"Ambil air ini, minum pelan-pelan"
Biru mengambil gelas lalu meminum air itu dengan perlahan, beberapa saat kemudian Biru berhenti batuk dan kembali bisa bernafas dengan lega. Gadis itu merasa heran kenapa dia tidak bisa merasakan kehadiran wanita itu tadi. Biasanya Biru sangat peka, dia bisa merasakan kehadiran orang lain dari jarak tertentu bahkan saat dia sedang tertidur.
Namun sesaat kemudian dia baru ingat kalau tubuhnya saat ini masih lemah, dan belum terlatih. 'Kurasa aku perlu melatih tubuhku lagi'
"Apa kau baik-baik saja?"
"Sudah lebih baik" "Guru... kau membuatku kaget setengah mati"
Wanita itu menjewer telinga Biru "Siapa yang menyuruhmu mencuri makanan hah?, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai latihan?"
"Aduh aduduh, maafkan aku Guru, aku lapar sekali.."
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan seperti ini dan berlatih dengan serius, apa kau tidak ingin lulus?"
"Siapa yang mau lulus. Aku tidak ingin lulus, aku mau tetap disini!"
"Apa katamu??"
Biru merasakan firasat buruk, dia merasa kalau wanita di depannya sedang marah saat ini. Lalu gadis itu teringat dengan trik yang diajarkan oleh seorang pelayan istana di masa lalunya, yaitu bertingkah imut.
Biru mengerucutkan bibirnya, menatap wanita yang ada di depannya dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu sangat heran dengan sikap gadis di depannya, lebih terkejut lagi saat tiba-tiba dia dipeluk. Kalau ada orang lain yang melihat mereka saat ini mungkin orang itu akan mengira Biru sedang bersikap tidak sopan terhadap istri Guru Yon, karena semua orang hanya tahu kalau Biru adalah seorang anak laki-laki.
"Apa yang kau lakukan, kenapa kau menangis? apa ada orang yang menghinamu lagi?" suara wanita itu terdengar hawatir.
Gadis itu menggeleng. Pada awalnya dia hanya ingin bertingkah imut, tapi kemudian dia jadi merasa sedih karena teringat masa lalunya, betapa dia merindukan sosok ibu dalam diri wanita ini, yang menyayanginya tanpa pamrih. Sesaat sebelum dia mati dia bahkan teringat pada wanita ini, dan ingin berada dipelukannya.
Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia sangat merindukannya karena baru saja kembali setelah mati minum racun di istana kerajaan. Karena tidak akan ada yang percaya. Namanya sudah cukup buruk di asrama ini sebagai anak pemalas dan suka membolos, dia tidak ingin namanya jadi semakin buruk karena terdengar rumor bahwa dia sudah jadi gila.
"Aku hanya baru sadar kalau hanya Guru satu-satunya orang yang menyayangi dan menghawatirkan aku di dunia ini" katanya.
"Dasar gadis bodoh! Tentu saja aku menyayangimu" kata wanita itu sambil mencubit hidungnya
"Tapi cepat lepaskan aku, lihat pakaianku jadi basah karena keringatmu".
"Jangan kalian lupakan aku" kata seorang pemuda. Tak lama kemudian muncul seorang pemuda berpakaian biru tua di depan mereka.
"Rudd"
"Kakak"
Pemuda itu adalah Rudd, anak laki-laki gurunya sekaligus orang yang sudah dia anggap seperti saudaranya sendiri, dia dua tahun lebih tua dari Biru.
"Kenapa kau ada di sini Rudd?" tanya ibunya.
"Latihan sudah hampir selesai, aku cuma datang untuk memeriksa apakah semua makanannya sudah siap"
"Ups gawat, kalau begitu aku harus segera pergi dari sini" Biru segera berdiri dan melangkah pergi dari dapur.
"Mau kemana kau?" tanya Rudd.
"Tentu saja ke ruang makan" jawabnya.
"Kapan ku bilang kau boleh makan?"
Mata Biru membulat begitu mendengar kata-kata saudaranya, lalu dia berbalik menghadap pemuda itu.
"Tapi kakak, tadi aku sudah ikut latihan"
"Tapi kau melewatkan latih tandingnya"
Gadis itu menutupi bibirnya dengan telapak tangan
"Apa dia tahu?"
