Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 29 - Arc 2 - Chapter 3 (Keseharian biasa telah kembali)

Chapter 29 - Arc 2 - Chapter 3 (Keseharian biasa telah kembali)

Ingin rasanya untuk lari dari kenyataan, meninggalkan semua kertas yang berserakan di lantai. Sudah pasti ini adalah resiko bagi dirinya yang memilih untuk meneruskan hobi, sebagian dari dalam diri merasa bahwa dia telah salah memutuskan.

Tapi keinginan untuk mewujudkan mimpi selalu menepis perasaan yang penuh keputusasaan itu. Tugasnya hanyalah menggambar bebas, namun harga dirinya seakan menghambat untuk terus mengoyak kertas dan melemparkannya kesekeliling kamar.

Kertas yang lecak di lantai yang dingin, serta pensil yang terlepas dari tangan yang menelentang. menatap atas dan merebahkan tubuh di atas karya yang gagal.

Apa yang salah?

Pikirannya terus berkelut kepada hal yang sama. Tapi jika dia tidak menyelesaikannya, maka apa yang harus dia katakan kepada guru favoritnya nanti? Seakan dipaksa untuk memilih mengorbankan harga diri atau pandangan baik terhadap satu orang.

Jarum terus berputar, ingin rasanya menghentikan waktu dengan cara melempar buku refrensi ke arah jam dinding yang dari tadi sangat berisik. Tapi apapun alasannya, kenyataan akan terus memenangkan pertandingan.

Oleh karena itu nafas panjang keluar dari bibirnya yang mengeluh.

Setidaknya dia harus menggambar sesutu, keputusannya adalah dia harus mengabaikan sifat perfeksionisnya dan memilih untuk mengorbankan harga diri.

Dia melepas punggungnya dari lantai yang berserakan, dan kembali berdiri dan beranjak ke meja belajarnya.

Sekilas tiba tiba dia melihat sekilat cahaya biru merah merambat masuk dari jendela yang tertutup rapat. Rasa penasaran tiba tiba mencuat, namun memilih untuk mengabaikan karena tugas tidak akan menunggu untuk diselesaikan.

Cahaya biru merah itu tiba tiba terus bermunculan dan semakin intens, Michiko terus mengabaikannya. Mulai menggambar bentuk dasar bangun ruang sebagai sketsa, diwarnai dengan warna merah biru yang terus bermunculan.

'...'

Angin malam yang kuat langsung menyentuh kulit, ini bukanlah angin sepoi sepoi biasa. Namun mobil polisi yang bergerak cepat melintasi depan rumahnya. Suara dentuman jarum jam dikalahkan hebat oleh sirine.

Melirik ke arah kanan melihat ntah kemana mobil polisi itu pergi menuju. Itu tidaklah sangat jauh...dia berhenti disana, dipandangan yang masih cukup jelas di depannya.

Tapi itu rumah siapa?

Michiko tidak dapat dikatakan sebagai orang yang kenal dekat terhadap tetangga sebelahnya, tapi dia tentu tahu beberapa orang yang tinggal di sini. Sekilas dia memikirkan kira kira di mana mobil polisi itu berhenti, namun sekilas pula bola matanya melebar tidak karuan.

"Reina..."

Mobil ambulan langsung melaju cukup cepat di hadapannya dikala dia mencoba untuk membuka pagar. Pikiran yang tidak tenang berhasil menyulitkannya untuk membuka gembok pagar.

Dia berlari mendekat, entah sejak kapan kerumunan orang orang sudah berkumpul di sana. Tubuh lemahnya sudah tidak karuan, degup jantung yang tak terkendali, mulut yang terus mengambil nafas dengan tidak stabil.

Dia berjinggit, tapi tubuh kecilnya tidak dapat menandingi orang dewasa. Dia menerobos begitu saja. Dengan nafas yang terengah engah dia menyingkirkan orang orang yang berdiri menghalanginnya.

Hingga akhrinya cahaya kelap kelip yang menyilaukan mata datang kepadanya. Sampai pada titik dimana dia berada di kursi depan dari sumber kekacauan ini. Matanya masih mencerna apa yang sedang terjadi. 3 Mobil polisi terparkir disana, lampu serta suara sirine yang terus berkedap kedip di pandangannya.

