Malam hari yang gelap. Angin malam berhembus pelan, menambahkan kenikmatan dari kesejukan malam yang diciptakannya. Bulan bersinar terang jauh di atas langit, dengan bintang bintang yang berkelap kelip bagai pernak pernik menghiasi langit.
Sedangkan itu di Elikya, disuatu perumahan yang berada di kota itu. Di kala langit menjadi semakin gelap, semua orang kian lama, kian melenyapkan suaranya, menciptakan keheningan di antara malam, semuanya beranjak tidur, kembali ke dalam mimpi indah mereka masing masing. Namun tidak dengan seorang pemuda di saat ini.
Tiba tiba seseorang datang ke rumahnya, menekan bel ketika pemuda itu mempersiapkan raganya untuk kembali tidur dan beristirahat. Dengan penuh rasa mengeluh, Tenza beranjak dari tempat tidurnya, melangkah turun dari kamarnya, membuka kunci pada pintu putih di depannya. Dia mendorong pintu tersebut ke dalam, sedikit mengintip dari sana.
Tenza melangkah pergi keluar rumahnya, menghampiri seseorang yang menekan belnya sedari tadi.
Tenza dan orang itu saling berhadapan, dia masih melangkah pelan mendekat ke arah seorang pria di hadapannya.
Pria itu mengenakan jaket putih yang terlihat hangat, dengan celana cargo panjangnya yang berwarna putih. Sarung tangan hitam membaluti di kedua tangannya, terlihat hampir semua pakaian yang ia gunakan berwarna putih. Kecuali sarung tangan dan sepatunya yang berwarna hitam.
Laki laki itu secara perlahan mengangkat kepalanya yang tertunduk, memperlihatkan matanya yang berwarna merah tebal.
Tenza melirik ke arah wajahnya, matanya sedang melihat ke arah wajah orang itu, dia memiliki kulit benar benar terlihat putih, diam diam dia menelan air ludahnya, Tenza tidak pernah melihat seseorang dengan wajah seputih ini sebelumnya. Kedatangan Laki laki putih ini telah memembuat diri Tenza merasa harus curiga terhadap dirinya.
"S.siapa ya?" Tanya Tenza. Dia mengukir senyuman di bibirnya berusaha untuk terlihat ramah, dia berupaya untuk menyembunyikan rasa curiganya terhadap pria di depannya ini.
Laki laki itu tampak diam saja, dia hanya berdiri tegap menghadap ke arah Tenza. pagar hitam menjadi pelerai di antara keduanya. Tiba tiba dia membuka mulut. "Apakah kau yang bernama Tenza?" Tanya Pria putih tersebut. Tenza diam diam melebarkan matanya, dia mengangguk menjawab pertanyaan laki laki itu.
'Kenapa dia bisa tahu namaku?'
"Kalau begitu, ayo ikutlah dengan ku." Ucapannya penuh dengan aura yang misterius.
'haah?' Tenza mengkerutkan keningnya seketika. "Tunggu dulu!" Ujar Tenza dengan suara yang ia usahakan terdengar menekan. Dia mengangkat tangan kirinya, mengarahkannya ke laki laki putih itu dan mengulurkan jari telunjuknya ke arahnya.
"Sebenarnya siapa kau? tiba tiba datang di malam hari seperti ini, lalu menyuruhku ikut denganmu?" Tenza langsung menghilangkan wajah ramahnya, dia benar benar curiga terhadap laki laki aneh di depannya, kesan misteriusnya gagal mengelabuhi Tenza. Dia hanya bisa berucap ramah tidak lebih dari 10 detik kepada orang misterius ini.
Laki laki itu mengangkat tangannya, meraih hoodie yang terpasang lalu menariknya ke belakang, melepas hoodienya menunjukan identitasnya yang sebenarnya.
Laki laki itu memperlihatkan wajahnya, kulit putih dengan mata yang berwarna merah, dengan rambut putih yang terlihat sedikit pirang, bibirnya pucat berwarna putih kemerahan. Tenza belum pernah bertemu dengan orang ini, ia sedikit tergidig melihat bentuk wajahnya, namun dia berusaha menyembunyikannya.
