Musim dingin di daerah Vardelle memaksa hewan mamalia bermigrasi ke Selatan, menyisakan sedikit kawanan rusa dan mamalia bertanduk. Jalur-jalur utama yang mengarah ke dalam hutan mulai di tanami papan peringatan berbahan kayu lapuk yang sudah usang. Hampir sebagian tertutupi salju putih dan hanya menyisakan tulisan samarbertuliskan "Dilarang Masuk Terlalu Dalam". Jalur itu sebenarnya jalur yang sudah tua, dibuat dari para pelancong dari luar wilayah Vardelle untuk menjelajah Vardelle di masa lalu.
Kebanyakan berasal dari wilayah Elda di dekat Westwood. Sewaktu Elda berada di bawah kepemimpinan Edgar Gideon dari rumah Miriandor, orang Elda banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari wilayah kota merdeka di Negeri Ocadena. Mereka mengumpulkan segala buah-buahan, umbi, dan gandum dari Elda untuk di bawa ke Utara dan pesisir timur menuju Hyria.
Beberapa tahun Elda menjadi pusat lalu-lalang para pelancong yang menjadi pedagang. Namun selama masa kejayaan Elda, beredar rumor mengerikan tentang adanya wildster. Mereka banyak tidak percaya, tapi tidak menutup kemungkinan berita itu benar. Satu hal yang yang mereka setuju adalah wilayah utara tidak memiliki hukum kerajaan.
Utara adalah wilayah paling aman dari peperangan dan penjatuhan kekuasaan. Tapi orang Selatan sering menyeringai sombong, menurutnya hanya orang bodoh mau bertahan di lingkung dingin dengan cadangan makanan sedikit, tidak dengan Elda.
Banyak diantara pelancong yang mengembara di hutan pedalaman berujung hilang tanpa jejak, sebagian ditemukan mati kedinginan, kelaparan dan bahkan tidak pernah ditemukan. Semenjak saat itu, para tetua di Vardelle banyak menancapkan papan peringatan di jalur-jalur tua bekas pelancong. Mereka menyebutnya sebagai, jalur kematian.
Saat musim dingin, Hutan Vardelle bukanlah tempat yang bersahabat bagi hewan mamalia untuk bertahan. Pemburu hanya mengandalkan daging-daging cadangan yang sudah di bekukan di gudang. Hutan itu terlalu sial untuk mereka di musim ini. Satu-satunya sumber kehidupan di hutan Vardelle adalah aliran deras dari sungai Raen yang terbentang dari hulu pegunungan Helmaer dan berhilir di danau Musden tidak jauh dari desa Vardelle. Menyediakan jumlah ikan yang cukup melimpah.
Cahaya pucat semakin bersembunyi tertutup cakrawala, memendarkan cahaya jingga. Udara segar berganti menjadi menyakitkan. Kabut tipis mulai menyembunyikan kaki-kaki para pemburu muda, pertanda siang berganti sore. Damar, yang berjalan pelan di belakang Will mulai merasa ini bukan pilihan yang baik. Hawa hutan yang semakin menekan membuat telapaknya mudah berkeringat. Ia melihat Hans yang berjalan paling depan merasa tidak ragu sama sekali.
Langkah demi langkah adalah pertaruhan. Semakin lama mereka melangkah semakin dalam mereka masuk ke Vardelle, dan semakin dekat mereka dengan rumor yang beredar. Baginya, memohon kembali pada saat ini bukanlah waktu yang tepat, terlebih mereka sudah melangkah jauh dari hutan pinggir. Hans kemudian berhenti dan mengangkat tangan, dibelakangnya Damar dan Will. Dia berlutut mengawasi.
"Didepan adalah sungai Raen, keberuntungan kita akan di uji di sana," kata Hans singkat dan kembali melangkah.
Will mengangguk, tapi ia tetap ragu. Sungai Raen adalah tanda mereka sudah sangat jauh dari hutan pinggiran, setidaknya itu yang pelancong katakan padanya sebulan lalu. Benaknya beradu antara memaksa Hans untuk kembali ke pondok kecil di hutan pinggiran atau terus mengikuti ambisinya.
