Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 32 - Arc 2 - Chapter 6 (Ini bukan mimpi)

Chapter 32 - Arc 2 - Chapter 6 (Ini bukan mimpi)

'NGGIIIIINGGGGGG'

"TUNGGU dulu!!!...aku belum siap untuk ini." Teriak dari Tenza, dia menarik tangan kanannya berusaha memberontak, berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman erat seorang perempuan.

"Tunggu sebentar, tenang saja...alat ini aman." Ucap perempuan itu, Suster itu telah dibuat kerepotan dengan reaksi Tenza yang berlebihan.

'NGGIIIIINGGGGGG' Suara dari mesin yang mendengung. Tenza melihat ke arah mesin potong kecil itu, keringat keluar dari keningnya, jantungnya berdetak dengan kuat.

"AMAN dari mana? Tanganku bisa saja putus jika harus melepaskan gipsnya dengan menggunakan alat itu!" Tenza ketakutan, dia masih berusaha menarik tangannya memberontak. Sedangkan sang suster, sedari tadi dia masih menarik tangan kanan Tenza yang terpasang gips, di tangannya yang lain, suster itu sedang menggenggam sebuah mesin grinda kecil yang berputar cepat, mesin grinda itu siap ia gunakan untuk memotong dan melepas gips yang terpasang di tangan kanan Tenza.

Tanggal 5 bulan agustus, itu adalah hari di mana saat ini Tenza pergi ke rumah sakit untuk melepas gipsnya. Sebelumnya tadi sore ketika Tenza sudah pulang dari sekolahnya, atau lebih tepatnya setelah dia selesai melatih fisiknya saat setelah jam pelajarannya selesai pada pukul 12 siang, tiba tiba smartphone Tenza bergetar di dalam kantungnya. Ternyata Ovalah yang menelponnya pada saat perjalanan pulang ke rumahnya. Perempuan berjas yang muncul dalam benaknya itu menelpon kepadanya, memberitahukan kepada Tenza tentang gipsnya yang harus di lepas.

Ova mengatakan bahwa dia akan pergi ke rumahnya untuk mengantarkannya pergi ke rumah sakit. Hal itu di karenakan gips yang Tenza pakai harus di lepas sekarang, karena sudah hampir sebulan semenjak gipsnya terpasang di tangan kanannya. Tenza dan Ova sampai ke rumah sakit pada pukul 7 malam. 

"Kau tidak ikut?" Tanya Tenza yang sudah keluar dari dalam mobil listrik hitam ini. Ova tersenyum simpul kepadanya. "Maafkan saya, tapi saat ini harus ada telephone penting yang harus saya berikan." Tenza berusaha mengerti kepada situasi Ova.

Tenza tidak tahu alasan lebih detailnya kenapa, tapi Ova memilih untuk menunggu dia untuk melepas gipsnya di dalam mobil sambil menelpon seseorang.

Singkat cerita Tenza tinggal menunggu dokter memanggil namanya di ruang tunggu. Dan selama beberapa menit menunggu di ruang tunggu tersebut, akhirnya salah satu suster menyebut namanya untuk segera masuk ke dalam ruangan. 

Tenza segera berdiri dari tempat di mana dia duduk, lalu melangkah ke arah suster yang memanggilnya tadi. Tenza berjalan di belakang suster itu, menelusuri lorong dengan banyak pintu abu abu di sebelah kanan dan kirinya. Ketika sudah sampai di depan ruangan, suster itu membukakan pintunya ke pada Tenza.

Tenza langsung saja masuk ke dalam ruangan itu. Matanya memperhatikan ke dalam ruangan yang belum pernah ia masuki itu. Ruangan putih dengan satu ranjang pasien, terdapat lemari setinggi pinggang dan dua lemari putih yang berada di arah ujung depan kanan dan tepat di kanannya. Dalam lemari itu terdapat banyak sekali alat alat potong dan beberapa jenis botol kimia.

Bau obat terendus dari hidungnya, sebuah bau yang akan selalu muncul di rumah sakit mana saja.

Katanya tidak perlu dokter untuk melepas gipsnya, suster itu sendiri yang akan melepaskannya, karena suster itu berucap bahwa dia juga memiliki pengetahuan untuk melakukan itu. 

