Hari ini Biru mengambil banyak sekali permata dari dalam gua. Biru meletakkannya di dalam kantong berlapis, agar aman. Biru ingin membawanya ke tempat persembunyian yang sudah dia persiapkan.
Biru sedang dalam perjalanan kembali, saat dia tiba-tiba melihat seorang wanita sedang berjongkok di antara semak, sedang mencari sesuatu.
Tangan kanannya membawa cangkul kecil untuk menggali akar, sedangkan tangan kirinya sibuk menyibak tanaman dan rumput liar. Ketika menemukan tanaman yang di carinya, wanita itu akan segera mencabutnya, tapi karena akarnya terlalu kuat dia terpaksa memotong batangnya dengan pisau kecil di keranjangnya.
Biru terlihat sangat penasaran dengan apa yang sedang di lakukan wanita itu.
"Apa yang sedang kau lakukan Bibi?" tanya Biru saat mendekat.
Wanita itu mendongak dari balik semak-semak, beberapa tetes peluh menetes dari keningnya.
"Aku sedang mencari tanaman obat. Putraku sedang demam tinggi hari ini, obat ini untuk dia" jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Kenapa tidak membawanya ke dokter?"
"Biaya dokter sekarang mahal, kami tak ada uang" jawab wanita itu, tampak kesedihan dari raut wajahnya.
Biru mengenal wanita itu, namanya Emy. Dia tinggal tak jauh dari pasar tempat dia biasa bekerja. Suaminya membantu berjualan di pasar sebagai penjaga toko, sedangkan wanita itu mengerjakan pekerjaan apa saja yang bisa di lakukan, sambil menjaga anaknya yang berusia beberapa tahun.
Di masa lalu dia juga melakukan hal ini, terpaksa mencari ramuan di gunung untuk meredakan demam anaknya. Walaupun pada akhirnya demam anaknya dapat di sembuhkan dengan ramuan, tapi karena demam yang tidak ditangani dengan benar, akhirnya membuat putra bibi Emy menjadi cacat.
Hari-hari bibi Emy dan suaminya, selanjutnya di penuhi dengan kesedihan dan penyesalan karena kondisi putranya. Putra mereka yang masih kecil akhirnya tidak pernah bisa berjalan lagi.
Di masa lalu Biru mendengar cerita ini dari Bibi Emy sendiri, saat mereka membantu mencuci piring di sebuah kedai makanan. Biru tak bisa menahan air matanya, saat dia mendengar kisah sedihnya.
Saat ini seharusnya demam anak itu masih pada tahap awal, jadi pasti akan sembuh bila segera di panggilkan dokter.
Tanpa pamit terlebih dahulu, Biru segera pergi mencari dokter desa, dan membawanya ke rumah bibi Emy. Dia tak punya waktu untuk meminta izin pada bibi Emy. Menjelaskan bisa nanti, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan anak itu dulu. Dia tak rela melihat anak yang lucu itu hanya bisa duduk seumur hidupnya.
Biru sudah pernah mengunjungi rumah bibi Emy di masa lalunya, jadi setelah memanggil dokter mereka segera menuju ke rumahnya.
Biru mengetuk pintu rumah yang terbuat dari bambu itu, setelah mengetuk beberapa kali muncullah seorang lelaki berusia tiga puluhan.
Pria itu pastinya adalah suami bibi Emy. Wajah pria itu terlihat lelah, dan ada kain basah yang digunakan untuk mengompres di tangannya.
"Kalian siapa?, dan ada perlu apa ke sini?" dia bertanya.
"Paman, saya dengar anak Bibi Emy sedang sakit, saya kesini mengantarkan dokter untuk memeriksanya"
Pria itu kelihatan terkejut bercampur bingung. Seingatnya, istrinya tadi pamit pergi untuk mencari ramuan di gunung, kenapa tiba-tiba memanggil dokter?. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk membayarnya?.
"Tapi, kami tidak memanggil dokter.."
Biru mengerti kehawatiran pria itu.
"Jangan hawatir tentang biayanya, paman. Aku yang akan membayarnya" kata Biru.
Pria itu lagi-lagi terkejut. Dia sama sekali tidak mengenal pemuda itu, kenapa dia tiba-tiba meu membayar biaya berobat putranya?. Tapi dia akhirnya tetap membawa mereka masuk, yang terpenting sekarang adalah kesembuhan anaknya terlebih dahulu.
Pria itu membawa mereka ke sebuah kamar kecil, di dalam kamar itu terbaring seorang anak kecil diatas tempat tidur bambu. Wajah anak itu terlihat sangat merah karena demam, dan nafasnya terengah-engah.
Dokter segera menghampiri anak itu, lalu memeriksanya dengan teliti. "Demamnya sangat tinggi, untung saja kalian segera memanggilku sebelum terlambat, kalau tidak.. " Dokter menghentikan ucapannya.
Dokter itu kemudian mengatakan sesuatu lagi pada pria itu, lalu mengeluarkan obat-obatan yang sudah di persiapkan dari dalam tas. Dokter memberikan obat itu, sekaligus menjelaskan bagaimana aturan minumnya.
Ketika dokter itu hampir pergi, bibi Emy kembali dari gunung sambil membawa keranjang berisi tanaman obat. Dia sangat terkejut melihat ada dua orang asing di dalam rumahnya, dia takut telah terjadi suatu hal buruk pada putranya.
Emy segera menghampiri putranya yang tergeletak di atas dipan, saat itu dia baru saja minum obat dari dokter, dan keadaannya sedikit lebih baik. Melihat putranya baik-baik saja, wanita itu akhirnya bernafas dengan lega.
Emy melihat Biru yang berdiri tidak jauh dari sana. "Bukankah kau anak muda yang aku temui di gunung tadi, kenapa kau sekarang ada di rumahku?"
"Aku datang membawa dokter untuk memeriksa putramu".
" Tapi, sudah kubilang kami tidak punya uang"
"Jangan hawatir, dokternya sudah ku bayar" jawab Biru.
Emy terkejut. "Kenapa kau melakukannya, aku bahkan tidak mengenalmu?"
"Bibi mungkin tidak ingat, tapi kita sering bertemu di kedai seberang jalan. Aku sering bekerja sambilan di sana. Aku juga sering melihat Wowo, putra Bibi. Kami pernah bermain bersama".
Emy mencoba mengingat-ingat, tapi tidak ada kesan. Namun pemuda ini mengetahui nama anaknya, jadi pasti itu benar.
"Aku dan suamiku benar-benar berterimakasih atas bantuanmu, kami tidak tahu bagaimana harus membayarnya".
" Tidak perlu begitu Bibi, sesama manusia memang harus saling tolong-menolong".
"Sebenarnya aku sedang mencari beberapa orang untuk bekerja mengolah buah, apakah Bibi ada kenalan?" tanya Biru.
"Oh.. kau sedang mencari pegawai, aku punya beberapa kenalan yang bisa aku rekomendasikan. Setelah putraku sembuh aku juga bersedia bekerja di sana tanpa dibayar, untuk membalas budi"
"Tidak perlu begitu Bibi, bantuan Bibi ini sudah sangat berarti bagiku. Aku akan tunjukkan alamatnya, kalian bisa mulai bekerja besok" jawab Biru.
Biru merasa sangat senang hari ini, tidak hanya dia berhasil menyelamatkan anak lucu itu, tapi masalah mencari pekerja juga bisa di selesaikan dengan mudah.
Setelah berpamitan dengan keluarga kecil itu, Biru segera kembali ke asrama dengan hati bahagia.