Tercium aroma maskulin khas dari parfum Robby. Lita masih menangis sesenggukan di punggung suaminya.
"Maaf, soal yang tadi." Kata Robby memulai pembicaraan.
"Tadi, yang mana?" Tanya Lita yang lupa jika tadi Robby mengucapkan sesuatu yang merendahkannya.
"Tadi, yang aku marah saat kamu minta nomor ponsel Rio." Jawab Robby jujur.
"Aku benci ya, aku tidak suka kamu selalu merendahkan ku. Bagaimana jika kata katamu itu menjadi suatu doa yang terlaksana?" Kata Lita sambil membenamkan kepalanya di punggung Robby.
Robby tertegun dan hanya bisa diam sembari mencerna ucapan Lita yang terkesan ada benarnya. Robby menelan ludah dan berfikir bagaimana kemungkinan buruk itu juga bisa terjadi karena terlalu seringnya hinaannya yang menjadi sebuah doa yang terkabul.
"Iya, tidak akan aku ulangi lagi. Aku hanya marah dan kesal saat tau istriku meminta nomor laki laki lain." Celetuk Robby tanpa sadar.
"Tapi mereka juga kan asistenmu mas. Aku hanya sedang berusaha menjadi istri yang baik." Kata Lita jujur.
"Kalau istri yang baik itu, tidak akan mungkin menjadikan baju suaminya sebagai lap ingus dan air mata." Ledek Robby agar Lita berhenti menangis.
Robby hendak membalik badan namun Lita menahannya.
"Jangan lihat aku. Aku jelek, seharian ini aku belum mandi. aku bau." Kata Lita yang memang belum mandi dari tadi pagi.
Robby terkekeh tersenyum mendengar ucapan Lita.
"Memang kapan kamu cantiknya sih?" tanya Robby yang sengaja meledek Lita.
"Iya sih kapan ya, Lupa aku jika yang cantik dan tercantik adalah Sabrina." Kata Lita kesal sambil melepas pelukannya dan berbalik badan memunggungi Robby.
Merasakan kekesalan dari Lita yang tiba tiba melepas pelukannya, Robby lalu berbaring menghadap ke punggung Lita.
"Dengar, jangan lagi sebut nama itu. Atau aku akan benar benar membawanya kemari kehadapan mu sebagai madumu." Kata Robby yang tidak terdengar main main sambil duduk dan meraih jasnya.
"Pergilah, aku juga tidak akan melarangmu!" Kata Lita meladeni kemarahan Robby.
" Pergilah. Sebab aku tak pernah memaksamu untuk tetap di sisiku." Kata Lita sambil menunduk dan menyeka air matanya yang jatuh bebas.
"Baik, jika itu maumu. Kamu pikir siapa kamu bisa berkata seperti itu kepadaku hah!" Bentak Robby sambil meremas jasnya yang sedang di genggamnya.
*Aku hanya bercanda, tapi kenapa aku selalu marah jika dia mengatakan sesuatu yang bukan keinginanku. Sebelumnya, dengan wanita wanita itu aku tidak pernah bersikap seperti ini. Apa karena dia..?* Batin Robby sambil memandang Lita.
"Susah payah aku datang kesini, hanya untuk mendengar penilaian sepihakmu ini?"
"Bersenang senanglah dengan opinimu sendiri!" Kata Robby dengan nada marah lalu pergi keluar kamar rawat.
*Hubungan macam apa ini yang sebentar marah, bertengkar lalu berbaikan lagi.* Batin Lita sambil menangis.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Robby masuk kedalam kamar dengan menekuk wajahnya. Lita yang masih kesal hanya mendiamkannya. Tak tega melihat ekspresi wajah Robby, Lita lalu menegurnya.
"Kenapa kembali lagi? Kamu lupa kode pintunya?" Ketus Lita kesal.
"Apa, memangnya aku pergi kemana? Aku turun ke kantin tapi makanan yang aku cari tidak ada. Aku lapar!" Keluh Robby yang seketika membuat Lita tertawa.
Mata Robby yang jeli, menangkap sebuah kotak di dalam kantung plastik dan telihat seperti makanan. Lita yang juga meliriknya lalu terkekeh.
"Ini, makanlah mas. Ini tadi pandu yang membawakan." Kata Lita sambil membukanya dengan susah karena selang infus yang masih menancap di tangannya.