Tapi sayangnya Tenza ketakutan ketika suster itu menyalakan mesinnya. Tentu saja, bunyinya yang nyaring dan dengan geriginya yang terlihat tajam dan mengkilap, sudah pasti berhasil membuat Tenza tidak bisa tenang hanya dengan melihat benda itu.

Suster itu terpaksa mematikan mesinnya sebentar, lalu dia mengembang dan mengecilkan tubuhnya menghela nafas. "Haah...tenang saja, tidak perlu khawatir. Jika kau bergerak seperti itu, bagaimana aku bisa melepaskan gipsmu? Gipsmu cepat atau lambat harus di lepas juga."

Tenza dengan cepat menghentakan tangan kanannya, dia berhasil terlepas dari jeratan suster itu, atau lebih tepatnya suster itu yang melepas genggamannya. Tenza langsung memeluk gipsnya. "Aku rasa aku tidak perlu melepas gipsnya, aku tidak terlalu keberatan dengan keberadaannya di tanganku, yah meski cukup sulit untuk menjaganya agar tidak lembab ketika sedang mandi." Tenza berbisik di akhir kalimatnya.

Suster itu memutar badannya sedikit ke arah kiri, dia menaruh kembali gerindanya di atas meja yang ada di sana. Setelah itu dia memposisikan tubuhnya kembali menghadap Tenza, dia meletakan kedua tangannya di atas kakinya, menatapkan matanya ke arah laki laki itu. "Dengar, mungkin kau tidak tahu tentang hal ini. Sebelum kami memasangkan gips ini di lenganmu, kami sudah melumeri cairan kimia bernama Acrivastine di kulitmu, dan jika cairan kimia tersebut tidak segera di bersihkan setelah sebulan, maka cairan itu akan memberikan efek panas dan bisa saja melelehkan tanganmu." Matanya tampak serius, Tenza yang mendengarnya jadi terlihat semakin ketakutan.

Pemuda itu memalingkan wajahnya, dia terjebak dengan dua hal yang tidak ia inginkan, tangannya meleleh atau menerima resiko tangannya terluka karena putaran gerinda itu. Dia tampak berusaha tersenyum meski dia ketakutan, hasilnya adalah dia menampikan senyuman dan alisnya yang terlihat bergemetaran.

Mau tak mau dia harus memilih salah satu pilihan itu. Tenza yang masih mengalihkan wajahnya, kemudian menutup matanya. Tenza meluruskan tangan kanannya, mengulurkannya ke arah suster itu.

"Baiklah, kumohon lakukan dengan perlahan dan hati hati." Ucapnya, terlihat tubuhnya bergetar. Suster itu menyipitkan matanya, memiringkan kepalanya dan tersenyum jahat ke arah Tenza. "Baiklah tunggu sebentar yahh." Suster itu meraih tangan kanannya yang terpasang gips lalu menggenggamnya. Wajahnya terlihat senang melihat Tenza yang akhirnya menyerah. Dia menarik tangan kanan Tenza lalu dengan satu tangan lainnya, dia meraih grinda kecil yang ada di sebelah kirinya tadi.

'NGGIIIIINGGGGGG' Mesin itu kembali berdengung. Keringat keluar dari dahinya, jantungnya memompa sangat cepat karena ketakutan. Tenza menekan kelopak matanya, berusaha sekuat tenaga memejamkan matanya, dia tidak ingin melihat bagaimana gerinda itu sedang membelah dua gipsnya. Tenza membuka bibirnya, menunjukan gigi giginya yang menggertak dan saling menekan kuat satu sama lainnya. Dia bersiap siap untuk menahan perasaan perih yang akan muncul tiba tiba. 

'NGGIIiiinng....' Tiba tiba suara tersebut perlahan menghilang. "Sudah." Ucapnya, Tenza dengan cepat langsung membuka matanya, dia memutar lehernya mengarahkan kepalanya ke perempuan dengan seragam serba putih itu. Tenza dapat mendengar suara jantungnya yang berdegup sangat kuat di dalam dadanya, nampak nafasnya terengah engah karena ketakutan.

Suster itu sudah meletakan mesin gerinda kecilnya kembali ke atas meja. Kedua tangannya mendekat ke arah gipsnya, dia memasukan jari jemarinya ke dalam sela yang ia buat dengan gerinda kecil tadi.

