Chapter 26 - Arc 2 - Prolog

Kematian semakin dekat menghampirinya, pada leher yang berlubang mengeluarkan cairan merah yang mengerikan. Nafas semakin menipis di makan waktu. Rasa sakit separah apa yang ditahan olehnya. Tidak ada seorangpun yang ingin mengalami kematian sama seperti pemuda itu.

Dia sudah mengetahui takdirnya, berusaha lebih untuk bernafas adalah hal yang sia sia, itu hanya akan memperlambat sementara takdirnya, meski mengetahui itu, dia tetap bergantung pada akar yang rapuh tersebut.

Tengkurap di lorong yang hangat akan cairannya sendiri.

Dengan pencahayaan redup, darah mengalir dan menggenang di sepanjang lantai lorong. Disanalah pemuda itu, terbaring lemah bermandikan darah, jari jemarinya masih berusaha menahan darah yang keluar dari luka tusuk pada lehernya. Berusaha tetap hidup meskipun usahanya tetap sia sia. 

"T...ong.." Rasanya sangat sakit, berbicara lebih sakit laki.

Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa hal buruk ini terjadi, pemuda berumur 16 tahun hanya meratapi nasibnya, menanti gilirannya, menunggu malaikat maut mencabut nyawanya.

"Aaaahhhh~ benar benar membuatku terkejut~." Mengintimidasi orang yang sekarat, senyuman lebar nampak memperlihatkan hati yang gembira. Pria berjaket parka hijau berjongkok dan tersenyum legah, Seorang Tenza tiba tiba saja lari menghampiri rumah yang sedang menjadi santapannya, tapi keberuntungan berada di pihak yang salah.

"Baiklah.." Pria bertubuh besar itu berdiri, melangkah perlahan menjauh dari sana kemudian masuk ke dalam menuju kamar tidur. Terdapat seorang perempuan di sana, dengan gaun putih yang ternoda darah pada dadanya. Dia terbaring disana, terdapat lubang yang lebar pada dadanya, Pria itu sebelumnya telah menusuk dada pada perempuan itu.

Dia berjongkok di sana, menatap wajah yang mulai memucat dan dingin, Pria itu mendecakan lidah.

"Sudah mati..yah?"

Dia segera bangun dan bergerak menjauh dari sana, seseorang selain dirinya yang masih hidup hanyalah pemuda yang sekarat ini, perempuan bergaun dan putrinya yang mengenakan jaket Varsity hitam sudah mati dari tadi.

Dia terpaksa harus melakukan hal itu kepada Pemuda ini. Tanpa membuang sedikitpun waktu dia langsung berjongkok mendekat kepadanya, mengulurkan tangannya ke mulut pemuda itu, membuka bibir pemuda itu, keluar dari pori porinya mengalirkan sesuatu berwarna hitam, masuk tanpa perlawanan dengan perlahan lahan ke dalam mulutnya. 

Mahkluk itu harus berhati hati atau tanpa sadar dia bisa saja akan membunuhnya tanpa bisa merasukinya kembali. Terus mengalir dengan pelan dan p.....

"HH!!!!"

Degupan jantungnya sangat cepat. Suara yang keluar sangat besar, sangat besar hingga telinganya hanya dipenuhi oleh suara jantungnya sendiri, sebelum dia sendiri menyadari betapa intensnya dalam mengambil dan mengeluarkan nafas.

Membuka mata dengan cepat dan diserang oleh silau lampu, menyipitkan kembali melindungi matanya dari silauan dari langit langit.

Rintikan hujan yang deras mengeluarkan suara yang anehnya... Suara bising yang ditimbulkan membuat kepalanya ringan.

"Ini?..." Beberapa saat setelah matanya mulai beradaptasi, akhirnya dia dapat melihat seperti biasa.

"Bukan kamarku kan?" Dia menatap ke arah langit langit yang tidak dikenal. Perasaan yang tidak familiar ketika merasakan tekstur kasur yang ia tiduri. Dia menumpukan tangan kirinya dan berusaha untuk bangun dan..

"AGGHKKK..." Dia kembali menidurkan tubuhnya, tiba tiba rasa sakit menjalar dari perut, segera setelah itu mencoba untuk meraih bagian yang terasa sakit itu dengan kedua tangannya.

"Ukh?!" Akhirnya dia menyadarinya. Perutnya terluka karena terinjak oleh Jason, dia melirik ke arah tangan kanannya yang di gantung, tangannya patah atas kebodohannya sendiri, lalu melirik ke atas kening, kepalanya terluka dan perban membungkusinya.

Dia mengamati ruangan di sekitarnya, ruangan dengan tembok putih terang, tercium aroma obat yang cukup kuat. Langit tampak gelap di lihat dari kaca jendela karena hujan. 

Suara hujan membuatnya sangat tenang, ketenangan membuatnya mudah untuk berfikir, dia mulai mengingat apa saja yang dia lakukan malam itu.

"Malam itu..." Benar..malam itu, dia bertemu dengan Reina lalu..

Matanya yang masih sayup sayup terlihat dengan cepat melebar.

"Tunggu dulu..." Satu pertanyaan besar besar langsung muncul dibenaknya.

Tidak..

"Tidak... Tidak mungkin?!!.... tidak.... tidak... TIDAK...TIDAKKK...ini tidak mungkinkan?"

Kenapa perutku rasanya sakit sekali?

Serangan panik menyerang, frekuensi nafasnya jadi semakin intens, menghasilkan domino efek yang menyebabkan detak jantungnya ikut terpacu.

Kenapa tangan kananku patah?

Matanya melirik ke arah kanan, seharusnya di sana ada meja kecil dan jam alaram yang akan segera berbunyi, tapi yang ada di depannya adalah tembok dan jendela di atas.

Lalu kenapa kepalaku diperban?

'AAKKhk...uugghh...' Meski rasa perih pada perutnya sangat kuat, tapi rasa ingin tahu yang besar tetap membuat Tenza beranjak dari bangun tanpa membuat tangan kanannya yang digantung terlepas.

Dan kenapa aku berada di rumah sakit?

Dia mencari ke sana kemari dan menemukan jamnya tidak jauh dari pandangannya meski dia tetap tidur di ranjang.

Jam itu menunjukan pukul 07.46 pagi.

"Tidak mungkin....."

Kenapa?

Semua itu nampak pada ekspresi yang Tenza tunjukan saat ini.

Meski pertanyaan itu menyerbu kepalanya, faktanya penolakan dihatinya tetap dikalahkan dengan penerimaan fakta. Rasa harapan yang hancur di injak injak benar benar pahit.

Dalam tahap 5 kesedihan, anehnya Tenza langsung meloncati tahap terakhir.

Dimana dirinya telah menerima fakta bahwa waktu tidak terulang kembali ke masa lalu. Dimana dirinya gagal dalam menghentikan Jason.

Rasanya aneh...bibirnya membentuk senyuman penuh rasa lega, namun tatapan matanya nampak seperti menahan rasa sakit akan kemunafikan.