Vincent menghela napas frustasi di depan layar monitor, entah mengapa akhir-akhir ini Bella terlihat murung, membuatnya merasa bersalah. Ia tidak pernah melihat Bella seperti itu, sekarang Ia sadar bahwa dirinya jauh lebih baik ketika mendapati Bella menampilkan wajah jengkel dan mengerikan.
Melihat Bella tidak menikmati hari-harinya, Vincent merasa ada yang salah dengan semua ini, atau bisa jadi ada orang lain yang mengusik gadis itu. Tetapi setahu Vincent gadis itu tidak dekat dengan laki-laki manapun.
Gadis yang sedang dipikirkannya tampak sedang berkutat dengan komputernya di balik meja sekretaris di sebelah Chelsea. Anehnya hari ini Ia lebih sering menyentuh handphone-nya dari pada sebelumnya. Vincent melihatnya dari kaca jendela kantornya melui sela-sela tirai yang sengaja Ia renggangkan.
Jika memang gadis itu memiliki kekasih, mengapa Ia tidak tahu. Tidak mungkin gadis itu tidak memamerkannya di media sosial, apapun yang Ia lewati semuanya ada di media sosialnya. Instagramnya ibarat televisi yang menampilkan berita kehidupan Bella secara live. Vincent selalu tahu apa yang Bella santap di kafetaria kantor, kegiatannya berbelanja bersama teman-teman kontrakan, hingga film apa saja yang sedang Ia tonton.
"Siapa tahu kau hanya tidak tahu bahwa dirinya memiliki lelaki lain, Vin. Kau hanya bersamanya di kantor saja," ucap Tommy.
"Tidak mungkin, aku selalu memantau akun media sosialnya. Tidak ada siapa-siapa di situ," jawab Vincent putus asa.
"Kau yakin, Vin? Bukannya akunmu sudah di-block sejak dulu?" tanya Tommy lagi.
"Aku tidak sebodoh itu, Tom. Aku masih bisa menggunakan fake account untuk menguntit anak kecil seperti dia," ujar Vincent sedikit geram.
"Social network bukan hanya WhatsApp, social media pun tidak hanya Instagram," seru Farell.
"Tuh, dengarkan Vin," timpal Geisha.
"Anak ingusan itu ternyata pintar juga, ya. Kau harus hati-hati, Vin. Ia tidak sepolos yang kukira," ucap Lexa tanpa mengalihkan konsentrasinya dari cermin kecil dan bedaknya.
Tommy dan Geisha menahan tawa teringat kejadian yang diceritakan Lexa di restoran dulu.
"Sudahlah Vin, ini hanya perasaanmu saja. Apa Kau sudah memastikan bahwa gadis itu sedang membencimu?" ujar Geisha.
"Orang yang menghindarimu secara terang-terangan bisa jadi dia sedang jatuh cinta kepadamu secara diam-diam dan ragu untuk mengungkapkannya," sambung Lexa.
Vincent malam ini mati kutu di depan teman-temannya, suasana hatinya memburuk seiring dengan sikap yang Bella lakukan akhir-akhir ini. Gadis itu sangat murung di kantor dan nampak menghindari dirinya. Ia tidak bereaksi apapun ketika Vincent meledek ataupun mengajaknya bicara.
"Tidak kusangka Kau benar-benar jatuh cinta pada gadis korban ToD-mu. Ini jadi pelajaran buat kita semua, kalah ToD tidak selamanya buruk," ujar Farell, yang lain menanggapinya dengan tawa yang mengolok-olok Vincent.
"Sialan kalian, aku hampir tertabrak mobil waktu itu," gerutu Vincent.
"Tapi Kau sangat beruntung bisa mencium perempuan secara gratis," bantah Tommy.
"Gratis katamu? Aku terpaksa menerimanya sebagai karyawan di kantorku," otot Vincent.
"Kau terlalu menunjukkan kesombonganmu, Vin. Gengsi itu tidak selamanya baik. Mengapa tidak Kau akui saja bahwa Kau menjadikannya sekretaris pribadi karena Kau ingin dekat dengannya?" Gerry yang sedari tadi diam, angkat bicara.
"Aku melihat foto kalian di liputan saat kalian mendatangi pesta pertunangan sepupumu," acung Lexa. Ia membuka handphone dan mencari bukti yang Ia maksud.
"Woow."
Lima pasang mata itu bersama-sama menyimak berita yang sebenarnya tidak penting, tetapi sangat ampuh untuk digunakan sebagai bahan untuk membakar otak dan hati Vincent.
