"Baiklah tunggu sebentar yah..." Sedikit membungkukan tubuhnya, dia menyodorkan kedua tangannya menuju ke kepala Tenza, meraih perban yang terikat di sana lalu dengan tangan yang lihai, ia melepas ikatannya.
Tangan kiri tergeletak di atas paha, sambil menggenggam sebuah cermin kecil. Menunggu ikatan perban pada kepalanya. Tenza sudah tidak sabar lagi untuk melihat bentuk keningnya yang dari kemarin sudah terbalut oleh perban.
"Sudah selesai." Ucap suster itu sambil menarik perban bekas yang Tenza pakai.
Tenza menanggapi dengan tak sabar langsung mengangkat cerminnya langsung mengarah pada bekas luka di keningnya. Jahitannya sudah dilepas, perbannya juga demikian, yang tersisa disana hanyalah bekas luka.
Tenza menjulurkan jari telunjuk, mengelus pelan dengan ujung jarinya. Merasakan perubahan tekstur yang signifikan di keningnya, cekungan ke dalam cukup kecil tapi...
"Apakah bekas ini bisa hilang?" Tanyanya penasaran, dia sedikit menurunkan cerminnya lalu menoleh ke arah suster yang ada di depannya.
"Maaf, dari hasil pemeriksaan yang kami lakukan, bekas luka tersebut hanya akan hilang hanya jika melakukan operasi."
Itu adalah masalahnya, Tenza menghela nafas. Kedengarannya cukup merepotkan, tapi tampaknya ini tidak akan mengganggu kesehariannya.
Artinya untuk kedepan Tenza akan hidup berdampingan dengan bekas luka ini.
Meski begitu, pernah muncul dalam benaknya bahwa luka ini akan membuat Tenza menjadi pusat perhatian orang orang, tapi Tenza rasa itu hanya berlaku untuk beberapa hari saja, setelah itu tidak akan terjadi lagi.
Lagi pula bekas lukanya tidak terlalu besar, lukanya tidak lebih dari luas uang koin satu sen.
"Saya sudah mengemas barang barang anda, apakah anda sudah selesai." Ova tiba tiba memunculkan kepalanya dari balik pintu masuk.
Dia adalah perempuan dengan rambutnya yang sepanjang pundak, mengenakan jas hitam dengan dasi hitam. Penampilan yang sama saat dia mengantar Tenza ke Elikya. Ova membenarkan posisi berdirinya, menampakan keseluruhan tubuhnya.
Tenza mengangguk dan mengukir senyuman kecil. "Yah sepertinya."
Tenza memandang ke arah Ova, Tenza pikir perilakunya terhadap dirinya masih terlihat kaku dan terdengar formal, tapi itu lebih baik dari pada dia masih memanggil Tenza dengan sebutan 'Tuan muda.' lagi.
Tenza sudah mengganti pakaian dengan kaos hitam miliknya, beberapa saat yang lalu Tenza meminta Ova untuk membawakan pakaian bersih dari rumah agar dia dapat segera mengganti pakaian pasien dengan pakaian miliknya.
Baju orange dan celana hitam yang ia gunakan kemarin juga telah masuk ke dalam tas dan di taruh di dalam bagasi mobil, Ova membantu Tenza mengemas pakaiannya sendiri.
"Terimakasih telah merawat Tenza hingga saat ini." Ova menundukan kepalanya, menghadapkan tubuhnya kepada suster tersebut.
"Ahh tentu saja, lagi pula ini memang pekerjaanku." Perempuan itu melambaikan tangan.
Ova mengangkat kepalanya, menaikan pipinya tersenyum ramah kepadanya. "Kalau begitu..." Tenza segera beranjak dari ranjangnya, menaruh cermin tadi ke atas lemari di sampingnya. "Saya akan pulang dari sini yah." Tutur Tenza.
"ya...hati hati di jalan."
***
"Saya benar benar khawatir."
"Hmm?" Tenza memutar matanya mengarah pada perempuan berjas hitam tersebut.
Saat ini Tenza sudah berada di dalam mobil, Tenza menggerakan matanya melihat ke berbagai arah, Tenza mencoba untuk menebak, sepertinya ini adalah mobil yang sama yang digunakan Ova untuk mengantarkannya ke rumah, itu karena Tenza masih mengingat bentuk dalam mobil yang ia naiki sebelumnya.
Perjalanan ini benar benar terasa hening, Tenza tidak tahu ingin mengatakan apa untuk memulai pembicaraan. Namun Ova langsung membuka mulutnya ketika Tenza mencoba memikirkannya.
