Pria itu menyentuh memar di pelipisnya, saat menurunkannya dia melihat ada sedikit noda darah di tangannya. Pria itu sudah sangat marah setelah terkena lemparan batu, dan kini menjadi semakin marah ketika mendengarkan kata-kata Biru.
Baru kali ini ada orang yang berani melawannya. Dia adalah kepala preman di daerah sini, jangankan membentaknya, bahkan tak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah ketika bertemu dengannya. Tapi bocah bau kencur ini bukan hanya berani mengganggu kesenangannya, bahkan sudah berani melukainya.
Pria berkulit gelap itu mengeluarkan pisau yang selama ini tersembunyi di balik pakaiannya, lalu berlari menuju tempat Biru berdiri.
"Rupanya kau sudah bosan hidup" teriaknya, sambil mengayunkan pisau itu.
Biru menggeser tubuhnya kekiri, sehingga membuat pisau itu meleset. Tangan Biru terkepal dan meninjukannya ke perut preman itu. Pisau terjatuh dari tangannya, sementara kedua tangan sibuk memegangi perutnya.
Pria itu jatuh tersungkur, dan air mata mengalir dari sudut matanya tanpa bersuara, sesaat kemudian dia terbatuk-batuk lalu merintih.
Biru masih belum puas, kemarahan masih ada dalam hatinya. Gadis itu menarik kerah belakang preman yang tersungkur, lalu membaliknya. Sebelum preman bisa bereaksi Biru menampar pipinya, hingga menimbulkan suara yang keras.
"Ini balasan karena sudah menampar gadis itu tadi"
Biru menamparnya sekali lagi, di sisi wajah satunya.
"Yang ini, karena sudah mencoba menusukku dengan pisau"
Biru mundur beberapa langkah.
"Dan yang ini, agar kau tidak pernah bisa merusak kehormatan wanita lagi" Gadis yang sedang marah itu mengangkat kakinya lalu menginjak selangkangan pria itu dengan sangat keras.
Suara jeritan memilukan menggema di dalam hutan kecil itu, dari jauh orang mendengarnya seperti lolongan hewan yang menyedihkan.
Preman itu menangis lebih keras, dan berguling-guling di tanah, seolah dengan melakukan itu rasa sakitnya bisa berkurang.
Biru memandang pria itu tanpa ekspresi, tak ada belas kasihan di dalam hatinya. Hanya ada tatapan dingin di matanya, baginya orang itu adalah penjahat yang pantas untuk dihukum.
Sebenarnya, memberikan hukuman seperti ini sudah termasuk murah hati baginya. Kalau dulu sudah pasti gadis itu akan langsung memotong orang itu jadi dua, tanpa ragu sedikitpun.
Tapi setelah mengalami kelahiran kedua, Biru ingin memberikan orang itu satu kesempatan lagi. Siapa tahu kalau orang itu akan merubah sifatnya jadi lebih baik, sama seperti dirinya yang merubah tujuan hidupnya.
"Ku lepaskan kau untuk kali ini, tapi kalau aku tahu kau berbuat kejahatan lagi, maka hari itu bukan hanya 'itu' yang hancur, tapi kepalamu pun akan ku hancurkan".
" Apa kau mengerti??"
Preman itu melihat sorot mata menakutkan gadis itu, dia takut mati. Dengan segera dia mengangguk walau air matanya tak berhenti mengalir.
"Pergi sekarang juga"
Pria itu segera menjauh dari Biru. Mulanya dia merangkak, lalu perlahan dia berdiri dan berlari. Rasa sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan rasa takut mati di dalam hatinya. Pokoknya dia harus selamat dulu.
Biru memperhatikan sampai orang itu menghilang dari matanya, lalu dia berbalik. Saatnya untuk pulang ke rumah.
"Tuan muda, tunggu sebentar" seseorang memanggilnya.
Biru menghentikan kakinya lalu berbalik. Di lihatnya seorang gadis muncul dari balik pohon, rupanya dia gadis yang ia selamatkan tadi. Biru tidak menyangka gadis itu masih ada di sana, dia mengira gadis itu sudah pergi dan pulang ke rumahnya.
"Kau masih di sini?" tanya Biru.
