Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 27 - Arc 2 - Chapter 1 (Rumah sakit)

Chapter 27 - Arc 2 - Chapter 1 (Rumah sakit)

"Hebat juga yah....padahal sudah selama itu, tapi banjir tidak kunjung datang."

Rintikan hujan sudah mulai mereda, Tenza tidak tahu sudah berapa lama hujan ini turun tapi yang pasti di hitung saat Tenza terbangun hingga saat ini, sepertinya hujan sudah turun lebih dari satu jam.

Saat ini pukul 09.13, Tenza dengan dibaluti pakaian pasien biru muda sudah berdiam diri di atas ranjang rumah sakit lebih dari enam jam. Itu menurut suster yang mengantarkan sarapan ke Tenza sebelumnya. Tenza tak melakukan apa apa, dia hanya duduk disana, dengan kepala yang disenderkan pada kaca yang dingin, menatap kosong ke arah rintik rintik hujan yang mulai mereda. Cuaca di luar menjelaskan perasaan Tenza saat ini.

Dia tidak tahu harus melakukan apa, tubuhnya benar benar babak belur dibuat Jason. Dan untuk Reina dan ibunya? Tenza belum mendapat kabar apa apa. Dia benar benar khawatir dengan mereka, rasanya aneh sekali jika Jason tidak membunuhnya di saat itu.

"Kau pernah kembali ke masa lalu bukan?"

Tenza memicitkan matanya, bagaimana dia dapat mengetahui itu? Apa mungkin dia hanya asal menebak?

"Kau sudah tidak perlu berbohong...menelpon polisi, bersiap membawa tongkat untuk berjaga jaga, mengetahui bahwa aku tidak dapat merasakan sakit lalu mengetahui aku berniat membunuh Elyena. Ahh satu lagi...Tanganmu selalu bergetar ketika menatapku, kenapa kau benar benar takut kepadaku? jika kita tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu, rasanya aneh sekali jika kau sudah takut dengan ku."

Perkataannya itu memang benar, yang Tenza perkiraan dari tebakannya adalah mungkin saja di masa lalu dia pernah bertemu pria itu, tapi anehnya dia malah menebak bahwa Tenza dapat kembali ke masa lalu. Tenza sendiri tidak mengetahui pemicu hal tersebut dapat terjadi.

"Karena leherku tertusuk?" Itu adalah alasan yang paling besar kemungkinannya ketika Tenza memulai kembali bertanya tanya penyebabnya. Di setiap akhir hayatnya pada pengulangan dan rekaman kejadian, lehernya selalu di tusuk pisau oleh jason. "Atau karena aku sekarat?" Tenza juga berpikiran seperti itu.

Sepertinya polisi datang dan menemukan Tenza tergeletak di lantai penuh darah, kemudian melarikannya ke rumah sakit lalu menyelamatkan nyawa Tenza. Apa jika polisi tidak datang saat itu akan memicu pengulangan kembali? Tenza juga tidak tahu tentang itu, tapi setiap hal yang di pikirkannya selalu ada kemungkinan yang sama besarnya.

"Di sini ruangannya."

"Terimakasih."

Tenza mendengar suara seseorang dari balik pintu, terdengar seperti suara perempuan dan laki laki. Dari sana juga muncul bayangan dari kaca yg terdapat di pintu. Tiba tiba knop pintu berputar dan terbuka, seseorang mendorongnya dari luar.

"Permisi." Tuturnya sopan.

Tenza segera memeriksa ke arah pintu, memutar kepalanya menghadap ke belakangnya. Seorang laki laki paruh baya disana, mengenakan jaket kulit coklat muda dan topi fedora hitam di kepalanya, mengenakan celana hitam dengan sepatu selop hitam. Postur tubuhnya cukup besar dan gendut, Tenza mengangguk pelan ke arahnya, segera dia berjalan masuk tak lupa menutup pintu kembali.

Ia melepas topi fedora hitamnya, kaca mata dengan frame persegi panjang hitam yang tebal nampak jelas di terangi oleh lampu pada ruangan ini.

"Apakah anda yang bernama Tenza?" Tanya pria paruh baya itu selagi melangkah maju ke arahnya.

Tenza hanya mengangguk. Pria itu meraih kursi kecil dan menggeser ke arahnya, kemudian duduk di sana, meletakan kedua tangan di atas paha lalu sela sela jarinya ia mainkan dengan cara saling mengikat satu sama lain.