"Saya tidak menyangka akan terjadi hal ini." Ova terdengar gelisah.
Tenza melebarkan bola matanya. "Ahh itu..." Dia membeku seketika. Matanya berputar dari bawah ke atas memutar matanya menghadap ke luar jendela.
"....aku tidak tahu harus mengatakan apa." Tenza menyenderkan tubuhnya pada jendela.
Dia mencoba untuk membenarkan posisi tubuhnya, kembali meluruskan posisi tubuhnya yang miring, berhati hati terhadap gips yang terpasang pada tangan kanannya dan menyenderkan punggungnya pada kursi mobil.
"Saya benar benar khawatir." Ova mengatakan hal yang sama sebelumnya.
"..." Tenza hanya terdiam. Atau tepatnya mulutnya membeku tidak tahu harus mengatakan apa.
"Sebenarnya, apa yang anda lakukan di saat itu? Di malam hari di rumah seorang perempuan, apa yang anda lakukan di sana?" Tanya perempuan itu.
Tenza melebarkan matanya. "Tunggu dulu..." Ucapnya sebelum kembali berbicara.
"Kau berfikir aku melakukan hal yang aneh?" Tanya pemuda itu, dia menaikan volume suaranya. "Yah aku pikir memang rasanya aneh jika saat itu aku sedang berada di rumah perempuan."
Tenza mengalihkan matanya, sesuatu muncul dalam benak Tenza seketika, mungkin itulah alasan kenapa Reina mencoba untuk menghalangi Tenza pergi ke rumahnya pada malam itu.
Tenza mengerti bahwa alasan Reina menghalanginya saat itu karena dia tidak ingin ada seseorang yang melihat dirinya bersama laki laki lain tiba tiba masuk ke rumahnya.
"Sebenarnya apa yang anda lakukan pada saat itu?" Ova tiba tiba bertanya, dia masih menanyakan hal yang sama. Terlihat matanya sedikit melirik ke arah belakang.
"Yah..bagaimana yah..." Tenza menggaruk rambutnya. "...Aku mendengar berita ada beberapa orang menyusup ke Elikya, karena curiga, aku meminta Reina untuk bertemu ibunya..."
"Malam malam?" Ova langsung memotong pembicaraannya, Tenza tersentak, Kejadian kemarin benar benar dapat membuat orang salah paham jika dia tidak menjelaskannya secara jelas dan berurutan. "Ahh..iya..itu..." Tenza menjawab dengan gagap.
Tenza mencoba untuk menenangkan dirinya, menutup mata, menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, mencoba untuk membuat kalimat yang tersusun. Setelah Tenza membuka matanya, dia telah kembali dengan kalimat yang tersusun rapih.
"Sebelumnya..." Ucapnya memulai penjelasan. "...Aku benar benar curiga kalau salah satu dari mereka akan datang ke perumahan, jadi awalnya aku ingin menemani sekuriti yang berjaga di sana. Sekitar jam 10 malam tiba tiba aku berjumpa dengan Reina, katanya dia ingin pergi ke Cafe buku malam itu, tentu saja aku tidak mungkin membiarkan perempuan pergi sendirian di malam hari bukan? apa lagi Reina adalah teman sekelasku, jadi aku menemaninya sampai dia pulang ke rumahnya. Lalu aku teringat sesuatu yang Reina katakan saat di sekolah..."
"...." Ova masih mendengarkan perkataan Tenza. Dia duduk di kursi depan, dia yang menyetir. Berbeda seperti yang sebelumnya, saat ini yang mengendarai mobilnya adalah Ova, bukan supir khusus yang mengantar Tenza sekitar tiga hari yang lalu.
"...Sebelumnya, kemarin pagi aku membuka situs streaming berita dan menontonnya. Aku mendengar bahwa ada beberapa penyusup yang datang ke Elikya, aku menanyakan kepada Reina, dan dia mengatakan bahwa dia sepertinya pernah melihat orang itu. Jadi..."
"..."
"Sebenarnya ini salahku sendiri, jika saja aku menyadari dan mengingatnya lebih cepat, maka....hal ini mungkin tidak akan pernah terjadi." Tenza menundukan kepalanya.
Tenza entah bagaimana dapat kembali ke masa lalu saat itu, dia sudah mengetahui akan ada orang yang ingin membunuh mereka berdua, tapi dia terlalu naif karena telah membuat rencana yang terlalu sederhana.
