Hari sudah sore, begitu Biru sampai di desa Aris.
Biru kelelahan, karena seharian berbelanja aneka bahan pangan kering. Dia juga masih harus memindahkan semuanya sendiri ke asrama kosong untuk di simpan, karena itu begitu Biru sampai di asrama, gadis itu langsung melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan terlelap.
Pada keesokan harinya. Biru segera mencari rumah untuk dia sewa.
Aris adalah sebuah desa kecil, tidak banyak pilihan rumah yang bisa dia sewa. Setelah kesana kemari dia mencari, akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah rumah tua di sisi timur jalan.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi memiliki sebuah halaman yang luas. Tempat itu cocok sekali dengan kriteria rumah sementara yang dia cari.
Rumah itu sebelumnya adalah milik keluarga pedagang, tapi sudah di tinggalkan beberapa lama. Putra mereka satu-satunya mendapatkan jabatan di kota dan akhirnya menikah di sana, kedua orangtua itu akhirnya mengikutinya dan pindah ke kota juga. Sejak saat itu rumah tersebut kosong, dan hanya di jaga oleh dua orang pelayan.
Rumah itu akan Biru jadikan sebagai tempat pengolahan buah, sekaligus gudang tempat dia menyimpan persediaan makanan.
Biru menemui penjaga rumah, dan bernegosiasi tentang harga sewa yang harus di bayar. Biru menyewanya selama setahun, karena dia berencana membeli tanah milik gurunya dan membangun rumah di sana.
Entah mengapa dia yakin gurunya akan bersedia menjual tanah asrama lama, tapi kalau dia tidak bersedia, baru Biru berencana untuk memperpanjang kontrak sewa rumah tersebut.
Biru sudah punya rencana bangunan seperti apa yang ingin dia bangun di tempat itu. Sebuah rumah dua lantai, dengan sebuah ruangan bawah tanah. Ruangan bawah tanah disini dibangun untuk menyimpan batu permata yang dia temukan di gua, sekaligus sebagai gudang untuk menyimpan makanan agar tahan lama.
Halamannya harus luas, agar bisa dia gunakan untuk berlatih di sana. Biru juga ingin membuat sebuah taman kecil, di taman ini dia akan menanaminya dengan berbagai macam bunga cantik.
Di pagi hari dia akan pergi berlatih di halaman, dan di sore hari dia akan meminum secangkir teh, sambil menikmati keindahan bunga-bunga di taman. Itu adalah kehidupan sempurna yang dia inginkan.
Biru tidak keberatan tinggal di rumah itu sendirian, menjadi perawan tua sampai mati juga tidak apa-apa.
"....."
Kenapa tiba-tiba dia merasa kehidupan impiannya terdengar sangat menyedihkan?!. Kalau dia mati tanpa punya keturunan, lalu siapa yang akan mewarisi seluruh hartanya?.
Tidak. Dia harus menikah. Cari saja seorang pria sederhana untuk dinikahi, meskipun tidak terlalu tampan asalkan dia setia. Biru tidak sudi bila harus berbagi suami, jadi suaminya harus hanya memiliki dirinya sebagai istri, tidak boleh ada wanita-wanita lain.
Biru tersenyum, tiba-tiba dia merasa geli sendiri. Apa yang dia lakukan dengan terlalu banyak berpikir, tanah itu saja masih belum di beli, dan rumah juga belum di bangun. Ya ampun!.
Proses negosiasi berjalan dengan lancar, namun penjaga rumah meminta waktu dua hari agar mereka bisa pindah dari rumah tersebut. Mereka perlu melaporkannya dulu kepada tuan mereka yang ada di kota lain, setelah itu baru mereka akan pergi. Biar bagaimanapun juga di rumah itu masih ada beberapa barang yang harus mereka pindahkan.
Tak terasa hari sudah mulai sore begitu Biru menyelesaikan masalah rumah. Setelah mendapatkan rumah sewa, Biru lalu kembali ke asrama.
