"T..tunggu dulu...Apa tadi yang kau katakan? A.aku tidak mengerti maksudmu." Tenza menggerakan kedua kakinya, melangkah, memundurkan tubuhnya ke belakang. Hanya beberapa langkah saja, punggungnya sudah menempel dengan jendela besar di belakangnya.
Kedatangan mereka yang serentak dan tiba tiba berhasil membuat Tenza terkejut, rasa takut muncul di dadanya. "Seperti yang aku katakan sebelumnya, kami adalah penyihir." Ucapnya.
"Apa yang kau bicarakan? Penyihir? Kalian semua sedang bercandakan?"
Bibirnya bergetar, tubuh Tenza menggigil ketakutan dalam diam. Bulir bulir keringat perlahan muncul dari keningnya. Tenza pernah membaca sebuah artikel, Alex pernah memintanya untuk membaca artikel tersebut.
...terdapat sesuatu yang cukup unik, yaitu seisi kelas adalah anak anak yang berjumlah sepuluh orang dengan satu wali.
Dan saat ini, sang wali dan kesepuluh anak yang dimaksud oleh artikel tersebut, mereka semua sudah berada di hadapannya.
Tenza meneguk air ludahnya, ini bukan artinya dia mempercayai penuh perkataan Alex. Tapi jika melihat keadaan yang terlalu kebetulan seperti ini, mungkin sesuatu sudah direncanakan semenjak dulu.
Terdapat sebuah dilema dalam pikiran pemuda itu, dia tidak ingin mempercayai perkataan temannya. Namun di sisi lain, dirinya sendiri sedang berhadapan dengan mereka semua.
Jika isi artikel tersebut memanglah benar, apakah Tenza akan menghilang? Rasanya sangat mengerikan, Tenza memiliki persepsi yang buruk terhadap mereka semua. Tapi jika isi artikel itu benar, dalam pandangannya Pria albino ini seperti sedang menghentikan tragedi tersebut.
Tenza menggelengkan kepalanya. Membenarkan posisi tubuhnya, merelaxkan tubuhnya sedikit. Memutar matanya menghadap ke pria albino yang berdiri di depannya.
"Bisakah kau jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan penyihir itu?"
Mendengar pertanyaannya, pria albino menolehkan kepalanya ke kanan, pandangannya tertuju pada lorong pendek, dimana terdapat jam dinding yang menempel di ujung tembok sana. Tenza yang melihat itu, segera mengikuti gerakan kepalanya.
"Biasanya aku tidak melakukan hal ini sekarang, tapi lihatlah ke arah jam tersebut." Perintah sang albino kepada Tenza, segera matanya memfokuskan pengelihatannya ke arah jarum jam.
Jarum yang pendek mengarah ke angka 10, dan jarum yang panjang mengarah ke angka 12.
"Aku selalu menghentikan waktu untuk sementara secara rutin"
Tenza tidak mengerti dengan apa yang diucapan laki laki itu. "Apa maksudmu?" Tanya anak itu mengernyitkan keningnya. Ucapannya terdengar seperti seseorang yang berhalusinasi. Dia menghadapkan matanya kembali ke arah wajah pucat itu.
Melihat ke arahnya yang di mana, di belakangnya terdapat kesepuluh remaja yang berbaris rapih. Mereka semua tidak berbicara sedikitpun semenjak mereka memasuki apartemen ini.
"Seperti yang aku katakan sebelumnya, kami adalah penyihir." Dia mengulangi kata kata itu lagi. "Dan kami semua memiliki otoritas dengan karakteristik yang berbeda beda." Ucap Pria albino itu.
Tenza masih tidak paham dengan penjelasannya. Dia mengangkat satu alisnya dan memiringkan kepalanya, menunjukan ekspresi kebingungan.
Laki laki itu hanya mengangkat tangannya dan menepuk dahi saat matanya melihat ke ekspresi yang dipasang Tenza. "Intinya, salah satu otoritasku adalah menghentikan waktu, dan saat ini kau sedang berada di dalamnya."
Dia berusaha menjelaskannya kepada Tenza, namun reaksi anak itu hanya melongo tidak paham apa yang dibicarakan lawan bicaranya. Di lain sisi, Tenza menganggap bahwa Pria albino ini sedang mengatakan sesuatu yang tidaklah nyata.
