Ternyata tidak butuh waktu yang lama bagi Harol, Toni dan Dodo untuk menyeret dan memaksa Rudd mengikuti mereka ke kedai Willow.
Biru bahkan belum sempat menghabiskan makanan di piringnya, orang-orang itu sudah sampai.
Suasana kedai yang semula tenang dan damai, seketika menjadi gaduh begitu kedatangan murid-murid Elang Putih.
Emran si pemilik kedai, yang tadinya sedang menyelesaikan pekerjaan di dalam ruangannya, pun akhirnya bergegas keluar untuk melihat keadaan. Dia sangat hawatir, kalau-kalau kedai kesayangannya tiba-tiba di datangi sekelompok pengacau.
Terkadang, kedai Willow juga suka di datangi oleh orang-orang mirip preman, yang suka minta makan tapi tak mau membayar. Sering juga rumah makan mereka di kunjungi para pemabuk yang suka membuat keributan, padahal saat itu masih tengah hari yang terik.
Itulah hari-hari sulit yang sering mereka hadapi.
"Ini dia Bos, orang yang tadi kau minta untuk di ajak kesini" Harol dengan bangga menghadirkan Rudd di depan Biru.
Rudd yang tadinya sedang kebingungan, melihat saudaranya yang sedang makan dengan santai.
Biru menghentikan makannya, di raihnya gelas di depannya lalu minum. Beberapa detik kemudian dia menghapus sisa air di bibirnya dengan saputangan putih di atas meja.
Tiba-tiba Rudd merasakan dingin di sekujur tulang punggungnya, begitu dia melihat Biru menyeringai padanya.
Rudd menelan ludah. Tiba-tiba dia merasa seperti terpidana yang sedang menunggu hukuman mati.
'Jadi Biru yang menyuruhku untuk datang kemari?!'
"Selamat siang Ka~kak" Biru menyangga pipi dengan tangan kirinya. Matanya sedikit menyipit, dan bibirnya tersenyum.
'Jangan tersenyum kumohon. Aku jadi takut'
"Kenapa berdiri seperti itu, duduklah".
" Hei Biru, kami sudah mengajak senior ke sini, sekarang kami boleh pesan apa saja kan?" tanya Dodo.
"Tentu saja kalian semua boleh pesan, pesan apa saja yang kalian mau. Kecuali alkohol. Mengerti?" Biru lebih menekankan nama alkohol.
"Mengerti!!" kata anak-anak itu nyaris serempak.
"Jangan hawatir saudaraku, kami juga membenci alkohol" jawab Harol tanpa ragu.
Sorak sorai dan suara tawa riang langsung terdengar, dan memenuhi ruangan kedai willow di lantai kedua. Semua orang terlihat sangat senang tanpa terkecuali.
Emran yang mengetahui, kalau ternyata para pemuda yang datang adalah teman-temannya Biru tak kalah senang. Dia segera datang menyambut mereka, tak lupa dia juga memanggil beberapa pelayan wanita.
"Ternyata teman-teman Tuan muda sudah datang. Silahkan, silahkan duduk di mana saja kalian suka. Pesanan kalian pasti akan segera datang".
Disaat yang lain sedang senang makan besar, Rudd sedang tegang duduk di depan saudarinya.
Kalau saja dia tahu kalau dia dibawa kesini atas permintaan Biru, dia pasti akan mencari seribu cara untuk coba menghindarinya.
Rudd mengetahui, kalau saudarinya tidak menyukai pesta yang ramai untuk merayakan hari ulang tahunnya. Tapi untuk membuatnya sibuk seharian ini, dia sengaja membuat anak-anak ini meminta untuk di traktir makan.
Rudd tidak menyangka kalau dia akan terjebak dengan rencananya sendiri.
"Kau marah padaku ya?"
"Tidak, siapa bilang aku sedang marah?! Tidak baik marah di hari ulang tahunku".
'Tapi kenapa aku merasakan hawa membunuh padamu?'
Rudd tertawa kecil. " Ayolah. Setiap tahun kau selalu merayakan hari ulang tahunmu sendirian, setidaknya aku ingin tahun ini menjadi lebih berkesan untukmu" tangan Rudd mencubit pipi Biru.