"Pertama tama, saya akan memperkenalkan nama." Dia melepas ikatan jarinya, tangan kanan masuk ke dalam jaketnya, meraih sesuatu dari dalam, di saku kemeja putihnya. Pria itu mengulurkan sesuatu kepada Tenza, sebuah lencana dengan bintang 6 sudut emas mengkilap.

"Nama saya tomy, pekerjaan saya adalah polisi." Dia menarik kembali lencananya, memasukannya ke dalam saku kemeja. Tenza tidak tahu harus bereaksi apa, dia hanya mengangguk saja.

"Apakah kau baik baik saja?" Tanyanya tiba tiba berbasa basi. Tenza berusaha memicu senyumnya.

Tenza mengangguk lagi. "Ya, saya baik baik saja. Hanya saja sepertinya saya cukup kehabisan darah." Tenza sedikit tertawa oleh candaannya.

"Sepertinya mentalmu sudah baik baik saja setelah kejadian kemarin." Polisi itu terlihat tersenyum legah.

"Baiklah kalau begitu..." Kemudian dia melanjutkan, dalam dirinya dia merasa tidak tega harus mengatakan hal ini sekarang. "Saya ingin membicarakan kejadian kemarin malam." Mendengar itu Tenza tiba tiba menghening seketika. Matanya terbuka tidak mengkedip.

"Rasanya tidak enak harus membicarakan hal ini sekarang, padahal baru kemarin. Tapi melihat mental anda yang terlihat baik baik saja, saya rasa tidak masalah untuk membicarakan ini sekarang." Tenza menghening, dan polisi itu turut menutup mulut juga.

Dia menurunkan kepalanya, sejenak dia seperti ingin berhenti dan membatalkan pembicaraan ini, memikirkan tentang perasaan korban adalah hal penting. Tapi tiba tiba dia menggeleng pelan kepalanya, nampaknya semua itu dikalahkan oleh rasa penasaran yang sangat besar. Pria itu memutar bola matanya kepada Tenza.

"Ini tentang kemarin, saya ingin mencari tahu lebih detail tentang hal buruk yang terjadi pada malam itu." Ucapnya sedikit tersendat. Tenza membeku mendengarnya, dia menurunkan kepalanya, melihat tangan kanannya yang di pasang gips, mengingat kembali pengalaman yang menyakitkan itu.

Polisi itu merendahkan alisnya, berusaha untuk menarik keinginan tahunya. "Maafkan saya, saya rasa ini terlalu cepat untuk kita membicarakan kembali tentang hal yang terjadi tadi ma..."

"TIDAK..." Tenza tiba tiba memotong percakapan. "...tidak...saya akan mengatakannya sekarang." Tenza menekan tekadnya, dia menegakan kepalanya, menekan alisnya dan berusaha tegar dalam masalah ini.

"Jika ini bisa membantu polisi menyelesaikan pekerjaannya, maka saya akan mengatakan kejadiannya dengan senang hati." Meski ucapannya terdengar mantap, tapi bibirnya tampak menahan emosi yang meluap.

Polisi itu agak terkejut dengan yang dituturkan Tenza. "Apakah anda yakin?"

"Tentu..." Tenza mengagguk.

"Saya tidak tahu harus menceritakannya dari mana..." Tenza meraih kepalanya dengan tangan kirinya, menyentuh lembut perban yang melilit keningnya dengan ujung jemarinya, rambutnya kusut dan berantakan tak disisir. "Saya di buat pingsan olehnya...Saya pikir ini tidak akan membantu banyak, tapi akan saya katakan."

Tenza menurunkan tangan kirinya. "Tidak apa apa, kau cukup menceritakannya." Ucap Pria berjaket kulit itu.

Mata Tenza mulai berair.

"Yahhh...meski di bilang begitu..." Tenza mengukir senyumannya.".....yang saya lakukan hanyalah berkelahi dengan pria itu di lantai bawah antara ruang tamu dan keluarga lalu...."

"Kau pernah kembali ke masa lalu bukan?"

Tenza tiba tiba terhenti, bibirnya mulai bergetar, dia berusaha menekan bibinya yang bergetar ketakutan, dia berusaha dan berusaha, menarik nafas berharap itu bisa menenangkan dirinya.

"Lalu setelah itu saya pingsan.." Air mata keluar menetes dari mata Tenza, dia menutup matanya, dia benar benar menyesal dengan kekalahannya.

"Jika saja saya lebih kuat....jika saja begitu....saya.....saya pasti bisa menghentikannya...." Tenza mengusap air matanya. Air mata penyesalan terus keluar dari matanya, dia menurunkan pandangannya masih berusaha menghentikan air matanya yang tidak bisa berhenti keluar.