Tidak lama mereka tiba di hamparan batu kerikil yang terlapisi rerumputan yang tipis. Mereka bertiga tengkurap dang meringkuk, sesaat mengamati apa yang terlihat di depannya. Sungai Raen mengalir deras, sungai yang hanya mereka dengar dari para pelancong. Sungai itu sangat lebar mencapai dua puluh meter. Bunyi alirannya tidak terdengar ganas, tetapi terlihat mampu menyeret rombongan kuda.
Tidak jauh dari tempat mereka tengkurap, Damar melihat rombongan rusa yang berjalan mengikuti aliran sungai Raen. Mereka tampak berjalan waspada. Seekor jantan berjalan paling depan sambil mengamati, tiga ekor betina dibelakangnya mengikuti dengan seksama. Hans terlihat gembira, melupakan kegagalan yang terjadi dan menepuk-nepuk bahu Will.
"Cepat! Kali ini tidak akan gagal," kata Hans.
"Kuharap ini melupakanmu dari kejadian tadi," kata Damar, tertawa pelan.
"Tentu! setelah salah satu dari rusa itu berhasil kita bawa pulang," sahut Hans dengan nada cuek.
Jemari Will kini lebih siap, diambilnya sisa anak panah yang menggantung. Cahaya matahari saat itu memudar, tetapi target buruannya masih terlihat jelas di matanya. Ia menghirup napas dalam-dalam, menenangkan semua ketegangan dalam urat-urat tubuhnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Kembali ia menarik anak panah tajam dengan tangan kanannya.
Ketika jarinya akan melepas anak panah, suara geraman keras terdengar di balik bayangan pepohonan. Bayangan hitam melompat buas menerjang kawanan rusa yang terperangah, menncabik seekor rusa betina seperti sebuah roti.
Mereka bergeming, tak mampu bersuara. Kejadian itu terjadi sangat sekejap, satu rusa sudah kehilangan separuh tubuhnya dan tergeletak kaku. Darah merah membanjiri tanah salju seperti tumpahan anggur panas yang menguap.
Will akhirnya berani bersuara, "Apa itu?"
"Wildster!" celoteh Hans.
Pemandangan semakin ngeri kala sosok hitam berdiri ditimpa cahaya bulan. Tinggi, besar, berbulu hitam lebat seperti tinta. Mahluk itu bercakar panjang seperti pisau yang menjual dari jari-jarinya. Will melihat matanya, kuning menyala seperti emas. Mengendus bau darah rusa dan membungkuk, mengunyah organ-organnya yang tercecer.
Siluet tubuhnya semakin jelas, ia bermoncong seperti serigala dan berkumis panjang sampai ke dada, telinganya runcing dan membelok. Damar merasa sangat jijik dan gemetar.
Jari Will terasa kebas, apa yang dilihatnya seolah hanya ilusi, ia berkali-kali mengedipkan matanya tetapi sososk itu masih terlihat utuh dihadapannya. Dia tidak mampu berpikir. Dalam hitungan detik jarinya tanpa sengaja melepas anak panak yang tertarik erat sejak semenit tadi. Menembus angin dingin di balik semak dan mengenai paha kiri si wildster
Kejadian itu hanya berlangsung beberapa menit. Wildster mengaum meronta, aumannya menggema dan menggetarkan tanah tempat mereka terlindung di balik semak. Ia mengendus-ngendus udara penuh kegilaan, mencoba meresapi bau mencurigakan si penyerang sambil mencari sumber tusukan anak panah itu berasal.
"Kau sudah gila!" bisik Hans.
"Aku tidak sengaja!" sahutnya panik.
"Sebelumnya Damar, dan sekarang kau baru saja melukai Wildster itu!" serang Hans.
"oh ya? Kau pikir siapa yang memberi kita ide untuk memburu sekelompok rusa di hutan pedalaman!" bisik Will mengeras.
Mereka berdua saling menatap penuh geram, pertengkaran nyaris pecah, tetapi semua terhenti ketika Damar yang tidak mendengarkan Will dan Hans ikut berbisik keras.
"Apa Wildster itu melihat ke arah kita?" bisiknya sambil menggoyangkan bahu Will.
