Damar terbangun ketika berkasan cahaya menembak kelopak matanya yang tertutup. Ia beranjak dari ranjangnya dan menuju ruang penyimpanan makanan. Perutnya terasa lapar, ia mengambil dua roti kering yang terbungkus daun kering. Miris pikirnya, namun memang hanya itu persediaan makanan yang mereka punya. Damar kemudian keluar dari pondok kecilnya sembari mengunyah roti keringnya dengan sangat lahap.
Deretan hijau Hutan Vardelle membentang dihadapannya hingga sudut terjauh, di baliknya ia bisa melihat deretan perbukitan sampai pegunungan Helmaer yang bergandengan. Sisi badan gunung itu terlihat hijau lembut dari kejauhan dan puncaknya memutih tertutup salju. Gumpalan-gumpalan awan pun bergelantungan melayang di sekitar pegunungan, hendak menyembunyikan puncaknya.
Cuaca saat itu cuaca yang terbaik, meski musim dingin hendak menyapa. Damar masih merasakan hembusan hangat bertiup. Ia kembali malahap roti kering itu dalam satu gigitan hingga nyaris tersedak.
Bagaimana keadaan Will dan Hans? Apa mereka sudah sampai di Desa Vardelle? Entah sudah berapa lama Damar tidak mengunjungi Desa tempat dia tumbuh. Ia terdiam, lalu menghitung tahun dengan jarinya. Damar tringat saat dia bekerja bersama Gary dan Will, memanen lahan gandum dan jagung yang luas.
Gary memang kepala desa yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekonomi di Desa. Jika ia memilih untuk tetap tinggal bersama Gary mungkin hidup mereka jauh lebih baik, tapi Damar tidak menyesal. Bertahan hidup dengan Will adalah yang terbaik untuknya. Kakaknya mengajari dia cara bertahan hidup tanpa bergantung pada orang lain, mendidiknya menjadi laki-laki yang tangguh. Terlebih, semua orang di desa tidak menyukai keberadaan kami.
Damar kemudian membaringkan dirinya di hamparan rumput hijau di samping pondok kecilnya. Menatap langit dan bersenandung. Cuaca saat siang itu hampir memaksanya untuk memasuki lagi Vardelle, hanya sekedar untuk berpetualang kecil.
Suara derit terdengar samar di telinganya. Mengganggu lamunan Damar di atas rumput kecil yang berkobar. Ia terperangah, sesosok pria tua keluar dari pinggir Vardelle. Pria itu tidak sendiri, ia mengopoh seekor rusa jantan besar yang berukuran hanpir dua kali tubuhnya.
Pria itu nampak tidak kesulitan, berjalan dengan santainya sambil bersiul-siul. Wajahnya sudah berkeriput, alis putih tebal menggantung di atas matanya. Rambutnya hitam bercampur putih tumbuh berantakan seperti jerami layu yang terabaikan. Kumis putih lebat hampir menutupi bibirnya yang pucat dan jenggot tebal bergelombang tumbuh menutupi lehernya yang kurus.
Damar hampir lupa mengenai dirinya, enam bulan yang lalu pria itu muncul. Dia tidak mengatakan apa-apa pada mereka yang sedang memakan sup kelinci lalu membangun gubuk tidak jauh dari pondok kecil mereka. Jarak gubuk itu sekitar satu kilo, hamparan rumput setinggi mata kaki lah yang memisahkannya, Sehingga atapnya yang terbuat dari batang jeawut dan rerumputan dapat terlihat.
Sampai saat ini, Damar, Will dan Hans tidak pernah tau apa tujuan dari pria itu, darimana asalnya dan niat dirinya tinggal di pinggir Vardelle jauh dari Desa Vardelle. Apakah dia berbahaya? Sulit ditebak pikirnya. Beberapa bulan ini Pria itu terlihat aktif berburu. Meskipun tubuhnya terlihat sudah berkeriput, Damar mengakui kekuatan fisik luar biasa yang tersirat dari pria itu.
Pria itu semakin mendekat melewati pondok kecil. Damar menatapnya dengan tajam, kekaguman terpancar dari matanya melihat rusa yang lebih besar dari temuannya kemarin malam. Berhasil di tumbangkan oleh pria yang tua. Pria itu membalas tatapan Damar.
"Aku tidak sungkan untuk membaginya dengan kalian," katanya terdiam.
