Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 25 - Arc 1 - Side Story 1-1

Chapter 25 - Arc 1 - Side Story 1-1

Tanggal 21 juli 2110

Tidak ada yang spesial pada hari ini. Semuanya berjalan seperti biasanya. Musim panas yang terik dengan angin semilir menyejukan tubuh melawan hawa panas yang sudah berlebihan.

Masing masing melakukan pekerjaannya sendiri. Belajar, mengajari, bekerja atau menjadi seorang pengangguran tak berguna. Menjalankan peran mereka masing masing di tengah masyarakat padat dengan baik.

Pukul 14.00. Disuatu tempat bernama sekolah Elikya, atas usulan ketua kelas dan sudah menjadi keputusan bersama bagi mereka yang duduk di kelas 1 pilihan untuk selalu pulang ke rumah secara bersama setelah pelajaran panjang di sekolah telah usai. Bukanlah kebetulan, tapi memang tempat tinggal mereka yang sudah dipersiapkan untuk berada di satu titik perumahan.

Dengan total waktu perjalanan 30 menit. Mulai dari perjalanan menuju stasiun kereta, lalu lama perjalanan di dalam kereta dan diakhiri dengan berjalan kaki dari tempat pemberhentian hingga sampai ke rumah, masing masing memakan waktu sekitar 10 menit.

Dan saat ini mereka duduk di salah satu dari belasan gerbong kereta. Biasanya pada waktu seperti ini, penumpang kereta tidak terlalu padat, dan karena itu mereka semua bisa duduk di tempat semau mereka dimana saja, duduk berdekatan di atas kursi empuk berwarna biru tua dengan tekstur yang halus.

"Ngomong ngomong, bagaimana kau bisa meyakinkan Pak Leone?" Kereta belum berjalan, menunggu penumpang lainnya masuk ke dalam. Youra bertanya kepadanya dengan nada yang terdengar penasaran.

Mencondongkan tubuhnya ke arah Nick yang duduk di sebelah kanan dekat jendela kereta. Berlawanan dengan tempat duduknya, Mengisi kekosongan topik di antara mereka yang baru Saja masuk ke dalam kereta.

Semuanya langsung melihat ke arah Youra yang baru saja bertanya.

Mengenakan seragam merah, sesuai dengan peraturan yang ada, duduk bersender pada bangku yang empuk. Tiba tiba saja langsung berubah arah menatap ke arahnya yang membuka pembicaraan.

Wajah mereka tampak seakan akan baru saja mengingat sesuatu.

Diantara mereka delapan orang, tidak ada yang tidak mengetahui tentang pikiran Pak Leone yang sangat kritis, setiap perkataan yang diucapkan oleh lawan bicaranya, pasti Guru berdarah italia tersebut bisa membalasnya dengan jawaban yang logis.

Dan sepertinya keberhasilan Nick dalam melakukan negosiasi mendapatkan decak kagum dan rasa penasaran dari teman teman lainnya.

"Ah, aku juga sebenarnya penasaran dengan hal itu, aku pernah mendengar kalau Pak Leone pernah memenangkan puluhan lomba debat!" Ucap Alex menyusul Youra. Setelah itu kepalanya berputar langsung menghadap Nick yang duduk di sebelahnya.

Nick sedikit menjauhkan kepalanya dari Alex.

"Aku tidak yakin dengan puluhan lomba debat itu, tapi aku yakin Pak Leone memang pernah memenangkan banyak perlombaan, tapi aku juga tidak yakin akan sebanyak itu." Youra berbicara terbelit belit.

Sebenarnya tidak ada bukti tentang ucapan Alex, meski begitu kecuali mereka yang tidak memiliki hubungan dengan guru itu, siapapun yang ada di dalam gerbong yang mulai terisi padat oleh beberapa penumpang yang masuk ini, pasti tetap dapat menerima ucapan kosong darinya, mengingat guru yang sedang mereka bicarakan adalah guru yang direkrut langsung oleh pihak Elikya sendiri.

Tentu saja orang yang meremehkan beliau adalah orang bodoh.

"Hmm bagaimana yahh..." Nick mengangkat kepalanya ke atas, memegang dagunya berpose seperti orang yang berfikir.

"Sebenarnya jika di saat itu tidak ada Pak Bailey yang membantuku, aku rasa kita tidak akan pergi ke ETP dalam jangka waktu sependek ini." Ucapnya terdengar merendah.

