"Ehm.. Aku mau pulang, pakai seatbeltmu!" Perintah Ryan pada Kira. Ryan sendiri sudah merubah fokus pandangannya ke depan.
"Apa yang dilakukannya? Dia sudah reda marahnya, bukan?" Kira kebingungan, walaupun tak diucapkan oleh Kira. Tapi tetap, Kira memakai seatbeltnya dan duduk menghadap lurus ke jalan.
Mobil melaju cukup cepat. Tak ada perkataan yang keluar dari bibir keduanya. Mereka hanya saling diam.
"Kenapa dia diam saja? Apa dia pikir aku patung yang tak bisa di ajak ngobrol?" Ryan
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengajaknya ngobrol? Huff.. Enggaklah, bisa bisa aku di caci maki seperti tadi. Apa dia bilang? Aku bodoh, idiot, menyebalkan? Hah.. Memang dia merasa pintar, hebat dan menyenangkan, begitu?" Kira
"Apa dia ga bisa pakai otaknya? Apa sih maunya? Kenapa tak mencoba bicara dan mencairkan suasana? Buat apa tadi dia mengejarku kalau sekarang dia hanya ingin diam seperti ini?" Ryan
"Hufff.. Kenapa aku ini.. Kenapa aku harus satu mobil dengan gunung es seperti ini? Harusnya aku bersyukur dia menjauh dariku kemarin.. Kalau sudah begini, kan hanya merepotkanku saja! Sekarang kami bersama tapi, manusia ini sangat menyebalkan.. Bodoh bodoh bodoh.. Arghhh...kenapa aku harus menyukainyaaaaaa" Kira
"Lihat, dia bahkan masih saja tak ingin bicara. Apa dia ingin menyulut emosiku?" Ryan
"Owh.. Sampai kapan kami harus diam-diaman seperti ini? Aku harus bagaimana iniiiii.. Arghhh sungguh melelahkan.." Kira.
"Apa yang dilakukannya sih, kenapa hanya menengok ke kaca samping? Apa trotoar lebih menarik dari pada bicara dan menatap wajahku?" Ryan
"Haduuuh.. Apa dia mulai marah lagi, ya? Kenapa dia cuekin aku begini.. Aku ingin bersamanya tapi aku ga ingin kalau diem-dieman begini." Kira.
"Arghhhh.. Wanita ini.. Benar-benar membuat kesabaranku habis! Apa dia ga tahu. Demi dia, aku yang sudah sepuluh tahun lebih tak pernah membawa mobil sendiri seperti ini, rela menyetir hanya untuk berdua dengannya dan memberikan suasana romantis. Apa dia ga bisa mikir?" Ryan.
"Aaaakh.. Apa ga lebih baik aku mendengar makiannya aja daripada di cuekin seperti ini? Owhhhh.. Bahkan satu detik berasa seperti satu jam! Berat sekali aku harus bernapas dalam mobil hanya dengannya yang bersifat dingin!" Kira
Begitulah mereka, diam seribu bahasa, tak ada kata yang keluar satu sama lain tapi pikiran mereka berdua sibuk berspekulasi tentang apa yang dipikirkan satu sama lain.
"Kruuuuuk kruuuuk kruuuuk."
"Sshhhh.. Memalukan, kenapa perutku berbunyi disaat seperti ini?" Kira memegenag perutnya yang merintih untuk di isi. Dia makan lontong sayur saja tadi pagi, biasanya dengan makan cuma sekali, Kira bisa tahan seharian. Tapi karena aktivitasnya hari ini sangat banyak. Sehingga rasa lapar sudah mengganggunya
"Kau lapar?" tentu saja Ryan bertanya seperti ini. Karena mobil ini hening, suara perut Kira sangat nyaring terdengar di dalam sini.
"Maafkan aku.." jawab Kira pelan.
"Bodoh! Kau tahu apa pertanyaanku?"
"Maafkan aku.." Kira mengulanginya.
Ciiiit
Ryan mengerem dan menghentikan mobil.
Ryan menatap Kira.
"Apa kau benar-benar bodoh?"
Kira diam
"Mau apa lagi, dia?" jantung Kira sudah memasang ritme agak tinggi.
"Ulangi pertanyaanku padamu!" Ryan menatap Kira dengan jari tangannya sudah memegang dagu Kira.
"Kau lapar?" Kira menjawab pelan, sedikit khawatir kalau perkataannya salah.
"Apa yang harus kau jawab untuk pertanyaan seperti itu?" mata elang Ryan terlihat memancarkan aura predator yang mengerikan
"Aku lapar?" tanya Kira.
"Kau... Perutmu tadi bunyi.. Itu petanda apa?" Sungguh Ryan sedang menguji kesabarannya sendiri
"perutku lapar." Jawab Kira, yang mengerti maksud pertanyaan dan jawaban yang diinginkan Ryan.