Jika saja pada malam itu dia mengatakan bahwa menemukan Jason tanpa harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, membuat laporan palsu kepada polisi, lalu polisi datang lebih cepat, maka mereka pasti mereka akan berpapasan dengan Jason dan hal buruk itu pasti tidak akan pernah terjadi.
Reina selamat begitu juga dengan ibunya, Tenza tidak perlu masuk ke rumah sakit karena kepalanya yang terpukul oleh tongkat baseball miliknya sendiri. Semua seharusnya akan berjalan dengan lancar jika Tenza tidak mengikuti pendiriannya untuk tidak membuat laporan palsu.
Ova telah mendengar penjelasannya, dia sedikit memicitkan matanya, terdengar sedikit aneh dari cerita Tenza namun dia tidak dapat membuktikannya. "Saya mohon kepada anda, untuk tidak membahayakan diri anda lagi." Masih menyimpan curiga, Ova berencana untuk memasang mata pada anak itu.
Tenza yang mendengarnya sedikit terkejut dan tersenyum dengan sendirinya. "Sepertinya kau terlalu khawatir kepadaku, kenapa?" Tanyanya mencoba untuk menggoda Ova. Tenza kembali memiringkan kepalanya, menyenderkannya ke kiri kaca mobil dan tersenyum menggoda Ova.
"Yah itu karena saya memiliki alasan tersendiri."
***
Ini adalah hari ke tiganya bersekolah Di Elikya, dan jika waktu cutinya karena dirawat di rumah sakit harus dihitung juga, maka ini adalah hari ke limanya.
Telah terjadi insiden yang tidak diinginkan oleh siapapun, hal itu terjadi di hari keduanya di Elikya, kejadian itu dimulai saat jarum pendek pada jam sedang berjalan menuju angka dua belas. Seseorang bernama Jason telah membunuh Reina dan ibunya yang bernama Elyena.
Ketika saat itu Tenza masih terbangun, dia mendengar suara teriakan serta jeritan dari samping rumahnya. Singkat cerita Tenza langsung bergerak masuk ke rumahnya dan kemudian tanpa ia sadari dia hampir mati tertusuk pada lehernya. Kejadian tak masuk akal tiba tiba terjadi pada saat itu, Tenza kembali ke masa lalu.
Bagi siapapun yang mendengar cerita ini pasti akan menertawakan Tenza.
Setelah itu dia berencana untuk menggagal rencana Jason, namun pada akhirnya karena perbedaan kekuatan bagaikan langit dan bumi, Tenza mengalami kegagalan yang fatal. Dan entah kenapa waktu tidak kembali lagi ke masa lalu seperti sebelumnya.
Singkat cerita lagi Tenza sudah berada di sini, berjalan pelan menyusuri lorong yang sejuk karena pagi hari dengan warna tembok Royale bluenya yang menenangkan pikiran, beberapa murid menoleh ke arah Tenza, tatapan mereka seperti berkata 'Ah itu orangnya.' atau 'Wah lihat kepalanya.' atau 'wah tangannya dipasang gips!' dan atau yang lainnya yang mirip seperti itu.
Tenza berusaha untuk menahan dirinya dari ocehan mereka, dia berusaha untuk menutup telinganya, berusaha untuk tidak menoleh ke arah mereka, dan akhirnya sampailah dia. Tenza menoleh ke arah sana.
Dia menoleh ke depan, sebuah pintu aluminium yang tertutup, ruangan yang ada di depan Tenza kali ini merupakan kelasnya. Dia berjalan pelan dengan kecepatan yang ia tambah sedikit lebih cepat, berjalan menuju ke sana, lalu mengangkat tangan kirinya, mendorong perlahan pintu itu dan membuka selebar yang ia mampu.
Angin AC secara tiba tiba menyambut Tenza yang baru saja membuka pintu aluminium mengelus lembut tubuhnya dengan kesejukannya. Tenza segera menoleh ke arah teman temannya. mereka mengenakan seragam hijau yang sama dengan miliknya. Karena ini adalah hari jumat.
"Akhirnya kau datang." Seseorang berucap dengan nada yang ditekan, Tenza menoleh ke arah sumber suara perempuan tersebut.
Perempuan itu segera bangun dari tempat duduknya, mendorong kursi dan mejanya dengan tubuhnya.
Rambut pendek hitam dengan ujung sedikit keriting itu melambai lambai dengan cepat dikala langkahnya semakin cepat, Jepit rambut bunga matahari yang berwarna kuning menempel dan mengikat poni rambutnya sebelah kiri.