Keterkejutannya sudah menghilang, ucapannya yang tidak masuk akal adalah penyebab dari hal itu. "Aku tidak paham dengan ucapanmu, setiap perkataan yang kau keluarkan sangat aneh dan tidak bisa dipercaya. Penyihir? Otoritas? Aku tidak mengerti maksudmu, apakah kau sedang mengajakku ke dalam dunia fiktif yang kau buat bersama mereka?" Tenza mengukir ekspresi kasian terhadap mereka semua.
Pria albino mengangkat telunjuknya, lalu mengarahkannya ke arah Tenza. "Coba kau buka smartphonemu, dan lihatlah waktu yang ditunjukan oleh benda tersebut." Tenza menanggapinya, tangan kirinya ia masukan ke dalam saku celana, di mana smartphone hologramnya itu berada. Dia menggenggam smartphonenya, lalu menarik keluar dari dalam sakunya.
Tenza menekan tombol dayanya setelahnya layar hologram itu langsung menyala, kemudian matanya menoleh ke arah pojokan layar, di sana terdapat angka yang menunjukan waktu saat ini.
"Katakan kepadaku, jam berapa yang ditunjukan oleh smartphonemu sekarang?" Tanya Pria albino itu dengan tegas, ia menarik kembali jarinya.
"Pukul 10." Jam yang ditunjukan masih tidak berubah di saat terakhir kali ia memeriksanya.
Perjalanan tadi sangatlah berat, entah kenapa baru sekarang terpikirkan oleh kepalanya, apakah Pria yang bernama Lika itu berangkat dari apartemennya lalu kembali lagi hanya dengan berjalan kaki saja? Tenza pikir itu adalah hal yang mustahil.
Dan apakah dia tidak memiliki kendaraan seperti mobil? jika mempunyainya, seharusnya perjalanan tadi akan berlangsung dengan cepat dan tidak akan memakan waktu dua jam lebih sama seperti sebelumnya.
"Lalu sebelumnya, saat di perjalanan, kau memeriksa jam di smartphonemukan?" Lamunan Tenza tiba tiba buyar karena dia berucap kata.
"Katakan kepadaku, jam berapa yang ditunjukan oleh benda tersebut pada saat itu?" Tenza tidak bisa berkata kata, lidahnya terasa tertahan untuk mengatakan itu. Lalu beberapa saat pada akhirnya dia tetap membuka mulutnya.
"Pukul 10..juga." Pria albino tersenyum mendengarnya. Wajahnya seperti berkata 'Tentu saja! Itu sudah pasti!'
Sejujurnya wajah yang ditampilkan pria itu membuat jengkel dirinya. Tenza menghela nafas atas kekalahannya, entah ini adalah sebuan candaan atau bukan. Sesuatu yang absurd dikatakan kepadanya begitu saja.
Tenza saat ini malah berpikir kalau pria albino sedang memainkan suatu permainan kepadanya. Dan jika memang seperi ini cara mainnya, apakah dirinya harus berpura pura mempercayai dan mengikuti alur ceritanya?
Tenza diam diam menghela nafas. Dia sedang memutuskan sesuatu.
"Baiklah baiklah." Ucapnya dengan melambaikan tangannya, nampak dirinya tidak terlalu peduli terhadap hal itu, karena dia yakin bahwa ada suatu trik untuk melakukan tipuan seperti ini. Tenza memutar bola matanya, dia menoleh ke sana kemari. Melihat ke segala arah dari ruangan besar ini, dia berfikir apakah ada sesuatu yang mencurigakan yang bisa ia temukan di dalam ruangan ini, tapi dia tidak menemukannya.
"Bisa kau lebih jelaskan kepadaku tentang 'kekuatan menghentikan waktu'mu itu?" Tenza kembali menoleh ke arah laki laki itu. Mengangkat tangannya dan melipat semua jarinya kecuali jari tengah dan telunjuk, lalu menekuk nekukannya beberapa kali ketika mengatakan kalimat pertanyaan itu.
Pria albino terlihat tersenyum. Meski pada akhirnya Tenza hanya berpura pura percaya kepadanya, pria itu dengan bodohnya langsung mempercayai perkataan Tenza begitu saja.
"Yah meski aku bilang begitu, sebenarnya kejadiannya tidak benar benar seperti itu." Laki laki itu mengambil kembali kedua sarung tangannya yang berawarna hitam, lalu memasangkannya kembali ke kedua tangannya.
"..." Tenza hanya diam menyimak setiap kata kata kosong dari laki laki itu.
"Sebenarnya saat ini kita semua sedang berada di dalam dimensi yang telahku buat."
