangat besar. Tapi tanpa pengendali, mereka bergerak sendiri tanpa arahan. Perang jadi membutakan mereka di medan pertempuran. Wildster akhirnya menyerang semua mahluk yang terlihat, menghancurkan tengkorak, prajurit manusia dan meremukkan tulang rusuk prajurit elf. Prajurit elf yang terpaksa melindungi diri akhirnya pun banyak membunuh wildster itu. Perang itu berlangsung selama satu minggu hingga rerumputan dan tanahnya di banjiri darah dari banyak kaum yang terlibat peperangan. Sejak saat itu, perang itu dinamai sebagai perang berdarah. Awal mula sejarah terburuk Westeria akibat ambisi sang raja Eldert."
Semua terperangah, Alazar mengamati semua wajah di ruangan itu, memastikan sebelum melanjutkan, tidak ada yang menyela,
"Apa pada saat itu semua enchanter mati?"
"Tidak semua, Saat Eldrin tau penyusupan pembunuh bayaran keji itu, elf segera bersigap dan melakukan penyisiran dan memenggal semua pembunuh bayaran. Kepalanya di tancapkan di ujung tombak sebagai bentuk penghinaan untuk raja manusia. Raja melakukan sensus secepatnya terhadap semua prajurit dan enchanter, dari 10 enchanter terbaik kaum elf, hanya tiga yang tersisa, mereka adalah Zenoth, Dario, dan Tessel. Dario, adalah sahabat dan guruku."
"Setelah perang itu, Raja Edgar yaitu sepupu dari Raja Eldert yang memimpin di wilayah barat mengusulkan perjanjian perdamaian. Perjanjian itu adalah bentuk usaha politik kaum manusia untuk mengharapkan adanya ketenangan dan menghindari banyak kematian yang terjadi di Westeria. Awalnya Eldert ragu dan menolak diberlakukannya perjanjian kedamaian antara kaum elf dan manusia."
"Kenapa begitu? memalukan!" kata Will urat dahinya terlihat.
"Karena dalam perjanjian itu, berisi perintah larangan kerajaan Gallard dalam membunuh semua jenis Wildster. Raja sangat takut dan kuatir terhadap keberadaan wildster, takut jika Wildster tidak dimusnahkan, keberadaannya akan mengancam rakyatnya lalu mengecam perjanjian yang di usulkan sepupunya."
Bulu kuduk Damar berdiri, lehernya terasa dingin seperti tiupan angin yang merayap di seluruh lehernya.
Alazar kemudian berdiri, dia berjalan pelan dengan menggopoh tongkat eknya menuju jendela dan membuka jendela secara perlahan, membiarkan udara luar masuk menghembuskan ketegangan para tamunya. Ia mengambil cerutunya di balik jubah coklatnya yang lusuh lalu membakarnya. Pada tiupan yang kedua ia melanjutkan. "Melihat saudaranya semakin gila, Edgar murka dan memutus hubungan kekerabatan dan hubungan kerajaan dengan Gallard. Hal itu membuat perekonomian di Gallard semakin kacau balau, karena daerah kekuasaan Edgar di kerajaan Moriandor menyimpan kekayaan tambang emas yang besar. Pegunungan XXX mengandung banyak emas emas, emas itu yang nantinya menjadi akan diolah oleh pandai besi Gallard untuk menjadi pedang, baju zirah, helm, patung raja, dan hiasan-hiasan di dalam istana. Selain itu, aliran sungainya mengaliri batu permata, dan batu-batuan di hutannya dipenuhi bijih logam.
"Seandainya wilayah Vardelle memiliki kekayaan serupa," kata Garreth mengeluh.
Alazar tertawa kecil dan mengangkat telunjuknya. "Tekanan dari Edgar tidak pernah berhenti. Tidak lama dari perang dingin antara dia dan sepupunya. Edgar memilih untuk memutus hubungan dengan kerajaan Gallard dan menghentikan semua perdagangan emas dan batu permata.
Wajah Damar terlihat puas.
Alazar menghisap cerutunya dalam-dalam, lalu melanjutkan. "Perang dingin itu berlangsung hingga settahun penuh, candu Raja Eldart akan emas menyiksa. Menurutnya tidak adanya pasokan emas dari sepupunya membuat kota Gallard tidak lagi di segani. Pikirannya terlalu mabuk dan teracuni perhiasan. Akhirnya ia menyetujui perjanjian itu dengan syarat Moriandor membuka kembali jalur perdagangannya."
Waktu sudah berlalu sejam semenjak mereka berkumpul. Menghadirkan suasana perbincangan yang semakin dalam. Tidak terasa cahaya matahari semakin siang dan membundar seperti piring di balik kepulan asap putih yang tipis. Alazar tau waktu mereka tidak banyak untuk membicarakan ini, tidak lama prajurit itu akan tiba dengan iring-iringan yang tidak sedikit. Alazar mengetuk-ngetuk jarinya di sisi jendela, memperkirakan waktu rapat ini selesai sebelum akhirnya melanjutkan.