"Ahh...Aku ingat satu hal..." Nick kemudian melanjutkan kata katanya. "Sebenarnya kita bisa saja pergi besok atau di hari lusa, tapi dengan syarat kita semua sudah menyelesaikan semua PR yang telah diberikan sebelumnya." Nick segera menoleh ke arah Michiko ketika mengatakan itu.

Duduk di dekat jendela, bersampingan dengan Youra yang tadi memulai percakapan. Gadis itu merasa dirinya tengah dilirik dalam percakapan ini.

"Aku tahu...Aku tahu itu." Ucapnya, dia tersenyum kepadanya. Dari ekspresi yang terukir pada wajahnya seakan akan sedang berkata "Serahkan semuanya olehku!" atau hal lainnya yang serupa.

"Yah walaupun besok kau masih belum menyelesaikannya hingga besok, kita masih bisa untuk tetap pergi, selama tugasmu dapat terselesaikan meski membutuhkan beberapa hari lagi." Nick menjelaskan ketoleransian yang diberikan Pak Leone sebelumnya di sekolah.

"Yah mau bagaimana lagi, tiba tiba Alex langsung mempunyai ide ini, lagi pula ini terlalu mendadak, siapapun pasti akan terkejut dengan hal ini." Michiko mendengus melirik ke arah laki laki yang sedang dibicarakannya. Merubah titik pandang teman temannya langsung dan mengorbankan laki laki pirang itu.

"Yah, setidaknya kita akan mendapatkan waktu bersenang senang di tengah keseharian sekolah yang suntuk bukan?" Alex tersenyum bangga di tengah lirikan teman temannya.

"Jujur aku cukup terkejut ketika kau mengajak kami semua." Reina masuk dalam pembicaraan. Mengintip dari kursi depan. Kedua tangan menggenggam ke senderan punggung menjaga keseimbangan di dalam kereta.

"Begitupun denganku." Kemudian Ning melanjutkan. Hanya mengintip dari samping, tidak terlalu mengambil banyak perhatian seperti yang Reina lakukan.

"Rasanya cukup mendadak sekali." Niklas mengangkat suara dengan volume yang Pelan. Duduk bersampingan dengan Elena berduaan. Benar benar pasangan yang dingin, meski begitu mereka berdua tidak memiliki hubungan khusus. Itu dapat terjadi hanya memang tidak ada tempat lain bagi dirinya untuk duduk.

Disisi lain Elena hanya diam saja menyimak perbincangan teman teman sekelasnya.

"Apakah ada sebuah alasan karena telah tiba tiba mengajak kami melakukan itu?" Niklas melanjutkan diiringi dengan sebuah pertanyaan.

Seketika semuanya langsung menoleh lagi ke arah Alex. Seakan akan pertanyaan yang terlontar tersebut mewakilkan seluruh pertanyaan yang tersangkut dalam pikiran mereka.

"Yah ini karena Tenza." Menyebutkan nama seseorang yang tidak sedang berada di tempat ini. Semua pandangan yang mengarah pada sang ketua kelas tersebut berubah menjadi sebuah tanda tanya.

"Aku tidak mengerti." Nick berkata mewakili teman temannnya. Kemudian Alex berdeham. "Setidaknya tolong tunggu aku menyelesaikan perkataanku." Perempuan itu melipat kedua tangannya di atas perut. "Jadi?" Elena tiba tiba berbicara dengan Rasa penasaran yang disembunyikan.

"Apakah kalian tidak menyadarinya?" Alex tiba tiba membuka sesi jawab dengan pertanyaan. Memancing rasa penasaran yang sudah melunjak tinggi, yang berakhir membuat teman temannya merasa kesal terhadapnya.

"Kenapa tidak bisa langsung keintinya saja?" Michiko dengan tampang sinis mengatakan itu, tampaknya dia tidak sabar dengan jawaban yang harus di berikan Alex sekarang.

Alex tersenyum bangga. "Baiklah..baiklah..." Mengucapkannya cukup lantang demi menarik perhatian terhadap teman temannya.

Alex mengayunkan tangannya, memasang ekspresi sombong demi memancing emosi teman temannya. Entah apa yang merasukinya saat ini, mungkin karena jarang sekali dia berada di posisi itu. Benar benar waktu yang sangat membahagiakan, meski begitu semuanya harus segera di hentikan.

Alex menghela nafas panjang. "Apakah kalian semua tidak menyadarinya, kalau wajah Tenza selalu tampak seperti orang yang sedang tertekan?"

"Eh?" Semua orang mengatakan itu.

Memandang ke arah lainnya, seperti tak sadar akan opini yang baru saja diucapkan Alex. Memasang ekspresi kebingungan di tambah dengan perasaan meluasnya pandangan sang wawasan.