'oooh..' Semakin lama, perkataannya semakin aneh saja. Tenza hanya berdiri di sana dengan kedua lengannya yang terlipat, ternyata meski gips sedang terpasang di lengannya, menyentuhnya tidak akan menimbulkan rasa sakit.
"Aku biasanya melakukan hal ini di tengah malam tepat pukul 12. Tapi khusus memberitahukan hal ini kepadamu, aku memindahkan kalian di pukul 10 ini." Terangnya kepada Tenza.
Beberapa saat Tenza sedikit bergumam, kepalanya menunduk, salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu seakan akan sedang berpikir. "Begitu..yah..." Beberapa saat kemudian kepalanya terangkat.
"Lalu? Apa hanya itu yang ingin kau bicarakan kepadaku?" Tanya Tenza kepadanya. Kedua tangannya terlipat terlipat di sana.
"Sebenarnya ada satu hal lagi..." Pria albino itu mengacungkan satu jarinya, meninggikannya hingga menyamainya dengan kedua matanya yang berwarna merah.
"Tentang kejadian ini. Tentang waktu yang aku hentikan dan tentang pemindahan dimensi ini, aku ingin kau untuk tidak mengatakan kedua hal itu kepada siapapun." Wajahnya tampak berubah secara perlahan menjadi serius.
Tenza memutar bola matanya terlihat tidak peduli. "Lalu, jika aku mengatakannya?" Tanyanya entah kenapa meski sadar, dia masih bersikap angkuh seperti itu.
"Atau mereka semua akan menghilang." Mendengar itu, Tenza hanya mengkerutkan wajahnya. Tenza mengingat beberapa sepatah kata ketika dia membaca artikel itu.
Dan keesokan harinya 53 murid dan 5 guru tidak diketahui keberadaannya dan menghilang tanpa jejak hingga sekarang orang orang yang menghilang tersebut tidak pernah ditemukan.
"Kalau begitu, jawablah satu pertanyaanku." Tenza melepas lipatan tangannya. "Apakah mereka semua adalah anak anakmu?" Tenza sedikit memiringkan tubuhnya, menoleh dan sedikit mengintip ke arah belakang Pria albino itu. Tenza menegok ke arah kesepuluh remaja tersebut. Mereka masih berdiri tegak terdiam tidak melakukan apa apa. Pandangan mereka nampak sangat kosong.
Laki laki itu tampak terkejut dengan pertanyaan Tenza. "Tidak, mereka bukan anak anakku. Tapi bisa dikatakan bahwa aku memiliki tanggung jawab terhadap mereka." Jawabnya. Tenza hanya bergumam mendengarkan, matanya bergerak menghadap pria itu.
"Aku pernah mendengar cerita tentang ini. Di tahun 2100, ada sebuah kelas yang terdiri dari sepuluh siswa. Aku pernah mendengar bahwa mereka semua diwakili oleh satu wali, apakah wali itu adalah kau?" Tenza menegakan tubuhnya, mengangkat tangannya menunjuk ke arah pria albino itu. Pria Albino hanya mengangguk, Tenza tertegun tidak menyangkah hal itu benar, itu artinya kejadian itu memang benar benar terjadi.
Kemudian Tenza melanjutkannya lagi. "Apakah saat itu, kau menyuruh mereka semua untuk tidak berkomunikasi dengan kesepuluh anak anak yang lainnya?"
"Ahh, ternyata yang itu.." Ucapnya, dia baru saja mengingat sesuatu yang sudah cukup lama pernah terjadi. Laki laki albino itu sekarang paham dengan alur pertanyaan Tenza.
"Beruntung kau menanyakan hal itu, sebenarnya ada satu hal lagi yang lupa harus aku katakan kepadamu sebelumnya. Ini tentang kejadian yang pernah terjadi sejak sepuluh tahun yang lalu. Saat itu memang ada berita heboh tentang kami." Ujar Pria Albino itu. Tenza menekuk alisnya ke bawah, dia mencoba untuk menebaknya.
"Sebelumnya aku pernah meminta kepada pemerintah untuk tidak memasukan mereka semua ke sekolah, namun jika tidak, kami akan di keluarkan dari negara ini. Kau tahukan kalau Elikya tidak sama seperti negara pada umumnya, dan juga karena terdapat satu hal, aku hanya menuruti perkataan mereka saja. Namun setelah itu aku meminta kepada kepala sekolah untuk guru guru dan para murid untuk tidak mendekati mereka, karena terdengar aneh dan tidak masuk akal, awal mereka menolak permintaanku tersebut, hingga akhirnya korban mulai berjatuhan."