Semua yang ada di depannya bersikap secara cepat, melentangkan tangan menjaga agar penduduk sekitar tidak melewati pita kuning pembatas, Petugas lainnya sengan catatan kecil mewawancarai seseorang di antara kerumunan.

Kekhawatiran muncul dimata Michiko terhadap situasi yang belum pernah dia hadapi.

Tiba tiba di keadaan yang tengah kacau, seorang petugas ambulan membopong seorang anak, meningkatkan langkahnya dengan cepat keluar dari rumah tersebut karena kondisi korban yang tak sadarkan diri.

"Tenza?.." Matanya langsung menajam ke sana, menimbulkan pertanyaan besar di benaknya yang kacau.

Dia tidak sadarkan diri, darah menetes dari kepalanya, Michiko mulai kehilangan kendali. 'Tunggu dulu...', menggunakan sisa kekuatan pikirannya yang mulai berantakan, dia beralih pandangan ke atas lantai 2 dimana petugas tadi keluar.

Itu adalah rumah Reina, kekacauan ini terjadi di dalam sana. Tapi apa yang menyebabkan semua hal ini?

Dua petugas keluar lagi dengan membopong tandu, seseorang dibaluti kain untuk menutupi darah yang sudah merembas banyak. Tak mengambil ancang ancang, Perempuan itu langsung menerobos polisi yang menghalangi kerumunan dan melewati garis pembatas polisi untuk terus mendekat.

"Hei!.." Suara dari belakang memprotes aksinya.

Michiko langsung lari ke arah kedua petugas, menarik kain yang bersimbah darah tersebut, dengan rangan yang bergetar ketakutan, berusaha meyakini dirinya bahwa apa yang dilakukan tidak akan menimbulkan penyesalan seumur hidup, tapi tentu saja itu adalah kesalahan besar.

Dia dapat melihat alas tandu dari lubang perut yang terbuka lebar penuh darah, Pakaian yang sudah berubah warna, tetesan darah yang meninggalkan jejak dari dalam rumah, dia mengenal jasad itu, michiko mengenal perempuan tersebut.

Dia adalah ibu Reina.

Kaki melemas mulai kehilangan kekuatannya, rubuh di tempat dia berdiri. Apa yang dia lihat bentuknya sangatlah detail, dia tidak pernah melihat daging dan jeroan semerah itu keluar dari perut seseorang, kulitnya membiru dikala gambaran dari matanya terus muncul di dalam kepala.

Seseorang petugas segera datang, menarik lengan perempuan itu, mencoba untuk menariknya kembali ke kerumunan.

"Reina..."

Mendengar bisikan dari arahnya. "Bagaimana dengan Reina?" michiko mengelakan tarikan dari lengannya, menqrik kerah petugas tersebut mendekatkan ke wajah.

Seorang petugas lainnya tiba tiba datang.

Bertanya apakah dia adalah kerabat terdekat korban. Namun seakan telah tuli dengan situasi yang ada, seakan telah buta meski dirinya melihat jasad lain bertubuh besar melewati di samping dirinya.

Yang ingin dia tahu adalah keberadaan Reina. Muka pucat dan tangis yang tak terbendung, nada pertanyaan yang penuh harapan di tengah keputusasaan yang melanda.

Namun gelengan kepalalah yang ia dapatkan.

Tidak ada perempuan yang bernama Reina, meski Michiko tidak menyerah untuk menjelaskan ciri cirinya, polisi tidak berhenti menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya.

"..."

Dia menunduk, tak mengedipkan mata, tidak mempedulikan kondisi tubuhnya sendiri, penuh dengan pikiran yang tak terbendung.

Menyingkir di kerumunan yang mulai menyepi, mobil polisi dan ambulan sudah mulai bergerak meninggalkan tempat, sedangkan Michiko hanya meringkuk di samping jalan menenangkan dirinya yang kusut.

***

Dingin ac pada kelasnya, cat biru yang menambah rasa damai dipikiran. Suara bising dari luar maupun dalam kelas perlahan namun pasti mulai memudar.

Itu karena sekarang seharusnya jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai, bel masuk sebenarnya sudah berbunyi dari tadi. Jadi tugas Tenza saat ini adalah menunggu Pak Leone datang ke kelas untuk kembali mengajar.