"Kukira memang wataknya yang sudah seperti itu."

"Mengingat tentang Chad, orang yang paling tidak ingin didekati itu... Aku rasa aku telah bersalah karena menganggap anak itu sama sepertinya."

Para perempuan mericuh dengan sendirinya, kecuali Elena yang hanya menyimak dengan damai. Nampaknya semua itu dapat di terima oleh mereka, dengan begitu beberapa waktu terlewati oleh gosipan gosipan mereka yang tampaknya terlalu mendramatisir perlakuan Tenza, langsung saja setelah itu mereka kembali menyimak ke arah Alex kembali.

Tanpa sadar sedari tadi kereta sudah bergerak melaju menuju pemberhentian selanjutnya.

"Yah intinya, aku ingin mengajaknya unuk merefresh isi kepalanya dan setelah itu, aku yakin dia akan terlihat lebih baik lagi." Alex mengepalkan tangan, menempelkannya ke pinggang dan membusungkan dada penuh kebanggaan. Sangat yakin dengan rencananya yang akan berjalan dengan lancar.

Tapi apakah akan semudah itu untuk menyelesaikan masalah ini? Nick memincingkan mata kian memikirkannya. Semua orang memiliki pandangannya masing masing terhadap anak itu.

***

"Haah panasnya..." Keluh Michiko di tengah terik matahari. Wajah yang memerah karena darah yang mendidih. Berjalan paling belakang di antara Mereka, di temani oleh Reina yang sekarang berada di sampingnya. Ikut merasa kepanasan dan memulai mengkipasi wajahnya dengan tangan.

"Padahal tadi di sekolah cuacanya masih berawan....Haaahh..."

Sedangkan di depan sana, selain Youra, ning dan Elena. Para laki laki tampaknya cukup kuat untuk menahan panas yang sudah keterlaluan ini. Tapi sebuah oasis berada di hadapannya. Sebentar lagi mereka semua sampai ke rumah, saat ini sudah berada di dalam perumahan, berjalan masuk dan sedang menuju ke persimpangan pertama.

"Yah kalau begitu, kita akan berpisah di sini." Alex berbalik dan berujar kepada Temannya. Berdiri di depan selayaknya pemimpin yang memandu para pengikut. "Ngomong ngomong Michiko kau jangan sampai lupa dengan PRmu, semuanya bergantung kepadamu." Youra sedikit berbalik mengingatkan kepadanya.

Tidak berucap, Michiko yang terpanggang hanya mengangkat tangan dan menunjukan ibu jarinya. Gadis itu memang tidak kuat dengan hawa panas. "Haaah.." Suara yang keluar dengan penuh keluh kesah terhadap panas. "Kalau begitu aku dan Michiko akan pulang duluan." Ucap Reina, berjalan melewati teman temannya dan langsung berbelok ke arah kanan menuju rumahnya.

Kalau begitu kami juga akan pergi." Ujar Elena. Berbalik meninggalkan mereka yang tersisa. Lalu Niklas dan Youra bergerak menyusul Elena dari belakang.

Punggung mereka semakin lama semakin kecil kian dimakan waktu. Berjalan semakin jauh dari pandangan Alex, tampak saling berbicara masing masing dengan teman di sebelahnya.

"Ehh..Kau tidak ikut pulang dengan mereka?" Alex bertanya penasaran. Memandang Nick yang terdiam berdiri di antara Alex dan ning. Seharusnya dia ikut pulang bersama Elena dan grombolan yang lainnya tadi.

"Ahh..itu." Gumamnya. Nick terlihat mendengus sedikit kesal dengan apa yang harus dia ucapkan sekarang.

"Pak Leone memintaku untuk mengajak Chad untuk ikut berlibur besok."

"Ahh..aku mengerti perasaanmu. Itu memang terdengar menjengkelkan, tapi aku tidak bisa protes terhadap permintaan Beliau." Timpal Alex. Ning mengangguk setuju dengan pendapatnya.

"Ngomong ngomong..." Michiko berkata. Reina yang berjalan di sebelah kirinya menanggapinya dengan gumaman kecil.

"Ini tentang ucapan Alex sebelumnya."

"Tentang perkataannya yang mengatakan bahwa Tenza sedang tertekan?" Reina menebak isi pikiran gadis itu. Dan tepat sasaran, Michiko menjawabnya dengan sebuah anggukan. Wajahnya menghadap ke atas. Sedikit bergumam mengingat suatu hal yang sudah terjadi sebelumnya.

"Sebenarnya aku sudah menyadarinya sejak awal."