Tenza mengetahui kecacatan yang di miliki pria ini, itu adalah kelainan yang bernama Albino. Sebuah kelainan yang menyebabkan penderitanya memiliki kulit dan rambut yang sangat putih, terkadang beberapa penderita albino hanya memiliki kelainannya di salah satu bagian tubuhnya saja, namun laki laki ini memilikinya di sekujur tubuhnya.
"Namaku Lika." Ucap Laki laki itu tiba tiba memperkenalkan namanya. "Akan terlalu sulit untuk menjelaskannya hal ini kepadamu, tapi aku berharap kau dapat mempercayai diriku." Lanjut pria albino tersebut setelah tiba tiba memperkenalkan nama.
Ucapan laki laki ini tidak dapat Tenza percaya, bahkan namanya saja dia tidak bisa mempercayainya. Tenza masih enggan untuk mengikuti apa yang tiba tiba ia perintahkan kepadanya.
"Kau pikir aku akan langsung percaya begitu saja dengan seseorang yang baru aku temui?" Ucap Tenza menatap tajam ke arahnya.
"Tiba tiba ada seseorang di tengah malam seperti ini mengajakku untuk pergi mengikutinya, apakah kau pikir aku akan mempercayainya begitu saja?" Tenza memperjelas alasan ketidak percayanya, dan laki laki albino itu tentu saja mengetahuinya.
"Aku ingin menjelaskan sesuatu kepadamu. Jadi tolong ikutlah."
"Menjelaskan tentang apa?" Tenza langsung berucap. "Memangnya ada yang perlu lebih harus dijelaskan dibandingkan kedatanganmu yang misterius seperti ini?" Tenza mengungkapkan argumennya, dia tidak bisa mempercayai seseorang begitu saja.
Hal itu dapat terjadi karena Tenza telah hidup di pemukiman kumuh selama ini, hingga dia berhasil lulus tes masuk ke sekolah yang ada di Elikya ini. Ditambah ini ada hubungannya dengan masa lalunya, sudah ada banyak orang yang pernah menipunya selama itu, sangat banyak, terutama ketika pergi ke tempat yang disebut dengan 'pasar', Tenza tidak bisa mempercayai seseorangpun di sekitarnya di saat itu. Dan karena itulah dia menjadi sangat sulit untuk mempercayai seseorang di manapun ia berada dan kapanpun itu.
Terutama terhadap orang ini, tiba tiba dia datang begitu saja dengan penampilannya yang menyeramkan, terutama orang dengan wajah yang seperti ini, mungkin terdengar rasis namun hal itu tidak bisa menyingkirkan fakta bahwa Tenza benar benar tidak bisa mempercayai orang ini.
"Ini tentang sesuatu yang tidak ada seseorangpun yang mengetahuinya.." Pria albino itu masih berucap kata, berusaha meyakinkan Tenza. Cara dia berucap terdengar aneh baginya, tapi Tenza mencoba untuk diam mendengarkan. Perkataan pria itu terdengar sedikit absurd untuk Tenza, tapi jika dia tidak memberi kesempatan, maka percakapaan ini tidak akan ada ujungnya.
"Percayalah kepadaku." Ucapnya kepada Tenza. Tenza menatap mata merahnya, menatap tajam ke arah laki laki itu.
Ini adalah rahasia Tenza, sebenarnya pemuda ini dapat mengetahui kebohongan hanya dari tatapan seseorang. Tenza masih menatap mata laki laki itu, tiba tiba laki laki itu berkedip. "Baiklah, akanku dengar sebisaku." Ucap Tenza mengalihkan pandangannya ke bawah, dia menggaruk rambutnya lalu kembali mengangkat kepalanya memandang wajah pria itu.
"Akhir akhir ini, kau merasa tidurmu terasa lama bukan?" Dia langsung ke inti permasalahan, Tenza sedikit terkejut dengan perkataannya. Tenza sedikit menurunkan kepalanya lalu menggaruk rambutnya lagi. "Lalu?" Ucap Tenza singkat, dia kembali menghadap ke pria albino itu.
"Ada satu rahasia yang harus aku ucapkan kepadamu, ini tentang hal yang sangat penting, karena itu aku mohon kepadamu untuk mempercayaiku dan biarkan aku membawamu ke tempat itu." Setiap ucapan pria itu selalu terdengar tidak jelas, dia berbicara tidak langsung ke intinya, Tenza meruncingkan matanya, apakah dia harus mempercayai orang ini atau tidak? dia sedang mempertimbangkannya.