Sebelumnya Tenza, Alex, Nick, dan Niklas melakukan kegiatan rutinnya berupa makan di kantin sekolah. Tenza akhir akhir ini mencoba untuk mengikuti gaya memilih makanan seperti Alex, dia mencoba untuk mencicipi menu makanan lainnya yang tersedia dikantin, diantaranya sangat enak dan ada juga yang tidak cocok dengan lidahnya.

Tidak ada hal yang terjadi akhir akhir ini, hanya keseharian yang biasa. Tapi sebenarnya dia melupakan sesuatu.

Pintu aluminium itu tiba tiba terbuka, tenza melirik ke arah sana, dia mencoba menebak seseorang yang akan masuk, dan sesuai dengan tebakannya, Pak Leonelah yang membuka pintu tersebut.

"Selamat pagi semuanya." Hal itulah yang pertama kali Pak Leone ucapkan, sudah menjadi kesehariannya mendengar pak Leone selalu mengatakan hal itu.

Sejujurnya Tenza tidak terlalu membencinya, hanya saja mendengar kata kata itu setiap hari, telah membuat telinganya terasa gatal.

"Tenza." Tiba tiba Pak Leone menyahuti dirinya.

"Yah?" Ucap Tenza, dia langsung mengangkat kepalanya yang tersender sebelumnya, melihat ke arah Pak Leone di depannya.

"Setelah pelajaran ini selesai, bisa ke ruangan guru bersama bapak?"

"Haa?" Tenza bergumam sendiri. "Tentu saja saya bisa."

***

Tenza tiba tiba mengingat sesuatu, ini tentang hal yang pernah terjadi di minggu kemarin. Atau lebih tepatnya hal itu pernah terjadi pada rekaman kejadian, karena berbeda seperti yang sebelumnya, Nick turut ikut dengan Tenza menuju ruang guru, meminta izin atas di perbolehkan teman teman sekelasnya untuk pergi berlibur ke ETP. yah meskipun proposal tersebut di batalkan karena kejadian yang tak di inginkan tiba tiba menyerang kelas mereka.

Tenza memutar otaknya, dia berusaha mengingat hal hal apa saja yang pernah terjadi pada saat itu.

Tenza berjalan mengikuti pak Leone di depannya, kemudian masuk kedalam ruang guru dan mengobrol tentang topik 'apakah Tenza memiliki keterpaksaan atau tidak.' Percakapan tersebut pernah memakan cukup banyak waktu.

'Apakah sekarang juga akan begitu?' Tanya Tenza dalam hatinya.

Entah kenapa Tenza yakin bahwa pak Leone akan membicarakan hal yang sama pada kejadian yang terukir di Rekaman kejadian. Tenza pernah mencoba untuk mencari alasan kenapa pak Leone yang seharusnya menanyakan hal itu kepadanya malah menarik kembali keinginannya.

Dan yang Tenza dapatkan dari kepalanya adalah kemungkinan Nick berada di sana. Tenza tidak bisa menemukan alasan lainnya, tapi mungkin saja pemikirannya salah, karena pak Leone bisa saja meminta Nick untuk menunggu di luar atau duluan saja menuju kelasnya dengan alasan pembicaraannya dengan Tenza adalah hal yang penting dan terdapat privasi di dalamnya.

Dua duanya sepertinya tidak terlalu berpengaruh kepada Tenza, yah mungkin jika di pilih salah satu hal yang paling dia inginkan terjadi, mungkin ketika Nick bersamanya. Alasannya karena Tenza dapat melihat bagaimana Nick bernegosiasi dengan Pak Leone. Dan sepertinya dia...

"Itu memang rencananya, waktu, kondisi dan kemungkinan lainnya sangat menentukan keberhasilannya...."

Tiba tiba Tenza mengingat perkataan Nick pada saat itu. 'Jangan bilang kalau Nick sudah yakin bahwa Pak Bailey akan membantunya saat itu?' Pikirnya dalam hati.

Tenza diam diam terpelik.

"Ayo silahkan masuk."

Haluan Tenza tiba tiba buyar ketika pak Leone mengejutkannya, dia membuka matanya yang setengah terbuka, menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak sadar dia sudah berada di depan pintu Ruang guru. "Ah..iya, permisi." Tenza melangkah masuk ke dalam, dia meraih gagang pintu tersebut dan kembali menutupnya.

Tenza memutar kepalanya, melihat ke segala sudut ruangan yang dingin ini lagi. Tidak ada hal yang banyak perubahan, lagi pula hanya terlewat seminggu semenjak dia terakhir kali ke sini.