Damar tergoda, sudah hampir seminggu dia tidak makan daging segar. Beberapa hari ini memang sangat krisis, perutnya hanya mengoyak roti kering simpanan dan sayuran-sayuran hutan. Dia terbayang wajah Will. Will pasti tidak menyukai itu, bagaimanapun Will sangat membenci belas kasihan dari orang lain.
Kata-kata itu mengambang diantara mereka berdua, sampai Damar lama tidak menjawab pria. Tetapi tatapannya tidak terlepas dari rusa yang di gopohnya, terselip di kedua bahu pria itu.
"Ah ya! Namaku Alazar, kita tinggal berdekatan tetapi belum pernah mengenal satu sama lain. Aku yakin kau pasti merasa kebingungan, seorang pria tua datang menawarkan buruannya," kata Alazar tertawa ringan. "Seingatku, masih ada dua anak muda lainnya, mereka dimana? Kita bisa mendiskusikannya. Aku yakin, kalian pun tau musim dingin akan datang. Kekurangan persediaan daging akan membuat masalah yang lebih berat dari cuaca dingin itu sendiri."
"Aku Damar, Will dan Hans menuju Desa Vardelle. Menjual kulit wildster, mungkin sekarang mereka sudah disana," katanya Damar spontan.
"Wildster?" Alazar nampak terkejut.
"Iya, berwarna hitam besar, kami bahkan tidak mempercayainya akan bertemu dengan mahluk itu selama bertahun menjelajah hutan Vardelle. Para pemburu dan pedagang nomaden mengatakan bahwa Wildster hidup jauh dari manusia, menjauhi aroma tubuh manusia dan menyendiri di hutan yang dalam. Mereka ganas, membunuh manusia-manusia yang dilihatnya tanpa ampun," kata Damar bercerita.
"Sebagian dari mereka benar dan sebagian salah," jawab Alazar, tatapannya berubah menjadi sangat serius. "yang kau temui bernama, Orgwa, dahulu mereka hidup berkelompok di Utara Westeria. Orgwa memang Ganas, hanya jika melukainya. Selain itu kebuasannya muncul hanya jika ia kelaparan. Dahulu, Orgwa tidak menyerang manusia, mereka cendrung menjauhi dan berkembang biar di dalam hutan yang lebat. Hingga perburuan besar-besaran atas perintah Raja Helbert dilakukan, mereka dihabisi satu persatu. Kulitnya mampu menahan dinginnya salju dan bahkan akan membuatmu tetap hangat saat badan salju sekalipun. Kerajaan menggunakannya sebagai jubah musim dingin untuk bangsawan Gallard."
Damar terbelalak, seorang pria tua menjelaskan Wildster lebih rinci daripada para pedagang dan pemburu yang sering ditemuinya di Vardelle. Damar terlihat antusias, "Mereka memiliki nama?"
"Tepatnya mereka di beri nama, oleh para elf yang datang ke benua ini lebih dahulu daripada manusia. Orgwa mampu hidup hingga ratusan tahun, semakin mengkilap bulu hitam mereka, umurnya bisa mencapai seratus tahun lebih. Jika kau beruntung mendapat pembeli yang jeli, kulit itu mampu bernilai hingga seribu gold," ucap Alazar.
"Harga yang mustahil!" kata Damar, ia terperonjak dan dari baringnya dan berdiri antusias.
"Memang, tapi keberadaan Wildster adalah penyeimbang benua Westeria. Pemburuan oleh pihak kerajaan menurunkan jumlah populasi mereka secara drastis! Orgwa akhirnya terpencar dan semakin sulit di temui, dan- " kata Alazar sejenak terhenti. "mungkin yang kalian bunuh adalah Orgwa terakhir."
Raut kesedihan terpancar di wajah Damar. Wildster itu mati karena dirinya, ia teringat kembali kesalahannya. Kalau saja perburuan rusa itu berhasil. Mereka tidak akan bertemu dengan Orgwa, dan mungkin Hans tidak akan menikamnya. Orgwa itu harusnya masih hidup.
Mereka berdua sejenak kembali terdiam. Alazar memecah keheningan dan berkata, " sepertinya kalian tidak hendak menerima pemberian yang cuma-cuma. Bagaimana kalau aku memberikan kesepakatan."
"Kesepakatan?" tanya Damar.