"Sebelum itu, katakan kita akan ke mana?" Tanya Tenza meruncingkan matanya. Pria albino itu sedikit memutar tubuhnya ke kiri, mengangkat kepalanya ke atas menghadap ke langit berbintang. "Ke Elikya bagian pusat." Ucapnya tidak menghadap Tenza.
Pemuda itu menghela nafas. "Baiklah, setidaknya biarkan aku mengganti pakaianku dahulu."
***
Tenza sudah mengganti pakaiannya. Saat ini dia sedang mengenakan jaket orange lusuh dengan celana panjang berwarna hitam. Dia juga sudah mengganti sendalnya dengan sepatu hitam sekolahnya. Tenza mengambil beberapa lembar dolar di sakunya dan begitu juga dengan smartphonenya.
Tenza terlihat seperti sudah mempersiapkan segalanya namun ada satu hal yang seharusnya ia periksa sebelumnya.
"haah..haah...apakah sebentar lagi sudah sampai?" Tanya Tenza berjalan dengan postur tubuh membungkuk, tangannya bergelantungan di atas pundaknya. Tenza lupa untuk memastikan seberapa jauh Elikya pusat dari rumahnya, dan ditambah dia tidak membawa air minum, Tenza juga tidak menemukan satu tokopun yang sedang buka di saat saat seperti ini, jika saja dia menemukannya, dia akan langsung pergi ke sana dan membeli sesuatu untuk di minum.
"Yah tinggal sebentar lagi." Ucap Pria itu jauh berada di depan Tenza. Awalnya Tenza sengaja menjaga jarak dari Pria itu, perasaan curiganyalah yang membuat dia harus melakukan hal itu, namun setelah lebih dari dua jam berlalu, Tenza tidak bisa menyamai kecepatan langkah pria itu, dan dia benar benar ketinggalan jauh dengan pria albino.
Selama dua jam ini Tenza sudah berjalan tanpa istirahat semenitpun, pergelangan kaki hingga betisnya sepertinya sudah mati rasa. Mengingat sebelumnya Tenza sudah melatih staminanya dengan melatih ketahanan larinya tadi siang, di tambah di malam hari seperti ini, perjalanan dengan tanpa alat transportasi manapun, sudah pasti kakinya terasa sangat keram dan mati rasa.
Saat ini Tenza sedang menyusuri sebuah jembatan yang lumayan panjang. Dia melihat ke arah kiri dan kanannya, langit malam dengan cahaya biru rembulan, di tambah dengan lampu jalan yang berjejer juga telah membantu pengelihatannya. Di sana hanya terdapat sungai asin yang diapit dengan kedua daratan, sepertinya Elikya yang berada dipusat itu di kelilingi dengan air laut.
Tenza menghela nafas, angin yang berhembus dari arah selat benar benar menyejukan tubuhnya, rambutnya menari nari dihembus oleh angin semilir dari arah laut. Setidaknya itu adalah satu sisi positif yang dapat Tenza dapat rasakan saat ini.
"Kenapa tidak menaiki kereta saja?" Tanya Tenza penuh perasaan mengeluh.
"Jika kau melihat saat ini kereta sedang berjalan, maka kita akan langsung ke stasiun terdekat dan menaikinya. Dan jika kau melihat taxi atau kendaraan lainnya lewat, maka kita bisa saja untuk menumpang, namun disaat seperti ini, semua itu tidak akan terjadi untuk sementara."
Tenza masih melangkah terbungkuk di sana, matanya sedikit terlamun memikirkan kata kata pria itu. Tenza menoleh ke kanan dan ke kirinya, memang benar apa yang dikatakan pria itu. Sedari tadi Tenza tidak melihat ada satu mobilpun yang lewat selama rute perjalanannya ini, begitupun dengan kereta, setidaknya seharusnya dia mendengar suara mesin kereta dari kejauhan, namun dia belum mendengarnya hingga saat ini. Bukan hanya itu, Tenza bahkan belum menemukan sesorang melainkan dirinya sendiri dan Pria putih yang berada sedikit jauh di depannya.