Ruangan yang di cat dengan warna putih. Beberapa lemari di dempetkan kepada tembok. 4 meja kayu panjang di taruh sejajar satu dengan lainnya dengan puluhan komputer di atasnya. Tenza lihat para guru sedang menikmati waktu istirahatnya, meminum kopi atau bahkan masih ada yang terfokus pada layar komputernya.

Mata Tenza beralih ke gurunya. Pak Leone sudah melangkah dari tempatnya. tenza kemudian mengikuti langkah pak Leone dari belakang, terdapat tempat duduknya dan dua kursi tambahan di dekatnya. Itu sama yang Tenza dan Nick gunakan sebelumnya.

Pak Leone menarik kursinya lalu mendudukinya. Dia mengulurkan tangannya pada kursi lain yang tidak di gunakan ini. "Silahkan." Ucapnya singkat mengizinkan Tenza untuk duduk. Tenza segera menanggapinya dengan mengangguk, dia berjalan ke sana dan kemudian mendudukinya.

Mereka berdua saling tatap tatapan, tidak ada yang memulai pembicaraan di sana, melahirkan kesenyapan. Tenza berinisiatif untuk membuka pembicaraan.

"Jadi..kenapa saya di panggil kembali ke sini?" Ucap Tenza.

Pak Leone yang sedari tadi tersenyum dan hanya menatap Tenza tiba tiba tersadar. "Ahh untuk masalah tersebut..." Ucap guru tersebut. "...Ini tentang tujuan, sudah lewat satu minggu setelah saya memberikan formulir kepada kamu untuk di isi."

Tenza tergidig, entah kenapa dia melupakan tentang masalah itu. Ini aalah kecerobohannya, Tenza terlalu fokus dengan masalah lainnya, sehingga ia lupa untuk mengisi formulir yang ia simpan di dalam lemari kecil dekat dengan ranjang tidurnya.

"Maafkan saya..." Ucapnya sedikit menurunkan kepalanya serta melengkungkan alisnya ke bawah. "Apakah ada batas waktu dalam memberikan formulir tersebut?" Tanya Tenza, tiba tiba dia teringat oleh seseorang di kelasnya yang ia ketahui belum juga memberikan formulirnya juga.

Atau mungkin sebenarnya Chad sudah memberikannya tapi tidak ada yang tahu tentang hal tersebut?

Pak Leone menggelengkan kepalanya. "Tidak, sebenarnya tidak ada batasan waktu. Tapi akan sangat lebih baik jika kamu untuk menentukan pilihanmu dan memberikan formulirnya lebih cepat. Dengan begitu kami bisa lebih mengajarimu lebih banyak hal sampai lulus dari sekolah ini." Tenza mengerti dengan penjelasan Pak Leone.

Sesuatu muncul dari dalam otaknya, Tenza sedikit mengalihkan pandangannya dari pak Leone, Tenza menyentuh gipsnya dengan jari jemarinya. "Sebenarnya saya belum menentukan pilihan saya. Mungkin saya akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk memikirkan hal ini dengan lebih matang."

"Begitukah?" Pak Leone tersenyum. "Meski begitu, sebenarnya nak Tenza bisa saja mencoba pilihan pilihan yang ada satu persatu."

"Oohh." Tenza bergumam kecil. Tiba tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Dia menurunkan kepalanya menoleh ke arah gips putihnya, lalu dia mengangkat kepalanya menghadap ke Pak Leone kembali.

"Sebenarnya...ada satu hal yang ingin saya lakukan..."

"..."

"Haah....haah....haah..." Tenza terengah engah, meski begitu dia terus berusaha memacu kecepatannya.

Dia terus berlari dan berlari. Tenza melihat ke depannya, garis finish sudah semakin dekat. Namun tubuhnya sudah tidak kuat menahannya lagi.

Larinya semakin melambat, tapi Tenza masih berusaha mempercepat dan memperlebar langkah kakinya. Nafasnya sudah terengah engah, jantungnya memompa dengan sangat cepat dan pengelihatannya mulai memburam, Tenza menggelengkan kepalanya.

'Tugg.' Tenza terjatuh, kakinya terselengkat dengan langkahnya sendiri. Tubuhnya rubuh ke arah depan dan terjatuh ke atas tanah, ia memutar tubuhnya di waktu yang singkat itu, tangan kirinya ia usahakan mendarat duluan, mencegah tangan kanannya yang patah terkena benturan. Tubuhnya bergesekan dengan tanah.

