Seperti biasa, Biru bangun pagi-pagi. Tapi kali ini dia tidak langsung pergi ke gunung. Biru memutuskan untuk berlatih sebentar di halaman, sampai langit cukup terang untuk pergi ke gunung.
Kemarin, meskipun matahari masih belum muncul, tapi ada bulan yang membantu menerangi jalan. Namun hari ini langit benar-benar gelap. Biru tidak ingin ambil resiko terpeleset atau tersesat, kalau dirinya tetap nekat pergi. Belum lagi ada beberapa ular yang sering muncul di pepohonan atau semak, banyak juga hewan liar yang lain yang sering muncul di hutan itu.
Bahkan dengan bantuan cahaya bulan, tapi kemarin Biru tetap saja jatuh dan melukai lututnya. Rasa sakitnya masih ada sampai sekarang.
Dua jam kemudian. Langit sudah cukup terang, tidak perlu lagi menggunakan obor sebagai alat bantu penerangan.
Sambil membawa peralatannya di dalam tas, Biru berlari ke gunung.
***
Siang harinya, Biru pulang ke asrama untuk makan siang. Bukannya dia tidak mampu untuk makan di luar, (dia sudah kaya sekarang) tapi dia suka makan masakan di asrama bersama teman-temannya. Rasanya lebih ramai dan kekeluargaan.
Dari jauh Biru bisa mendengar suara ribut-ribut di depan gerbang. Begitu di dekati, Biru melihat seorang gadis sedang berbicara dengan penjaga gerbang asrama. Di belakangnya, ada dua gadis lain yang sepertinya datang bersamanya.
Karena mendengar suara seorang gadis dari gerbang, beberapa pemuda di asrama penasaran dan keluar untuk melihat. Mata mereka langsung berbinar-binar begitu mereka melihat gadis cantik berdiri di sana.
"Maaf nona, kalian tidak boleh masuk!" kata penjaga gerbang.
Gadis-gadis itu mengatakan beberapa kata lagi kepada penjaga gerbang, tapi itu tidak bisa mengubah keputusan mereka.
"Tapi ini adalah perintah dari Guru Besar. Apa pun alasannya, kalian tidak boleh masuk".
Dua penjaga asrama, adalah pria berusia tiga puluh sampai empat puluhan. Tubuh mereka tinggi-tinggi dan juga kekar. Tidak di ketahui bagaimana kemampuan mereka, tapi orang yang melihat mereka sekilas saja pasti akan ciut nyalinya dan tidak ingin membuat masalah.
"Ada apa ini?" tanya Biru sambil berjalan mendekat.
Sissil yang mendengar suaranya langsung menoleh ke arah suara berasal. Dia mengenali suara ini, suara yang telah terkunci di dalam hatinya sejak dirinya di selamatkan hari itu.
Sesosok pemuda langsing muncul di hadapannya, pemuda itu masih memakai seragam yang sama dengan yang dipakainya saat itu. Karena seragam inilah Sissil tahu bahwa Biru adalah salah satu murid dari perguruan Elang Putih.
Wajahnya bulat dan sedikit kekanak-kanakan, bibir kecil merah muda pucat, hidung mancung dan mata biru yang cemerlang.
'Itu dia, itu memang dia'.
Sissil terkejut melihat wajah Biru ketika tanpa cadar. Dia sudah menebak penampilan Biru ketika tanpa penutup, tapi dia tidak menyangka kalau akan setampan ini.
Untungnya Biru adalah seorang laki-laki kalau tidak, dia pasti akan jadi kecantikan abad ini. Begitu pikir gadis-gadis itu.
"Inikah pemuda yang sering kau ceritakan itu?" gadis yang bernama Mia berbisik di telinga Sissil.
Sissil mengangguk. "Betapa tampan.."
"Menurutku dia cantik" bisik gadis yang bernama Nina di sisi lain.
"Nona Sissil, kau kah itu?" tanya Biru. Dia terkejut melihat Sissil dalam tampilan yang berbeda.
Gadis yang dia temui sebelumnya terlalu berani berjalan dengan pakaian seksinya. Tapi gadis yang ada di hadapannya kali ini, mengenakan pakaian merah muda yang lebih panjang dan tertutup. Meskipun tertutup itu sama sekali tidak menutupi kecantikannya, justru malah membuatnya terlihat lebih menarik.
