Chereads / DAMAR The Breath of Gold and Silver / Chapter 3 - 3. PONDOK KECIL

Chapter 3 - 3. PONDOK KECIL

Damar terbangun di pagi hari saat matahari baru menampakan pijarnya di cakrawala. Matanya masih menyipit. Lengan kirinya terbalut kain putih yang melilit hingga bahunya. Kepalanya masih terasa sedikit pusing. Ia melihat sekeliling, mengapa ia sudah ada dikamar tidurnya?

Iya terbaring di atas ranjang rotannya yang dianyam menyilang di pondok kecil, dengan pondasi terbuat dari bambu kecil berwarna kuning. Di atasnya di baringkan alas berisi untaian kapas yang memadat. ia melihat aneka cadangan obat-obatan di dalam botol kecil berjejeran tidak beraturan di meja kecil samping ranjangnya. Bau khas dedaunan herbal tercium menyengat.

Awalnya Pondok kecil ini adalah tempat bernaung Damar dan Will, sebelum akhirnya Hans bergabung bersama mereka. Ia lega, rupanya dirinya selamat dari malam mengerikan itu. Pasti Will dan Hans bersusah payah membawanya kembali pulang ke pondok kecil ini semalam.

Damar mencoba memejamkan mata, ia teringat bagaimana dulu Gary, Kepala Desa Norbury merawat Damar dan Will ketika masih kecil. Semua terasa berlalu begitu cepat. Masih tergambar jelas masa-masa kecil Damar bersama Will, ketika saat itu mereka masih di asuh oleh Gary. Gary sangat menyayangi mereka berdua. Tapi, dia bukanlah ayahnya.

Lalu siapa ayahnya? Mendadak kata-kata itu muncul kembali dalam benaknya.

Will sangat benci ketika Damar bertanya siapa ayah kandungnya. Will selalu berkilah dan berkata Gary lah ayah mereka. Pasti sangat menyenangkan apabila dia mengetahui ayah kandungnya.

Ia mulai teringat bagaimana Gary sempat bercerita sekilas mengenai ayahnya. Usia damar saat itu satu bulan dan Will tiga tahun, ketika seorang pria menitipkan dua anak lelaki yang menangis keras. Pria itu bersujud di depan Gary dan memohon untuk merawatnya. Hujan deras turun di kala itu. Gary nampak kebingungan dan menyeka air yang membasahi wajahnya, para anak itu pasti kedinginan. Tetapi pria itu tidak bergeming dan terus bersujud.

"Kuhomon, jaga mereka berdua, hingga saatnya tiba," kata pria itu.

Damar mencoba mengingat kembali apa yang Gary katakan, tapi semua terlihat samar. Hanya maaf berulang kali yang terucap dari pria itu dan akhirnya meninggalkan rumah Gary. Begitulah yang Gary katakan dulu.

Usia beranjak dua belas tahun tahun saat orang-orang di desa memandang kami berbeda. Mereka mencibir, melempari Will tomat dan telur busuk. Hanya karena mereka menganggap Will dan Damar adalah anak liar. Will dikala itu berusia lima belas tahun, ia murka dan marah. Ia mencoba melarikan diri bersama Damar. Tapi kesungguhan Gary dan kasih sayangnya sering meluluhkannya. Will tahu bagaimana tekanan yang dirasakan oleh Gary. Tapi ia sungguh tidak berniat melepaskan Will dan Damar.

Will bersikeras dan akhirnya meninggalkan rumah Gary dengan sepucuk surat. Damar tidak bisa membaca, tetapi ia mengingatnya, sebuah kata-kata yang di ucap Will pada malam sebelum mereka meninggalkan rumah Gary di Desa Vardelle. Will menggumam sambil menulis di samping cahaya redup lilin putih, dan pena bulu gagak. Kata-katanya adalah.

Gary, aku tahu apa yang sudah kau lakukan kepadaku dan Damar.

Kebaikan dan kesungguhanmu dalam mengasuh kami si anak liar.

Duniaku dan Damar masih sebatas kertas putih tanpa tulisan.

Mereka tidak paham tentang kita kan? Aku mengerti itu.