Tubuhnya bergeser terus menerus hingga kebetulan kepalanya secara kebetulan berhasil melewati garis finish. Pelatih langsung menghentikan stopwatchnya yang sedang berjalan.

"Haah....hahh..B..berapa?...haahh..." Tanya Tenza teringkuk di atas tanah kehabisan nafas.

" 27 menit 41 detik koma 43. Kecepatanmu semakin menurun saja." Ucap guru olahraganya mengkritik Tenza. Tenza masih terbaring di sana, dia benar benar memaksakan dirinya sendiri. Sepertinya air liur keluar dari mulutnya.

"Fisikmu ternyata benar benar lemah yah." Ucap sang pelatih. Tenza hanya bisa terbaring di atas tanah, dia menelentangkan tubuhnya, dadanya terlihat naik turun memompa udara masuk ke dalam tubuhnya. Tenza merentangkan kedua tangannya lalu melebarkan jarak antar kakinya di atas tanah itu.

"Sebaiknya kita akhiri dulu sementara ini.."

"Haaah....haaah...k..haah..napa?..haah." Tanyanya, dia benar benar terlihat sudah kehabisan nafas dan juga tenaga, dan pelatih itu mengetahui hal itu.

"Saya ingin melatih fisik saya." Tenza mengucapkannya dengan pendiriannya yang teguh. Pak Leone sedikit terkejut dengan perkataan Tenza. "Apakah ada alasan tertentu?" Tanyanya kepada Tenza. Lalu Tenza mengangguk, tidak ada yang bisa menghentikan keteguhannya saat ini.

Dia menoleh ke arah gipsnya. "Ini karena kejadian seminggu yang lalu. Saat itu, saya telah menyadarinya. Tidak, saya sebenarnya sudah mengetahuinya sejak dahulu."

pak Leone terdiam di tempatnya. Tenza mengangkat tangan kirinya, melihat bentuk lengannya yang ramping.

"Saya sadar, fisik saya tidak sekuat orang orang pada dasarnya. Dan karena itu,saya ingin memperkuatnya." Tenza menampakan wajahnya yang serius.

Pak Leone hanya tersenyum mendengarnya. "Baiklah jika seperti itu, maka saya akan mengurusnya."

"Tapi itu bukan berarti saya memilih tujuan saya untuk memperkuat fisik." Tenza tersenyum kecut.

"Tentu saja, saya mengerti. Mungkin Kamu bisa memulainya besok atau lusa, karena saya akan mengurus proposal ini dan sepertinya ini akan membutuhkan sedikit waktu."

Tenza tersenyum kepada Pak Leone. "Terimakasih banyak." Ucapnya kepadanya. Dia menundukan kepalanya menunjukan bukti hormat kepadanya.

***

"Ahhh rasanya tubuhku ingin hancur..." Keluh Tenza dengan suara yang ia buat terdengar serak. Dia melangkah menuju ranjangnya dengan gaya berjalan yang terhuyung huyung. Dia tidak lupa menutup pintu kamarnya dan juga menguncinya.

Tenza berhenti melangkah tepat di sana, memandang ranjang dengan sprei putih yang sudah terpasang rapih. Kemudian dia langsung merubuhkan tubuhnya ke depan begitu saja.

"Ahh~empuk sekali~" Katanya sambil menggeliat liat di atas kasur. Tenza menutup matanya menikmati tekstur lembut sprei barunya, menghirup dalam dalam bau deterjen yang masih tersisa. Tenza lalu menghelah nafasnya karena lelah.

Dia berputar di atas sana menelentangkan tubuhnya. Dia mengangkat tangan kanannya di atas kening. Membuka matanya dan menatap langit langit kamarnya dengan pandangan yang kosong.

Sudah lewat seminggu semenjak Tenza meminta sekolah untuk melatih fisiknya dan semenjak itu, Tenza selalu kembali pulang ke rumahnya pada pukul 14.00. Tentu saja Tenza sudah memberitahu Tanisa tentang dirinya yang akan pulang lebih lama untuk saat ini, dan sekarang pembantunya itu sudah kembali ke rumahnya. Karena pekerjaannya seharusnya sudah selesai dari tadi pada pukul 21.00.

