Dua puluh tahun berlalu ....
Saat itu di Lijiang sedang ada pentas tahunan yang disambut warga dan pendatang dengan meriah. Mereka memenuhi jalanan di pusat kota. Banyak pedagang yang menjajakan barang dan jasa pada orang-orang yang melewatinya. Di antara mereka, pemuda berpenampilan kumal tengah berjalan sambil memanggul peralatan melukis.
"Tuaan, Nyonyaaa, Nonaaaa! Adakah yang ingin aku lukis?"
Meskipun jalanan penuh sesak, pemuda tersebut mampu menghindar agar tidak tersenggol. Hanya dengan langkah sederhana ia melakukannya supaya tidak menarik perhatian orang lain. Namun, kemampuan meringankan tubuh sang pemuda tak luput dari perhatian seorang gadis yang berada di kedai.
Gadis tersebut sangatlah cantik dan anggun—setara dengan kecantikam Yueliang Gongzhu yang tersohor. Kulitnya yang putih bersih berpadu serasi dengan pakaian putih yang dikenakan. Rambutnya yang hitam, digelung ke atas dan ditusuk dengan konde dari giok. Wajahnya yang oval membingkai mata lebar yang sejernih embun, hidung mancung dan pipih, serta bibir tipis yang merah merekah. Kecantikannya makin disempurnakan tubuh elok bak gelas bertangkai. Pupilnya terpaku pada sang pemuda.
"Ilmu meringankan tubuh yang luar biasa ... siapa sebenarnya pemuda itu?" gumam gadis cantik.
Kecantikan dan keanggunannya tak pelak membuat banyak pria terpikat, tak terkecuali dua pendekar yang duduk tak jauh dari sana.
"Adik Kelima, coba tengok gadis berbaju putih di sana." Pria berkumis tebal melayangkan pandangan pada gadis ayu.
Pria kurus pun menoleh. Ia menyelisik si gadis cantik selama beberapa saat. Kemolekannya memantik hasrat pria kurus tersebut.
"Kakak jeli sekali," ucap pria kurus, terkekeh.
Pria berkumis tersungging. "Bagaimana kalau kita dekati dia untuk menemani kita malam ini?"
"Hahaha! Ide bagus! Tapi tidak perlu menunggu malam tiba. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipinya."
Rupanya gadis tersebut bukan pendekar semenjana. Ia bisa mendengar percakapan mereka, meski terpaut jarak dua tombak. Gadis itu pun menarik pedangnya sedikit, menunjukkan tulisan "Yueliang Xueyuan (Perguruan Rembulan)" yang terukir pada pangkal pedang.
Nyali kedua pendekar hidung belang pun menciut. Mereka mengurungkan niat ketimbang harus mendapat masalah. Yueliang Xueyuan memang dikenal sebagai salah satu perguruan yang melahirkan pendekar-pendekar tangguh.
"Kakak ...." Pria kurus melirik pada pria berkumis.
Pria berkumis mengangguk. "Lupakan saja kalau kita masih sayang nyawa."
"Benar, Kakak. Aku tidak ingin berurusan dengan murid-murid Yueliang Gongzhu," tukas pria kurus, setuju.
Senyum gadis cantik teruntai sebelum kembali memandang ke luar kedai. Pandangannya tertuju pada orang yang tadi menarik perhatiannya. Dilihatnya sang pelukis masih menjajakan jasa.
"Tuan mau aku lukis?"
Sayang ia mendapati penolakan seperti yang sudah-sudah. Pemuda tersebut menghela napas seraya mengusap perutnya yang keroncongan. Semenjak tiba di Lijiang, belum satu pun yang meminta dilukis, sehingga wajar jika ia merasa lapar. Namun, tatkala ia hampir berputus asa, tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Hei, pelukis kumal!"
Sang pelukis menoleh. Dilihatnya gadis berpakaian kuning melambaikan tangan. Gadis tersebut bertubuh mungil dan berparas imut-imut. Usianya sekitar sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang dikepang satu dan dihiasi beberapa konde bunga pada bagian atas kepala. Wajahnya sedikit bulat dan memiliki atribut menawan: mata lebar berbulu mata lentik, hidung mungil, serta bibir yang melekuk indah. Pakaian yang ia kenakan tak mampu menutupi kemolekan tubuhnya yang proporsional.
Pelukis kumal buru-buru menghampiri. "Nona memanggilku? Apakah ingin kulukis?"
Gadis berpakaian kuning mengangguk. "Berapa?"
"Cuma satu tael perak, Nona."
"Baiklah, tapi jangan sampai hasil lukisanmu tidak sama seperti aslinya," ujar gadis tersebut, mencebik.
"Tidak akan ada lukisan yang dapat menyamai kecantikan Nona," puji sang pemuda membuat wajah gadis di hadapannya tersipu-sipu.