Tenza sedikit terkejut dengan reaksinya, Melangkah mundur namun sudah terlambat, Michiko dengan cepat meraihdan menarik dasi Tenza dengan kuat.
Tenza tercekik, dengan cara memaksa, Michiko menarik dasinya langsung masuk ke dalam kelas. Tenza hampir saja tumbang ke arahnya, dengan sigap meluncurkan satu kaki ke depan sebagai tumpuan. Menjaga jarak antara tangan kanannya yang terpasang gips agar tidak mengenai perempuan tersebut.
Pintu kelas tertutup perlahan dengan sendirinya. Tenza menatap perempuan itu, menatap tajam ke arahnya, Tak paham akan prilaku yang tiba tiba, rasa takut muncul terhadap tatapannya yang tajam.
"Katakan kepada ku!" Ucap yang penuh kesungguhan. Tenza tidak paham apa yang dimaksudkannya, dia terlalu terkejut untuk memahami situasi.
"Tenza kumohon katakan dengan sejujurnya!!!" Dia semakin menarik dasinya, Tenza tercekik karenanya. "AKhh...Tunggu dulu ada apa ini!?" Tenza mengangkat tangan kirinya, berusah mengendurkan ikatan dasinya, mencoba untuk melawan tarikan milik Michiko.
"Kau pasti mengetahuinya kan? kau pasti mengetahuinya kan?" Michiko terus menarik dasinya, Tenza masih tidak paham dengan yang gadis itu katakan, Tenza mendelik ke wajahnya, Michiko terlihat semakin lama kian memelas.
"Kau pasti tahukan Reina ada dimana kan!! Kau pasti mengetahuinya kan? dimana?!! Tolong katakan kepadaku." Michiko terus menerus menarik dasinya, mencekik leher Tenza tanpa memperhatikan keadaannya saat ini.
"Michi...tolong hentikan itu..." Youra segera bangkit dari tempat duduknya yang bersebelahan dengan tempat duduk Tenza, dia berdiri berlari pelan menghampiri Michiko yang tanpa sadar sedang menyiksa Tenza. Perempuan itu memegang pundak michiko, menarik lemah dan mengelus pelan dengan lembut. "Aku mohon hentikan ini..." Dia mencoba untuk melerainya, air matanya keluar di kala ia melakukan itu.
Michiko mendengar perkataan temannya, bibirnya bergetar meski dia sudah berusaha menahannya. Secara perlahan dia terasa sedang mengendurkan tarikannya, air matanya keluar menetes, perlahan Michiko melepas genggamannya terhadap dasi Tenza.
Gadis itu terisak menangis di sana, tubuhnya rubuh seketika dan terduduk di atas lantai yang dingin. Tenza melonggarkan ikatan dasinya, bernafas legah untuk sementara.
"Aku mohon...tolong jelaskan..hiks..." Michiko menempelkan kedua tangannya pada matanya, menahan dan mengelap air mata yang terus menerus keluar, menutup ekspresi kesedihannya. Youra merendahkan tubuhnya menyamai tingginya dengan gadis berambut hitam keriting tersebut. Mendekap lembut dengan tubuhnya.
"Michiko...tolong hentikan, ini bukan saat yang tepat." Alex yang duduk di kursinya yang berada di belakang kelas berdiri pelan di sana, sebagai ketua kelas dia berusaha untuk mencari jalan yang terbaik, dia mencoba untuk menghentikan ini.
"Tenza..." Dia menoleh ke arahnya, mencoba untuk menyahut temannya yang berambut hitam tersebut.
"...maafkan aku." Ujar Alex dengan pelan dan tiba tiba. Namun kelas yang sunyi sedang tercipta, hanya isak tangis Michiko yang terdengar menyayat hati. Tenza mendengarnya dengan jelas, dia menoleh ke arah temannya itu, Alex tidak berani menatap ke arah mata Tenza, tidak berani melihatnya atas respon yang akan diberikan.
"Kau...memberi tahukan kepada semuanya yah?" Ucap Tenza pelan.
Dia kembali menoleh ke arah Michiko yang sedang terduduk terisak menangis di sana. "Maafkan aku..." Ucap pelan Tenza kepada perempuan itu.
"Ini tidak bisa di maafkan." Tiba tiba seseorang bercakap kembali. "Aku sudah mendengar semuanya dari Alex..." Elena berdiri mengangkat suaranya, perempuan itu mengangkat dan melipat kedua tangannya, menghancurkan keheningan kelas. Dari beberapa orang yang hadir di sini, dialah yang paling Tenza tidak sangka akan berbicara.