"sementara kau menunggu Will dan Hans kembali, Kau bekerja membantuku menguliti dan membelah rusa ini, dan kuberi imbalan dengan daging rusa untuk kalian," kata Alazar. "selain itu, aku akan bercerita tentang hal lain tentang Wildster. Kau bisa menjamin bahwa ceritaku lebih tepat daripada apa yang para pedagang itu sampaikan."
Damar bersemangat, tidak ingin berpikir lama. Ia mengangguk.
"Kita sepakat, punggungku semakin pegal, lebih baik kita bawa rusa ini dulu ke gubuk dan aku bisa tenang bercerita.
Mereka berdua kemudian berjalan bersamaan, melewati jalan setapak di samping Vardelle. Mereka berdua kembali terdiam, tapi Damar mulai berani untuk bertanya. "Apa tujuanmu tinggal di sini Alazar?"
Pertanyaan itu, menancap di kepala Alazar. Alazar berpikir, membayangkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. "Masa remaja memang menakjubkan, dipenuhi rasa keingintahuan."
Alazar kembali terdiam, ia menatap langit, "Sesuatu yang sangat penting."
"Kurasa itu bukanlah suatu jawaban."
"Jawaban tidak selalu berupa penjelasan yang rumit, terkadang ia memiliki makna yang tersembunyi untuk suatu tujuan yang lain, dan tujuan itu tidak bisa kusebutkan saat ini," ketus Alazar. Mereka terus berjalan hingga jalan setapak itu mengecil, dan tiba tepat di depan gubuk Alazar.
Gubuk itu lebih kecil dari pondok Damar, namun terlihat lebih rapi, dibangun dengan kayu-kayuan yang proposional. Siapapun yang membangun itu pasti memiliki tujuan yang besar hingga membangunnya sedemikian rupa.
Alazar masuk ke dalam gubuknya, ia kembali membawa dua belati kecil yang terbungkus kulit hewan.
"Kita bisa mengulitinya sekarang, atau kita bisa bersantai dulu dan berbincang," kata Alazar, ia duduk sambil memposisikan buruan rusanya.
"Aku ingin berbincang dahulu, kurasa kau mengetahui banyak hal yang tidak ku ketahui, mungkin itu akan berguna untukku suatu saat nanti."
"Dengan senang hati, tapi aku akan tidak akan bisa bercerita tentang semua hal di dunia ini."
"Ceritakan apa yang kau ketahui tentang wildster!" kata Damar, semangat.
"Luar biasa, itu akan memakan waktu. Kau tidak keberatan?" Alazar tersenyum, Ia mengeluarkan cerutu dari sakunya yang compang-camping, lalu membakar tembakau kering, menghirup dalam-dalam dan menghembuskan sepanjang yang dia bisa.
"Tentu selama ceritamu melebihi kebenaran yang para pedagang dan pelancong itu katakan," kata Damar.
"Well, Wildster adalah mahluk alami penghuni Westeria. Keberadaan mereka tercatat lebih dahulu dari ada sebelum elf, manusia dan morgul datang ke benua ini. Meski perawakan yang terkadang hampir sama dengan dengan hewan buas, ukuran mereka rata-rata lebih besar dari seekor singa dewasa dan bahkan Gajah sekalipun. Selain itu, tingkatan kecerdasan mereka di atas Hewan. Perbedaan yang sama adalah mereka hidup berkelompok atau menyendiri, tergantung yang mana yang kau temui." Alazar berhenti sejenak, dan kembali menghirup cerutunya.
"Catatan-catatan sejarah kuno dari para penjelajah Westeria banyak menyebutkan keistimewaan dari Wildster, aku sering menemukan itu selama menjelajah daratan Westeria. Sebagian lagi menyebutkan jumlah jenis mereka sebanyak puluhan, Sebagian lagi ratusan, hal itu selalu diperdebatkan, tapi itu tidak penting."
"Kau bilang mereka diberi nama? Siapa yang memberi mereka nama dan mengapa?"
"Elf," Jawab Alazar dan menghembuskan hisapan cerutunya lagi, ia melanjutkan. "Seribu tahun yang lalu, Benua ini hanya dihuni hewan liar dan Wildster. Lalu para Elf datang dengan kapal jelajah yang besar dinahkodai oleh Raja Eldrin. Mereka tiba di Westeria dengan penuh kegaguman, melihat mahluk yang tidak mereka temui di Benua asalnya, land of Eden. Eldrin memustuskan untuk membangun peradaban kaum elf di Westeria, dan mencoba membangun kehidupan yang harmonis bersama wildster. Hampir delapan abad lamanya mereka memperlajari tentang Wildster, caranya berkembang, bertahan hidup. Elf mencatat semua itu dengan lengkap, hingga Elf mengetahui hal yang luar biasa dari Wildster."
