"Ane... Ane Kimiko!! Kimiko bangun!!" pekik Natsuha mencoba menyadarkan sang Kakak tapi tak ada sahutan sedikit pun.
"Panggil Tabib Istana!! Sekarang!!" perintah Natsuha pada seorang Dayang yang terlihat panik melebihi Natsuha sendiri. Mendengar perintah, Dayang itu segera berlari menuju pintu keluar kediaman Selir Kimiko tapi langkahnya terhenti ketika... ia melihat ada sosok sang Ratu di balik pintu.
"Hormat hamba Yang Mulia" sambut sang Dayang tergagap. Eun Sha hanya tersenyum hambar lalu mengisyaratkan agar Dayang Selir Kimiko melanjutkan pekerjaannya.
"Yang Mulia..." kata Dayang Ratu Eun Sha lirih merasa salah tingkah. Mereka tak sengaja mendengar pertengkaran antara Kakak dan Adik itu. Eun Sha hanya membalas dengan lirikan mata lalu ia bergegas menuju ke suatu tempat.
Kediaman Raja.
Ratu Eun Sha tiba di kediaman Raja Keito ia segera menuju ke ruang meditasi Raja.
"Yang Mulia...mohon dengarkan hamba sedikit saja" lirih Eun Sha terisak mengusik ketenangan sang Raja. Pria itu perlahan membuka kedua mata lalu menatap penuh tanda tanya.
"Apa yang terjadi? Ada apa denganmu?"
"Bukan hamba Yang Mulia. Tapi Selir Kimiko"
"Ada apa dengannya?"
"Mohon jangan hukum dia lebih lama lagi Yang Mulia. Selir Kimiko sudah cukup lama menderita"
"Ke arah mana kau ini bicara? Katakan dengan sejelas mungkin"
"Selir jatuh sakit Yang Mulia. Bagaimana pun, Anda masih Suami dari Selir Kimiko. Mohon perhatikan kesehatannya"
"Akan ku jenguk dia nanti" balas Raja Keito malah kembali memejamkan mata. Bersiap melanjutkan meditasi.
"Hamba pikir penyakitnya serius Yang Mulia. Jangan buang-buang waktu. Hamba mohon" kata Eun Sha memaksa. Raja mendesah kesal lalu beranjak berdiri.
"Ikutlah bersamaku"
"Tidak Yang Mulia. Selir sangat membutuhkan perhatian Anda. Jika hamba di sekitar Yang Mulia, yang ada Anda sibuk memperhatikan hamba" kata Eun Sha menolak mentah-mentah.
"Kau Istriku. Kau berhak, mendampingiku dimana pun aku berada. Jika kau tak mendampingiku sekarang, maka tidak ada alasan bagiku untuk meluluskan keinginanmu" ancam Raja membuat Eun Sha merasa tak punya pilihan lain.
Kediaman Selir Kimiko.
Kedatangan Eun Sha dan Raja disambut dengan kehadiran sang Tabib Istana. Semua orang di sana diam menanti apa yang akan dikatakan sang Tabib Istana.
"Selir Kimiko...tampaknya mengalami tekanan mental yang cukup besar. Sehingga memicu serangan jantung mendadak. Syukurlah Perdana Menteri Natsuha dengan sigap memanggil hamba" kata sang Tabib menghentikan ucapannya sejenak.
Kerutan di dahinya mengisyaratkan si Tabib sedang mencari untaian kata untuk menyampaikan sesuatu agar dapat tersampaikan dengan tepat.
"Tapi...ramuan obat tidaklah cukup untuk kondisi Selir saat ini."
"Katakan. Apa yang kau butuhkan untuk dapat dengan maksimal merawatnya hingga sembuh" sambut Raja yang di respons dengan sebuah lirikan oleh Natsuha.
"Ketenteraman Yang Mulia. Buat beliau nyaman dengan hidupnya. Mohon jangan berikan banyak tekanan yang dapat kembali memicu penyakitnya kambuh kembali" jawab Tabib Istana lantang.
"Yang Mulia. Bisakah kita bicara empat mata di suatu tempat?" tanya Natsuha sangat serius.
Sebuah masalah yang pelik kini telah muncul tanpa di undang bahkan tanpa terduga. Perdana Menteri Natsuha mengalami dilema. Bagaikan memakan buah simala kama...semua terasa jadi hambar...dan pahit.
Hatinya sungguh tak akan rela Eun Sha menjadi korban dari keegoisan Ane Kimiko. Bahkan ia merutuki dirinya bila menempatkan sang Ane Kimiko dalam penderitaan tak berujung.
Di sisi lain, keponakannya Mari, yang merasa dirinya sama sekali tak melakukan kesalahan dengan mencintai Chichi kandungnya. Apa yang harus ia lakukan? Satu-satunya cara untuk mendapatkan pencerahan adalah membicarakannya kepada sang Raja Keito.