"Ehh?.." Michiko memasang wajah kaget.

"Yah begitulah.." Ucapnya singkat sambil mengangguk. "Tapi kapan?" Michiko tanpa memberi jeda yang lama langsung bertanya. Menatap Reina dalam dalam atas keingintahuannya terhadap hal itu.

"Tapi tolong rahasiakan hal ini ke yang lainnya." Kepala Reina berputar ke arahnya. "Baiklah." Jawab Michiko menyetujui.

Reina mengulurkan jari kelingkingnya. Lalu tanpa berlama lama tangan Michiko menghampiri dan mengaitkan kelingking mereka bersamaan. Sebagai bentuk ikatan perjanjian yang mereka berdua sepakati.

Melepas ikatan jari kelingking dan menarik tangan mereka Dari sana.

"Ini terjadi tadi pagi..." Ucap gadis berambut coklat terang tersebut menghadap ke atas.

"..." Sedangkan Temannya yang berjalan di sebelahnya hanya menyimak. Beberapa saat terlihat wajah Reina tampak sedikit kebingungan.

"Saat pertama kali aku bertemu dengannya. Anak itu menangis."

"Hmpfft"

Michiko langsung menunduk dan menahan tawa mendengarnya. "Apa itu? Aneh sekali. Coba kau ceritakan bagaimana bisa terjadi." Mengangkat tangannya menutup mulut dengan jari telunjuk. Lalu kembali memposisikan penglihatannya ke arah Reina.

"Yah kau tahukan Rumah Tenza bersebelahan denganku." Reina berucap masih menghadap ke depan.

"Ya, dia sendiri yang mengatakannya." Tutur Michiko.

"Jadi saat berangkat sekolah, aku berpapasan di depan pagar rumahnya. Setelah itu aku menyapanya, tapi entah kenapa wajahnya langsung berubah menangis legah dan membalikan wajahnya." Jelas Reina dengan nada yang datar.

"Lalu?" Michiko penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. "Lalu...Kami berangkat bersama dan begitu saja." Lanjutnya.

"Begitu saja?" Wajahnya langsung berubah penuh kekecewaan. "Memangnya kenapa?" Reina melirik ke arahnya. Lalu Michiko berpaling kembali menghadap ke depan.

"Yah aku mengharapkan cerita yang lebih baik...Hanya itu saja."

"Di sini rumah Chad." Ucap Alex berdiri menghadap ke arah rumah dengan tembok Putih di hadapannya.

Di sebelahnya terdapat Nick tengah memandang juga ke arah rumah itu. Berdiri berdua di tengah terik panas. "Kau yakin?" Tanyanya karena ragu.

"Tentu saja, kau tahu? Aku sudah mencoba beberapa kali menyapa anak itu di tempat ini, tapi hasilnya selalu nihil." Keningnya mengkerut malang. Nick hanya melirik kecil melihat Alex. "Benar benar usaha yang sia sia." Lalu kembali menghadap ke arah rumah yang pintunya sedang tertutup itu.

Pintu depan di tutup, jendela yang terlihat di lantai satu dan lantai duapun juga tertutup, di tambah dengan gorden yang tertutup sehingga tidak bisa mengintip ke dalamnya. Tidak terdengar suara sedikitpun dari dalamnya. Baik itu suara langkah kaki, seseorang yang sedang berbicara, ataupun Televisi yang dihidupkan.

Tidak ada Ning di antara mereka, perempuan itu memutuskan untuk tidak ikut bersama kedua pria ini dan memilih langsung pulang ke rumahnya. Faktor lainnya adalah karena rumahnya lebih dekat dari rumah Chad, jadi dia tidak ingin pergi lebih jauh di atas matahari yang menyengat kulitnya ini untuk melakukan sesuatu yang sudah bisa di tebak hasilnya.

"Sepertinya tidak ada orang di dalam." Timpal Nick kemudian.

"Yah...eemm, mungkin ibunya sedang pergi berbelanja tapi...ahh aku rasa itu tidak mungkin." Alex menarik ucapannya. Tentu saja, setiap orang yang berhasil terpilih untuk belajar di negara Elikya ini, sudah di pastikan akan mendapatkan 1 pembantu yang akan mengurus dan merawat seisi rumah.

Dan biasanya pembantu tersebutlah yang mengurus masalah perbelanjaan bulanan.

Tapi kenapa tempat ini kosong? Alex sedang memikirkan alasannya. Nick tengah melangkah ke depan, mendekat ke arah Pagar hitam dan tanpa lebih memakan waktu dia menyentuh tombol bel di sebelahnya.