'Krriieeetttt.' Suster itu dengan lihainya dia langsung merobek gipsnya. Lalu melepaskan kedua tangannya dari sana, tangan suster itu bergerak ke arah gips bagian pergelangan tangannya. Dia mencengkram kuat gipsnya lalu menariknya, berusaha melepaskannya dari tangan Tenza.

Gips terlepas dari tangan Tenza, suster itu sedikit terhempas ke belakang saat berhasil melepaskannya. 

Wajahnya terangkat menghadap ke arah Tenza yang duduk di ranjang pasien. "Coba kau gerakan tanganmu." Perintahnya kepada Tenza. Dia langsung mengangkat tangannya, matanya tertuju kepada lengannya yang sebelah kanan. Dia mencoba untuk membuka dan menutup kelima jarinya, Tenza mencoba untuk mengulurkan tangan kirinya ke sana, lalu dengan ibu jarinya, ia mencoba untuk menekan pelan dan memijitnya. Tidak ada rasa sakit yang muncul setelah Tenza melakukan itu, itu artinya dia sudah sembuh dari patah tulang.

Bibirnya perlahan terukir sebuah senyuman. "Aku sudah sembuh." Ucapnya penuh dengan kesenangan. Suster itu mengangguk pelan, dia beranjak dari sana, mengambil gerinda kecil itu dan menaruhnya kembali ke dalam kotak.

Tenza kembali terpaku oleh tangan kanannya. Tangannya terasa bebas dan ringan, dia mencoba untuk menggerakan pergelangan tangannya perlahan dan memainkan jari jarinya. Dia terus melakukannya, perlahan dan perlahan dia menambah kecepatan geraknya, dan dia masih tidak merasakan sakit sedikitpun.

Tenza berhenti memainkan tangannya, dia melihat ke arah suster itu. "Bagaimana dengan zat kimianya? bukankah harus di bersihkan?" Tanyanya kepada suster itu yang sedang mengangkat kotak dan memasukannya ke dalam lemari putih di depannya.

"Oh.." Ucap suster itu, kemudian dia membentuk senyuman di bibirnya. Dia memutar kepalanya menghadap Tenza dan melanjutkan. "..Aku berbohong tentang zat yang bernama Acrivastine itu."

"Ehh?" Alisnya langsung mengkerut mendengar perkataannya.

"Maaf karena telah berbohong, itu karena kau terus saja panik dan memberontak. Saya jadi terpaksa untuk melakukan hal itu"

"Lalu Acri apalah itu?" Tenza kembali bertanya. Suster itu mengangkat tangannya dan menutup mulutnya, tubuhnya terlihat bergetar sedang membenung tawa yang hampir pecah. "Itu hanyalah obat untuk menangani gejala alergi." Mendengar itu Tenza mengkedutkan matanya.

***

Hari ini adalah keesokan harinya setelah Tenza selesai melepas gipsnya di rumah sakit. Semuanya nampak terkejut ketika Tenza telah melepaskan fiber glassnya tersebut. Meski terkena pukulan base ball besinya dengan kuat, hanya dalam dua minggu Tenza sudah dapat melepaskan gipsnya. Suster itu pernah berkata bahwa patah yang Tenza dapatkan tidakalah terlalu parah. Mungkin itu yang membuat mereka Terkejut terhadap tangan kanannya.

'Memangnya biasanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melepas gips?' Tanyanya dalam kepala.

Dan saat ini adalah jam istirahat bagi para murid seperti Tenza. Ini adalah keseharian di sekolahnya, mereka berempat, yaitu Alex, Nick, Niklas dan termasuk Tenza, selalu pergi ke kantin untuk kembali mengisi perut mereka yang mulai kosong semenjak sarapan tadi pagi. Seperti biasa, mereka semua pergi berpencar dulu, pergi ke stand makanan yang ingin mereka ambil dan kemudian berkumpul di kursi yang biasa mereka gunakan semenjak Tenza datang. Entah kenapa kursi ini selalu kosong tanpa ada yang menggunakannya.

Tenza membawa sebuah nampan dengan kedua tangannya, berhati hati terhadap nampannya agar makanan yang ada di atasnya tidak jatuh karena tersenggol seseorang. Tenza juga berusaha untuk berhati hati terhadap kedua langkahnya, tidak ingin menendang dan terselengkat sesuatu dan menjatuhkan makan istirahatnya dan tidak mengotori lantai. Terutama terhadap seragam birunya ini.