"Sini, biar aku saja yang buka. Nanti tanganmu sakit." Kata Robby sambil meminta bungkusan kotak dan mulai membukanya.
"Aku ingin, malam ini kita benar benar berjanji untuk menjalani rumah tangga sebaik mungkin." Kata Robby dengan tegas.
"Maksudmu mas?" tanya Lita dengan wajah bingung.
" iya, suami istri, satu atap, satu ranjang, satu gelas satu piring." Kata Robby.
"Sebentar mas, maksud kata katamu itu apasih? Satu gelas, satu piring. Itu pengiritan atau bagaimana?" Ucap Lita yang berlagak bodoh.
"Iya, pengiritan biar kekayaannya tidak pernah habis!" Sahut Robby kesal.
"Oke oke, aku janji. Mulai malam ini, aku akan berusaha untuk tidak menjaga jarak atau menghindari mu lagi." Kata Lita sambil memberikan kelingkingnya.
"Janji?" tanya Robby.
"Janji."Jawab Lita sambil tersenyum manis.
"Aku juga berjanji, mulai malam ini aku sebisa mungkin berusaha menjadi suami yang baik."
"Janji." Kata Robby sambil memberikan jari kelingkingnya untuk janji kelingking.
"Janji." Jawab Lita.
*Maaf mas, sebelum janji ini ada. Pandu terlebih dulu mencuri ciuman dariku. Maaf mas. Aku ingin menebusnya, tapi dengan apa?* Batin Lita yang merasa bersalah dengan suaminya setelah ciuman dengan Pandu terjadi.
Robby memakan makanan yang di bawakan dengan lahapnya. Makanan itu hanya menu sederhana, tempe orek dan ayam goreng. Lita heran melihat suaminya yang makan begitu lahap meski dengan lauk sederhana.
"Mas, lapar atau doyan?" Tanya Lita sambil tersenyum simpul.
"Keduanya. Tadinya aku sengaja tidak makan siang dan ingin makan malam bersama kamu. Tapi tadi malah ada drama." Jawab Robby masih dengan mengunyah makanannya.
"Kenapa pulangnya malam sekali? Mas lembur? Makan bersama, Sebenarnya aku juga lapar tapi ya sudah mas saja yang makan." Ucap Lita santai.
"Tadi, aku pulang langsung ke rumah bibi Asri ikut tahlilan. Kamu mau makan? Mau aku suapin?" Tanya Robby sambil menatap Lita.
*Kenapa dia tidak makan saja tadi di sana dan malah ingin makan bersamaku?* pikir Lita sambil menatap Robby.
"Terimakasih ya mas, sudah ikut mendoakan ibuku."
Robby mengangguk sambil menelan makanan lalu mulai menjawab perkataan istrinya.
"Aku suamimu, yang itu berarti aku juga adalah anaknya dan aku juga memiliki kewajiban untuk mendoakannya." Jawab Robby.
Lita tersenyum bahagia mendengar ucapan Robby.
"Sekarang kamu makan, sini aku suapin." Ujar Robby sambil menyodorkan sesendok ke mulut Lita.
"Mas tidak merasa jijik kita satu sendok?"
"Kenapa? bukankah kita suami istri. Dan aku rasa sakit mu ini bukan sakit menular. Hanya emosimu yang sering menular dan membuatku marah." Jawab Robby sambil menatap Lita serius.
"Baik, baik... jangan marah." Kata Lita sambil tertawa kecil melihat tingkah Suaminya.
Suasana kini sangat hangat, keduanya makan bersama dengan satu sendok yang sama. Kedekatan mereka terjalin dengan hangat. Sesekali mereka saling melempar tawa.
"Bagus, tertawalah. Aku rasa ibu juga akan ikut senang jika melihatmu tertawa seperti ini. " Kata Robby lirih tapi terdengar jelas di telinga Lita.
*Tawa ini, dengan mudahnya menghempaskan semua sesak dan kesedihanku. Tapi rasa kehilanganku atas kepergian ibu tetaplah sama.* Batin Lita yang sebenarnya masih merasakan kehilangan yang amat sangat.
"Mas, boleh aku pinjam punggung mu lagi?" Pinta Lita dengan wajah memelas.