"...Bukankah ini aneh? Tiba tiba Michiko menemukanmu babak belur dan pingsan di rumah Reina, ibu dan salah satu orang asing tiba tiba keluar dari sana meninggal dengan cara yang mengenaskan." Ucapnya Tegas membeberkan fakta tersembunyi.
"Elena, tolong hen...."
"Aku juga berpikiran yang sama..." Dikala Alex berusaha menghentikan Elena, Nick masuk dalam pembicaraan.
"Kaulah yang paling tahu tentang kejadian kemarin..." Berdiri dari tempat duduknya, menunjukan eksistensinya, terhadap kelas yang berubah bagai panggung drama.
"...apa yang terjadi di sana? mengapa Reina bisa menghilang dan..."
"NICKK!!" 'DUUAKKK' Teriak Alex, dia mengepal jari jemarinya, mengangkatnya setinggi tingginya lalu membenturkan kepalan tangan ke atas meja, memukulnya dengan sekuat tenaga. Semuanya terkejut atas prilaku Alex. Ning memutar leher ke belakang menghadap Alex.
"Sialan...di saat seperti ini, kenapa bisa bisanya kau mengatakan hal itu?" Alex dengan cepat berjalan cepat menghampiri Nick di depan, menghentakan sepatunya ke lantai dengan sekuat kuatnya.
"Apakah kau tidak melihat suasananya?!" Dengan cepat Alex meraih kerah seragamnya, mencekram lalu menariknya dengan sangat kuat, menarik kepala mendekat kepadanya. Menekukan alis dan menampikan kekesalannya terhadap Nick.
"AKU MENGETAHUI suasanya." Nick dengan tegas menekankan kepadanya, Alex masih menekuk wajahnya. "Aku juga sangat khawatir, dan semuanya juga begitu." Alex sudah kesal setiap perkataan yang dilontarkan Nick. Dia menggertakan giginya. "TAPI..."
"Termasuk dirimu bukan?" Alex meningkatkan lagi suara amarahnya tapi Nick langsung memotong perkataannya tanpa ampun, Alex seketika langsung membelalakkan mata, tatapan kesalnya berubah menjadi sesuatu yang dapat dikatakan sebagai kesadaran.
Cengkramannya mulai melonggar di kala itu, dia tahu dia tidak akan pernah bisa memenangkan perdebatan, dia sudah menyerah sebelum mencoba. Alex memutar lehernya ke belakang, memandang kepada teman teman sekelasnya. Semuanya menampikan ekspresi yang sama, begitu juga dengan dirinya sendiri. Alex baru menyadarinya sekarang. Rasa kesal membludak dari dalam tubuhnya.
Mereka semua menampikan wajah yang gelisah dan khawatir. Reina adalah teman mereka, perempuan yang cukup periang dan terkadang serius. Dia adalah salah satu anggota keluarga di kelas ini. Kehilangannya merupakan pukulan kuat bagi mereka semua.
Terutama bagi Michiko, baginya Reina adalah sahabat terbaiknya, begitu juga dengan sebaliknya. Tenza mungkin baru beberapa minggu bertemu dengan gadis ini, namun dia selalu memperhatikan teman temannya.
"T.tapi..." Bibir Alex bergerak, berusaha mencari alasan. Dia menggumamkan sesuatu. "Tapi tidak mungkin harus mengatakannya sekarang bukan?" Dia menggertakan giginya.
"Lihatlah...semuanya khawatir, begitu juga dengan Tenza, aku paham alasan kau membelanya. namun hal ini tidaklah benar, mengorbankan satu orang untuk semua orang lebih baik dari pada mengorbankan semua orang hanya untuk satu orang." Nick menjelaskan situasinya, berdalih demi keinginannya yang egois dapat tercapai.
"Tapi..." Bibirnya bergetar ketika mencoba mengatakannya, menanyakan hal ini kepada dirinya sendiri. "..ini bukanlah hal yang benar." Alex bergumam.
"Tidak apa apa Alex." Tiba tiba Tenza membuka mulutnya. Alex menoleh kearahnya, Tenza berusaha tersenyum di saat saat seperti ini, berusaha tidak terlihat rapuh di hadapan teman temannya. "Terimakasih telah mendukungku, tapi apa yang dikatakan Nick adalah benar. Karena itu..." Tenza mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri di saat saat terakhir.