Wildster menatap curiga menuju semak tempat mereka bersembunyi. Moncongnya membuka, memperlihatkan sederetan taring runcing seperti curi bengkok. Uang panas menguaop dari cuping hidungnya. Mahluk itu mendekat sambil mengeram.
Hans, Will dan Damar bergegas meloncat dari semak, tubuh mereka bergerak tanpa kehendak. Mereka bertiga menghindari tempat itu secepat yang mereka bisa. Bagaimanapun, kecepatan mereka sangat mudah dikalahkan oleh mahluk buas itu. Derap langkah kakinya semakin terdengar besar di belakang Damar. Dengan cepat satu cakaran besar mengibas ke Damar yang berlari paling belakang.
Damar melompat berbelok menuju dahan pohon yang tumbuh pendek. Lompatannya tidak sejauh ayunan dari cakar wildster yang mengarah tubuhnya. Beruntung ujung kukunya hanya menggores lengan kananya. Damar meringis kesakitan, Dilihatnya wildster itu belum cukup puas menyerangnya dan kembali mengaum ke arah tajuk hutan. Memperingatkan dirinya siapa yang berkuasa disana.
Will dan Hans yang sudah berada di depan sadar, mereka kembali berbalik arah. Mengetahui Damar berada dalam masalah antara hidup dan mati. Mereka sampai agak terlambat tepat membelakangai wildster hitam itu sejauh lima meter, terpisah antara pepohonan pinus yang kokoh.
"Terus berlari Damar!" Teriak Will.
Kata-kata itu tidak hanya melesat di udara, tapi juga meresap menuju pendengaran Damar. Sambil menggenggam lengan kirinya yang menghangat karena darah, dia mencoba terbangun dan berlari, tetapi Wilster itu mencoba mengejarnya.
Anak panah segera di kaitkan pada busur rotan milik Will. Matanya sulit melihat karena langit menggelap dan pergerakan wildster yang cepat. Segera anak panah ditembakkan dan menembus batang kayu yang berjarak sepuluh senti dari tubuh mahluk hitam itu.
"Bodoh! Ini pertama kalinya kau menggunakan busur itu dengan sangat buruk!" kata Hans. Dia kemudian bergegas mengejar wildster itu yang menggila.
Di sisi lain, penglihatan damar semakin kabur, pancaran langit mulai menggelap hanya ada awan kelabu dan beberapa tabur bintang. Ketakutan memenuhi tubuhnya, apakah ini hari kematiannya? Pikirnya tiba-tiba.
Saat itu Damar merasa berlari lebih cepat dari anak panah. Tetesan Darah tanpa memperdulikan luka yang terbuka, rasanya luka itu semakin terasa membakar dan hangat. Entah berapa ranting yang terinjak, dan dahan-dahan pohon tertabrak. Damar merasa kacau. Hutan ini memaksanya terus berlari semakin dalam.
Suara gemercik air kembali terdengar di hadapannya. Damar menengok kebelakang memantau, mencoba minyingkirkan rasa panik yang meledak-ledak di kepalanya. Suara Air itu pasti berasal dari sungai Raen.
Setelah aku sampai di sisi sungai itu, aku akan melompat dan berenang, mahluk itu pasti tidak akan bisa berenang. Dia hanya akan melongo dan berpikir untuk mundur, pikir Damar berpura-pura tenang.
Damar tiba di sebuah ceruk, ia beringsut ke dalam untuk bersembunyi. Tapi sisi kiri, jurang menjorok ke bawah, jalan setapak itu berada di sisi dataran yang curam. Damar merasa agak lega, karena wildster itu tidak terdengar di belakang. Ia bangkit lalu mengawasi beberapa pohon pinus yang besar. Suara Will dan Hans terdengar dari kejauhan memanggil menggema ringan.
"Damar! Damar!" gema suara itu mendengung dan menghilang.
"Hans! Will!" balas Damar. Dia merasa suara itu datang dari arah belakangnya.
Damar berlari mondar-mandir, sambil memegangi lukanya, dia meringis. Dia lalu duduk sejenak di jalan setapak berbatu. Tangan kanannya, masih mencengkram lengan kirinya yang terluka. Luka itu sepanjang lima senti dan bergurat seperti cakar harimau, tidak begitu dalam tapi cukup untuk memperlihatkan dagingnya. Meskipun Darah sudah berhenti mengalir, tetapi masih terasa basah dan hangat.