"Saat Edgar mengatur pertemuan besar antara ras manusia dan elf. Raja Eldrin menolak," raut Alazar berubah.
"Kenapa?" tanya Damar.
"Zenoth, sang enchanter terbesarnya berkhianat karena ketidak percayaannya pada manusia. Semenjak kejatuhan enchanter oleh pembunuh bayaran sewaan Eldart, Zenoth pun semakin sinting. Dia sadar dirinya yang memiliki bakat langka dan kemampuan sihir paling tangguh di antara elf dan enchanter lainnya. Ia menghianati rasnya sendiri dan membawa para elf-elf yang membenci manusia dan menghasut Wildster dengan kemampuannya untuk menghancurkan ras manusia."
"dan bagaimana elf itu sendiri?" tanya Will.
"Apabila Eldrin menentangnya dia akan menghancurkan kaumnya sendiri," jawab Alazar dan mengangkat alisnya. "Eldrin takut penghiantan Zenoth ini membahayakan seluruh ras di Westeria. Itu sebabnya dia menolak perjanjian itu, menunggu hingga Zenoth kembali waras dan membuang semua ambisi bodohnya."
Alazar lalu berjalan menuju ke tempat naga itu lagi, mengusap kepalanya dengan jemarinya. Merasakan sentuhan istimewa dari dirinya. Naga itu menguik dan kepulan asap kecil keluar dari hidungnya.
"Setelah penghianatan Zenoth, Raja Eldrin merahasiakan berita itu dari raja-raja manusia. Dia menghindari perang antar manusia dan elf. Dan mencoba mencari solusi dari permasalahan yang merupakan tanggung jawab ras elf."
"Zenoth menolak untuk berubah pikiran?" tanya Damar gelisah.
" Benar, berabad-abad Zenoth dilupakan oleh raja-raja manusia." Alazar lalu menyeka wajahnya dengan kain, sinar di matanya tampak meredup. "Elf berumur panjang dan hidup abadi, ketika edgar dan Eldart wafat. Keturunannya kini duduk di kursi tahta masing-masing milik kakek buyutnya, Lalu perjanjian itu tidak pernah terjadi dan Eldrin menutupi kepergian Zenoth dari hutan elf di Ocadena dari manusia."
"Alih-alih menyelesaikan masalah kaumnya, Zenoth justru semakin sinting. Dia menemukan sarang naga terakhir di XXX, menghasut induk naga itu untuk menuruti keinginannya menghancurkan ras manusia. Namun sang induk menolak, Zenoth membunuh dan mencuri ketiga telur itu untuk ditetaskan menjadi pengikutnya."
Mereka terbelalak dan meneguk air liur karena tubuhnya menegang.
Damar mengepalkan telapak tangannya dan berkata, "Salah satu dari telur itu adalah…"
"Naga ini," kata Alazar. Ia melemparkan sepotong daging, naga itu langsung menyambar dengan lompatan yang tinggi.
"Tapi kalau naga ini menghilang dan Zenoth mencarinya, kenapa Gallardian juga mengetahui tentang rahasia itu?" tanya Garreth.
"Sungguh aku tidak tahu sampai sedetil itu, kemungkinan Helbert mengetahui dari catatan-catatan kuno milik kakek-kakeknya dan Gallardian memiliki banyak mata-mata. Bahkan raja rela membayarnya dengan imbalan tinggi untuk pencari informasi dan pembunuh bayaran milik kerajaan."
"Pertanyaanku yang terakhir," katanya dengan wajah serius. "Aku tidak ingin bertanya lebih panjang dan rumit, karena itu melelahkan dan mendengar semua pengakuanmu di rapat ini cukup membuat perutku mual ingin muntah. Jadi, apa kau ada kaitannya mengapa telur ini ada di Vardelle, serta kemunculan morgul-morgul di tanah ini yang hendak membunuh Will dan Damar?"
Alazar mengangkat alisnya, sejeak dia diam dan berpikir. Lima menit berlalu dan ia menghembuskan napas lalu berkata. "Benar tapi melalui kisah yang panjang. Aku memang berkaitan dan berhubungan dengan kejadian-kejadian ini, tapi semua demi suatu misi penting yang harus dilakukan. Tentu dengan konsekuensi yang tidak kecil."
"Sial!" kata Garreth memaki dan meninju dinding hingga jemarinya lecet. Dia mengeluarkan cacian yang sulit dimengerti dan berdiri keluar ruangan. Aline mengikutinya, mencoba menenangkan suaminya yang mengamuk.