Ini merupakan kesalahannya, kesalahannya karena terlalu bodoh telah menanggapi masalah tersebut. Jika saja dia lebih memikirkan hal ini lebih matang, tentunya hal pasti tidak terjadi. Tenza gagal menyelamatkan Reina dan ibunya, dia terlalu menganggap remeh Jason, pikirannya terlalu pendek untuk hal ini.

Jika saja Tenza lebih kuat, jika saja Tenza lebih pintar, Tenza tidak akan berada di titik ini. Ini semua adalah kesalahannya, semuanya...semuanya.

"Jadi begitu..." Ucap polisi itu pelan. "Saya mendapatkan kabar bahwa Nyonya Mirabelle menelpon sekitar pukul 11 malam. Menurut laporan, nyonya itu ingin memberi tahu kepada polisi tentang Jason yang ia kenal. Dan kedua rekan kami segera berangkat menuju kediaman beliau. Namun rekan kami menemukan anda tergeletak di lantai dan menemukan dua korban lainnya."

Nafas Tenza tersentak. Diam diam dia menggertakan giginya kesal atas betapa lemah dirinya. "Saat itu sekitar jam sepuluh lewat, saya pergi ke rumah Reina untuk bertanya kepada ibunya, saya ingin mencari tahu apakah beliau mengetahui soal laki laki yang bernama Jason itu atau tidak."

"...."

"Saya menceritakan tentang berita yang saya temukan pada streaming berita harian pagi itu di sekolah, entah kenapa saya sangat curiga saat itu dan tidak bisa tenang. Setelah mendengar cerita saya, Nyonya Mirabele langsung menelpon polisi."

"..."

"Setelah itu, saya ingin beranjak pulang ke rumah. Namun Jason tiba tiba datang dan...." Tenza tidak melanjutkan kalimatnya, tidak sanggup untu melanjutkan perkataannya. Tenza berharap polisi itu mengerti dengan apa yang akan dia ucapkan selanjutnya.

"Saya paham dengan apa yang anda rasakan, terimakasih telah berkerja sama dengan kami."

Tenza hanya terdiam, menundukan pandangannya dan merenungi kejadian kemarin.

"Seperti yang sebelumnya saya ceritakan...." Ujar polisi. "Saya menemukan anda tergeletak di lantai dan menemukan dua korban lagi disana." Mendengar itu, Tenza semakin menundukan wajahnya.

"Kedua korban itu kami temukan meninggal dengan sangat mengenaskan. Kami mencari tahu data tentang dua orang tersebut." Tenza masih menundukan wajahnya, tetap diam mendengarkan. '...hentikan...' Ingin sekali rasanya menutup kuping dalam dalam, namun rasa bersalah di dada tidak mengizinkan.

"Setelah itu kami mengetahui nama dari kedua korban dari kartu tanda penduduknya. Mereka berdua adalah Nyonya Elyena Mirabelle dan..."

Tenza menutup matanya, dia tidak berani mendengar hal ini. 'Kumohon hentikan.' Dia memejamkan matanya kuat kuat, tidak sanggup untuk mendengarnya.

"...Jason." Tiba tiba Tenza tercengang, dia mendelikan matanya lebar lebar, langsung menghadap kepada polisi tersebut. "Anda bohongkan?" Suara Tenza terlalu pelan, Polisi itu nampak kebingungan. "ANDA BOHONGKAN?" Teriak Tenza marah membesarkan suaranya.

"Tolong ten..."

"LUKA INI DISEBABKAN OLEH JASON!! DIA INGIN MEMBUNUH KAMI BERTIGA LALU KAU MENGATAKAN BAHWA DIA MATI?"

"Saya mohon anda tenanglah....Saya mengerti dengan kebencian anda terhadapnya. Kami mendapatkan sample darah yang menempel pada sebuah tongkat base ball besi, dan hasinya adalah darah itu cocok dengan milik anda."

"Benar juga?!..." Tenza tidak mempedulikan apa yang di ucapkan lawan bicaranya, menutup telinganya, dengan egois dia menancapkan mulutnya terus menerus. "...ando...Paman Ando...Maksudku seseorang sekuriti yang menjaga gerbang depan! Apa yang ia lakukan sampai Jason dapat masuk kesana."

Polisi itu terdiam, pupil matanya nampak turun, Tenza mengendorkan otot wajahnya. "Kumohon jawablah...." Wajah Tenza mulai memelas, pipinya basah karena air mata.

