Meninggalkan jendela, dia kembali ke tempat duduknya. Meneruskan pekerjaannya yang sempat dia tinggalkan.
"Bagaimana proses negosiasi dengan pemilik tanah, apakah sudah ada perkembangan?".
"Belum Tuan muda. Sebelumnya pemilik lahan terlihat sudah mau melepasnya sesuai dengan harga yang kita tetapkan, tapi setelah mengetahui kalau mereka adalah orang dari penginapan Naga Merah, tiba-tiba saja dia menaikkan kembali harganya".
"Saya benar-benar kesal mendengarnya. Padahal tanah itu adalah lahan yang sudah lama tak terurus, sudah mending kita mau membelinya dengan harga tinggi. Dasar orang tidak tahu diri" Kiel mengepalkan tangannya erat-erat.
"Dimanapun tempatnya orang-orang serakah akan tetap ada" jawabnya tanpa mengangkat wajahnya, dia tetap membaca laporan dan sesekali menuliskan sesuatu di atas kertas.
"Tetap pertahankan harga yang kita tawarkan sebelumnya dan temui dia kembali, bila pemiliknya tetap tidak setuju maka tinggalkan. Cari saja tanah yang lain dan beli dari pemiliknya".
"Paling lambat akhir bulan ini, kita sudah harus memiliki tanah yang cocok".
" Jangan hawatir Tuan, kita pasti bisa mendapatkan beberapa hektar tanah sebelum akhir bulan. Kalau perlu aku akan memaksa orang itu menjual tanahnya dengan tanganku sendiri" Kiel memiliki wajah serius saat mengatakannya.
Masih menunduk, tapi bibirnya tersenyum.
"Tak perlu menggunakan kekerasan, aku tak mau kalau sampai muncul keributan".
Kiel mengangguk tanpa bersuara. Dia mendekat ke arah pemuda itu, meraih teko teh di atas meja lalu menuangkannya secangkir.
"Ini sudah hampir waktunya makan malam, apa Tuan muda tidak ingin beristirahat dulu sebentar?" tanyanya dengan ekspresi hawatir.
Sejak hari pertama datang sampai sekarang, Tuan mudanya tidak pernah berhenti bekerja. Pemuda itu bahkan sering mengabaikan waktu istirahatnya. Mengapa dia harus melakukan semuanya sendiri?, bukankah masih ada anak buah yang kompeten, dia hanya tinggal memberi perintah saja pasti beres.
"Tidak. aku harus menyelesaikannya malam ini juga, besok pagi aku dan Guru Go harus kembali ke ibukota" dia menghela nafas.
"Kembali ke tempat yang indah dan ramai serta banyak kesenangan, tapi sepertinya anda kelihatan tidak bahagia"
Kembali menghela nafas. Meletakkan pena di tangannya untuk memijat pelipisnya yang tegang.
"Meninggalkan tempat yang tenang dan damai, untuk menuju ke medan pertempuran, siapa orang yang akan merasa senang?".
" Tapi, bukankah keluarga Tuan muda ada di sana?" Kiel merasa bingung.
Pemuda itu tersenyum, tapi senyumnya itu lebih ke mencibir.
"Keluarga?, sebuah kata yang indah. Kami memang terlihat seperti itu, tapi keluarga hanya sebatas sebutannya saja".
Tiba-tiba sorot matanya yang lembut berubah menjadi dingin.
" Entah rencana licik apa lagi yang sudah mereka siapkan, untuk menyambut kepulanganku kali ini"
Kiel terdiam setelah mendengarkan kata-katanya. Diperhatikannya pemuda yang sedang serius bekerja itu. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya dia agak emosional saat membicarakannya.
'Banyak orang miskin yang berkata, enaknya menjadi orang kaya dan berkuasa. Bisa makan enak, tidur nyenyak, pakaian bagus. Tak perlu bingung memikirkan uang. Tapi mereka tak pernah berpikir kalau orang kaya yang membuat mereka merasa iri, sebenarnya juga mempunyai masalah mereka sendiri. Kebanyakan justru adalah masalah yang lebih sulit, dan rumit dari yang bisa mereka bayangkan' Kiel menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya akan pergi ke dapur untuk memeriksa persiapan untuk makan malamnya, saya permisi dulu"
"Hmm.. " jawabnya singkat tanpa menghentikan pekerjaannya.
Setelah Kiel pergi, Tuan muda itu menolehkan wajahnya ke arah jendela. Memandang langit berbintang yang tampak dari tempatnya duduk, membuatnya merasa lebih tenang. Kalau bisa, sebenarnya dia tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini. Masa bodoh dengan perebutan kekuasaan di ibukota, dia sebenarnya hanya ingin hidup dengan damai.
Namun dia harus segera kembali, suka atau pun tidak suka. Jika dia tidak kembali, maka keadaannya akan jadi semakin kacau. Ini adalah tugas yang harus di tempuhnya, dia juga sudah siap menghadapi para serigala lapar itu.
Biar bagaimana pun, masih ada beberapa orang di sana yang harus di lindunginya, dia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
***
Pagi keesokan harinya.
Seperti biasa, Biru selalu bangun lebih pagi dari pada yang lain. Karena sudah jadi kebiasaan, meskipun dia mencoba untuk tidur kembali, tapi itu tidak pernah berhasil. Meskipun matanya tertutup, tapi indranya yang lain masih terbuka.
Masih ada beberapa jam sebelum semua orang di asrama bangun tidur. Biru memutuskan untuk menggunakan waktu ini, dengan meninjau lokasi pertambangan.
Biru belum pernah pergi ke sana, tapi dia tahu lokasinya dari mendengarkan cerita beberapa orang.
Gadis itu berpikir benda apa saja yang harus dia bawa hari ini. Karena ini baru peninjauan, jadi dia merasa tak perlu untuk membawa alat pertambangan sekarang.
Dia membutuhkan obor untuk penerangan di dalam goa, juga pedang dan beberapa pisau lempar. Untuk berhaga-jaga kalau dia bertemu hewan liar, atau mungkin bandit di sana.
Begitu keluar kamar, Biru baru sadar kalau di luar masih gelap. Dia berpikir, haruskah dia menyalakan obornya sekarang?.
Setelah berpikir sebentar, dia putuskan untuk tidak menyalakannya sekarang, nanti orang yang melihatnya bisa jadi curiga.
Melintasi jalan setapak dengan perlahan, sinar rembulan yang masih tersisa menerangi jalannya.
Karena Perguruan Elang Putih ada di atas bukit Biru bisa melihat seluruh desa dari atas. Rumah-rumah penduduk, sawah dan ladang, bahkan dia juga bisa melihat Penginapan Naga Merah yang megah.
"Tempat ini begitu subur, tapi kenapa saat kemarau panjang tiba keadaannya bisa jadi begitu parah. Apa ada masalah dengan pengairannya?"
Biru juga memutuskan untuk menyelidiki hal ini nanti.
Kemarau panjang, dan gagal panen harus bisa dicegah, setidaknya dia harus meminimalkan jatuhnya korban jiwa.