Bagai bunga yang baru saja mekar, perasaan Bella sangat segar. Semangatnya kembali tumbuh untuk melakukan apapun, Ia berangkat ke kantor pagi-pagi menyambut sinar matahari dan padatnya suasana jalanan kota. Sesampainya di kantor ia langsung mengerjakan apa yang sudah dijadwalkan.
"Pagi, Bella," sapa Chelsea setengah heran karena tidak biasanya Bella berangkat lebih pagi darinya.
"Pagi, Chelsea," jawab Bella.
"Kau tidak biasanya datang sepagi ini?" ujar Chelsea.
"Hanya ingin merubah kebiasaan," jawab Bella singkat.
Ia sendiri juga heran mengapa mood-nya bisa sebaik ini.
"Ngomong-ngomong Kau pernah mengajukan resign ya?" bisik Chelsea sambil melirik kanan kiri.
"Kok tahu?" tanggapnya sembari menyembunyikan keterkejutannya.
"Aku membaca suratmu di folder sampah email Pak Vincent," jawab Chelsea.
Folder sampah? Jadi lelaki brengsek itu menghapusnya? Pantas saja tidak ada tanggapan dari HRD. Bella menarik napas geram, Vincent sengaja menghapusnya agar surat itu tidak ditangani lebih lanjut oleh HRD.
Vincent memang memiliki kewenangan lebih tinggi dari semua pejabat di kantor ini, tetapi Bella rasa Ia terlalu berlebihan untuk bersikap demikian. Alih-alih menyilakan gadis itu untuk hengkang dari kantornya, Ia malah memindahkannya ke posisi yang lebih dekat dengannya.
Bella tahu ada hal yang Vincent sembunyikan dari dirinya. Tetapi Ia sama sekali tidak mengindahkan apa yang terjadi, justru Ia merasa jauh lebih baik jika berpura-pura untuk tidak tahu.
"Bella, apa Kau tidak merasa bahwa Pak Vincent menyukaimu?" bisik Chelsea.
"Ah, mana mungkin," tepis Bella.
Chelsea tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya kepada Bella, Ia takut jika sampai menyinggung bosnya yang kejam.
"Chelsea, apakah Pak Vincent pernah melakukan sesuatu padamu?" akhirnya Bella menanyakan sesuatu yang sudah lama Ia simpan.
"Maksudmu, melakukan sesuatu apa?" Chelsea mengerutkan dahi dan menoleh kepada Bella mendapat pertanyaan ambigu.
"Ekhm, apa Pak Vincent pernah menciummu atau semacamnya?" Bella memperjelas pertanyaannya.
Perempuan berusia lima tahun lebih tua dari Bella terlonjak mendapat pertanyaan itu.
"Bella, apa kau sudah gila? Bagaimana bisa Kau bertanya seperti itu padaku?"
"Mm, maaf. Kau kan sudah lama sekali menjadi sekretaris," ucap Bella.
"Kau tahu sendiri Pak Vincent adalah orang yang sangat serius, mana mungkin Ia lalai dengan melakukan itu pada sekretarisnya sendiri, Bella? Jangan-jangan Kau berharap yang aneh-aneh, ya?"
"Hah?" Bella berpura-pura menanggapi ucapan Chelsea dengan jijik.
"Kau tahu, waktu Kau menanyakan penyebab PHK massal waktu itu? Itu karena mereka merumorkan Pak Vincent meniduri karyawan di sini, termasuk Kau Bella," bisik Chelsea.
"Hah?" Sekarang Bella benar-benar terkejut.
Oh, jadi karyawan di kantornya pun belum tahu jika hal itu benar-benar Vincent lakukan. Mereka sangat malang, mereka mengira itu hanya rumor belaka namun malah berakhir mendapat surat PHK sepihak dari perusahaan Sidomuktiningjaya Group.
Jam sepuluh pagi tiba dan Bella membawakan kopi serta camilan seperti biasa ke ruang kerja Vincent.
"Terima kasih, Sayang," ucap Vincent dengan nada seperti biasa juga, sangat menyebalkan!
"Pak?"
"Iya, Nak?"
Bella berdecih jijik, Vincent tertawa puas. Gadisnya sudah kembali seperti dulu, bergairah dan menggairahkan.
"Bapak mengambil saya sebagai sekretaris, sedangkan karyawan lain yang lebih bertalenta disingkirkan begitu saja hanya karena mereka melakukan kesalahan tidak penting," ujar Bella.