"Ini adalah kesalahan kami, saya mewakili rekan rekan, memohon untuk memaafkan keteledoran kami." Polisi itu menunduk. "Saya hanya ingin mendengar tentang paman itu, kumohon cepat katakan!"

Polisi itu menghela nafas, kemudian menariknya sangat panjang. "Kami menemukan sekuriti yang bertugas meninggal di pos penjagaannya." Seketika mata Tenza terbelalak terkejut. Seakan dunia menertawakan dirinya, "Apa apaan ini?" Dia tertawa suram.

"Hasil otopsi menunjukan bahwa dia meninggal karena tercekik oleh seseorang. Organ dalam seperti pembuluh darah di leher dan tenggorokan hancur, kami menduga itu adalah penyebab kematiannya. Dan kami juga menduga bahwa Jasonlah yang membunuhnya."

"Itu sudah pasti." Tenza menuduh tanpa melihat kejadiannya secara langsung.

"Selain itu, kami menemukan Walkie talkie miliknya hancur terinjak. Dari sidik jari yang kami temukan disana, terdapat sidik jari sekuriti dan Jason di atasnya, itu semakin memperkuat dugaan kami."

"Begitu yah..." Tenza menghela nafas, menenangkan kembali pikirannya.

"Boleh saya lanjutkan?" Tanya Polisi itu. Tenza mengangguk dalam diam.

"Saya menemukan Mayat Jason dan Nyonya Elyena di dalam kamar Reina. Sejujurnya saya tidak ingin mengatakan ini, keadaan mereka benar benar mengenaskan. Lubang terbuka lebar pada perut mereka dan itu....isi perut mereka keluar dan bersimbah darah. Kami menemukan anda selamat di dekat sana." Tiba tiba Tenza melebarkan kelopak matanya.

"Eh.." Dia bergumam pelan sangat kebingungan.

"Anda pasti salah." Ucap Tenza. "Saya tidak sadarkan diri di lantai satu lalu bagaimana bisa...." Tenza tiba tiba berhenti berbicara, sesuatu masuk begitu saja dalam kepalanya, menggertakan giginya karena kesal, Tenza menundukan matanya.

"Maafkan saya, mungkin karena terbentur, saya kehilangan beberapa ingatan." Dia berucap pelan.

. "lalu..." Lanjut Tenza. "...bagaimana dengan Reina?" Dia mengangkat kepalanya menghadap polisi itu.

"Reina?..." Nada suara yang tak disangka.

Polisi itu nampak tergidik kecil setelah mengatakan nama temannya, dia mengangkat tangannya, menaikan kaca matanya yang mulai turun dari hidungnya. "Sebenarnya, keberadaan seorang yang bernama Reina ini, kami belum menemukannya."

Alis Tenza mengkerut. "Apa yang anda katakan?" Polisi itu menghela nafas. " Kami tidak menemukan keberadaannya dimana mana."

"Hahaha..." Tenza tertawa suram. "Anda pasti berbohongkan?" Tenza mengalihkan pandangannya ke samping dari polisi itu. Tertunduk menatap kosong ke arah sprei yang mulai kusut.

"Meski begitu, itu adalah kenyataannya. Kami tidak menemukan keberadaannya di sana." Polisi itu menunduk tidak berani melihat kekecewaan Tenza.

"Saat itu....Reina ada di sana...tapi kenapa?...Kenapa dia menghilang...." Pikiran Tenza keluar begitu saja, di dengar oleh laki laki paruh baya di depannya.

"Polisi....Saya mohon, anda temukan dimana Reina berada." Tenza memutar kepalanya dengan cepat, menghadap pria paruh baya tersebut dan menekuk alisnya.

Polisi itu segera beranjak dari tempat duduknya, menggeser ke tempat sebelumnya tadi, memakai topi fedora hitamnya dan membenarkan posisi kaca matanya kembali. "Itu sudah pasti, karena ini adalah tugas kami."

Polisi itu mengangkat tangannya, kembali memasukan tangan kanannya kedalam jaket kulitnya, seperti sedang mengambil sesuatu dari dalam kantung kemejanya.

"Ini." Ucapnya singkat.

"..?"

Dia menyodorkan kartu pengenal miliknya. Bentuknya tipis dan berwarna putih. "Jika anda mengingat sesuatu yang penting atau terjadi sesuatu lainnya, tolong hubungi saja nomor ini."

Tenza mengangguk.

***

Hari sudah siang, hujan telah berhenti. Secara perlahan air hujan mulai menguap dari aspal jalan, sekarang jalan tampak membelang dengan air hujan. Itulah yang Tenza dapat lihat dari balik jendela, makan siang sudah tersedia namun dia belum memakannya.