Di kejauhan sana, tepatnya di depannya, seorang laki laki yang seumuran dengannya mengangkat tangannya setinggi mungkin, melambaikan salah satu tangannya kepada Tenza, terdapat beberapa orang lain juga yang duduk di sana. Mereka semua adalah Alex, Nick dan Niklas. Memakai seragam biru tua yang sama dengan yang Tenza kenakan, itu karena hari ini adalah hari rabu.

Tenza menoleh sedikit ke arah Alex yang masih melambai lambai, meski tanpa aba aba dari tangannya, Tenza sudah mengetahui di mana letak teman temannya sedang duduk. Karena memang biasanya mereka berempat duduk barisan tempat duduk itu.

Tenza mempercepat langkahnya dan tetap berhati hati terhadap langkah kakinya. Mengerti bahwa Tenza sudah melihat lambaian tangannya, Alex menurunkan tangannya. Setelah Tenza sampai di sana, Niklas menggeser tubuh dan makanannya memberikan ruangan kepada Tenza untuk duduk. "Terimakasih." Ucap pemuda berambut hitam tersebut kepada temannya meski matanya masih terfokus dengan makanannya yang ada di atas nampan.

Tenza langsung saja meletakan nampannya di atas meja. Nick menoleh ke arah makanannya, di sana terdapat es teh yang dingin dan disebelahnya terdapat mangkuk berukuran sedang yang berisikan salad buah dengan es yang dingin. Itu adalah berbagai macam buah yang di potong kecil kecil lalu di satukan ke dalam sebuah mangkok, tidak lupa di beri es supaya buahnya terasa lebih segar. Mata Nick terangkat menoleh ke arah Tenza yang masih berdiri.

"Tidak biasanya kau membeli makanan." Ucapnya datar. Tenza menurunkan dan mendaratkan tubuhnya ke atas kursi panjang di bawahnya. 

Wajah Tenza mengarah ke arah Nick yang berbicara itu, dia mengangguk setelahnya. "Yah begitulah." Bibir Tenza bergerak ke arah sedotan yang ada di gelasnya lalu menyeruput teh dingin yang ada di dalamnya. Sebagai awalan untuk menyantap makanannya, Tenza meneguk minumannya, setelah itu dia menghela nafas pelan.

"Kenapa?" Tanya Nick kembali.

Tenza kembali menyeruput minumannya, meneguknya lalu menghela nafas, sama seperti yang ia lakukan tadi. "Tidak ada alasan..."Ucapnya sambil menggelengkan kepala. Tangan Tenza meraih garpunya yang tergeletak di samping mangkuk dan menusukannya ke salah satu potongan buah, lalu dia mengangkat garpunya dari sana. Dengan siku yang ditumpu dan diletakan ke atas meja, Tenza menyamakan buah yang ada di garpunya itu sejajarnya dengan mulutnya. 

"..aku hanya ingin mencobanya saja, tapi karena tanganku patah, aku pikir sebaiknya kapan kapan saja membeli salad buah dingin ini."

Tenza menggerakan mulutnya dan memakan buah yang tertusuk di garpunya. Di sebelah kanan depannya, Alex hanya bergumam sambil mengangguk kecil. "Hmm..yah karena harus membawa nampan, jadi cukup sulit untuk membawanya dengan satu tangan. Hmm...masuk akal." Katanya.

Tenza menusuk garpu yang ia genggam kembali ke dalam salad buahnya lalu mengangkat garpunya tersebut dari sana, memasukan buah yang tertusuk oleh garpu itu ke dalam mulut dan mengunyahnya.

"Tapi.." Alex kembali berucap. Mata Tenza melirik ke arah Temannya yang berujar kata sambil mengunyah. "Kenapa harus buah?" Tanyanya kembali.

Tenza sedang mengecap dan mengunyah makanannya, lalu setelah beberapa kunyahan, dia dapat menelan makanannya. "Karena saat ini musim panas, tentu saja untuk menjaga suhu tubuh yang stabil, kita harus memakan makanan yang cukup dingin bukan?"

"Ooh begitu yah." Ucapnya sambil melirik ke arah makanan Tenza.