Sorot mata damar semakin tajam, ia terpaku, meresapkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Alazar, "apa yang luar biasa dari Wildster?"
"Mereka saling berkomunikasi dengan sihir," kata Alazar. "para penyihir Elf, mampu merasakan aliran itu, terpancar dari tubuh mereka. Para penyihir sibuk membuat mantra-manta, tapi tidak berhasil, berharap mereka mampu menyatukan gelombang sihir itu agar dapat berkomunikasi dengan para wildster."
Serontak Damar terkejut, ia teringat sesuatu. tetapi memaksa menyembunyikan raut itu dan berpura-pura untuk tenang.
"Apa elf itu berhasil berbicara dengan Wildster?" kata Damar dan meneguk ludahnya.
"Tidak semua dan bahkan sedikit yang bisa, hanya elf yang mempunyai bakat sihir tertentu untuk, dan kita menyebutnya sebagai seorang enchanter. Setelah itu, Enchanter Elf mulai menamai Wildster itu," kata Alazar, ia mengelus dahinya mencoba mengingat. "Orgwa, Centa, Satyria, Gargola, Wyvera, Dragona, Alaby, dan masih banyak lainnya. Waktu kita akan terbunuh banyak kalau kau mau aku menyebutkan semua nama-nama itu."
Damar, mencoba terus menyembunyikan rautnya, tetapi kegelisahan itu mulai menarik otot-otot wajahnya. Alazar mengetahuinya.
"Apa ada ingin kau sanggah dari ceritaku, wajahmu nampak gelisah," katanya memulai menguliti rusa buruannya.
Sejenak ia terdiam, mencoba menahan. Apa perlu Alazar mengetahui, Orgwa itu berbicara di kepalanya. Damar pun mulai mengiris dan memegang paha Rusa dengan kuat, membantu menguliti dan membuat semua senatural mungkin. Alazar terlihat curiga.
"Apa ada sesuatu dari ceritaku?" katanya tidak basa-basi.
Damar memutar matanya berpikir keras, mencari alasan yang tepat, "Setelah cerita itu, aku semakin bersedih tentang Orgwa, kuharap itu Wildster terakhir yang kami bunuh."
"Semoga, Percayalah, dahulu Wildster tidaklah menyerang manusia. Tepat sebelum kesintingan dari Helbert meracuni semua pikiran manusia terhadap wildster. Elf menjaga hubungan dengan Wildster berabad-abad lamanya. Keharmonisan itu terjaga, selain itu, lantunan harpa yang dipetik oleh jemari gadis-gadis Elf sangat disukai oleh Wildster. Dimanapun Wildster mendengarkan petikan harpa itu, mereka akan tenang."
Damar bersyukur, nampaknya alasan itu tidak membuat Alazar curiga lebih dalam. Setelah itu, Alazar terlihat sangat sibuk dengan belatinya, mengiris dan memotong daging dengan cepat. Ada satu bagian yang tidak ia iris, bagian itu adalah paha, ia masuk ke dalam gubuk, lalu keluar membawa tali rotan. Mengikatnya sedemikian rupa hingga dua paha itu bisa di gantung di bagian leher belakangnya, menyisakan dua paha rusa segar yang bergelantungan di kedua lengannya.
"Kurasa ini cukup untuk beberapa hari. Simpanlah," kata Alazar menaruh kembali paha itu di atas rumput.
"Terima kasih Alazar, kuharap kita bisa berbincang lebih mengenai banyak hal lain kali!" kata Damar sambil mengalungkan daging.
Alazar tersenyum, damar kemudian berjalan meninggalkan gubuk Alazar dan melambaikan tangannya. Alazar membalasnya, kepulan asap tembakau tertiup dari bibirnya. Damar berjalan menuju pondok kecilnya dengan berseri-seri, tapi setelah ia mengingat satu kata, rautnya kembali datar. Ia menghela napas, kata-kata itu tidak lepas dari benaknya sampai ia tiba di kamar dan ranjang tipisnya. Seraya melihat langit-langit atap kamarnya, ia melamun sejak dan berkata, "Enchanter".