Dia berjalan dengan sempoyongan. Sedangkan pria itu, dia masih berjalan tegak seperti orang normal pada dasarnya. Tenza terkagum dengan kekuatan kaki pria tersebut, apakah jika Tenza terus melatih kakinya terus menerus, dia bisa sekuat laki laki itu? Pikiran itu muncul tiba tiba.
Tenza meraih smartphone hologramnya, dia memeriksa sudah berapa lama dia berjalan. pukul 22.00 tertera disana. Tenza segera menekuk keningnya."Ini bohongkan?" Mata Tenza berkedut tidak percaya, bukankah sebelumnya sudah lewat pukul 22.00? lalu kenapa sekarang jamnya masih menunjukan waktu itu?
"Apakah jamnya rusak?" Gumam Tenza, diam diam pria itu mengintip ke belakang melihat ke arah Tenza. "Kau tahu?" Ucapnya dengan lantang. "Saat ini waktu sedang berhenti berjalan."
"Haa?" Gumam Tenza, dia tidak percaya dengan dengan yang dikatakannya, atau lebih tepatnya perkataannya hanya seperti seseorang yang mengalami halusinasi. Tunggu, atau malah Tenza yang salah mendengar?
"Tadi apa yang kau katakan?" Tenza sedikit melantangkan suaranya, jarak di antara mereka cukuplah jauh, karena itulah Tenza melantangkan suaranya. Laki laki albino itu berhenti melangkah, dia memutar menghadap ke belakangnya, menghadap ke arah Tenza yang gaya berjalannya teruhuyung huyung karena kelelahan.
"Akan aku katakan saja itu nanti, namun sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu..."
"...?"
Laki laki albino itu kembali memutar tubuhnya ke depan, mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke depan, pria itu menunjuk ke salah satu gedung dari banyaknya gedung gedung tinggi yang ada di sana.
"Kita akan pergi ke sana."
Tenza mengangkat tangan kirinya, menempelkan sisi jari telunjuknya dengan kedua alisnya, mengangkat kepalanya dan menyipitkan matanya. Tenza berusaha melihat kemana arah jari pria albino itu menunjuk.
"Ke gedung yang paling tinggi tersebut?" Tanya Tenza.
Laki laki albino itu mengangguk di kejauhan sana. Tenza yang melihat gerak kepala Pria albino itu menghela nafas penuh dengan perasaan mengeluh. Itu karena meskipun tujuannya sudah terlihat dari matanya, namun jaraknya masihlah sangat jauh. Mungkin sekitar 1KM kurang.
***
Tenza langsung saja merubuhkan tubuhnya. "Ahh....rasanya kakiku akan putus...." Tenza melepas kedua sepatunya lalu meluruskan lututnya, dia menyenderkan punggungnya pada dinding lift ini. Tenza menekuk salah satu kakinya, tangan kirinya ia ulurkan ke pergelangan kaki yang ia tekuk itu, memijit pelan dengan ujung jari jemarinya.
Laki laki albino itu berdiri di depannya, menekan angka dimana di lantai itulah mereka akan pergi naik ke atas. Tenza melirik ke arahnya, dia benar benar heran dengan kekuatan kaki pria itu. Bukankah berjalan lebih dari dua jam tanpa terlihat sedikit keletihan sudah seperti manusia yang tidak normal? Pikiran itu muncul di benaknya.
"Kelihatannya, kau tidak terlihat seperti kelelahan yah..." Tenza langsung mengucapkannya, mengatakan kata kata yang muncul dari benaknya sambil memijit pergelangan kakinya itu, dia meluruskan kakinya dan menekuk kakinya yang lain, melakukan pijatan yang sama dengan pergelangan kakinya yang satunya tadi.
Lift yang di taikinya segera berjalan ke atas, telinga Tenza terasa mendengung, kepalanya juga terasa pusing. Tenza mengangkat tangan kanannya, menyentuh keningnnya., Laki laki Albino itu tersenyum melihat reaksi yang dibuat Tenza.
"Apakah ini pertama kalinya kau menaiki lift?" Tanya pria itu. Menyeringai sambil melirik ke arah Tenza. "Tidak, ini bukan yang pertama kalinya..." Ucap tenza.