Gadis itu mendekat perlahan-lahan. Semakin dekat Biru semakin jelas melihat sosok gadis itu yang indah. Gadis itu mengenakan kemben warna merah muda, dan diatasnya dia mengenakan pakaian tranparan dengan warna senada. Dari balik kain transparan, sebagian dada gadis itu terlihat.
Kain itu terlalu pas di badannya, sehingga dengan jelas memperlihatkan tubuhnya yang montok, dia terlihat seksi.
Biru sedikit tercekat. Bahkan meskipun dirinya juga seorang gadis, pemandangan di depannya tak bisa mencegah dirinya memerah. Sekarang dirinya tahu kenapa gadis itu menjadi sasaran pria hidung belang, semua karena caranya berpakaian.
"Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya atas bantuan Tuan Muda, karena sudah menyelamatkan saya hari ini".
Gadis itu melihat pemuda di hadapannya masih diam saja.
"Maafkan ketidak sopanan saya. Perkenalkan nama saya Sissil, saya bekerja di penginapan Naga merah".
'Penginapan Naga merah?'
Biru ingat, beberapa tahun yang lalu sebelum dirinya pergi ke istana terjadi sebuah kejadian yang menghebohkan.
Suatu hari, seorang gadis cantik dari penginapan Naga merah diculik dan diperkosa oleh orang tak dikenal, pada saat gadis itu dalam perjalanan pulang.
Gadis itu adalah primadona di penginapan itu, dan juga memiliki banyak sekali pelamar. Bagi para gadis di kotanya Sissil adalah standar kecantikan, sedangkan bagi para pria dia adalah calon istri impian, bagaimana dia bisa tahan reputasi dan kehormatannya hancur. Maka setelah kejadian itu dia jadi depresi, dan mengurung dirinya di dalam kamar. Dua hari kemudian gadis itu ditemukan mati bunuh diri, dengan menjatuhkan dirinya ke dalam jurang.
Rupanya dia adalah gadis itu. Apakah dirinya secara tidak sengaja baru saja menyelamatkan seseorang dari kematian?.
"Tuan?" panggil gadis itu.
"Sebaiknya kau pulang sekarang, karena hari sudah semakin malam" kata Biru kemudian.
"Sa saya masih sedikit takut" jawab gadis itu. Mengingat kejadian yang baru saja dialaminya, membuat tubuhnya sedikit menggigil.
"Kalau begitu aku akan mengantarmu. Katakan di mana kau tinggal" kata Biru.
Mendengar tawaran dari pemuda di depannya membuat Sissil merasa senang. Dengan berjalan bersama dengan pahlawannya, dia yakin kalau dirinya akan sampai di rumah dengan aman.
"Terimakasih banyak" ucap Sissil sambil tersenyum manis.
"Anda dapat mengantarkan saya sampai penginapan saja. Sebenarnya saya tinggal di desa sebelah, tapi karena kejadian hari ini... kurasa lebih baik kalau untuk sementara saya tinggal di asrama pekerja, yang di sediakan oleh penginapan saja"
"Itu keputusan yang bijak. Kalau mau pulang ke rumahmu usahakan di siang hari saja, dan bersama-sama temanmu, jangan pergi sendirian".
Sissil tersenyum mendengar saran dari Biru.
Biru menoleh ke samping. Saat berjalan bersama Sissil, dia baru sadar kalau tinggi mereka sejajar. Padahal umurnya baru lima belas tahun. Justru karena tinggi badannya itulah, yang membuat dirinya mudah menyamar sebagai anak laki-laki.
"Kau pasti tidak ingin mengalami kejadian serupa dengan hari ini bukan?"
Sissil mengangguk.
"Kalau begitu dengarkan saranku. Gantilah baju yang kau pakai sekarang dengan pakaian yang lebih tertutup. Kenakan pakaian yang lebih banyak saat kau keluar rumah, dan jaga jarak yang wajar dengan lawan jenis".
"Mungkin kau berpikir aku terlalu ikut campur dengan urusan pribadimu, tapi aku mengatakan ini untuk kebaikanmu sendiri. Kalau kau tidak bisa menghargai tubuhmu sendiri, maka orang lain juga tidak akan menghargaimu".