Tenza tergemap dan membeku di sana. Apa yang dikatakan olehnya sama seperti yang di sebutkan oleh artikel tersebut.
"Dan setelah itu, aku meminta mereka kembali untuk tidak mendekati mereka, dan mereka mencoba untuk menuruti perkataanku. Hasilnya hingga sekarang, sudah tidak ada korban yang berjatuhan kembali."
Tenza masih diam mendengarkan. Dia sedang mengolah setiap kata kata yang ia keluarkan, dan Tenza sudah mulai paham dengan perkataannya. Sebenarnya meski Tenza tidak tahu kenapa hal itu dapat terjadi. Tapi setidaknya secara garis besar dia memahaminya. Ada satu pertanyaan tiba tiba muncul didalam benaknya.
"Aku punya satu pertanyaan lagi..." Tenza mengangkat jari telunjuknya. Mata Pria itu bergeser ke arah tangan milik Tenza.
"Apa itu?" Dia mempersilahkannya bertanya.
Tenza menurunkan tangannya."Apa pemicu dari penghilangan tersebut dapat terjadi?" Ujarnya bertanya demikian, itu adalah salah satu hal yang masih menjadi tanda tanya besar di dalam kepalanya.
"Itu karena kami adalah penyihir..." Pria itu mengangkat bahu dan kedua tangannya ke atas dengan telapak tangan yang menghadap ke atas juga." ...Sebenarnya orang biasa tidak diperbolehkan bertemu dengan kami atau hal itu akan terjadi, terutama untuk orang yang mencari tahu identitas kami."
Laki laki albino itu mengangkat jari telunjuknya, lalu menempelkan jari putihnya ke bibir pucatnya. "Ini adalah sebuah rahasia, dan alasan aku memanggilmu kemari karena itulah alasannya. Aku merasakan seseorang masuk ke dalam dimensi buatanku, dan orang itu adalah kau. Jadi aku mohon kepadamu untuk merahasiakannya atau hal yang tidak diinginkan tersebut dapat terjadi kembali."
"Baiklah, setidaknya aku sudah mulai paham." Tenza mentup matanya lalu menempelkan telapak tangan kirinya ke pinggang, dia menghela nafas sebentar, terlalu banyak informasi yang masuk ke dalam otaknya. Tiba tiba matanya terbuka lebar. "Tapi ada satu hal yang perlu aku katakan kepadamu."
"...?" Pria itu hanya diam menunggu kelanjutan dari Tenza.
Tenza mengepalkan tangan kirinya lalu menaikannya hingga menempel dengan dagunya. "Intinya identitas kalian tidak boleh ketahuan oleh orang lain bukan? Kalau begitu, itu artinya selama tidak ketahuan bahwa mereka semua adalah penyihir, itu artinya mereka boleh bersosialisasi bukan?" Tenza merujuk kepada sepuluh anak yang berada di belakang pria itu. Pria albino itu tampak baru tersadar.
"Tapi itu mustahil." Ucapnya menolak opini Tenza.
"Mustahil? Kenapa? Itu artinya kau membiarkan mereka semua terisolasi dengan aturan yang kalian buat sendiri bukan? Itu juga artinya kau menyiksa mereka semua. Tenang saja, tidak akan ada seseorangpun yang akan berfikir kalau mereka itu penyihir, malah mengurung mereka di dalam pagar besi itu akan mengundang kecurigaan seseorang, termasuk diriku sendiri."
"Aku pikir, perkataannya ada benar juga." Pria albino tampak terkejut, matanya melebar seketika, namun Tenza tidak sadar dengan hal itu. Yang berbicara tadi bukanlah Tenza ataupun Laki laki itu. Tapi seseorang di belakangnya. Ia tampak tersenyum ketika mengatakan itu. Tenza sedikit memiringkan tubuhnya, mengintip mencari tahu siapa yang berbicara tadi.
Ada tato bebentuk angka 2 di lehernya.
Pria albino memutar ke belakang menghadap ke orang itu. Dia menajamkan kedua matanya ke arahnya, dia tidak menyangka hal ini dapat terjadi. Tanpa susah susah dicari, ternyata dia muncul begitu saja.