"Reina..." Gumam Tenza menyebut namanya, dia benar benar khawatir kepada teman pertamanya.

Menghela nafas, menciptakan embun pada kaca jendela dan mengelapnya kembali dengan lengan baju pasiennya yang panjang. Tidak selera meski perutnya sudah kosong. Susu dan bubur sudah tersedia di meja, namun tidak ada niatan untuk memakannya.

Tenza hampir tidak bergerak sama sekali dari sana, kalut dengan isi pikirannya, dia ingin sekali menyelidiki hal itu sendiri, tapi disisi lain Tenza tidak bisa melakukannya.

Setidaknya keadaannya sudah mulai membaik. Hanya tinggal menunggu jahitan pada kepalanya mengering dan tangan kanannya yang telah di pasang gips putih ini siap untuk di lepas.

'Tok tok tok.' Suara pintu yang di ketuk. Setelah itu langsung membukanya saja meski yang berada di dalam ruangan belum mengizinkannya, sedikit dengan rasa acuh tersebut, lengkungan di alisnya muncul.

"Ahhh aku kira raja tutankhamun sudah bangkit dari makamnya, ternyata itu kau Tenza." Pemuda itu langsung memutar knop dan membukanya, tanpa sapaan normal dia sudah mengata ngatai Tenza dari belakang.

Tenza mendengus pelan nafasnya, kekesalannya hanyut entah kemana. "Begitukah seharusnya yang pertama kali seseorang katakan ketika menjenguk temannya?" Tenza melirik ke belakang, kemudian berbalik mengarah sahutan orang yang tidak dapat membaca suasana itu. Suara yang ia kenal, Tenza langsung menyembunyikan pikirannya yang kusut.

"Yoo...kau baik baik saja?" Tanya Alex mengangkat tangannya menyapa Tenza, mengenakan seragam biru tua, modelnya sama dengan yang seragam di hari senin dan selasa, hanya model warnanya saja yang berbeda. Itu karena ini adalah hari rabu.

"Kau tidak mengisi kelas?" Tanya Tenza. Dia membenarkan posisi duduknya, berhati hati terhadap tangan kanannya yang di pasang gips.

"Yah karena aku ketua kelas, maka aku yang harus jadi wakil untuk menjenguk." Ucap Alex, dia berjalan mendekat kepada Tenza. Tenza lihat, Alex menggenggam hand bag kecil berwarna abu abu ke hitaman.

"Ooohh..." Tenza mengangguk. Entah kenapa nada suaranya benar benar tidak mengenakan.

"Ngomong ngomong kau hebat sekali Tenza!" Alex tersenyum kagum kepada Tenza. menepuk tangannya sekali. Berhati hati agar Hand bagnya tidak jatuh dari tangannya sendiri.

"...?" Tenza memiringkan kepalanya serta menekuk alisnya, ledekan tersirat sedikit mengganggunya.

"Baru saja dua hari datang ke sekolah, tapi kau sudah membuat gempar seisi sekolah. Benar benar seperti tokoh utama dalam novel!" Dia mengacungkan jempol untuk menambahkan suasana kekaguman. Sayang sekali Tenza langsung menatap sinis kepadanya.

"Aku tidak akan menganggap itu pujian."

"Maaf...maaf." Kata Alex menyodorkan telapak tangannya. "Ngomong ngomong..." Alex kemudian melanjutkan. "Awalnya aku ingin membawa susu, tapi aku tidak tahu apakah kau sudah meminum obat atau belum, makanya aku hanya membawakan teh." Dia membuka Ritsleting pada hand bagnya, memasukan tangan kirinya ke dalam dan menarik sesuatu disana.

"Ini, anggap saja sebagai hadiah." Alex mengambil botol teh di dalam sana. Mata Tenza tiba tiba melebar. "Whoaahh terimakasih." Matanya tampak bersinar sinar, dengan cepat dia meraih botol itu, tapi....

"Tolong bukakan." Tenza tidak dapat membuka botol yang di segel itu dengan satu tangannya karena tangan kanannya patah, dia kembali mengembalikan botol teh tersebut. Alex tertawa pelan, dia segera mengambil kembali botol itu dan membukakannya untuk Tenza.

Tenza meraih botol yang sudah terbuka itu dengan cepat, lalu dengan bertegug tegug dia langsung menelan teh pemberiannya, rasa puas muncul dalam dada Alex.