"Selain makanan dan minuman itu...bukannya kau bisa membeli yang lain?" Niklas yang sadari diam menyantap dan menikmati Leipajuustonya yang paling ia favoritkan itu, tiba tiba berujar kata. "Ahh benar juga." Alex melanjutkan percakapan.

"Ada banyak makanan dan minuman dingin yang bisa kau santap juga bukan? seperti es skirm, atau puding. Hmm...." Tenza menatap ke arah Alex yang berbicara.

"...Apa lagi yah..." Alex mengangkat tangannya dan membuka lebar kelima jarinya, dia terlihat seperti sedang menghitung sesuatu. Tenza menyeruput minumannya, matanya masih tertuju kepada Alex. Sama seperti yang lainnya, Nick dan Niklas juga menikmati makanannya sambil mendengar ocehan darinya.

"...Ahh minuman kaleng..." Ucap pria pirang tersebut tiba tiba dengan suara yang ia sedikit lantangkan, Tenza sedang mengunyah makanannya, ia mengepal tangan kirinya lalu ia jadikan sebagai tumpuan bagi kepalanya.

"...Ehh seperti minuman soda...ehh..." Tiba tiba tanpa sengaja mata Tenza bergeser dan melirik ke arah belakang Alex, ada seseorang berdiri di sana. Tenza sedikit membagi perhatiannya kepada orang itu. Sepertinya orang itu sedang mengambil makanan dan minuman yang dia inginkan. 

"...padahal kau bisa mengambil minuman berkarbonasi tersebut, tapi kau malah memilih teh dingin biasa..."

Tapi bukan itu yang Tenza pikirkan, dia menyipitkan matanya ke sana, mengalihkan perhatiannya ke arah sana, dia memfokuskan pengelihatannya mengarah ke orang tersebut. Tenza sadar dia belum pernah melihat murid yang berada di belakang Alex, namun dia merasa seperti pernah bertemu dengannya.

"...Tenza?.."

Dia masih menyipitkan matanya. Kepalanya berusaha memutar ulang kembali di dalam memorinya. Berusaha menemukan sosok orang itu di dalam ingatannya. Sayangnya orang tersebut membelakangi Tenza, hanya tubuh bagian belakangnya saja yang terlihat, dia tidak dapat melihat wajahnya dari kejauhan. Meski begitu dia masih berusaha, seseorang dengan bentuk tinggi dan lebar tubuhnya, lekukan garis tubuhnya juga cukup sulit terlihat dari tempat duduknya.

"Tenza, ada apa?" Tiba tiba Tenza berkedip, dia memejamkan mata lalu sedikit menggelengkan kepalanya. Tenza membuka matanya kembali, melihat ke arah Alex yang terlihat kebingungan.

"Ahh tidak..tidak ada apa apa." Ucapnya menggeleng kecil. Nick menajamkan matanya ke arah Tenza, lalu dia menaruh salah satu tangannya ke atas bangku dan berusaha memutar kepala dan badannya ke belakang. Nick mencoba mencari sesuatu yang sepertinya mata Tenza tadi memperhatikan hal itu.

"Orang itu, sepertinya aku belum pernah melihatnya di sekolah ini." Ucap Tenza kepada Nick yang menghadap membelakangi Tenza, mata Nick bergerak ke arah Tenza melirik ke arahnya dan kembali melihat ke arah belakangnya sana. Telinga niklas berdengung seperti mendengar beberapa orang yang berbisik, segera setelah itu dia menoleh ke arah suara bisikan itu.

Bukan satu dua orang atau satu dua kelompok, hampir semua murid yang ada di dalam kantin ini sedang berbisik terhadap sesuatu. Niklas melirik ke arah salah seseorang yang duduk cukup dekat dengannya, orang itu terlihat sedang berbisik, orang yang menjadi incaran niklas itu melirik lagi ke salah satu orang. Niklas segera memutar matanya melihat ke arah lirikan orang tersebut.

Terdapat tato dengan angka 3 di leher laki laki itu.

"Sepertinya bukan kau dan aku saja Tenza, tapi sepertinya yang lainnya juga demikian." Alex berbicara, Niklas memutar kepalanya menghadap temannya itu. Pandangan Alex tertuju ke suatu arah, dia sepertinya sedang melihat ke arah seseorang juga.