Selama waktu pembentukan tubuhnya, Tenza selalu pulang dengan teman teman sekelasnya. Itu karena dirinya sendiri yang meminta demikian, teman temannya akan menyelesaikan kelas tujuannya pada pukul 13.30, begitu juga dengan Tenza. Jadi ketika dia selesai mengganti seragam olahraganya, dan menaruhnya ke dalam tas selempangan barunya, Tenza segera berjalan menuju depan gerbang sekolah.

Alex merekomendasikan mereka untuk berkumpul di sana pada awalnya, tapi karena cuaca yang panas, keesokan harinya mereka semua mengganti tempat berkumpulnya tepat di depan pintu sekolah.

"Sudah dua minggu yah..." Gumamnya.

Tiba tiba dia mengingat hal itu lagi. Ingatan Tenza tentang kejadian itu masih melekat di otaknya. Sejujurnya Tenza tidak bisa berhenti mengkhawatirkan keadaan Reina saat ini, dan selama dua minggu ini, tidak ada kabar terbaru dari kepolisian.

Tenza merasa dirinya bertanggung jawab atas segalanya, semuanya disebabkan karena kesalahannya, sudah beratus ratus kali Tenza menyalahkan dirinya. Dan dia tidak pernah puas dengan hal itu.

Jika misalnya polisi berhasil menemukan temannya itu, apa yang nanti akan Tenza katakan kepadanya, Tenza sendiri tidak tahu harus mengatakan apa. Dan sejujurnya Tenza bahkan tidak berani melihat ekspresi perempuan itu.

Jika secara normal, tentu saja Reina tidak akan menyalahkannya, namun kenyataannya adalah Tenza pernah mengalami hal itu sebelumnya. Dia pernah kembali ke masa lalu, dimana dia menemukan teman perempuannya itu terbunuh di depannya.

Semuanya adalah salah Tenza, dia tahu hal itu akan terjadi tapi dia terlalu lalai untuk merencanakan hal ini lebih matang.

'Ting...' Suara bel tiba tiba berdering dari luar. Tenza mendengarnya, kemudian dia membuka kupingnya lebar lebar.

Tenza mencoba untuk memastikan apakah yang didengar telinganya adalah benar atau hanya perasaannya saja.

'Ting...' Suara bel itu berbunyi lagi. Itu artinya Tenza tidak salah dengar.

Dengan otot tubuh yang keram, Tenza mengangkat badannya dengan perasaan mengeluh. Dia menyempatkan untuk mengangkat kedua tangannya lalu meregangkan badannya sebentar.

'Ting...'Bunyi bell itu lagi.

"Iya..iya aku mendengarnya." Ucap Tenza, dia sedikit mengeraskan suaranya berharap orang itu mendengar perkataannya.

Dia mencoba untuk menarik gorden jendelanya, mencoba untuk mengintip dari arah jendelanya, terdapat seseorang berdiri di sana, seseorang dengan jaket dan celana serba putih berdiri di kegelapan malam sendirian. Berdiri di depan pagar hitam sambil menekan bell dari tadi.

Tenza mencoba untuk menyipitkan matanya. "Siapa itu?" Tanyanya dalam hati. Tenza kesulitan untuk melihat wajahnya.

'Ting...' bell itu berbunyi lagi.

Tenza mendecakan lidah, dia segera menurunkan kakinya ke atas lantai yang dingin, lalu berdiri dan berjalan ke bawah.

'Ting...' bell itu segera berbunyi lagi.

Tenza mencoba untuk mengabaikan bunyi bell itu, dia segera menuruni tangga. Lalu berjalan maju menuju pintu putih di depannya itu.

Tenza memutar kuncinya agar terbuka lalu memutar knop pintunya. Dia menarik pintunya dan memandang ke arah depan di balik pintu ini.

Orang itu tampak mencurigakan dengan jaket hoodienya yang berwarna putih. Dia juga menutup kepalanya dengan hoodienya dan sedikit menunduk ke bawah.

Orang itu sudah berhenti menekan nekan bellnya ketika Tenza telah membuka pintu putihnya. Tenza mencoba untuk memakai sendalnya dan berjalan mendekat ke arahnya.

Orang itu mengangkat kepalanya, di kegelapan malam ini, Tenza dapat melihat matanya.

Mata merah tebal itu menatapnya, Tenza merasa harus siaga terhadap laki laki itu.