"AHhhhhh" Tenza menghembuskan nafas legah. Rasa sejuk pada teh membuat tonggorokannya menjadi subur kembali. "Ngomong ngomong, meski kau ingin membawa susu, sebenarnya itu tidak apa apa, karena aku hanya mengalami luka fisik. Aku tidak meminum satu pil obat sampai sekarang."

"Oooh." Dia segera mengambil kursi di dekatnya dan duduk di sana. Dia melihat susu dan bubur tersedia di sana yang belum Tenza makan, itu menjawab pertanyaan yang muncul di kepalanya sebelumnya.

"Yah meski begitu, aku lebih menyukai teh dari pada susu." Tenza sekali lagi tanpa terhalang pikiran macam macam dia langsung menghabiskan tehnya. "Begitukah? Aku akan membawa teh besok jika kau belum segera kembali ke sekolah."

"Ahh kalau itu aku rasa tidak perlu."

Tenza menaruh botol teh kosongnya di atas meja dan tidak lupa ia menutupnya kembali. Agak sulit dengan menggunakan satu tangan. "Aku rasa aku akan pulang sebentar lagi, suster akan melepas perban dan aku akan segera mengemas barangku dan juga Ova akan mengantarkanku kembali ke rumah."

"Ova?" Itu nama yang belum Alex dengar sebelumnya. "Dia adalah perempuan yang mengantarkanku kemari."

"Ahhh begitu yah.... Sekarang aku mengerti." Dia mengangkat tangannya menempel ke bawah dagu sambing mengangguk angguk.

"Sebelumnya dia menelponku, dia benar benar terdengar khawatir." Tenza memekarkan senyumnya. "Hmmm....Orang yang pengertian yah." Alex berkomentar.

"Begitulah, sejujurnya aku menyukai sifatnya." Tenza segera meraih sendok bubur dan menyendokinya, memasukan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya pelan pelan. Buburnya sudah tidak terasa panas kembali.

"Ahh tadi kau bilang aku membuat gempar satu sekolah?" Tenza mengatakannya sambil mengunyah. Menyendok lagi buburnya siap untuk ia santap.

"Pertama tama kunyah habis dulu makananmu....Tunggu, kau mengunyah buburnya?" Wajah Alex menampikan keterkejutan. Tenza mengkerutkan alisnya.

"Intinya bagimana dengan pertanyaanku?" Tenza memasukan sendok berisikan bubur ke dalam mulutnya. "....Tentang aku yang tiba tiba menggemparkan satu sekolah." Dia menunjuk Alex dengan sendoknya, lalu kembali menyendokan buburnya dengan cepat.

"Ahh itu, kau tahu banyak gosip yang tiba tiba datang karena kejadian kemarin, tunggu...Kau tidak apa apa ingin membahas ini?" Alex menghentikan perkataannya, dia sadar hal ini akan terlalu sensitif bagi Tenza yang baru saja mengalami hal buruk.

"Langsung katakan saja...Meneguk teh yang dingin di musim panas ini membuat perasaanku menjadi lebih baik. Karena itu hal ini tidak akan menjadi masalah besar untuk di ceritakan." Tenza tersenyum bangga.

"Memangnya sebesar apa cintamu pada minuman teh?" Alex tidak menyangka sisi Tenza yang baru saja dia lihat.

"Intinya Teh adalah minuman penemuan manusia yang paling nikmat." Tenza tersenyum penuh dengan perasaan bangga.

"Uwahh kau benar benar seperti Niklas saja ketika membicarakan hal hal berbau sains."

"Semua orang akan seperti itu jika membicarakan hal yang menarik bagi mereka bukan?"

"..." Alex tidak bisa menjawab lagi, dia benar benar buntu. 'Apakah aku adalah tipe orang yang akan selalu kalah dalam berdebat?' Dia pernah berpikir seperti itu, dan sepertinya pemikirannya lebih di perkuat lagi dengan berbincang dengan Tenza.

"Jadi bagaimana?" Tanya Tenza.

"Yah kejadian kemarin membuat gempar sekolah, kau tahu? itu ehh bagaimana yah..." Dia tersendat tidak tahu merangkai kata, menggaruk rambutnya yang di tata berantakan. "tiba tiba tengah malam polisi dan ambulan datang, mengangkut ehh..mayat? yah intinya seperti itu...salah satu murid dari sekolah kita melihat mu penuh luka di angkat oleh petugas ambulan. Dan keesokan harinya, banyak yang membicarakanmu."

Tenza entah kenapa menatap tajam ke arah Alex."Aku yakin orang yang melihatku itu kau." Tenza menebak.