"Tentu saja ini aku. Baru tidak bertemu beberapa hari saja, kau sudah melupakan aku" kata Sissil.
"Tidak bukan begitu, aku hanya pangling melihat penampilan nona Sissil yang baru. Terlihat lebih manis" kata Biru sambil tersenyum.
Setiap hari Sissil selalu mendengar pujian yang serupa, yang dikatakan para laki-laki untuk menyanjungnya, karenanya gadis itu sudah terbiasa dan menganggapnya sebagai makanan sehari-hari.
Tapi, saat dia mendengar pujian itu dari mulutnya Biru, kedua pipinya langsung bersemu merah. Sissil menyadari wajahnya yang terasa panas, dia takut orang lain melihatnya tersipu, karena itu dia segera memalingkan wajahnya.
"Ooh..." seru Mia.
"Wah.. ternyata mulutnya juga tak kalah manis" bisik gadis yang bernama Nina.
Saat itu orang-orang yang berkerumun di dekat gerbang, menatap Biru dengan pandangan iri dan cemburu. Bisa-bisanya anak kurus dan pemalas sepertinya, bisa berkenalan dengan gadis-gadis cantik.
Tiba-tiba pemuda yang kemarin menghadang Biru di depan gerbang muncul kembali. Mereka tampak senang melihat ada tiga gadis cantik di hadapan mereka. Segera mereka mendatangi Biru yang sedang mengobrol, dan bersikap sok akrab.
"Hei.. Biru sahabatku, kemana saja kau seharian ini?" saat itu dia melirik pada tiga gadis di hadapan Biru.
"Wah, siapa ini. Sobat, tidakkah kau mau mengenalkan mereka pada kami bertiga?" kata Harol berpura-pura.
"Nona Sissil, perkenalkan ini ketiga temanku. Yang ini Harol, Dodo, dan Toni" Biru memperkenalkan.
"Halo, namaku Sissil. Kedua temanku ini bernama Nina dan juga Mia".
Setelah berkenalan, Biru membawa ketiga gadis itu ke ruang tamu untuk mengobrol. Sebenarnya ruang tamu ini masih bagian dari rumah gurunya, Maina, tapi tempat ini memang sering di gunakan untuk menerima tamu dari luar. Biru sengaja membawa mereka ke sini untuk menjauhkan mereka dari pandangan anak laki-laki di asramanya.
"Kenapa nona-nona ini sampai jauh-jauh datang ke sini?, apa nona tidak tahu kalau tempat yang nona datangi tadi adalah asrama pria?" tanya Biru.
"Kemarin aku belum sempat membalas kebaikanmu karena telah menyelamatkanku, karena itu hari ini aku membawakan kue yang kubuat sendiri sebagai ucapan terima kasih" Sissil memberikan bungkusan yang dibawanya.
"Aku tidak tahu apakah ini sesuai dengan seleramu, tapi aku membuatnya dengan setulus hati. Semoga kau menyukainya" dia malu-malu.
"Pemberian tulus nona Sissil tak mungkin aku menolaknya. Terima kasih" kata Biru sambil menerima bungkusan itu.
Karena Biru menerima kue buatannya, Sissil merasa sangat senang sekaligus malu, dia jadi terdiam dan tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan Biru juga tidak pandai memulai pembicaraan, akhirnya suasananya jadi canggung karena kedua-duanya diam.
Untungnya kedua teman Sissil menyadari suasana canggung itu, dan mereka akhirnya berbicara untuk menyelamatkan suasana.
"Sepertinya hari sudah semakin siang"
"Benar, kita harus segera kembali ke panginapan sekarang, kalau tidak kita bisa kena marah"
"Oh, iya benar" kata Sissil menyadari "Biru, sepertinya kami harus pergi sekarang, tapi apakah lain kali aku boleh datang lagi?"
"Tentu saja" jawab Biru "Tapi datanglah ke sini untuk melapor terlebih dahulu, jangan langsung ke asrama. Asrama laki-laki itu sama dengan sarang serigala, berbahaya".
Ketiga gadis itu tertawa mendengar kata-kata Biru. Akhirnya Biru mengantarkan gadis-gadis itu sampai ke depan, setelah berpamitan sekali lagi, mereka pun pergi.