"CEO muda Sidomuktiningjaya Group tampak mesra bersama sekretarisnya"
"Woow, luar biasa."
"Kita bantu agensi berita ini agar website-nya laku keras. Rell, Kau repost di Instagrammu," ucap Gerry dengan berapi-api.
"Awas saja, besok pagi aku pastikan kantor berita itu hancur kalau Kau sampai melakukannya, Rell. Ingat perusahaan musikmu juga baru berumur balita," seru Vincent.
Anak-anak laknat itu tertawa terbahak-bahak melihat emosi Vincent terpancing, Vincent adalah hiburan utama mereka di kelab VVIP. Tidak sia-sia jika menyewa ruangan VVIP itu semalam penuh asal ada Vincent. Tetapi sayangnya malam ini Vincent tidak bisa menghabiskan waktunya di kelab sampai pagi. Ia harus menyiapkan urusan kantornya, komunikasinya dengan Bella agak renggang.
Tak banyak yang dilakukan Vincent di apartemennya, Ia tidak bisa konsentrasi sama sekali. Pikirannya selalu beralih ke gadis itu dari yang seharusnya Ia selesaikan di layar monitornya.
Vincent membuka handphone-nya ketika ada notifikasi bahwa Bella mengirimkan sebuah postingan. Ia men-screenshot dan mengirimkannya ke grup teman-temannya.
"Ada yang tahu ini di mana?"
"Restoran ujung kota, salah satu grup musikku menjadi brand ambassador situ," balas Farell dengan cepat dengan melampirkan peta.
Tanpa menunggu balasan selanjutnya, Vincent meninggalkan laptopnya yang masih menyala. Pikirannya fokus untuk berlomba dengan waktu menuju restoran yang telah Farell sebutkan.
Jalanan cukup ramai membuatnya semakin mengeratkan jemari tangannya di kemudi mobil. Apa yang dilakukan gadis itu di sebuah restoran ternama ujung kota? Petunjuknya jelas, dua porsi makanan yang tersaji di meja depannya adalah bukti bahwa gadis itu tidak sendirian.
Lagi pula untuk apa Ia memutuskan untuk datang ke tempat ini jika Ia sudah tahu, bukan Vincent namanya jika tidak ingin menyelesaikannya saat itu juga. Di sisi lain fakta mengatakan bahwa lelaki itu sudah gila karena Ia melakukan itu, lepas dari rasa penasaran saja atau benar-benar akan menyelesaikan ini. Ia ingin menyeret paksa gadis itu jika memang sedang bersama lelaki lain.
Setelah berdebat dengan emosi sepanjang jalan, akhirnya Vincent memasuki area halama restoran itu. Belum juga Ia memarkirkan mobil dengan benar, Ia menangkap sesuatu yang sangat mencengangkan. Di jarak nun jauh di sana, Bella nampak bercakap-cakap dengan seseorang. Nanar tak berdarah perasaan Vincent, gadis itu ternyata memiliki seorang lelaki tanpa sepengetahuannya.
Vincent benar-benar kecewa, Ia tidak menyangka sesakit ini rasanya mengetahui gadis itu telah memiliki tambatan hati lain. Seumur hidup, baru kali ini Ia merasakan betapa sakitnya cemburu.
Cemburu? Benarkah? Seharusnya tidak, Ia telah dipastikan akan bersanding dengan Primadona. Bukan sekretarisnya yang sekarang sedang bersama lelaki lain.
Ia memejamkan mata, andaikan Ia berani masuk dan menghampiri gadis itu dengan berani seperti yang Lexa lakukan kepadanya. Andaikan saja. Tetapi perasaan sakit hati Vincent lebih mendominasinya.
Ia kalah, Ia telah kalah. Gadis itu memiliki lelaki lain.
Vincent merenung, apa yang sekiranya lelaki itu punya yang tidak dipunyai dirinya? Ia telah memiliki segalanya, Ia sempurna. Tetapi gadis itu ternyata lebih memilih lelaki lain.
Oh, apakah dirinya pernah memberinya pilihan? Atau setidaknya pernah mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan benar kepada gadis itu? Ia kira itu tidak penting. Ia mengira, alangkah baiknya jika gadis itu yang akan mengemis rasa cintanya kepadanya. Seperti yang Ia lakukan kala menginginkan pekerjaan.
Vincent merasa sangat hina jika Ia lebih dulu mengakui ketertarikannya pada Bella, Ia tidak sudi mengakuinya apalagi sampai mengemis agar Bella membalasnya.
Beginilah, nasi sudah menjadi bubur. Vincent terlambat.
***