"Tentu saja tidak, aku bukan tipe orang yang akan terjaga semalaman hanya untuk sekedar membaca buku. Aku juga masih punya kedisiplinan diri tahu!" Alex benar benar tersinggung dengan perkataan Tenza. Tenza hanya menampakan senyum kecutnya.

"Maaf maaf. Sepertinya aku benar benar membuat orang orang khawatir yah."

"Begitulah. Tapi keadaan sudah baik baik saja bukan? Ngomong ngomong tadi sekolah aku tidak melihat Reina, dan aku juga belum mendengar kabarnya dari tadi." Tenza tiba tiba terdiam.

Tenza tidak tahu harus mengatakan hal ini kepada orang lain atau tidak, apakah pembicaraannya dengan polisi adalah hal yang harus di rahasiakan atau tidak? dia tidak tahu itu. Lagi pula Polisi tadi tidak mengatakan untuk merahasiakan percakapannya, jadi Tenza rasa tidak masalah untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.

"Itu..." Tenza mulai berbicara. Alex menunggu.

"Aku juga tidak tahu dengan keberadaan Reina, tapi...Dari kabar yang aku dapat dari polisi...."

Tenza menghentikan kata katanya, sedang mempersiapkan mentalnya untuk mengatakan hal itu. Sedangkan di hadapannya, Alex hanya menatap Tenza tidak sabar dengan kata kata yang akan Tenza ucapkan selanjutnya.

"Reina tidak di temukan dimana mana..."

'Apa?'

"...Sampai sekarangpun aku juga belum mendapat kabarnya." Ekspresi Alex tiba tiba berubah, sama seperti yang Tenza duga. Sepertinya bentuk wajahnya sama dengan apa yang diekspresikan Tenza ketika dia mendengar kabar itu.

"Tunggu dulu. Kau serius?" Alex memprotes, namun hal itu tidak akan mengubah faktanya.

Tenza mengangguk dan mendengus pelan. "Tentu saja, apakah kau tidak tahu, itu terjadi di rumah Reina?" Alex terkejut tak bisa berkata kata. "Aku harap dia baik baik saja, entah dimana dia sekarang, aku harap dia tidak terluka."

Alex berusaha mendinginkan kepalanya, dia menurunkan matanya sedikit ke bawah. Meratapi kejadian buruk ini dari dalam hati. "Aku juga berharap sama sepertimu." Ucap Alex.

Beberpa saat yang sepi, Tenza kembali menyuapi dirinya dengan bubur yang mulai dingin karena AC di ruangan ini. Alex tiba tiba menegakan kepalanya. "Baiklah..." Alex menepuk kedua kakinya, lalu berdiri dari tempat duduknya. "Hmm?" Tenza bergumam.

"Aku akan kembali ke sekolah." Tutur Alex, ia meraih hand bagnya yang ditaruh di atas meja sebelumnya.

"Kau tidak langsung kembali ke rumah?" Tanya Tenza. "Tentu saja tidak, aku sudah izin ke guruku untuk terlambat masuk karena harus menjengukmu terlebih dahulu."

"Ah.." Mendengar itu, ia menundukan pandangannya, Tenza merasa bersalah karena telah menyusahkan teman temannya. "Maaf yah..."

"Tidak perlu meminta maaf, ini juga sudah menjadi tugas ketua kelas sebagai perwakilan kelas untuk menjenguk teman sekelasnya yang sakit." Tenza hanya tersenyum kecut. "Baiklah, aku tidak bisa membalas perkataanmu." Dia hanya memandang Alex yang memutar tubuhnya kembali berjalan keluar ruangan ini.

"Ngomong ngomong..." Ucap laki laki pirang itu, dengan suara yang terdengar berat. Tenza terdiam di sana tiba tiba, terkejut kecil atas pergantian suasana yang mendadak. "Untuk rencana pergi ke ETPnya..." Alex tiba tiba berdiam, seakan akan ada yang menghambat bibirnya untuk terbuka. Dia menekuk lehernya ke bawah, berusaha mengumpulkan tekadnya demi mengatakan hal ini.

"...Lebih baik kita batalkan saja..." Tenza mendengus dari hidung, dia paham apa yang dimaksud dari perkatakannya. Tenza mengalihkan pandangannya ke samping sebelah kiri dan menundukan kepalanya ke bawah, senyuman hilang dari bibirnya.

"Aku tahu itu." Ucapnya pelan.