"Kehormatanku jauh lebih penting daripada apapun," seringai Vincent.
"Meski Anda telah memecat mereka dari sini apakah Anda tidak takut jika di luar sana mereka melakukan balas dendam, Pak?"
"Siapapun yang berani mengusik diriku akan berakhir di tangan malaikat maut," desis Vincent. Bella merinding ngeri mendengarnya. Meski kelihatannya Vincent tidak serius, tetapi lelucon itu sangat tidak pantas. Maut bukanlah hal yang cocok untuk dijadikan objek bercanda.
Vincent memang bisa melakukan apapun, tapi tidak untuk menentukan kematian orang lain. Lelaki itu hanyalah manusia biasa yang penuh dosa. Bella keluar ruangan dengan menghentakkan kaki keras-keras, lalu membantung pintu kayu berukir itu kuat-kuat.
Hari ini terasa sangat singkat baginya, hanya saja Ia beberapa kali terganggu oleh sesumbar kesombongan Vincent pagi tadi.
Bella beringsut di kasurnya memegang handphone sambil mengikuti feed namun pikirannya berkecamuk tidak jelas. Sesekali Ia membuka WhatsApp dan menunggu lelaki yang sedang ada di hatinya mengirimkan pesan. Aron belum juga menghubunginya semenjak usai scene pekan lalu.
Semua sentuhan yang lelaki itu berikan masih melekat utuh di kulitnya. Bella masih bisa merasakannya dengan sangat jelas, bayangan ayunan leather whip yang mendarat di tubuh belakangnya masih terngiang di kepalanya.
Rasa pedih dan nikmat sesudahnya masih bisa Ia rasakan dalam pikirannya, sentuhan-sentuhan sensual tangan kekar Aron, suara dalam yang membuatnya tunduk, dan semua tentang lelaki itu. Aron benar-benar meremahkan hati Bella bagai ombak yang mengoyak pasir-pasir di pantai. Menarik dan mendorong tanpa membawanya pergi.
"Bella Kau sudah makan malam?"
Suara Alanis terdengar mengagetkan dari luar kamar.
"Aku tidak lapar, Nis," sahut Bella.
"Tapi Kau perlu makan," serunya lagi.
"Aku benar-benar tidak lapar, Nis," kekeh bella setengah jengkel karena gadis di depan pintunya tidak juga pergi dan mengganggu pikiran indahnya. Akhirnya Ia mengalah dan mengikuti ke mana gadis itu mencari pengisi perut malam ini.
"Bella, lihat donk ini," ujar Alanis menunjukkan layar handphone-nya.
"Apa itu?"
"Jadi, mantannya Bebebku pernah tidur bersama bosmu yang mesum itu. Lucunya, si dia pamer buat bakar emosi Bebebku. Lucu aja sih kelakuannya, Ia pikir tidur sama orang kaya bisa mendadak ketularan kaya? Bebebku cuma pekerja yang gajinya saja di bawah UMR dan mantannya itu semacam mengejek, Bell," papar Alanis panjang lebar. Bella menyimak curhatan yang Ia dengar dari gadis mabuk cinta di depannya.
"Kasihan banget ya, halu begitu. Padahal Vincent nggak punya rasa sama sekali, orang itu mati rasa. Rasa sungkan aja nggak punya," ungkap Bella.
"Bebebku bilang, Vincent tidur sama kupu-kupu yang beda tiap malam. Itu benar, Bell?" bisik Alanis.
Bella terdiam, sakit rasanya mendengar Alanis yang sama sekali tidak mengenal Vincent, bahkan sudah tahu kebobrokan lelaki itu. Bella sudah tahu Vincent separah itu play boy-nya. Ia bermain ke sana kemari dengan wanita yang berbeda tiap malamnya. Ia kira lelaki itu hanya melakukannya saat Ia frustasi karena dirinya menolak saat di Palangkaraya waktu itu. Tapi ternyata Vincent jauh lebih parah. Konon, Ia juga jarang pulang ke apartemennya dan menghabiskan semalam suntuk di kelab bersama dua wanita kupu-kupu malam yang sama. Jadi, lelaki itu melakukan sex bebas setiap malam?
Bella tidak ingin memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak para wanita itu hingga mau menjadi pelampiasan Vincent. Oh, tentu saja karena uang. Mereka menguras dompet Vincent dan seolah ingin menjadikan lelaki itu miskin.
"Bosmu parah sekali, Bell," kekeh Alanis. Bella hanya menghela napas sembari memutar bola matanya sebal.
***