"Ternyata dugaanku benar yah.." Ucap Tenza pelan seperti berbisik. Matanya saat ini juga sedang menoleh ke arah lain juga. Tiba tiba pandangan matanya menajam. Tenza meletakan kedua telapak tangannya ke atas meja, lalu mendirikan tubuhnya dengan tumpuan kedua tangannya.

"Kau ingin pergi ke mana?" Tanya Niklas menatap ke arahnya. Tenza memutar lehernya dan menghadapkan matanya memandang ke arah Niklas. Dia menaikan otot pipinya dan tersenyum. "Karena kebanyakan minum teh, aku ingin ke toilet sebentar."

***

Tenza terus melangkah menelusuri rute tujuannya. Tanpa dibarengi siapapun atau dengan petunjuk dari seseorang, Tenza sudah mengetahui arah jalan yang harus ia lewati untuk menuju ke tempat tujuannya. Sudah hampir sebulan semenjak hari pertamanya sekolah, tentu saja itu artinya dia sudah mengenali setiap seluk beluk sudut sekolahnya. Lalu setelah beberapa saat dia menemukan dua pintu aluminium yang saling berhadapan. Terdapat simbol laki laki dan perempuan di atas kedua pintu tersebut. Tentu saja Tenza masuk ke dalam pintu yang terdapat simbol laki lakinya.

Bau kamper tercium sedikit menyengat di hidungnya ketika dia memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan putih dengan lantai biru tua berpola gelembung. Dengan pencahayaan yang baik, Tenza dapat melihat jelas ruangan yang ia masuki ini. Terdapat toilet di sebelah kiri depannya, cermin yang lebar dan panjang serta beberapa westafel di sebelah kanan depannya dan di depan pojokan ruangan kecil berbentuk persegi panjang ini, terpada pintu menuju ke dalam gudang penyimpanan alat alat kebersihan. 

Tenza sedikit melirik ke arah kanan depannya, seseorang sedang berdiri di sana dengan seragam birunya yang sama seperti Tenza kenakan, terlihat dia sedang menggosokan tangannya yang penuh busa. Sepertinya hanya dia seorang yang berada di dalam toilet laki laki ini setelah Tenza. Dia sedikit melirik ke arah Tenza lalu kembali menghadap tangannya. Tenza segera memajukan kedua kakinya melangkah ke arahnya.

Dari arah cermin, orang itu tersenyum. Terlihat terdapat tato dengan angka dua di lehernya. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan kepadaku?" Tanya Tenza kepada laki laki itu. Dia berhenti tepat di sebelah kanan laki laki itu sambil menghadap ke arah cermin.

"Aku tidak menyangka kau dapat membaca petunjuk dari ku." Dia masih menggosokan kedua tangannya di atas westafel sana membiarkan aliran air yang keluar dari keran terbuang sia sia. Kedua tangannya di penuhi busa busa putih ketika dia menggosokan kedua tangannya. Lalu beberapa saat akhirnya menggerakan tangannya ke aliran air, dia menyiram kedua tangannya membersihkannya dari busa busa putih itu.

"Itu sudah jelas, kau sedari tadi mengintip ke arahku lalu dengan gerakan matamu itu, terlihat seperti sedang mengajakku untuk datang menghampirimu ke sini. "Ujar Tenza." Jadi, ada yang ingin kau bicarakan?" Kemudian dia melanjutkan kata katanya. Laki laki itu kemudian menutup kerannya dengan tangannya yang bersih mengkilap.

"Pertama tama, apakah kau tidak terkejut dengan kejadian ini?" Ucapnya tersenyum memutar kepalanya ke arah Tenza.

"Yah, awalnya aku terkejut ketika tiba tiba dalam sekejap mata aku sudah terbaring di tempat tidurku." Mata Tenza tampak bergerak ke atas, dia sedang mengingat kejadian yang sudah lampau tersebut. "Apakah percakapan kemarin malam itu benar benar terjadi?" lalu matanya bergerak ke kirinya menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum itu.

"Tentu saja, semua itu benar benar terjadi." Dia menutup matanya dan menundukan sedikit kepalanya, dia kembali meluruskan kepalanya menghadap ke depan, lalu dia membuka kembali kepalanya.