"Setidaknya jika Reina sudah di temukan, dan keadaan yang sudah berkemungkinan." Tutur Alex memunggungi Tenza, dia tidak berani menghadap ke arahnya, dia dapat melihat isi pikirannya, Alex mengetahui bahwa Tenza lah yang paling menantikan hal ini dari pada temannya yang lain. Dia tidak berani melihat ekspresi kekecewaan pada diri temannya itu.

"Baiklah." Tutur singkatnya. Alex menarik nafas.

"Kalau begitu, aku tunggu kehadiranmu di kelas yah....dahh." Alex hanya membelakangi Tenza, menahan ekspresi kesedihannya, dia mengubah nada suaranya. Lalu mengangkat tangan kanannya dan mengayunkannya.

Tenza juga ikut melambaikan tangannya. Menampikan senyuman simpul kosong di bibirnya.

Alex melangkah menuju pintu keluar itu, menunduk penuh menutup ekspresinya.

Ia meraih knopnya, memutarnya lalu menarik pintu itu agar terbuka, dia melangkah keluar melewatinya.

'Kriiieeet dug.'

Alex menarik knop pintu yang ada di sisi lainnya, kemudian menutup pintu dari luar. Ruangan ini kembali menghening. Tenza menaruh kembali sendok buburnya ke dalam mangkok, bubur yang sudah dingin, ditambah dirinya tidak nafsu makan.

meluruskan kakinya, mensejajarkan dengan ranjang, lalu membaringkan punggung ke atas ranjang tersebut.

Tenza menarik nafas panjang dan melepasnya dengan perlahan. Suasana bising yang cepat berlalu, sekarang kembali lagi menjadi sunyi dan dingin. Tenza menutup mata dengan lengan kiri.

"Inikah rasanya berbohong?" Suara busik yang penuh dengan jenaka. Rasa bencinya telah berubah menjadi suatu kemunafikan.

Tenza menertawakan kebodohannya, kenapa di saat saat seperti ini dia tidak menyadarinya. Tenza mengangkat tangan kirinya menutup kedua mata. Ia tersenyum kecut terhadap dirinya sendiri.

Dia sudah terbiasa dengan orang yang suka berbohong, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dirinya dengan mudah dapat melihat gerak gerik seseorang yang sedang berbohong. Dia selalu merendahkan mereka, merasa superior dibandingkan mereka semua.

"Yang benar saja, entah kenapa hari ini rasanya sangat melelahkan...."

Air mata mengalir.

"...Tersenyum itu, melelahkan sekali yah..."

Entah sejak kapan dirinya sudah terbiasa berbohong. Dia tak dapat mengingatnya, atau lebih tepat Tenza tidak mau mengetahuinya. Rasa sombong telah menampar dirinya dengan kuat, satu malam yang menyiksa jasmani dan batin tidak cukup untuk meruntuhkan mental Tenza ditambah dimana kesadarannya terhadap betapa munafik dirinya sendiri, entah apa lagi yang harus ia sadari agar mengakhiri hidupnya bukanlah pilihan yang buruk.

Mata Tenza mulai melemah, dia mengantuk. Siluet Reina seakan muncul di benaknya. Banyak hal yang ingin ia ketahui, masih banyak hal yang ingin ia ketahui, dari hal hal yang tidak masuk akal terjadi di sini. Ini bukanlah motivasi yang buruk, akan tetapi layaknya berjalan di ruangan yang sangat gelap, takut melangkah karena tidak ingin menabrak sesuatu di depan sana.

Tenza ketakutan, dia takut melangkah ke dalam jurang yang gelap, tapi dia ingin mengetahuinya. Apakah ikut campur dalam misteri ini adalah hal yang benar? Atau dia akan bertemu keputusasaan di depan sana? Lagi pula, sejak kapan ini semua dimulai?

Dia tidak kuat mengangkat matanya lebih dari ini, apakah sejak awal dia menyadari bawah dia mengalami fenomena kembalinya waktu ke masa lalu, atau semenjak dia tahu bahwa dia akan di bunuh di malam itu?

Apakah aku boleh menyerah?

Apakah di titik ini dirinya sudah di perbolehkan beristirahat? tubuhnya benar benar tegang akibat kejadian kejadian yang tak masuk akal.

Apakah ini adalah hal yang benar?

Jika memikirkannya lagi, apakah dirinya baru saja merubah takdir dengan tangannya sendiri? Tenza tidak tahu, apakah ada konsekuensi dari apa yang ia buat? ataukah tertidur di ranjang rumah sakit ini adalah konsekuensinya? atau ini masihlah awal?

Tenza tak dapat memikirkannya, pandangannya penuh dengan kabut, matanya sudah tertutup, tak sadar bahwa dirinya sudah tertidur.