Nyonya Maina sedang duduk di depan jendela kamarnya. Kepalanya menunduk memandangi peralatan menyulam di kedua tangannya.
Sejak satu jam yang lalu wanita itu sedang sibuk menyulam. Karena ketekunannya selama ini, sulamannya yang semula buruk dan tidak jelas benda apa yang sedang disulamnya, menjadi semakin baik dan semakin indah.
Tapi sudah lama sulaman di kain itu tidak bertambah, jarum yang dia pegang di tangan kanannya juga tidak bergerak. Meskipun kepalanya menunduk, sebenarnya dia tidak sedang memandang sulaman itu. Pikirannya berada di tempat lain, dia sedang melamun.
Sejak mendengar apa yang dikatakan suaminya tadi siang, Guru Maina menjadi gelisah dan terlalu banyak berpikir. Di satu sisi dia sebenarnya sudah menebak bahwa hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi di sisi lain hatinya sama sekali tidak bisa merelakan nya. Dia bingung.
Suara ketukan di pintu mengembalikannya ke dunia nyata. Wanita itu sedikit terkejut, tapi dia segera dapat menguasai diri. Setelah menghilangkan keterkejutan nya Maina berteriak "Siapa di situ? "
"Ini aku, Biru." jawab gadis itu dari luar. "Bolehkah aku masuk? "
"Masuklah! "
Biru membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Matanya menyapu seluruh sudut kamar, di sebelah kanan ruangan dia menemukan sosok wanita itu sedang duduk di samping jendela. Pada saat itu Biru melihat gurunya meletakkan peralatan menyulam di atas meja.
Guru Maina mengangkat kepalanya dan menyambut kedatangan gadis itu dengan senyuman. Meskipun senyuman wanita itu masih sehangat biasanya, namun entah mengapa Biru merasa ada yang berbeda dengan senyuman yang dilihatnya saat ini.
Biru berjalan mendekat "Guru sedang menyulam ya?! aku tidak mengganggu kan? "
"Tentu saja tidak. Kemarilah, duduklah di sini. " wanita itu menunjuk kursi di depannya.
Sambil duduk Biru melirik sulaman di hadapannya "Wah.. sulaman Guru semakin lama semakin indah ya"
Sambil tertawa kecil wanita itu berkata "Kenapa, apa kau ingin belajar menyulam? "
Mendengar hal itu Biru mengerutkan alisnya.
"Tidak, tidak. Aku mana cocok belajar menyulam, lebih baik aku belajar mengayunkan pedang saja.."
Biru masih ingat dulu saat dirinya belajar menyulam untuk dia hadiahkan kepada Pangeran kedua. Satu helai bunga belum selesai dia sulam saat itu, tapi tangannya sudah tujuh kali tertusuk oleh jarum. Akhirnya dia menyerah dan melemparkan peralatan menyulam nya ke tempat sampah.
Guru Maina merasa geli melihat kepanikan gadis itu. Dirinya tahu kalau Biru tidak berbakat untuk menyulam, pada dasarnya gadis itu memang tidak betah bila disuruh duduk diam, karena dia adalah gadis yang aktif.
Sebagai seorang wanita dirinya juga terlambat mempelajari keterampilan ini, karena sejak kecil dia lebih tertarik pada bidang pengobatan. Tapi berbeda dengan Biru yang tomboy, Maina lebih sabar saat dia belajar tentang kerajinan tangan ini.
"Kalau begitu kenapa kau datang kesini? tidak mungkin kan kau cuma datang untuk menemaniku mengobrol? "
Biru mengerutkan bibirnya "Guru, bukankah aku sering menemanimu mengobrol? Dari ucapanmu aku jadi terdengar seperti orang yang cuma datang pada saat membutuhkan sesuatu!! "
"Benarkah, kenapa aku tidak ingat ya? "
"Guru... "
Wanita itu tertawa sebentar "Baiklah, baiklah, aku cuma menggodamu. Jadi katakan ada apa kau datang hari ini? "
Biru mengeluarkan kotak yang dia sembunyikan dibalik bajunya. Biru meletakkan kotak berwarna merah itu ke hadapan Guru Maina.
"Aku ingin menyerahkan ini"
Wanita di samping jendela itu memandang kotak di tangan Biru lalu perlahan mengambilnya.
"Apa ini? "
"Hadiah untuk Guru"
Wanita itu membuka tutup kotak dan mengintip isinya. Begitu melihat apa yang berada di dalam kotak itu dia sangat terkejut.
Sebuah gelang berhias zamrud tergeletak di dalam kotak itu, dan di sampingnya masih ada sepasang anting yang cantik.
Guru Maina kehabisan kata-kata saat melihatnya. Seumur hidupnya belum pernah dia melihat perhiasan yang begitu cantik.
"....Cantik sekali"
"Apa Guru menyukainya? " tanya Biru.
"Kenapa kau memberikannya padaku? " wanita itu terlihat bingung.
Biru mengambil gelang hijau itu lalu memakaikannya di tangan Maina. "Aku ingat saat aku kecil, aku tidak sengaja mematahkan gelang giok Guru. Aku benar-benar menyesal saat itu. Anggap saja gelang ini sebagai ganti gelang yang sudah aku patahkan. "
"Lihatlah, gelang ini sangat cocok di tangan Guru" Biru tersenyum senang.
"Siapa yang menyuruhmu untuk menggantinya? itu adalah gelang tua dan tidak berharga, mana mungkin bisa dibandingkan dengan gelang indah ini.. "
Biru tidak menjawab, sebaliknya dia malah mengambil sepasang anting di dalam kotak.
"Coba Guru lihat anting ini. Saat pergi ke pesta atau undangan perjamuan, Guru bisa memakai ini, Guru pasti akan terlihat lebih cantik lagi. Nyonya bangsawan yang sombong itu tidak akan bisa meremehkanmu lagi" Biru tertawa.
"Sebenarnya aku ingin memberikannya di hari ulang tahun pernikahan kalian, tapi sepertinya aku tidak bisa ada di sini pada hari itu, jadi aku harus memberikannya sekarang" Biru menatap mata wanita di hadapannya.
Maina merasakan sakit di dadanya. rasa sedih yang tadi sempat dia lupakan kini kembali lagi. Dirinya tahu apa yang akan dikatakan oleh gadis itu.
"Guru, aku sudah memikirkannya. Aku pikir aku harus mencari pengalaman yang lebih banyak di luar sana, aku rasa bisa belajar lebih banyak bila pergi ke Ibukota. karena itu aku putuskan untuk menerima tawaran dari Pangeran kedua. "
Untuk sesaat hanya ada keheningan di sekitar mereka. Tak ada satupun yang berbicara. Melihat tatapan sedih wanita itu Biru jadi merasa bersalah di dalam hatinya.
Apakah gurunya marah? apakah gurunya kecewa padanya?. Jangan-jangan setelah ini dia tidak mau melihatnya lagi.