Mata Biru menyipit tidak senang. Dia ingin menggigit tangan itu sampai putus.
"Haahhhh..." Biru menghela nafas panjang.
"Sudahlah, ayo makan dulu" kata Biru.
Setelah itu Biru berteriak memanggil pelayan.
"Pelayan, bawakan ikan bakar. Yang besar"
Rudd terkejut. Dia tidak menyangka kalau Biru akan memesan menu ikan.
Rudd punya trauma terhadap ikan. Saat dia kecil Rudd sangat menyukai ikan, terutama ikan bakar. Pada suatu hari ketika mereka sedang makan bersama, ibunya Rudd membuatkan ikan bakar kesukaannya.
Karena terlalu bersemangat, tanpa sengaja Rudd menelan duri ikan. Duri ikan itu menyangkut di tenggorokan anak itu selama seharian.
Meskipun akhirnya duri ikan itu berhasil di keluarkan dari tenggorokan Rudd kecil, tapi rasa sakitnya bertahan selama dua hari. Kejadian itu meninggalkan rasa takut pada hati Rudd.
Sejak saat itu Rudd menjadi benci pada ikan. Setiap kali dia melihat menu ikan, terutama ikan bakar, dia jadi mengingat kejadian menyakitkan yang pernah dia alami saat kecil.
Meskipun seiring bertambahnya usia, trauma yang di alaminya sudah semakin berkurang, tapi Rudd masih menghindari menu ikan utuh seperti ikan bakar.
"Hei kenapa kau memesan ikan bakar?, ku kira kau sudah memaafkan aku" kata Rudd panik.
"Aku memang sudah memaafkanmu. Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Ini untukmu, agar kau bisa menyembuhkan rasa traumamu pada ikan"
Biru menatap mata saudaranya itu.
"Dengarkan aku. Suatu hari nanti kau akan menjadi pemimpin selanjutnya dari perguruan Elang Putih. Kau tidak boleh terlihat punya kelemahan. Kau tidak mau kan traumamu itu menjadi batu penghalang terbesarmu?"
Niat Biru memang tulus. Dia tidak memesan menu ikan bakar untuk membalas dendam, tapi murni ingin membantu Rudd mengatasi ketakutan terbesarnya, seperti apa yang dia bilang sebelumnya.
Biru masih ingat di masa lalu, mereka berdua masih sering bertukar kabar melalui surat. Di dalam suratnya itu Rudd sering mengeluhkan trauma masa kecilnya.
Sebagai pemimpin Perguruan Elang Putih yang terdohor, Rudd sering kali harus menghadiri acara jamuan makan besar yang diadakan. Entah karena disengaja atau tidak, di setiap perjamuan yang dia hadiri selalu menjadikan ikan bakar sebagai hidangan utamanya.
Di dalam surat Rudd mengatakan merasa menyesal, karena selama ini telah mengabaikan rasa traumanya. Kalau saja dia tahu akan seperti itu, dia pasti akan berusaha menghilangkan rasa takutnya sejak awal. Setidaknya dia pasti akan berlatih agar tidak merasa ketakutan di hadapan makanan itu.
Itu sebabnya Biru memesankan menu ikan bakar untuk Rudd saat ini. Biru ingin saudaranya itu mulai berlatih dari sekarang.
Beberapa saat kemudian ikan bakar sebesar dua telapak tangan orang dewasa di hidangkan di hadapan mereka.
Rudd memegangi dadanya yang seperti mau meledak. Dia sering kali harus memalingkan muka. Bahkan mencium aromanya saja membuatnya merasa mual.
"Kak, sekarang kau sudah besar. Kau harus bisa menghadapi rasa takutmu"
"Lihatlah ini, ikan ini hanyalah benda mati. Dia tidak bisa bergerak dan tidak akan bisa menyakitimu".
Biru mengambil daging ikan bakar di hadapannya, lalu memakannya.
" Hmm.. ikan ini rasanya lembut dan segar"
Biru mengambil sedikit lagi daging ikan lalu meletakkannya di piring Rudd.
"Cobalah. Aku sudah memeriksanya sendiri, tidak ada duri di dalamnya" Biru coba membujuk.
Pemuda itu hanya memandangi daging ikan di piringnya dan tidak menyentuhnya sama sekali.