Rudd menutupi mulutnya dengan tangan, menahan rasa mual di perutnya. Keringat bermunculan dan menetes ke pipinya.
Rudd berada di antara dua pilihan. Dia harus lari dari kedai ini sekarang juga, atau tetap di sini dan menghadapi rasa takutnya.
Sebenarnya di dalam hatinya, Rudd juga merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Biru benar. Cepat atau lambat trauma yang dia miliki pasti akan menjadi masalah besar untuknya.
Tidak ada seorang pun yang ingin punya musuh, tapi sebagai satu-satunya ahli waris dari Perguruan Elang Putih, selalu ada saja orang yang merasa iri padanya.
Selama ini dia tidak pernah berpikir untuk berusaha mengatasinya, baginya tidak akan menjadi masalah selama dia tidak melihat ikan di atas meja makan.
Kedua orang tuanya pun juga tak pernah memaksanya. Selama di hadapan putranya mereka tidak pernah menghidangkan ikan, setidaknya dalam bentuk utuh.
Nyonya Maina biasanya menghidangkan ikan dalam bentuk sup, atau dalam bentuk yang sudah dihancurkan. Rudd tidak merasa keberatan memakan ikan dalam bentuk seperti itu karena sudah tidak ada durinya.
Biru memperhatikan saudaranya yang masih diam saja. Yang dia lakukan hanyalah memelototi daging ikan di atas piringnya, seolah daging itu baru saja mencuri uangnya.
"Berhenti menatapnya, kalau tidak piring itu bisa meledak".
"Ayo makan" Biru mendesak.
Rudd menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Bagaimana kalau masih ada duri di dalamnya?".
" Tidak ada, aku sudah memeriksanya".
Rudd berganti memelototi Biru. "Aku tidak percaya padamu, bisa saja kau membohongiku karena mau membalasku".
Biru meletakkan garpunya dengan keras di atas meja. Dengan tangan kosong dia menyobek daging itu kecil-kecil.
" Lihat tidak ada kan?!".
"Tidak. Mungkin durinya itu sangat kecil jadi tidak kelihatan".
Biru menghela nafas, menyaksikan saudaranya yang sifatnya persis seperti anak kecil. 'Memangnya duri sekecil itu bisa membunuhmu?'.
"Sudah ku bilang tidak ada. Kalau kau tidak percaya, coba periksa saja sendiri".
Rudd mengulurkan tangannya memeriksa daging ikan itu. Beberapa saat kemudian dia meletakkan daging yang sudah tak berbentuk itu kembali di atas piring.
Biru meliriknya. "Kok di taruh lagi, ayo makan"
"Tidak mau, itu sudah kotor terkena tanganmu".
" Ck hadeh, tanganku bersih. Aku sudah mencucinya tadi. Tanganmu tuh yang kotor, pasti tadi kau belum mencucinya".
Rudd memperhatikan kedua tangannya. "Hehe, iya kau benar, aku belum mencuci tanganku tadi. Jadi daging ini kotor".
Biru menyipitkan mata melihat pemuda di hadapannya, lama-lama dia merasa sedikit kesal.
'Ada-ada saja'.
Biru mengambil daging ikan yang baru, lalu kembali meletakkannya di atas piring di depan Rudd.
"Sekarang makan itu!" kali ini Biru berbicara dengan nada memerintah.
Rudd memandang Biru dengan wajah memelas, bahkan kelihatan seperti hampir menangis. Tapi taktiknya itu tidak mempan untuk Biru. Seumur hidup gadis itu, sudah sering kali dia melihat siasat seperti itu.
'Bagaimana bisa begini?, aku hanya ingin sedikit mengerjai Biru di hari ulang tahunnya. Kenapa sekarang malah berubah jadi seperti aku yang sedang di kerjai?'
Dengan tangan gemetar pemuda malang itu mengambil daging ikan. Setelah beberapa kali merasa ragu antara memakannya atau membuangnya, akhirnya dia putuskan untuk memasukkan daging itu ke mulutnya.
Rudd memasukkan ikan ke mulutnya lalu mengunyahnya, mengunyah, dan hanya mengunyah.
Biru memperhatikan saudaranya yang tak kunjung menelan apa yang di makannya.