Tenza bergumam menghadap ke cermin. "Ternyata kemarin itu bukan mimpi yah..." Kemudian Tenza menggeser kepalanya kembali menghadap lawan bicaranya. "Lalu, ada alasan apa kau memanggilku kemari? Apakah ada sesuatu yang cukup penting untuk diperbincangkan?"

Sebelum berbicara dia menggelengkan kepalanya. Senyuman masih terukir jelas di bibirnya. "Sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan kepadamu, hanya saja ada satu hal yang harus aku ingatkan lagi kepadamu."

"..?" Tenza hanya terdiam menunggu jawaban.

"Ini tentang percakapanmu kemarin dengan paman, tentang hal hal apa saja yang tidak boleh kau lakukan."

"Si pria yang berkulit itu?' Tanya Tenza. Kemudian dia mendapat anggukan dari orang yang yang memanggilnya kemari. Tenza menggerakan kepalanya ke atas lagi, dia berusaha mengingat percakapan yang mereka berdua lakukan tadi kemarin.

"Ehh...seperti kalian yang tidak boleh berbincang atau berkomunikasi dengan siapapun?"

Mendengar ucapan Tenza orang itu tertawa kecil. "Itu adalah peraturan lama." Ucapnya. Kemudian dia melanjutkan. "Karena berkat dirimu, akhirnya peraturannya jadi berubah. Kami sudah diperbolehkan untuk bersekolah seperti orang normal pada umumnya, tapi tentu saja dengan satu syarat bahwa tidak ada yang boleh mengetahui tentang identitas kami sebenarnya."

"..."

"Kau tidak ingin tragedi sepuluh tahun yang lalu itu terjadi lagi bukan di sekolah ini." Dia melirik ke arahnya dengan masih menampilkan senyumannya. 

Sejujurnya ekspresi senyumannya tersebut agak menjengkelkan untuknya, tapi Tenza berusaha untuk mentolerankannya. Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari laki laki itu.

Tragedi yang di maksud adalah tragedi yang pernah terjadi di Elikya pada tahun 2100. 53 murid dan 5 guru menghilang entah kemana, bahkan Tenza dengar sampai sekarangpun semua orang yang menghilang tersebut belum ditemukan satupun. Membayangkan tragedi itu terjadi lagi saja sudah membuat Tenza merinding. Bagaimana jika aku yang menjadi korban kalau tragedi itu terulang kembali.

Tapi sepertinya semua itu sudah tidak akan pernah terjadi lagi. Itu semua berkat omongan Acak yang ia katakan kemarin malam.

'Tunggu dulu!...' Tiba tiba Tenza terkejut, ia tersentak melebarkan matanya. Dia membeku dengan ekspresi yang terlihat seperti itu. Laki laki yang ada di sampingnya terlihat kebingungan karena reaksi lawan bicaranya.

"Tenza?" Tanyanya. Tenza tiba tiba tersentak kembali. Dia mengangkat tangannya ke atas keningnya, lalu menurunkannya hingga menutup mulutnya. Tangannya yang satunya lagi terangkat juga menutup menekan wajahnya. Dia menudukan badannya, mencengkram wajahnya kuat kuat. Jantungnya berdegup dengan kencang, lensa matanya bergetar tidak dapat fokus ke suatu titik.

"Tenza, tunggu dulu kau kenapa?" Laki laki itu dengan reflek memegangi pundak Tenza. Dia terkejut dengan gerakan Tenza yang tiba tiba menjadi aneh seperti kerasukan. Senyumannya langsung buyar dan hilang begitu saja, sekarang bibirnya tersebut membentuk sebuah garis yang terlihat seperti orang yang gelisah.

'Sial...jangan jangan...tidak...itu mustahil!...tunggu dulu...apa itu mustahil?....jangan bilang hal itu sudah terjadi lagi.'

Mata Tenza terbuka sangat lebar, dia menutup wajahnya dengan kedua tanganya, terutama bibirnya. Keringat dingin bercucuran di kening dan turun hingga ke dagunya. bibirnya bergetar dengan kuat, tubuhnya merinding dengan sekuat kuatnya.

"Tenza...oy Tenza ada apa." Laki laki itu menepuk nepuk punggung Tenza. "Kau sakit? katakan sesuatu kepadaku." Ucapnya dengan panik. Tenza telah melakukan sesuatu yang membuat dirinya ketakutan.

