Chereads / Sedang Ingin Bersamamu / Chapter 3 - Familiar

Chapter 3 - Familiar

Masa Sekarang

Bressssss...awan mendung mencurahkan tangis dengan derasnya, mengguyur bumi tanpa peringatan. Jalanan segera basah dan suasana menjadi lebih gelap dari yang seharusnya. Rian menyibak rambutnya kasar, ia tak suka cuaca tak menentu seperti ini karena memaksanya harus berlari cepat memasuki gedung perusahaan majalah tempatnya bekerja sebagai karyawan ~freelance~. Seluruh tubuhnya lembab. Ia menyipitkan mata menatap hujan di luar sana, "kalian menyebalkan!" teriaknya, "lain kali tidak akan kubiarkan setetespun dari kalian menyentuhku."

"Ehem" suara wanita di meja resepsionist membuat Rian menoleh dan langsung merubah reaksi wajahnya menjadi manusia paling tidak berdosa di seluruh dunia. Ia memasang senyuman mautnya. Wanita itu memutar kedua bola matanya menandakan bahwa ia sudah terbiasa dengan sikap pria itu, sesegera mungkin sang resepsionis menyuruh Rian segera menandatangani cek honornya. Rian menurut, kemudian memeriksa nominal yang tertera pada selembar kertas cek itu. Ia mendecakkan lidah.

" Mbak Ary lebih tahu daripada aku kalau dunia ini memang kejam." Rian memandang resepsionist di hadapannya. Wanita yang dipanggil Ary mengernyitkan dahi, Rian melanjutkan " kapan aku bisa melamar mbak Ary kalau honorku cuma segini? Bu Diva tidak pernah menghargai jerih payahku."

Ary mendengus kesal. Lagi-lagi kalimat itu. Rian tertawa jail melihat reaksi yang seperti itu.

Pintu kaca kembali terbuka, membawa udara dingin dari luar sana. Rian dan Ary melihat ke pintu masuk. Wanita dengan busana ~casual~ panjang warna putih dipadukan dengan ~light grey outer~ sedang berdiri sambil menghalau dingin.

Rian tidak tahu apa yang membuat seorang wanita cantik keluar rumah pada hujan yang deras ini. Tetapi entah kenapa ia merasa tidak asing dengannya.

Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak menyadari kalau wanita itu sudah sampai dihadapannya. Rian terkesiap kemudian berdehem sejenak. Ia mungkin melihatnya di suatu tempat atau memang wanita ini mirip dengan seseorang. Sesegera mungkin ia mengulaskan senyuman manis mautnya kembali, membuat Ary hampir menelan ganggang telpon yang ia pegang. "sumpah, playboy banget nih anak" gumamnya.

"maaf..." kata wanita itu.

"karyawan baru ya disini?" potong Rian, "saya Rian, wartawan majalah di sini. Kalau kamu butuh bantuan hubungi aja saya langsung. Perlu dicatat nomernya? Kosong delapan tiga du..."

"Arini? Jadi kesini?" wanita dengan rambut diikat satu ke belakang dengan elegannya muncul dari ruangan timur lobi, ketiga manusia itu menoleh lalu Rian dengan ekspresi heran melihat ke arah wanita yang tadi ia ajak bicara tersenyum. Ia masih terpaku ketika Diva melihat ke arahnya. "Yan, udah terima honornya?" dengan polosnya Rian hanya mengangguk.

"karyawan kamu, Div?" tanya wanita yang dipanggil Arini itu sambil tersenyum melihat Rian.

"iya, kenapa?"

"begini..." tiba-tiba Rian menemukan suaranya yang sempat menghilang. Ia mengatupkan bibirnya kembali, tidak tahu harus bicara apa.

"ada apa, Yan?" tanya Diva. Rian baru akan mengatakan sesuatu ketika ponsel Diva berdering. Wanita itu mengangkat telpon dan mengatakan beberapa kata dengan lawan bicaranya, kemudian menepuk bahu Arini. "Rin, aku tunggu di ruanganku ya, kamu ke sana aja dulu..aku masih ada berkas nih yang masih mau aku kasih ke karyawan. Bentar aja kok." Kata wanita itu kemudian pergi ketika mendapat anggukan kepala dari Arini.