Damar dan Will masih menatapnya dengan ingin tahu, mereka merasa pembiacaraan ini belum selesai. Alazar lalu berdiri masuk ke kamarnya. Damar melihatnya dengan heran dan menunggunya keluar kamar. Awalnya dia berpikir Alazar ingin beristirahat dan memikirkan langkah selanjutnya dengan tenang. Tapi tidak lama dia keluar, membawa seekor gagak kecil yang bertengger di tangannya.
"Gagak?" tanya Damar.
Alazar diam tidak menjawab. Bibirnya didekatkan kepada telinga si gagak yang kebingungan lalu berbisik dengan bahasa yang hanya dimengerti dirinya. Sewaktu dirinya selesai, gagak itu mengepakkan sayap seperti seekor kolibri yang kelaparan. Mata gagak itu bersinar hijau dan mengaok. Gagak itu terbang berputar-putar di antara mereka bertiga dan bertengger di hiasan tanduk jantan yang tergantung di dinding rumah Alazar.
Sewaktu gagak itu mulai tenang, ia membuka paruhnya dan bersenandung.
"Du eonna, shurta gahaz warda normala iz la eonna," kata gagak yang matanya semakin bersinar. "Mierla han knurla dormani az tarla nirmana en Alazar?"
"Welden la shurta, du harla meloden na lahoen," kata Alazar membalas.
"Haar durla du heonna Alazar," Kata gagak.
"Haar durla di heonna."
Alazar lalu menundukkan kepalanya di hadapan gagak yang bertengger itu.
Gagak itu kemudian terbang berputar di atas naga itu, sewaktu naga itu merasa risih dan melecutkan ekornya ke lantai. Dia hendak melompat dan menyambar gagak itu. Tetapi cahaya berkilauan berwarna hijau menembus tubuh sang gagak, melalui celah-celah bulunya yang sehitam malam. Gagak itu semakin terpecah dengan inti hijau yang berkilauan. Beberapa detik pemandangan itu mengejutkan Will dan Damar. Tubuh sang gagak lenyap seiring dengan berkasan cahaya yang memecah gagak itu menjadi sepihan debu. Seketika sang gagak pun lenyap menyisakan cahaya hijau sisa di mata Damar.
"Kau membunuh gagak itu?" kata Damar bertanya, raut sedih terpancar di matanya.
"Gagak itu pembawa pesan. Aku yakin kalian baru melihatnya seumur hidup kalian, jika harus ku katakan bahwa gagak itu mati," Azalar mengerjap lalu bersedekap. "Benar, tapi sebuah tugas sudah selesai. Gagak itu telah menyelesaikan misinya."
"Misi apa dan apa yang gagak itu katakan?"
"Sahabat elfku Dario, pembawa alias pencuri telur naga, di akhir hayatnya memberikan pesan melalui bisikan mantra kuno kepada seekor gagak. Menyampaikan pencapaian misi untuk mencuri telur ini dan mengamankan di Vardelle."
"Jadi gagak itu terus dirasuki mantra itu hingga tugasnya selesai dan akhirnya mati?" Will menyeringai.
"Semua tindakan untuk melawan kegelapan memerlukan pengorbanan nak. Aku dan Dario sudah menghadapi kematian lebih dari yang kalian kira. Semua enchanter mengemban tugas dan amanat yang mengharuskan mereka memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Mustahil untukmu menghindar dari takdir semacam itu kecuali jika kau ingin lari dari tanggung jawabmu seperti seorang pemburu yang membunuh rusa tanpa menyantap dagingnya. Sebelum seorang enchanter memantrai seekor hewan atau wildster yang memiliki tingkatan tinggi, Enchanter harus yakin mahluk itu mau bekerjasama untuk mengemban beban demi melawan kegelapan."
"Lalu bagaimana kabar Dario dan dimana dia?"
"Takdir dia berakhir, dia tiada saat berhadapan dengan salah satu pelayan setia Zenoth, satu sang empat bayangan kegelapan, Uzieg si perusak," Alazar mengusap kelopak mata dan menahan air matanya menetes.
Damar dan Will terlonjak, "dan informasi itu berasal dari..?"
"Gagak pembawa pesan itu, tepat pada saat aku berjanji menemuinya di pegunungan Helmaer. Aku menunggu kedatangan Dario seperti janji kami berdua. Kami bertemu di saat bulan purnama sejajar dengan puncak gunung Helmaer. Menetaskan naga itu dan membesarkannya untuk melawan Zenoth si penghianat. Tapi hingga bulan purnama kembali sedia kala menjadi bulan biasa, minggu demi minggu terlewat hingga musim dingin tiba. Gagak itu datang membawa pesan tentang lokasi telur itu, di akhir kalimat dari gagak itu. Dia mengatakan Dario memberikan harapan terakhirnya padaku. Aku sadar bahwa dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan telur itu."