Belum tergores sedikitpun tinta dalam kertas itu.

Percayalah, yang aku lakukan akan membuatmu mengerti.

Betapa Akupun menyayangi mu Gary.

Tapi, rumahmu bukanlah rumahku dan Damar.

Aku akan sejenak pergi, membangun kehidupan bersama adikku..

Jangan kuatir! kami tidak akan jauh dari Norbbury!

Dan, Mungkin suatu saat akan ku undang kau ke rumah baruku!

Will.

Lalu ia teringat bagaimana, dia membantu Will membangun pondok kecil ini di pinggir hutan Vardelle dengan sederet pegunungan Helmaer yang menjulang. Beberapa kayu-kayuan dan papan di beli dengan uang damar bekerja sebagai petani ladang. Tetapi bahan itu tidak cukup, banyak di ambil dari hutan di Vardelle. Pondok kecil itu tidak besar, tapi cukup dan menghangatkan. Pada saat itulah mereka belajar berburu di pinggir hutan Vardelle.

Berbeda dengan Hans, Hans merupakan anak yatim piatu yang hidup nomaden bersama pedagang. Mereka bertemu saat Will pulang membawa kayu bakar. Mereka bertiga saling bercerita, membagi pengalamannya masing-masing.

Hans berkata dirinya membenci para pedagang karena sering membagi keuntungan tidak adil padanya, dan bermimpi dapat menjadi bangsawan yang kaya raya dan menetap di suatu istana miliknya. Banyak cerita keluar dari mulut hans saat itu. Yang paling Damar ingat adalah ketika ia bercerita sedikit tentang masa lalunya, ia berulang kali mengatakan ayah dan ibunya adalah seorang pedagang kaya dari Kota Moriandor. Kota perdagangan yang megah berjarak ratusan kilo dari Vardelle. Damar dan Will berusaha mempercayainya, meskipun nampak mustahil. Mereka hanya saling tertawa bahagia saat itu.

Puas bercerita di dalam gubuk kecil, ia tertarik dengan kehidupan damar dan Will sebagai pemburu dan mandiri. Lalu ia memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Itulah awal mula cerita dari mereka bertiga, tiga pemuda pemburu.

Damar masih terbaring, ia mebolak-balikkan bola matanya, mengingat apa yang terjadi semalam. Semua masih terpancar jelas dalam benaknya. Wildster hitam yang berbicara di dalam kepalanya. Ia mencoba berkonsentrasi Tapi nampaknya hanya membuat dahinya pening.

Ia beranjak dari ranjang lalu meneguk segelas air yang berada di sebuah meja kecil dari kayu dekat ranjangnya. Ada sebuah kata-kata yang selalu tergiang.

Ada sesuatu di dalam goa itu..

Apa? Apakah itu sarangnya? Tapi mengapa wildster itu nampak bertanya pada apa yang ada di dalam. Bukankah itu sarangnya, pikirnya terus bertanya-tanya. Wildster itu nampak tertarik pada sesuatu yang ada di sana, entah itu harta, makanan atau mungkin roh? Bulu kuduknya berdiri ngilu. Damar lalu diam, dan meneguk kembali sisa air di gelasnya.

Mungkin dia harus mencari wildster itu untuk mendengar lagi apa yang dia bicarakan. Ide itu mungkin terdengar gila, tetapi ia sadar dirinya istimewa. Suara yang dia dengar semalam bukanlah ilusi atau kebohongan. Semua nyata dan ia yakin gelombang suara itu tertangkap oleh syaraf di otaknya.

Samar terdengar suara keributan di luar pondok. Ia segera bangkit keluar kamarnya, mencoba mendekati sumber suara keributan di luar.

Will dan Hans saling berhadap-hadapan. Sesuatu yang serius tampak sedang di bicarakannya dengan suara yang keras. Damar mencoba bersembunyi di balik tembok. Mendengarkan secara diam-diam.

Hans melipat lengannya di dada dengan bangga, "Bagaimanapun kita berhasil membunuh hewan liar itu dan membawa kulitnya, seharusnya kau bersyukur!".