"...Akan aku ceritakan semua yang aku tahu." Semuanya cukup terkejut dengan apa yang di ucapkan Tenza, begitu juga dengan Nick. "Apa tidak apa apa?" Tanya Alex dalam kesunyian. Tenza mengangguk paham dengan apa yang dipikirkan temannya.
Dia menampilkan senyum palsu. Tenza menegakan badannya, menarik nafas dalam dalam, mengatur kata kata agar penjelasannya dapat di mengerti. Masih menampilkan senyum palsu di bibirnya.
"Saat itu, kemarin malam. Aku berjumpa dengan ibu Reina...."
Tenza terus menerus menampilkan senyuman palsunya, menahan rasa perih yang muncul di dadanya, rasanya ingin sekali dia mencabik cabik dirinya sendiri.
"TENTU SAJA INI UNTUK MEMBUNUH BUKAN!!!!..."
Tenza terus bercerita, menjelaskan kepada mereka tentang hal apa saja yang ia ingat. Menjelaskan segalanya dan segalanya, semuanya membelalakan matanya pada saat itu mulut mereka ternganga tidak dapat percaya, mereka sadar dengan keegoisannya masing masing, kesal terhadap diri mereka sendiri.
"Aku ini...tidak dapat merasakan sakit lho..khiihiii.."
Mereka telah memaksakan Tenza untuk terus mencabik dirinya sendiri, demi rasa kepuasan mereka. Rasanya sangat perih, sangat perih. Namun Tenza terus menyembunyikan perasaannya, karena ini adalah hukumannya. Hukumannya karena telah gagal menyelamatkan Reina.
"Kau cukup tangguh juga yhaah..."
"Sepertinya kau sudah mempersiapkan semua ini yah? Siapa sebenarnya kau?"
"Ini aneh sekali, tidak ada ingatan dia tentangmu dan kau seakan akan sudah mengetahui ini semua akan terjadi."
Mulut Tenza terus berbicara, terbuka dan tertutup, menghasilkan kata kata yang jelas untuk menjelaskan. Tenza mengabaikan dirinya sendiri. Terus dan terus, menceritakan segalanya kepada mereka semua. Terkecuali satu hal...
"Kau pernah kembali ke masa lalu bukan?"
Hal itu tidak akan pernah Tenza akan katakan, tentang dirinya yang sempat pernah kembali ke masa lalu. Hanya ini rahasianya, Tenza akan memendamnya sendirian. Tidak mungkin ada orang yang akan mempercayainya. Itulah kepercayaannya.
Pintu aluminium kelas itu tiba tiba terbuka.
"Selamat pagi semuanya." Sapa dari seorang guru tersenyum kepada murid muridnya. Pria itu membuka pintu dan tidak lupa menutupnya kembali, melangkah pelan menuju mejanya yang berada di depan. Pria itu terheran karena sapaannya yang tak di jawab oleh mereka.
Dia segera menoleh ke arah murid muridnya, semuanya sudah terduduk di tempat masing masing, terduduk rapih berusaha siap untuk memulai pelajaran kembali. Tidak ada satupun yang menatap ke arah gurunya, semuanya tampak khawatir akan sesuatu. Senyuman pada guru itu perlahan menghilang ketika melihat ekspresi murid muridnya.
"Kalian sudah mendengarnya dari Tenza yah?" Tanya guru itu dengan suara yang pelan, tidak ada yang menjawab ataupun mengangguk, semuanya mengalihkan pandangan mereka dari orang lain. Tidak ada satupun yang menoleh, semuanya menatap kosong dengan mata mereka. Kesunyian telah tercipta di kelas ini, namun kesunyian itu menjawab pertanyaan pak Leone.
"Begitu yah." Ucapnya pelan.
Pak Leone melihat murid muridnya, bangku Reina dan Chad kosong tidak ada yang menempati.
"Ada yang tahu Chad ada dimana?" Pak Leone bertanya kepada mereka. Alex tampak menggelengkan pelan kepalanya berusaha menjawab pertanyaan dari gurunya tersebut.
Tiba tiba pintu kelas lagi lagi terbuka, Chad memegang knop pintu dan mendorongnya ke dalam. Seakan akan sudah terbiasa dengan hal ini, pak Leone langsung saja menyuruh Chad langsung duduk ke tempat duduknya.
Chad melangkah ke dalam, suara ketukan sepatunya mengisi keheningan kelas. Nampak seperti keseharian yang normal namun tidaklah begitu.
Keseharian Tenza yang suram, baru saja di mulai.