Cukup lama mereka menatap kepergian Diva dengan diamnya, hingga Rian dan Arini berpandangan. "begini..." Rian masih mencoba menjelaskan, namun lagi-lagi ia tidak mengatakan apapun. Arini tersenyum kemudian memperbaiki letak tali tas di bahu kanannya.

"saya duluan ya" kata Arini kepada Rian kemudian kepada Ary, si resepsionist. Baru beberapa langkah ketika ia melihat ke belakang dan menerbitkan senyuman manis. Rian mengerjapkan mata kemudian melihat ke arah Ary.

"siapa?" tanyanya.

"siapa, siapa?" balas Ary cuek.

"hih, dia."

"dia siapa?"

Rian kesal sendiri. Ada apa dengan wanita dihadapannya sekarang. Siapa wanita itu? Bagaimana kalau dia akrab dengan Ibu Diva, bagaimana kalau dia meminta bos untuk memecatnya gara-gara kejadian tadi? Orang kaya kan biasanya seperti itu, suka membesarkan hal-hal kecil.

***

"Cantik!!!" sapa Diva sambil memasuki ruang kerjanya. Ia memasuki ruang kerjanya dan mendekatkan pipinya pada pipi Arini bergantian, kemudian duduk di atas kursinya sementara Arini sudah duduk di kursi depan meja Diva dengan satu majalah yang terbuka di tangannya sejak lima belas menit yang lalu. "lama ya?" tanya Diva dengan nada menyesal.

"banget" kata Arini sambil tersenyum. Diva balas tersenyum.

"sorry deh" Diva menyipitkan mata melihat Arini. "hei, kenapa penampilanmu masih semodis itu? Dan kenapa kamu masih secantik dahulu? Aku tidak terima ketika Randy memuji kecantikanmu di hari pernikahan kami." Kata Diva. Arini tersenyum. Kejadian itu sudah sebulan yang lalu dan ia tahu pasti hanya dijadikan alat untuk membuat Diva cemburu.

Bagi Randy kecemburuan Diva bagaikan kebahagiaan tak terkira di seluruh dunia. Namun Arini tidak bermaksud untuk membongkar hal itu secepatnya. Ia masih cukup terhibur dengan sikap Diva yang suka uring-uringan tanpa sebab yang pasti. Arini mencoba mencari alasan,

"aku tidak ingin kalah cantik dengan dia," katanya sambil menunjukkan salah satu fotomodel di dalam majalah. Diva mengambil alih majalah itu.

"hmm, Alena?"gumamnya, "benar juga" Diva mencari-cari sesuatu dari dalam laci mejanya. Arini memperhatikan dengan pandangan tidak mengerti. Setelah beberapa saat Diva menjabarkan beberapa foto di atas meja. Seorang pria di dalam mobil bersama Alena, di meja restaurant, di depan hotel. Arini tidak dapat melihat dengan jelas siapa pria itu karena posisinya yang tidak bersahabat dengan kamera.

"ini apa sih Di?" Arini tidak mengerti. Ia tidak begitu menyukai gossip.

"Alena tidak pernah sedekat ini dengan pria. Itu artinya dia punya kekasih." tegas Diva seakan berharap kantor majalahnya lah yang pertama mempublikasikan hal ini. Arini mengangguk-angguk sambil melihat-lihat beberapa foto.

"siapa yang ngambil foto mereka?" tanyanya asal.

"Rian, karyawan magang di kantor ini. Umurnya baru sembilan belas tahun tapi bakatnnya sudah sangat terlihat."

Rian? Arini meletakkan selembar foto kembali ke meja kerja Diva. Ia menghela napas pendek. Bukan dia. Tapi wajahnya berhasil mengingatkan Arini akan sesuatu yang sudah sangat lama, dari tadi ia sibuk menggali-nggali ingatannya. Tidak berhasil. Mungkin ia akan mengabaikan pikiran itu sebelum pikirannya benar-benar hanyut dan tenggelam.

Sampai kapan aku harus menunggu kalau yang ditunggu belum datang juga.

˜Someone˜

Ada sebuah tempat yang tak akan pernah terisi

Sebuah ruang, dan kita akan terus menunggu dan menunggu

˜Beautiful Creatures˜