Will menatapnya dengan tajam dan menunjuk ke arah pondok kecil, "Kau semakin sinting! Yang kita bicarakan tentu nyawa Damar. Ku harap ke egoisanmu tidak akan membunuh adikku di masa yang akan datang."

"Berhentilah berbicara soal kematian, kita adalah pemburu dan semua resiko itu adalah kesempatan kita untuk bertahan hidup!" sela Hans. "musim dingin berlalu bagai kibasan angin, Apa yang terjadi apabila seminggu ini kita tidak mendapat buruan? Kau pikir kawanan rusa itu sangat cerdas hingga mereka berpikir pinggiran Vardelle adalah rumah yang nyaman untuk bersarang?"

Will nampak tidak terima, "apa kau tidak melihat rupa wildster yang menyerang kita dan Damar? Dan apa yang kita peroleh setelah kita membunuh wildster itu? Hanya tumpukan kulit penuh bulu! dan itu bukan daging! Kuharap kau cukup tau kalau aku sama sekali tidak berminat memakan daging hitem hewan terkutuk itu!"

"Kalian memanglah pemburu liar yang bodoh! Kulit itu mungkin bisa dijual dan kita bisa mendapatkan gold yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan kita selama seminggu lebih, sepuluh tahun lebih aku bersama pedagang dan aku tau ini akan bernilai di Desa Vardelle!" Hans, iya memalingkan wajah dan berniat mengacuhkan Will.

Will menghela napas, "Dan aku sudah tinggal di Desa Vardelle selama sepuluh tahu lebih. Aku tau yang penduduk Norrbury butuhkan, bukan selembar kulit mahluk buas, tetapi daging dan makanan."

"Cukup! Aku sodah bosan dengan pembicaraan ini, lebih baik kubawa saja tumpukan kulit ini menuju desa. Berbicara denganmu akan membunuh lebih banyak waktu. Sampai kapan kita akan membicarakan hal malam kemarin?" jawab Hans berpura-pura sabar.

Hans kemudian berjalan menuju kereta gerobak kecil yang terisi penuh oleh kulit wildster hitam itu. Mengecek rotasi dari ban yang terbuat dari kayu. Beberapa kali ia menyibukan diri di sekitar gerobak kayu itu, mencoba mendindar dari pembicaraannya dengan Will.

Will menggelengkan kepalanya, semua terasa berat. Banyak kata yang ingin dia sampaikan pada Hans tetapi dia tau, semua akan sia-sia bagi si keras kepala Hans.

"Aku akan ikut denganmu," kata Will singkat.

"Bagus."

"Aku akan melihat keadaan Damar dulu, kalau kau pikir aku akan berangkat tanpa melihat keadaannya, maka kau akan menyesal," Will berjalan meninggalkan Hans.

Dia kemudian mendorong pintu yang terbuat dari susunan kayu papan yang lurus. Pintu hampir berdebum keras, emosinya sedikit meluap-luap. Dia melihat damar yang duduk tidak jauh dari pintu itu, menatapnya sambil mengelus dagunya.

"Seberapa banyak yang kau dengar?" kata Will menuju tempat duduk terdekat.

Damar mengangkat bahu, "Mungkin, sebanyak yang kalian bicarakan."

Will menghela napas. Ia melirik ke luar ruangan pandangannya menuju Hans yang masih serius sibuk mengeotak atik kereta dorongnya. Iya menyipitkan matanya lalu menutup pintu pondoknya rapat.

"Jadi kalian berhasil membunuh wildster itu-," kata Damar.

"dan Wildster itu hampir berhasil membunuh kita bertiga," potong Will.

"Apa yang terjadi saat aku pingsan?"

"Kau seperti orang sinting, menggeliat dan berteriak-teriak. Aku pikir mahluk itu sudah menelan salah satu bagian tubuhmu," Will mencoba bercanda, tapi Damar tidak tertawa. "Wildster itu nampak kebingungan, bagaimanapun semua terjadi bagai tiupan angin. Kami datang tepat waktu, Hans dengan cepat menusuk leher belakang wildster itu hingga menembus lehernya. Kupikir sesaat saat kami berlari seperti orang sinting mendekatinya, ia akan berbalik dan mengunyah kita seperti kerupuk."