"Kau ingin membicarakan soal Onesan?" tanya Raja Keito tanpa basa basi ketika telah tiba di tempat yang di tuju yaitu ruang meditasi Raja.
Natsuha mengernyit sejenak menimbang tepat atau tidakkah, untuk ia membahas soal keadaan Selir Kimiko.
"Maafkan Hamba Yang Mulia. Mengingat keadaannya yang kian memburuk..."
"Katakanlah" potong Sang Raja malas untuk berbasa basi.
"Hamba merasa kemana Hamba akan melangkah, pasti akan ada saja yang terlukai. Hamba sangat bingung untuk menetapkan pilihan. Bisakah Anda memberi sedikit petunjuk?" tanya Natsuha setelah merangkai kata demi kata di dalam otaknya.
Raja menoleh sejenak pada sang Perdana Menteri kebanggaannya lalu menghela nafas panjang.
"Aku tidak dapat memaksakan kehendakku padamu Natsuha, sekali pun aku seorang Raja. Semua keputusan tergantung padamu. Ini urusan keluargamu maka kau lah, yang berhak untuk membuat pilihan".
"Bolehkah hamba jujur tentang satu hal kepada Anda?"
"Kau Rakyatku. Kau berhak mengutarakan keluh kesahmu kepada Rajamu. Untuk apa kau membutuhkan izinku Natsuha?" tanya Raja sambil mengerutkan keningnya.
Pertanyaan ini justru membuat suasana semakin terasa canggung. Itu karena apa yang hendak Natsuha sampaikan, bisa membuat hubungan baik antara dirinya dan Raja menjadi renggang. Bahkan jabatannya juga akan terancam dicabut.
"Itu...karena...apa yang akan Hamba sampaikan menyangkut antara Hamba dan Ratu...Yang Mulia" sambung Natsuha membuat Raja tak mampu berkedip.
"Ya, katakanlah. Anggap ini pembicaraan antara sesama teman Pria. Untuk sementara tanggalkan saja jabatanmu dan abaikan bahwa aku ini Rajamu. Kau bisa mengutarakannya sekarang tanpa canggung kepadaku" kata Raja tak sengaja justru membuat Natsuha kian memucat bahkan ia menelan ludah dengan susah payah.
Orang mana yang tidak tertekan ketika...ia merasa jabatannya terancam di cabut dengan paksa, lebih parah lagi kali ini sang Raja justru menyinggung kata menanggalkan jabatan.
"Ampuni Hamba Yang Mulia. Ham-ba pantas mati" kata Natsuha sambil membungkukkan badan sedalam-dalamnya. Raja Keito tampak terkejut melihat tingkah Natsuha yang berlebihan.
"Natsuha. Apa yang kau pikirkan? Apa ini?" protes Raja menahan kedua bahu sang Perdana Menteri Natsuha agar tidak kembali melakukan tindakan konyol.
Natsuha tak berani menatap kedua manik mata Raja Keito keringat dingin bercucuran deras di dahinya.
"Berhenti bertingkah konyol, atau kita akhiri saja pembicaraan tidak jelas ini"
"Akan hamba perjelas Yang Mulia. Mohon...kesabarannya" kata Natsuha berusaha untuk menahan niatan Raja menyudahi pembicaraan mereka.
"Ayo, jelaskan sekarang, tunggu apa lagi? Kau benar-benar menungguku untuk mengusirmu keluar?"
"Tapi hamba bingung harus memulai dari mana"
"Kalau begitu kau boleh keluar sekarang. Kau tahukan, letak pintu di mana? Pikirkan saja huruf abjad mana, yang bisa kau utarakan padaku terlebih dahulu. Kalau kau sudah ingat, kembalilah lagi" kata Raja dengan suara berat sengaja dibuat-buat.
"Hamba bimbang harus mendahulukan perasaan siapa? Yang Mulia Ratu, atau Selir Kimiko? Jika hamba pun mampu memilih antara keduanya, bagaimana dengan perasaan musumesan?"
"Bukankah sudah jelas? Anakku adalah Anakmu juga. Untuk apa memusingkan mereka anak siapa?"
"Yang Mulia...tolong kembali pada pokok pembicaraannya"
"Jangan gunakan perasaanmu berdasarkan hubunganmu. Karena jika itu terjadi, maka kau akan cenderung condong pada hubunganmu, bukan pada kebaikan" jawab Raja melirik Natsuha lekat.
Pria bernama Natsuha tersenyum kecut mendengar langsung nasihat dari Raja Keito.
"Anda benar Yang Mulia. Tapi sudah terlambat. Hamba telah condong pada seseorang kemudian hal tersebut justru melukai perasaan Ane."