"Tentu saja Ayah tahu, memangnya kau pikir semua orang bodoh seperti dirimu" pemuda itu mendorong jidat Biru dengan jari telunjuknya.
"Kalau begitu aku akan dihukum dong?"
"Menurutmu?" Rudd menyipitkan matanya dan melihat gadis itu dengan tatapan merendahkan.
"Hemm~" Biru merengek.
"Ya sudah lah mau bagaimana lagi, tapi tolong beri aku makan dulu, aku tidak mau pingsan saat dihukum nanti"
Rudd mengangkat alisnya. Bisa-bisanya anak ini masih bisa memikirkan makanan disaat seperti ini, kepalanya menggeleng karena tidak habis pikir.
Meskipun begitu Rudd tetap saja membawanya ke ruang makan, sebelum membawanya ke depan ayahnya untuk menerima hukuman. Kalau ayahnya tahu hal ini, mungkin dia yang akan lebih dahulu dipukul sebelum dia menghukum Biru.
Makan pagi sudah selesai, mereka berdua bergegas ke ruangan Guru Yon. Sepanjang perjalanan Biru berpikir hukuman apa yang akan di berikan guru padanya. Di kehidupannya yang dulu dia tidak di hukum, karena takut tidak diberi makan dia ikut latihan dengan patuh.
Takut kelaparan ternyata lebih menakutkan bagi Biru pada saat itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di depan ruangan Guru Yon, sebelum mereka masuk mereka melihat pintu ruangan masih terbuka, ini tidak seperti biasanya. Sesaat kemudian dari dalam ruangan muncul seorang bibi pelayan yang baru saja membersihkan ruangan, wanita setengah tua itu keluar dengan membawa berbagai peralatan kebersihan.
"Bibi, apa Ayahku ada di dalam?" tanya Rudd.
"Oh Tuan muda, tidak ada orang di dalam. Kalau tidak salah Guru besar pergi ke ruangan pertemuan dengan para guru yang lain, katanya ada rapat" jawab wanita itu.
Mata Biru membelalak dan bibirnya tersenyum saat mendengar apa yang di katakan bibi itu, karena artinya dia tidak jadi dihukum hari ini. Dia merasa beruntung.
"Kakak, Guru sedang sibuk sekarang, dia sedang rapat jadi kita tidak boleh mengganggunya. Sepertinya hukumanku harus menunggu, nanti saja kalau Guru sedang tidak sibuk kita ke sisi lagi, sekarang aku pergi dulu ya!" katanya sambil berlari secepatnya, takut dia akan ditangkap lagi.
"Hei.. sekarang kau mau pergi kemana?"
"Mencari uang..." teriaknya dari jauh.
Sudah terlambar bagi Rudd untuk menangkapnya, gadis itu sudah terlalu jauh dan menghilang di balik bangunan. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya tak berdaya.
Biru berjalan ke belakang asrama dan menuju kebun, bukan untuk bercocok tanam tapi untuk memanjat pohon mangga yang ada di sana.
Tidak ada buah di pohon itu jadi sudah jelas bukan untuk memetik mangga juga. Sebenarnya gadis itu memanjat pohon agar bisa melompati pagar tinggi yang ada di belakangnya, untuk keluar dari asrama.
Setelah keluar dari asrama, Biru segera menuju ke pasar untuk mencari uang. Mencari uang yang dimaksud gadis itu adalah mencari uang dengan bekerja. Biru sudah biasa bekerja di pasar, terkadang dia membantu membawa barang, menjadi penjaga toko sementara, sampai mencuci piring di kedai dia lakukan untuk mendapatkan uang tambahan.
Dia sadar dirinya adalah seorang yatim piatu, dia tidak ingin terus merepotkan keluarga gurunya untuk selalu membiayai semua kebutuhannya. Jadi sejak beberapa tahun yang lalu dia mulai bekerja.
Sebenarnya dia tidak sendiri, ada beberapa murid yang juga berasal dari keluarga yang miskin dan mereka juga bekerja sama seperti dirinya.
Mungkin karena merasa senasib, anak-anak itu jadi bersikap baik padanya.