"Aku turut berduka," kata Damar kecewa.
"Seperti kubilang, perang ini melebihi dari ekspetasi kita terhadap kedamaian, lawan kita adalah seorang enchanter penghianat atau penyihir kegelapan, sang pengendali wildster beserta pelayan-pelayannya yang setia. Kurasa sangat bijak untukku menghindari korban sekecil mungkin, tapi kegelapan memaksa kami berkorban lebih untuk memberikan sepercik cahaya. Dewa telah menunjukan cahaya itu sekarang, naga ini menetas dan memilih pengasuhnya dengan pilihannya sendiri," Alazar menatap mata Damar dengan tajam tapi lembut. "Kau telah dipilih naga ini Damar, walaupun naga ini masih kecil. Dia bisa merasakan kekuatan pancaran yang besar dari dirimu. Bahkan dia bisa melihat bakat seorang enchanter sejati dari dirimu."
"Itu hanya kebetulan!" Damar tidak setuju.
"Jika memang naga ini memilihku penyihir biasa, aku sudah pasti menemukan naga itu lebih dulu dari dirimu, membawanya pergi secepat angin dan meninggalkan Vardelle sebelum para prajurit berbalut zirah emas murahan itu tiba."
Tepat sewaktu Alazar mengakhiri kalimatnya, naga itu melompat ke pangkuan damar. Membuka sayap kecilnya yang tipis, memperlihatkan urat-urat kecil. Dia berputar gembira dan melompat naik ke bahu Damar, lalu menjilati pipinya dengan lidah berduri kecil. Damar merasa geli dan menggaruk leher naga itu.
"Untuk langkah kita selanjutnya."
Alazar berhenti memikirkan segala kemungkinan, lalu melanjutkan, "meninggalkan wilayah Vardelle adalah cara terbaik kita saat ini. Pihak kerajaan belum mengetahui keberadaan naga itu dan baru menerka melalui informasi mata-mata yang belum akurat."
Damar tampak sedih, terlihat melalui sorot matanya yang pudar. Mereka berdua diam dan akhirnya mengangguk. Beginilah akhirnya, dalam pikirannya.
"Tapi kemana kita akan membawa naga itu ke tempat yang aman, sarang itu pasti sangat jauh asalnya dan perlu pemandu yang handal untuk tiba," Will menggeleng tidak setuju.
Alazar mengkerut, urat dahinya timbul, ia mengangkat telunjuknya membentuk angka satu, "bukan membawa ke tempat yang aman, justru takdir ini membawa hal yang jauh lebih dari mengembalikan seekor anak naga. Kita akan melatih Damar menjadi seorang pengendali yang tangguh, menajamkan kemampuan bakat dan bertempurnya. Lokasi yang pantas untuk hal itu adalah Negeri para elf di Hutan Ocadena, tepatnya kerajaan Horien tempat Raja Eldrin duduk di tahta istana."
"Sungguh?" Damah terlonjak.
"Aku tidak yakin mereka akan menerimaku sebagai enchanter manusia di sana!" Damar tidak menyetujui usul Alazar.
"Mereka menghormati seorang enchanter seperti mereka menghormati para leluhur enchanter terdahulu. Enchanter manusia pun merupakan bagian dari seorang pengendali yang berperan penting untuk perdamaian antara ras elf, manusia dan wildster di masa lampau. Walaupun enchanter murni berasal dari darah seorang elf dan turunan elf, berbeda dengan manusia yang memiliki bakat enchanter melalui ajaran dan latihan. Seorang pengemban tugas pengendali menjadi sosok yang istimewa dan berharga. Elf mengerti prospek itu dan paham apa yang mereka putuskan."
"Kapan kita harus meninggalkan Side Vardelle dan menuju Kerajaan Horien?"
"Well, kuharap saat ini kalian segera berkemas dan membawa banyak cadangan makanan yang kalian butuhkan," Alazar lalu tersenyum, memandang Damar dan Will bergantian. "Kita berangkat sore ini segera menuju Desa Acton, untuk membeli kuda untuk kita."
Damar dan Will terlonjak, lalu mengerjap. Butiran keringan mulai menetes di dahi Damar yang kaget, dia hendak berpikir terlebih dahulu. Langit oranye yang tembus di balik kaca ruangan rumah Alazar memaksanya untuk menunda pikirannya. Waktu mereka sangat sedikit. Mereka tidak punya waktu untuk menikmati hari-hari terakhirnya di Side Vardelle. Takdir keras memaksanya melupakan kenangan-kenangan dan pecahan memori indah tentang SideVardelle, udaranya yang sejuk dan manis, batang-batang pohonnya yang sehat dan kawanan rusa yang berlarian. Semua harus digantikan dengan perjalanan tanpa akhir yang jelas. Menyongsong kegelapan yang tidak terduga.