"Lihat bukan? Aku yakin mereka semua juga memiliki pikiran yang sama." Tutur Tenza, dia masih mengintip melihat ke arah orang yang memiliki tato bertuliskan angka dua tersebut. Dia yakin kalau apa yang dia ujar sebelumnya sudah membuka pikiran mereka.
"Tentu saja...jadi, bagaimana? Kau harus mempertimbangkan hal ini...paman."
Dia tersenyum, kepalanya terangkat sedikit karena Pria albino itu lebih tinggi darinya. Sedangkan Lika, sang laki laki pengidap albino, dia menajamkan matanya ke arahnya. Mereka saling tatap dan menatap. Di sisi lain, Tenza kembali menegakan badannya.
Tenza tidak bisa melihat ekspresi kedua orang itu dari tempatnya, dan dia tidak terlalu mempedulikannya, dia hanya perlu menunggu jawaban darinya.
"Baiklah..." Tiba tiba seseorang berucap. Pria albino itu memutar kembali tubuhnya menghadap ke arah Tenza. "Aku akan menanyakan hal ini kepadanya nanti. Untuk saat ini, mungkin mereka belum bisa melakukanya, tapi akan aku usahakan." Tenza tersenyum mendengarkannya dia menghela nafas dan tiba tiba dia ingin menguap.
Tenza mengangkat tangan kirinya menutup mulutnya. "Lalu...ada lagi yang perlu kau katakan?"
"Ah ada satu hal lagi..." Kata pria albino.
"...Jangan pernah keluar dari Elikya, apakah kau paham maksudku?" Tenza menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak paham, lagi pula...apa konsekuensinya kalau aku keluar dari...negara ini..." Tiba tiba bibirnya membeku tidak bisa berbicara.
"haah?" Gumamnya tiba tiba.
Mata Tenza membelalak. Dia menutup kedua matanya, lalu mengusap kedua matanya tersebut dengan tangan kirinya. Dia menggeser tangannya dari sana, kembali membuka matanya, namun penglihatannya sedikit memburam.
Beberapa saat akhirnya penglihatannya mulai kembali fokus. "Hah?" Gumamnya sekali lagi, mulutnya terbuka lebar kebingungan. Apa yang ia pandangi saat ini bukanlah apartemen milik pria albino atau kesepuluh remaja tadi, tapi yang Tenza saat ini lihat adalah sebuah langit langit. Tenza mengenal langit langit ini. Tiba tiba tanpa sadar Tenza sedang terbaring.
Dengan menumpukannya ke lengan kirinya, Tenza mencoba untuk mengangkat tubuhnya, tangan kanannya terangkat sedikit menekan kepalanya. Matanya sedikit tertekan karena rasa pusing, setelah itu dia memutar penglihatannya melihat ke sana dan kemari.
Saat ini dia sedang duduk di atas ranjang tempat tidur, dia berada di ruangan yang cukup gelap tapi pencahayaannya cukup agar dia tidak menabrak sesuatu yang ada di depannya ketika dia berjalan.
Terdapat lemari besar di depannya, lemari kecil di sampingnya, lalu di atasnya terdapat smartphone dan jam alaramnya.
"Ini..." Kepalanya masih dipenuhi oleh tanda tanya besar. Tenza menengok ke arah jam alaramnya yang tergeletak di atas lemari kecilnya, dengan tangan kanannya, ia meraih jam alaram itu dan sedikit menggeser dan memutarnya agar angka yang ditunjukan jam itu dapat terlihat oleh kedua matanya.
Pukul 22.00 tertera disana, ahh baru saja berubah menjadi 22.01. Tenza menggaruk rambutnya. Karena mengantuk, dia menutup matanya. Kemudian dia membuka bibirnya menguap, dengan cepat tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar karena sedang menguap.
Lidahnya mengecap, matanya menjadi basah, sekali lagi dia menggosokan tangan kirinya ke matanya."Tadi itu...mimpi yah...." Ujarnya mengantuk sambil menoleh ke segala arah kembali.
Tenza sedikit menekuk lututnya, lalu menggoyangkan pergelangan kakinya. Kakinya terasa sedikit keram, Tenza mengulurkan tangan kirinya kesana, lalu memijit pergelangan kakinya dengan jari jemarinya. Tenza kembali menarikan tangannya ketika sudah lewat beberapa menit sesi memijit, dia membunyikan ruas ruas jari jarinya.
Tenza menjatuhkan tubuhnya langsung ke ranjangnya, matanya menatap kosong ke arah langit langit.
"Sudah malam.....lebih baik aku segera tidur saja."