"Jadi kau harusnya menjawab apa?" Ryan masih belum melepaskan cengkraman jarinya di dagu Kira.
"Iya, Aku lapar." Jawab Kira cepat.
"Begitu kau menjawab pertanyaan padaku? Kau anggap aku apa, hah?" Ryan belum puas dengan jawaban Kira.
"Iya, Aku lapar, suamiku.."
Ryan melepaskan cengkraman tangannya dari dagu Kira. Kembali tangannya memegang kemudi stir.
"Hah, apa susahnya dia menjawab seperti itu? Aku bahkan harus memakinya dulu untuk membuatnya menjawab dengan benar! Bodoh!" Ryan sudah kesal dengan Kira, tapi hatinya tak bisa bohong, dia hampir gila menahan diri untuk bertemu dengan Kira.
"Haaaah.. Apa susahnya sih, dia bilang ke aku kalau dia mau aku jawab kaya gitu.. Ga usah bentak-bentak dan maki-maki aku seperti tadi.. Hufff... Dasar gila! Arghhh.. Kenapa aku harus hidup dengan orang gila sepertinya? Arghhhhhh..." Kira mengumpat Ryan kembali. Tentunya sudah bisa ditebak. Hanya dilakukannya dalam pikirannya tak mungkin Kira punya nyali untuk memaki Ryan secara langsung.
"Kau mau makan apa?"
"Fuuuh... Apa aku merendahkan diriku sendiri dengan bertanya seperti ini?" Ryan panik.
"Apa tadi dia bilang? Dia tanya aku mau makan apa?" Kira tak langsung menjawab, dia hanya memandangi wajah Ryan yang sedang menyetir.
"Apa kau tuli?"
"Maafkan aku.."
"Jawab pertanyaanku!"
"Pertanyaanmu tadi.."
"Jangan bilang kau tak mendengarnya! Aku tak akan mengulangi pertanyaanku dua kali, apa kau mengerti? Jawab sekarang juga!" Ryan mulai kesal sekaligus malu. Dia menjadi sedikit marah untuk menutupi rasa malunya.
"Aku ikut saja.. Pilihlah makanan kesukaanmu.. "
"Hah, terserah kaulah.. Mau makan apa juga, nanti kalau aku pilih tempatnya, kau marah atau ada kejadian seperti kemarin! Aku.. Ga mau kau meninggalkanku lagi.. Sebaiknya kau pilihlah tempat yang kau suka!" Kira bergumam dan sudah pasrah. Dirinya hanya ingin kedamaian sekarang.
"Apa katamu tadi? Kau yang lapar, aku yang harus memilih makanan kesukaanku? Kau.. Apa memang otakmu tak bisa dipakai berpikir?"
"Hmm.. Maafkan aku.. Baiklah, aku pilih tempatnya"
"Aku tak ingin makan di pinggir jalan! Aku ingin privacy, tempat makan tertutup tanpa ada gangguan lalu lalang, chef berpengalaman, yang memasak dengan teknik yang baik dan kualitas bahan makanan terbaik, aku ingin makan dengan jaminan kepuasan pelanggan berdasarkan sertifikasi ISO 9001! Apa kau paham?"
"Hey.. Hey.. Mana aku tahu tempat makan yang seperti itu? Kenapa tak kau cari sendiri tempat seperti itu? Standarku dalam memilih makanan hanya enak di lidah dan bisa di makan, itu saja!" Kira sudsh menjerit dalam sanubarinya mendengar permintaan tempat makan seperti itu dari Ryan.
"Kau dengar tidak tadi kata-kataku?" Ryan kembali berteriak ke Kira.
"Aku dengar.. Tapi aku ga tau dimana cari tempat makan seperti itu." Kira memilih jujur pada Ryan.
"Kau.. Bisa ga sih sehari ga menyusahkanku? Bahkan untuk makan saja kau tak tahu dimana tempat yang kau inginkan?" Ryan melirik Kira.
Ciiitt
Ryan kembali menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kenapa tadi kau mengejar mobilku, hah?"
"Aku.." Kira sungguh belum ada persiapan untuk ini.
"Katakan padaku, kenapa kau mengejar mobilku? Kenapa harus berlari sejauh itu mengejarku? Apa kau pikir fisikmu sudah sehat, dan bisa berlari seperti itu? Apa kau pikir kau adalah wonder woman?" Ryan dengan telunjuk tangan kanannya sudah kembali menuding-nuding jidat Kira.
Kira tak menjawab apapun, hanya matanya kembali berair.
"Jawab aku! Jawab dengan jujur, atau kesabaranku akan habis kepada ayahmu!"
"Aku ingin bertemu denganmu!" Kira sudah terisak menangis sekarang.
"Kau ingin bertemu denganku? Kenapa kau ingin bertemu denganku? Membuatku susah dengan kebodohanmu seperti ini? Jawab aku!" wajah Ryan sudah sangat frustasi menunggu jawaban Kira.