"tapi dia diam saja, menatap ke arah goa itu. Hans nampaknya tidak menyadarinya," kata Will.

Will meremas tangannya, ia terlihat sangat gusar, "Bagaimanapun Hans semakin tidak terkontrol, semua idenya akhir-akhir ini berujung petaka. Kau ingat kan bagaimana dirinya saat rusa itu lepas. Entah mengapa aku merasa sedikit muak dengannya."

"Keadaan saat itu memang sulit, dan ku akui itu salahku," kata Damar.

"Tentu kita masih mempunyai banyak pilihan, andai kita memilih bersabar mungkin rusa itu akan kembali ke pinggir Vardelle saat ia merasa sudah aman. Yang kita butuhkan hanya beberapa jam saja." Will semakin serius. "keputusan fatalnya adalah memaksa kita memasuki Vardelle lebih dalam dan akhirnya membuatmu berakhir seperti ini. Semakin lama dia bersama kita, dia semakin bertingkah."

"Aku baik-baik saja," jawab Damar singkat. "lagipula, meskipun kita tidak mendapatkan rusa itu, sepertinya kita mendapat sesuatu yang lebih daripada rusa itu kan?"

Will menggaruk rambut coklatnya, "Entah, aku bahkan tidak yakin kulit itu akan bernilai, pedagang Vardelle akan berpikir panjang untuk membeli sebuah hiasan rumah. Mereka lebih menghargai daging, gula, dan gandum."

"Seperti yang sudah kau dengar, aku dan Hans akan pergi menuju Desa Vardelle, membawa kulit itu dan mencoba menukarnya dengan gold. Sebetulnya aku tidak menyukai Desa Vardelle, mengingatkan kita akan banyak hal bukan?" kata Will tersenyum. "Pastikan kau baik-baik saja, mungkin aku akan kembali esok pagi, Desa Vardelle cukup jauh."

Damar melipat lengannya di atas meja kayu, dan mengangguk.

"well," Will mencoba beranjak dari tempat duduknya, ada sesuatu yang mengganjal saat dia melihat raut Damar yang terlihat sedikit kecewa.

"Kau yakin baik-baik saja? Aku ingin mengajakmu, tapi lukamu belum pulih, meskipun aku menjahitnya dengan sangat baik," kata Will memastikan.

Kepala damar kembali melilit, sesuatu hal besar perlu di ceritakan kepada kakaknya. Ia tidak bisa menyimpannya lama-lama, rasa penasaran dan keingintahuan memenuhi kepalanya dan berputar terus menerus.

Perlukan Will tau? Mungkin Will merasakan apa yang Damar alami. Tapi apakah Will bersedia menemaninya menuju goa itu, untuk melihat sesuatu yang mungkin menjadi kejutan bagi mereka berdua. Melihat kondisinya sekarang, Will pasti terlalu kuatir akan hal itu. Iya pasti akan mengurung damar sementara dan melarangnya menyentuh Hutan Vardelle.

Damar bimbang, pikiran itu terombang ambing di antara dirinya dan Will, "Ada hal yang ingin aku katakan mengenai semalam."

"Hmm?" Will mengangkat alisnya.

Pintu berdebum keras, menggema di ruangan kecil yang terbuat sebagian besar dari kayu-kayuan.

"Kurasa aku melewatkan banyak pembicaraan?" kata Hans tajam, iya melirik ke arah damar dan Will bergantian. "jika ini waktunya untuk berbincang hangat, maka kalian salah. Matahari tidak menunggu kita untuk tenggelam."

Will menggelengkan kepala memaksa dirinya untuk sabar, "baiklah kita berangkat. Ah ya! Damar lanjutkan nanti saja setelah kami kembali."

"Okay Will, selamat tinggal."

Will dan Hans kemudian meninggalkan pondok kecil, siluet mereka kemudian perlahan menghilang di telan ujung dari jalan setapak. Damar menggerutu, mencaci dirinya dan beranjak menuju ranjangnya untuk bersantai. Tetapi, hal itu tidak menghilangkan semua pertanyaan Damar atas kekacauan malam kemarin.