Tenza melepas tangan kanannya dari wajah, meraih westafel yang ada di depan menggunakan tangannya yang terlepas itu. Dengan tumpuan tangannya tersebut, dia menegakan kembali tubuhnya. Tangan yang satunya kemudian menyusul menggenggam westafel tersebut. Tenza berusaha untuk menenangkan dirinya, membenarkan pola nafasnya yang tidak teratur, Tenza menatap dirinya dari cermin. Matanya masih menampakan keterkejutan di tengah kekosongan pandangannya. 

"Kau tidak apa apa Tenza?" Ucap pria di sampingnya. Tenza segera memutar ke arahnya. "..Aku..." Gumamannya terdengar pelan, namun orang itu masih mendengarnya. Tenza menghadapkan kembali wajahnya ke arah cermin, memandang wajahnya.

"Ckk.." Tenza mendecakan lidahnya kesal dengan dirinya sendiri. Tangannnya bergerak cepat langsung memutar kerannya hingga air keluar dengan sangat deras dari sana. Meski banyak yang meluber keluar, kedua tangan Tenza tetap menampung air tersebut. Tenza menundukan wajahnya mendekat ke arah kedua tangannya yang sedang menampung air.

Dengan kuat, dia langsung menyipratkan wajahnya dengan air yang tertampung itu, Tenza kemudian menampung air kembali dengan kedua tangannya dan menyipratkannya kembali ke wajahnya.

"Hei!...airnya menyiprat ke arahku tahu!!." Tenza terus melakukannya, dengan cepat dan cipratannya yang kuat, membuatnya menyebar bahkan mengenai laki laki di sampingnya tersebut. Terpaksa dia memundurkan tubuhnya menjauh dari Tenza.

"Haaah..." Tenza langsung menegakan tubuhnya kembali, menatap ke arah cermin di depannya. Pandangannya masih belum fokkus melihat ke depannya. Tangan Tenza terangkat menggosokan matanya dengan cepat, lalu menurunkannya kembali. Wajahnya benar benar basah kuyup begitu juga dengan rambutnya, karena menyipratkannya tanpa hati hati, seragamnya juga ikut basah begitu banyaknya. Namun Tenza mengabaikan semua itu, dia meletakan kedua tangannya di atas westafel, menatap tajam ke arah cermin di depannya, melihat ke arah pantulan dirinya sendiri.

"Tenang, Tenza...semuanya yang ada pikiranmu itu pasti salah. Iya....semuanya pasti salah." Tenza bergumam dengan pantulan cermin di depannya. Berdiri di sana dan berbicara dengan dirinya sendiri. Tenza memusatkan hatinya untuk tidak percaya dengan pemikiran yang masuk secara tiba tiba tersebut.

"Halo? kau tidak apa apa?" Ucap pria yang berada di belakangnya. Tenza menghela nafas kemudian dia berbalik ke arahnya, menampikan tubuhnya yang basah kuyup sambil tersenyum. "Tidak, aku tidak apa apa." 

Laki laki itu tidak tahan hingga akhirnya menampikan senyum simpul, melirik dari bawah ke atas Tenza yang basah kuyup. "Ahh..haha...Baiklah." Ucapnya. "Jadi ada lagi yang harus kau ucapkan kepadaku?" Tanya pria berambut hitam tersebut.

Namun dia menggelengkan kepalanya, senyumannya yang sebelumnya menghilang karena kelakuan Tenza yang aneh, akhirnya mulai muncul lagi. "Tidak ada lagi yang harus aku bicarakan, aku hanya ingin mengingatkanmu saja tentang hal itu." Dia mulai melangkah menuju pintu keluar.

"Oh yah...kau belum mengetahui namaku bukan?" Ucapnya. Tenza hanya terdiam berdiri di sana. "Rasanya tidak sopan jika kita tidak memberitahu nama masing masing ketika sedang saling berbicara. Jadi..." Dia memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah Tenza.

"Namaku Dyo." Ucapnya sambil tersenyum.

"Baiklah sampai bertemu di lain waktu." Dia kembali memutar tubuhnya, melangkah sambil melambaikan tangan. Sedangkan di sisi lain Tenza menurunkan pandangannya melihat ke arah seragamnya yang basah. 

"Haah....bagaimana ini.." Alex dan yang lainnya pasti akan menertawakan Tenza yang berubah tampilan menjadi super basah seperti ini.