"Jangan banyak bicara!" bentak gadis tersebut, berusaha menutupi malu. "Lekas lukis aku!"
Sang pemuda menurut. Setelah menyiapkan peralatan, ia pun mulai melukis. Jemarinya menari gemulai menorehkan cat. Kecantikan gadis berpakaian kuning perlahan-lahan mulai terwujud dalam lukisannya.
Tatkala sedang melukis, terdengar suara orang yang tergelak dari belakang. Pelukis kumal menoleh ke belakang, dan melihat dua laki-laki sedang berdiri sambil berkacak pinggang.
Salah satunya berkepala plontos dan berwajah bundar; matanya yang kecil agak mencuat ke luar; lehernya sangat pendek, bahkan nyaris tak terlihat; hidungnya pesek; mulutnya lebar dan ompong; perutnya yang besar menyembul dari celah-celah pakaian kuning yang tampak kekecilan. Ia adalah pendekar golongan hitam yang dikenal dengan julukan Huang Tie (Besi Kuning).
Penampilan laki-laki di sebelahnya pun tak kalah janggal. Urat-urat bertonjolan di tubuhnya yang tinggi kekar; rambutnya tumbuh tak beraturan—sebagian kepala tak berambut, sebagian lain berambut; wajahnya persegi dan berahang kukuh; alisnya lebat; matanya cekung dan memiliki sorot tajam; hidungnya lebar; kumisnya melintang ke samping, melebihi wajahnya; aroma busuk menguar dari tubuhnya. Pria tersebut mengenakan baju hijau dan dikenal dengan sebutan Lu Tie (Besi Hijau).
Mereka adalah anggota kelompok Si Tie (Besi Maut) yang terdiri dari: Hong Tie (Besi Merah) yang merupakan murid tertua, sekaligus pimpinan kelompok; Hei Tie (Besi Hitam), murid kedua; Lu Tie, murid ketiga; Lan Tie (Besi Biru), murid keempat yang tewas di tangan Yueliang Gongzhu; Huang Tie yang terkecil. Mereka tidak sedarah, tetapi berguru pada Tie Shen (Dewa Besi). Semenjak Tie Shen tewas murid-muridnya mempraktikkan ajaran sesatnya di Jianghu. Sudah banyak nyawa mereka habisi; tak terhitung gadis mereka nodai; tidak sedikit harta yang mereka rampas. Kekejaman mereka sudah terkenal di seluruh Jianghu. Bahkan kemampuan Hong Tie menggetarkan nyali banyak pendekar.
Kemunculan mereka di Lijiang tentunya menjadi perhatian khalayak. Mereka tahu sebentar lagi akan ada tontonan menarik. Namun, tidak ada yang berani mendekat dan hanya melihat dari kejauhan.
Huang Tie yang tahu sedang menjadi pusat perhatian, justru makin menampakkan kepongahan. "Hahahaha! Kakak Ketiga, lihatlah lukisannya buruk sekali!"
"Hahaha! Kamu benar!" Lu Tie menyelisik gadis berpakaian kuning dari bawah ke atas. "Gadis Cantik, jangan mau dilukis oleh pelukis bodoh itu. Biarkan kami ya—
"Melukis di tubuhmu yang tanpa busana! Hahaha!" Huang Tie menggenapi.
Merasa direndahkan, gadis itu pun naik pitam. "Kurang ajar! Kipasku akan mencabik-cabik mulut kotor kalian!" Dikeluarkannya kipas kuning yang tergantung di sabuknya.
"Ah, rupanya murid perguruan Sheng Mi (Kipas Suci)." Huang Tie menyeringai.
Lu Tie justru kian terpikat. "Hmm ... aku makin suka gadis liar sepertimu! Hahahaha!"
Gadis perguruan Yueliang Xueyuan yang sejak tadi memperhatikan pun melesat cepat, lantas mendarat di hadapan Lu dan Huang Tie. Matanya menyorot tajam pada keduanya.
"Jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mengirim mereka ke neraka!" Ia mengacungkan pedang ke arah dua penjahat.
Lu dan Huang Tie menyelisik gadis yang baru datang. Alih-alih surut mengetahui gadis itu murid Yueliang Xueyuan, dendam mereka justru tersulut.
"Kakak, kita memiliki dendam kesumat pada Yueliang Gongzhu."
Lu Tie mengangguk. Keduanya bersiap-siap merapal jurus andalan. Sementara itu kedua gadis cantik pun bersiap-siap menghadapi mereka. Namun, tatkala pertarungan hampir pecah, tiba-tiba seseorang berseru.
"Tunggu!"
Gadis berpakaian kuning terhenyak, dan menoleh ke asal suara. "Pelukis kumal ...."
***