"Sebenarnya, aku adalah murid yang berhasil lulus test masuk ke Elikya, di tempatku sebelumnya, naik lift adalah kegiatan biasa, karena kami tinggal di rumah susun di lantai delapan. Aku sudah sering menaiki lift, hanya saja aku tidak pernah bisa terbiasa dengan rasa pusingnya."
"Hmm.." Gumam laki laki albino itu. "Ngomong ngomong, bagaimana dengan jawabanmu? Aku tadi bertanya kepadamu, bagaimana kau bisa sekuat itu berjalan selama berjam jam." Tenza bertanya.
"Itu adalah salah satu hal yang ingin aku katakan kepadamu nanti."
Tenza menekuk keningnya, Tenza merasakan bahwa Pria yang lebih tua darinya ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. "Kau ini, aku sudah berbaik hati ikut dengan mu selama berjam jam jalan kaki, dan kau masih belum ingin mengatakannya? Sepertinya aku memang tidak bisa mempercayaimu."
Tenza menekuk kedua kakinya, meraih kedua sepatunya dan segera memakainya kembali. Tenza menundukan tubunya, tangan kirinya ia gunakan sebagai tumpuan agar dirinya dapat berdiri. Tenza berusaha menegakan tubuhnya, namun beberapa saat ia sedikit terhuyung karena kakinya yang sangat pegal.
"Aku pastikan kau akan langsung pulang hanya dalam sekejap mata." Ucap Pria albino itu, menghadap ke depan pintu lift yang tertutup, dan tidak menoleh ke arah Tenza. Tenza menyeringai kepadanya, mengangkat tangan kirinya ke atas pinggang. "Huh..tentu saja itu tidak mungkin." Tenza seratus persen tidak mempercayai ucapan lawan bicaranya.
Tenza melirik ke arah leher pria itu, terdapat tato dengan tulisan angka 1 berwarna hitam di sana. Dia memicitkan matanya, tiba tiba sepertinya sesuatu masuk ke dalam benaknya. Tenza seperti mengingat sesuatu, tapi apa itu? Tenza tidak yakin dengan pikirannya.
Pintu lift segera terbuka, pemandangan yang pertama ia lihat dari depan pintu itu adalah sebuah lorong dengan dinding coklat terang, dan lampu mewah yang berjejer di sepanjang jalur lorong tersebut.
Mereka berdua segera keluar dari lift ini, Tenza hanya mengikuti pria itu dari melakang. Pintu lift segera tertutup di saat mereka berdua sudah berada di luar. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor ini.
Lorong itu terlihat benar benar mewah, tembok yang di cat coklat terang dengan banyak motif menempel di antara langit langit. Di lantai yang berwarna coklat gelap ini, karpet merah dengan strip emas tergelar sepanjang mata memandang ke depan. Beberapa guci mewah berjejer di atas meja kayu di pinggiran jalan lorong ini.
tenza terpana dengan kemewahan ini, dia terpelanga melihat ke segala arah. Dia melihat ke arah langit langit koridor ini, chandelier chandelier yang berkilauan tergantung menunjuk keindahan yang luar biasa.
Laki laki albino itu berhenti, Tenza yang matanya pergi kemana mana tiba tiba tidak sengaja menabrak punggung laki laki itu. Pria itu menoleh ke belakang, melihat wajah polos Tenza yang sedang terpukau pukau.
Pria albino itu menoleh ke arah salah satu pintu yang ada di sebelah kanannya. "Ini adalah tempatnya." Ucapnya, Tenza menoleh ke kanannya, itu adalah pintu yang terbuat dengan kayu langkah dengan pahatan yang indah.
Pria itu berjalan ke pintu dan membukanya. Sepertinya dia sengaja tidak mengunci pintunya, atau mungkin itu adalah kecerobohannya sendiri. Pria itu segera masuk berjalan ke sana, meninggalkan pintu yang masih setengah terbuka.
Tenza segera masuk ke dalam sana mengikuti Pria albino yang ada di depannya. "Ini adalah apartemenku." Ucapnya. Mata Tenza melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan saat di dalam lorong tadi.