Baru saja sampai di gerbang asrama, beberapa orang murid menghadang anak itu. Seolah-olah mereka memang sengaja menunggu Biru di pintu gerbang.
"Ada apa ini, kenapa kalian menghalangi jalanku?"
Pemuda itu meletakkan tangannya di pundak Biru "Hei adik, aku tak tahu kalau kau begitu hebat. Ajaklah kami juga lain kali"
Biru kebingungan. 'Apa sih yang orang ini bicarakan?'
"Benar sekali. kami juga sudah bosan hanya melihat laki-laki di asrama ini. Jadi perkenalkan juga pada kami ya" kata pemuda yang satunya.
Pemuda-pemuda itu terus berbicara satu persatu, dan terus berisik di telinga Biru, sementara gadis itu sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Biru sudah tidak tahan lagi dan berteriak.
"Berhenti!. Apa sih yang kalian bicarakan?"
"Tadi siang, ada seorang gadis yang datang ke asrama dan mencarimu. Dia sangat cantik"
"Waktu kami bilang kau tidak ada, dia langsung pergi"
"Gadis itu sangat cantik, dan juga seksi. Kenapa dia hanya datang untuk mencarimu?. Jujurlah pada kami, apakah gadis itu pacarmu?"
"Pantas saja kau selalu keluar setiap hari, dan jarang ada di asrama, rupanya kau punya pacar ya?"
"Teman, tolong ajari aku juga. Bagaimana caramu bisa mendapatkan gadis yang begitu cantik, apa rahasiamu?".
Biru semakin pusing.
"Teman-teman, aku masih belum punya pacar. Gadis yang kalian sebutkan tadi, apa dia mengatakan siapa namanya?"
"Pemuda-pemuda itu saling melihat, lalu mereka menggelengkan kepala.
"Sayangnya tidak. Dia langsung pergi begitu saja, begitu tahu kau tak ada di rumah"
"Oh" kata Biru singkat.
"Bukankah ini aneh. Kalau Biru bilang belum punya pacar, lalu kenapa gadis itu datang mencarinya" mereka bicara sesama sendiri.
"Mungkin mereka baru mulai pendekatan"
"Benarkah?, tapi anak ini bahkan tidak tahu siapa dia" anak itu menunjuk ke arah Biru.
Salah seorang pemuda itu menyentuh dagunya dan berpikir.
"Ah, jangan-jangan gadis itu datang untuk menagih hutang" katanya tiba-tiba "Katakan pada kami, apa kau berhutang padanya?, atau jangan-jangan kau sudah berhasil menipunya?"
"Atau jangan-jangan gadismu bukan hanya ada satu?!"
"Wah... tidak kusangka kau begitu hebat. Bagaimana caramu merayunya?"
"Hei, tidakkah kalian berpikir fokus kalian sudah terlalu melenceng sekarang?" kata Biru sinis.
"Hahahaha, jangan begitu kawan. Kami hanya kagum padamu. Seumur hidup kami saja belum pernah bicara dengan gadis mana pun juga, tapi kau sudah berhasil memperdaya mereka"
"Teman-teman, kalian sudah salah paham. Aku tidak punya pacar dan aku juga tidak punya hutang atau menipu gadis mana pun"
"Aku setiap hari pergi keluar asrama untuk bekerja, bukan untuk hal yang aneh-aneh" Biru berjalan di depan, dan teman-temannya mengikuti.
Tiba-tiba Biru mengingat sesuatu "Tapi satu bulan yang lalu, aku tidak sengaja memecahkan beberapa piring saat bekerja di restoran. Apa jangan-jangan mereka datang untuk menagih ganti rugi?"
Orang-orang yang ada di belakangnya tertawa.
"Ah, pasti benar yang itu" mereka masih tertawa.
"Tapi, waktu itu pemiliknya bilang tidak usah di ganti. Kenapa tiba-tiba mereka minta untuk di ganti?"