'Ting..nung..' Bunyi bell tersebut.

Sebenarnya Alex sudah tidak terlalu memperhatikan rumah Chad akhir akhir ini, apapun usahanya untuk mendekati anak itu selalu berakhir sia sia. Karena itu dia menghentikan kebiasaannya terhadap Chad dan mengabaikan orang itu.

Nick yang berada di sebelahnya menunggu jawaban dari bel yang baru saja ia tekan, menunggu j akan datang, setelah beberapa saat terlewati, tetap tidak ada jawaban dari dalam.

'Ting..nung..' Bunyi bell itu lagi, Nick menekannya sekali lagi.

"Sepertinya memang tidak ada orang di dalam." Alex justru menafas legah mendengarnya.

"Jujur ini terdengar egois, tapi aku sangat senang karena tidak ada yang mejawab panggilan bel itu. Nick sedikit memutar kepalanya dan menatap sinis ke arah temannya. "Sifatmu benar benar jelek Alex." Meski begitu dalam hatinya dia juga berkata demikian.

Alex hanya tersenyum kecut menjawabnya.

'Cklak..kriiet..'

Mendengar suara pintu terbuka mereka berdua langsung bergumam dan mengalihkan mata ke depan pintu putih di depan sana.

Tubuhnya tinggi dan berkulit hitam, mengenakan gaun berwarna kuning motif kotak kotak. Berjalan mendekati mereka berdua. Melangkah dengan aura yang berat.

Awalnya mereka mengira itu Chad, tapi ternyata tidak. Seorang perempuan berjalan mendekati mereka. Hanya melihat wajahnya saja, mereka semua langsung tahu identitas dari perempuan itu.

"Permisi." Ucap Alex sopan dan formal. Tersenyum kecil melakukan sebuah tatakrama yang sudah diajarkan kepadanya sejak kecil.

"Hm.." Wanita itu bergumam. Menyilangkan kedua tangannya ke atas perut. Menatap tajam dan risih terhadap kedatangan kedua anak itu. Mengintimidasi layaknya mengatakan kepada mereka untuk segera pergi dari sini.

"Apakah anda ibunya Chad?" Nick melanjutkan sapa formal dari Alex.

"Katakan saja mau kalian. Tidak perlu berlama lama dengan basa basi yang tidak berguna seperti itu." Ucap ketus perempuan tersebut.

Amarah Nick tibatiba menggejolak kala itu, tapi dia berhasil menahannya. Alhasil dia hanya menunjukan senyum hampa kepada perempuan berambut keriting panjang itu.

"Sebenarnya ada satu hal yang ingin kami sampaikan kepada Chad, apakah anda bisa memang..."

"Anak itu tidak ada di sini. Cih yang benar saja, sudah bagus dia berhasil diterima ke sekolah ini, kelakuan anak itu malah semakin menjadi menjadi saja.."

Alex ingin menggantikan Nick untuk menjelaskan situasinya, tapi belum menyelesaikan perkataannya, perempuan berkulit hitam tersebut lagi lagi langsung memotong ucapannya dan bergumam kesal atas sesuatu yang tidak menjadi kesalahan mereka.

Perempuan itu berbalik.

"Kalian pergi saja dari sini. Tidak ada gunanya untuk menunggu anak itu pulang."

Melangkah dan kembali masuk ke dalam rumahnya. Alex sedikit memiringkan wajahnya, mengangkat kedua tangannya membentuk seperti sebuah corong.

"Jika dia kembali, tolong katakan bahwa kami mengajaknya untuk pergi bersama berlibur ke ETP, untuk waktunya, kami belum menentukannya, jadi kami akan memberi tahunya nanti." Sedikit mengeraskan suaranya dan berucap kepada perempuan itu dari belakang.

Dia masih melangkah dan masuk ke dalam rumahnya. Melirik tajam kepada mereka dengan tatapan yang dapat menyayat tubuh.

"Hmp..Terserah kalian."

'Kriet...Brak!'

Tangannya memegang ujung pintu langsung menutupnya dengan sangat keras. Reflek mereka berdua mengedipkan mata kala itu. Kedua tangan Alex turun, membatu seketika mencoba untuk merespon tindakan apa yang seharusnya mereka lakukan.

"Sepertinya sifat Chad sudah menjadi turunan dari perempuan itu yah." Bisiknya bercanda, tersenyum suram, kakinya bergetar karena mentalnya yang terguncang.

"Entahlah.."

Sedangkan Nick hanya menatap ke arah rumah tersebut, menekuk alisnya dan menatap sebuah kejanggalan besar di hadapannya.