Sosok hitam melompat dari pohon di hadapannya. Ia terlonjak kaget, hampir jatuh. Jantungnya seakan terhantam godam besi. Sosok itu semakin jelas, hitam dan berbulu, bercakar seputih tulang dan panjang. Dia mengeram hebat, air liur panas meyimprat dari moncongnya.
Damar terlempar, berguling seperti bola ke arah jurang di belakang. Ranting-ranting dan rumput yang berkobar menghantam seluruh tubuhnya tanpa ampun. Entah sampai kapan mahluk sinting itu akan berhenti mengamuk.
Dia merasakan kepalanya terputar seperti adukan kuali, lalu ia terhenti ketika pijakannya kembali mendatar dan beralas rumput lembut. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Damar sadar, dengan cepat damar mengguncang guncangkan kepala dan membuka mata. Tubuhnya serasa sangat remuk.
Sewaktu tubuhnya mulai seimbang, dia berdiri dengan menopang sebuah batu granit yang kokoh. Meskpun saat itu gelap, dia sadar berada di depan mulut gua. Udara amis berhembus dari mulut goa. kira-kira tinggi goa itu lima belas meter. Bagaimana sebuah goa bisa ada di sini?
Damar memaksa dirinya berjalan. Dia sudah sangat lemas, kepalanya terasa pusing menusuk. Ia berusaha menggopoh berat tubuhnya dengan lengan kanannya yang masih bertenaga. Tubuhnya serasa berantakan, tapi dia merasa semua tulang-tulangnya masih berfungsi.
Mahluk sinting itu pasti masih berada di dekat sini. Dimana hans dan Will? Apa dia tau aku di sini?.
Perlukan dia bersembunyi di goa ini?
Mungkin ini sarang wildster itu.
Kemana lagi?
Will dan Hans belum terlihat.
Apa akan mati di sini?
Mungkin.
Sesosok Wildster itu kembali muncul di antara semak rimbun. Berwujud semakin jelas dan gagah, ditimpa cahaya rembulan, tiap helai bulu di tubuhnya memantulkan hitam gemerlap seperti batu pualam.
Makhluk itu berjalan pelan berirama, tatapannya tertuju pada mulut goa. Seakan keberadaan Damar merupakan sebuah ilusi yang dihiraukannya saat itu. Langkahnya pelan dan semakin pelan. Tetesan kental juga menetes dari paha kirinya, anak panah Will masih tertancap kokoh.
Aku mendengarmu.. tetap ditempat..
Damar mengedipkan matanya spontan, suara itu berbisik di kepalanya. Suara apa itu? Itu suara yang sama saat dia mendengarnya pertama kali bersama Will dan Hans. Mungkin saat itu dia merasa kacau. Ia yakin suara itu bukan berasal dari otaknya.
Dia melihat ke arah wildster itu yang duduk menghadap ke ke arah goa. Sorot matanya terlihat tenang, jauh berbeda dari beberapa menit sebelumnya. tapi ia masih kebingungan oleh suara yang muncul di kepalanya. Matanya terpejam.
Para manusia, tidak pernah berhenti mengacau. Kalau sampai dia melihatmu, akan ku belah dua badannya!
Damar bergidik, Siapa? Suara siapa itu!.
Kau? Manusia? Bisa mendengarku? kata suara itu memberat.
Aku sangat tidak mengerti tetapi bisa, kau siapa?
Aku tidak menyangka di usia yang kini mencapai 800 tahun, aku masih bisa menemukan Savior di sini, di kaumku, aku yang terakhir.
Aku sangat tidak mengerti, sungguh apa yang kau bicarakan, sahut damar, kepalanya seperti di tusuk puluhan jarum.
Kau rupanya seorang savior yang bodoh. Lagipula aku tidak akan pernah lagi mempercayai para savior. Mereka layak mati!
Sakit kepala itu semakin hebat dan menusuk. Damar berguling-guling, ia menjerit nyaring. Damar mencoba keluar dari benaknya, semua terasa begitu sesak dan pedih. Tubuhnya semakin tidak terkendali, Damar lalu terjatuh dan semua menjadi gelap.