Telapak tangannya dia pukulkan ke atas meja "Telan, cepat".
Akhirnya Rudd menelan apa yang di kunyahnya karena terkejut.
" Tidak apa-apa kan?, lihat kau masih baik-baik saja".
Rudd terdiam cukup lama, seolah memastikan apakah dia akan mati pada detik berikutnya atau tidak.
Pemuda itu tersenyum. "Iya aku baik-baik saja".
Tapi tiba-tiba Rudd menutupi mulutnya.
" Tapi aku merasa mual" Rudd segera melarikan diri ke kamar mandi untuk muntah.
Biru tertawa kecil melihat apa yang sudah terjadi.
Tidak masalah. Ini adalah sebuah awalan yang bagus. Tidak perlu terburu-buru untuk melihat Rudd sembuh, semuanya pasti butuh waktu.
Biru yakin setelah ini Rudd pasti tidak akan menyerah dalam menghadapi ketakutannya. Seiring berjalannya waktu, saudaranya pasti akan semakin membaik. Setelah menggelengkan kepalanya, Biru kembali melanjutkan makan.
Biru melihat ikan bakar di hadapannya yang masih tersisa banyak.
"Harusnya tadi aku pesan ikan yang kecil saja. Apa aku bisa menghabiskannya?" Biru memasukkan daging ikan ke mulutnya.
Gadis itu tersenyum "Aku bisa. Ikan ini rasanya enak sekali". Dia terus makan " Lagi pula aku tidak perlu berdiet untuk siapa pun lagi".
Sambil makan Biru menoleh ke meja yang lainnya, teman-temannya masih bersenang-senang dengan makan makanan lezat dan meminum teh dingin. Suara canda dan tawa selalu terdengar setiap saat.
Gadis itu duduk di meja samping jandela, ini adalah tempat duduk favorit Biru setiap kali dia datang ke kedai Willow. Sambil makan dia bisa melihat keadaan jalan, memperhatikan orang yang sedang lalu-lalang.
Ketika sedang menoleh ke arah yang lain dari jendela, Biru melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
Setelah memanggil pelayan, dan berpesan agar jangan membereskan meja dulu sebelum dia kembali, Biru berdiri dari kursinya.
Melihat Biru yang beranjak dari kursinya salah satu teman yang duduk di meja terdekat menegur.
"Kau mau kemana?, bukankah kita baru mulai makan?".
Harol yang duduk tak jauh dari sana menghampiri Biru.
" Kau mau kemana Bos, kau bukannya mau meninggalkan kami kan?" dia berbicara dengan mulut yang penuh dengan daging ayam.
"Hei, kau tidak bermaksud kabur meninggalkan kami karena tidak mau membayarkan?" kata pemuda di sebelahnya.
Seorang pemuda bernama Theo menoleh saat dia baru saja minum. Teh dingin yang ada di mulutnya menyembur di tubuh teman yang ada di sebelahnya.
"Sial. Apa yang kau lakukan??, menjijikkan sekali"
"Maaf, maaf, aku hanya terkejut. Bagaimana kalau Biru meninggalkan kita disini dan menyuruh kita membayar sendiri makanan yang kita pesan?. Sial, aku sudah terlanjur memakan daging panggang yang mahal" Theo menepuk kepalanya sendiri.
"Kau tidak akan melakukan itu kan?, kau kan sudah berjanji mau mentraktir kami" Doti yang tadinya duduk di sudut datang nenghampiri.
Biru yang baru saja berdiri merasa kesal karena di tuduh seperti itu. Tapi di satu sisi dia juga merasa ketakutan mereka itu beralasan.
Sebagai seorang murid yang sedang sedang menempuh pendidikan, dan juga jauh dari keluarga, mereka pasti akan lebih memilih berhemat dan jarang makan makanan mewah.
Begitu mereka tahu bahwa ada yang akan mentraktir mereka, mereka pasti akan langsung memilih makanan lezat yang tak bisa mereka nikmati di hari biasa.
Mereka hanyalah para murid, mereka pasti bingung kalau tiba-tiba di suruh membayar tagihan dalam jumlah besar. Karena memikirkan hal itu akhirnya Biru tidak jadi marah dan malah memaklumi mereka.