Matanya melihat ke sana ke sini, saat ini dia terpelongo dengan kemewahan ruangan ini. Tenza belum pernah masuk ke apartemen, bahkan yang mewah seperti ini. Layar TV hologram yang besar, dengan sofa abu abu bermotif totol hitam. Di depannya Pemuda itu, meski begitu, ada satu hal yang membuat Tenza tidak bisa berhenti terpaku di sana. Ia dapat melihat jendela yang terbuka lebar, menampilkan pemandangan indah kota Elikya di malam hari dari atas gedung ini.
tenza melangkah dengan cepat ke arah sana, dia mengangkat tangan kirinya, menempelkannya ke kaca jendela itu. 'Whhoooaaaahhh' Tenza benar benar terkagum dengan pemandangan seindah ini. Mulutnya tidak bisa berhenti terbuka karena terpukau.
Ia dapat melihat percikan lampu yang amat kecil menghiasi seluruh daratan, dia juga bisa melihat laut di kejauhan cakrawala yang memantulkan cahaya rembulan yang biru. Beberapa gedung tinggi sebenarnya cukup menghalangi pemandangan indah tersebut, tapi Tenza menghiraukan hal sekecil itu. Bahkan Tenza sedang lupa dengan kakinya yang sedang mati rasa itu.
Tenza masih ingin melihat pemandangan indah tersebut, namun ada satu hal yang harus ia lakukan. Tenza menggeleng kuat kepalanya, berusaha tersadar dari keterpanaannya. Ia melepas sentuhannya terhadap kaca jendela, lalu dia memutar tubuhnya membalik ke arah belakang, dimana pria albino itu berdiri di sana.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" Tanya tenza.
Tenza melihat laki laki tersebut sedang menarik kedua sarung tangannya, lalu menaruh ke dalam saku jaketnya. tiba tiba Laki laki itu mengangkat kedua tangannya, lalu...
"Pokk-Pokk" Dia menepuk kedua telapak tangannya.
"Ckleek....kriiieettt." Suara decitan pintu yang terbuka. Tiba tiba dari arah luar, Tenza mendengar beberapa pintu terbuka. Ia tidak bisa menentukan jumlahnya, mereka terbuka dengan serentak.
'dug-dug-dug...' Tenza juga mendengar suara langkah kaki, suaranya sangat banyak, 3 atau 4? sudah pasti terlalu banyak hingga Tenza tidak dapat memastikan jumlahnya. Tiba tiba beberapa orang memasuki apartemen pria albino ini. Tiba tiba orang orang itu banyak bermunculan masuk ke dalam apartemen melewati pintu yang tidak terkunci, melewati pintu di mana sebelumnya Tenza masuk lewat sana.
Tenza menghitung jumlah mereka semua, Totalnya sepuluh orang, mereka semua sepertinya remaja dan umur mereka tidak terlalu jauh dari Tenza. Di setiap leher mereka, Tenza dapat menemukan sebuah tato.
Semua tato itu berbentuk angka. Dari satu hingga kesepuluh, setiap anak memiliki masing masing satu dari angka angka tersebut.
Semenjak itu sudah tidak terjadi insiden insiden yang memakan banyak nyawa tersebut dan...
Tiba tiba Tenza teringat sesuatu. Ini adalah ingatannya tentang rekaman kejadian. Tenza sentak membuka lebar matanya tidak percaya. Para remaja itu berbaris di depan Tenza.
...kesepuluh anak memiliki tato dibagian lehernya yaitu sebuah angka dari 1 sampai dengan 10...
Dia mengingatnya, ini tentang artikel yang sebelumnya Alex pernah minta kepada Tenza untuk membacanya. Tenza melirik ke arah Pria albino.
....dan untuk wali memiliki tato dengan angka 1....
Tato dengan angka satu menempel di lehernya. Tenza terkejut dengan kebetulan ini, dia melangkah ke belakang dengan nafas yang tertahan. "S..sebenarnya, siapa kalian semua?" Tenza bertanya di tengah keterkejutannya. Pria Albino itu menyeringai atas pertanyaan Tenza sendiri.
Ia mengangkat kedua tangannya ke atas pinggang, sedangkan para kesepuluh remaja tersebut hanya berdiri tegak di belakang pria Albino.
"Kami semua adalah penyihir." Ucapanya dipenuhi oleh kepercayaan diri.