Biru melewati anak-anak itu lalu berjalan menuju asrama.
Dia duduk di depan jendela kamar tidurnya sambil berpikir. Saat ini kekuatannya masih setengah dari kekuatannya di masa lalu, tapi itu sudah cukup untuk mengalahkan semua anak murid di perguruan Elang Putih, karena itu dia harus hati-hati menyembunyikan kemampuannya.
Dia tidak ingin mencolok, akan lebih bagus kalau dia dianggap bodoh dan lemah sama seperti sebelumnya. Masalahnya adalah apakah dia bisa berpura-pura?, Biru tidak pandai dalam hal itu.
Meskipun dia sombong dan keras kepala di masa lalu, tapi dia tidak pernah berbohong. Gadis itu selalu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, dan selalu mengekspresikan perasaannya pada siapa saja secara jelas. Kalau tidak dia akan berkata tidak, dan kalau iya dia akan mengatakan iya. Karena sifat yang terlalu jujur ini lah yang membuatnya banyak di benci oleh orang lain.
"Mungkin aku hanya harus lebih banyak mengalah, dan lebih banyak membiarkan mereka memukulku" begitu pikir gadis itu.
***
Sejauh ini rencananya berjalan dengan lancar. Tapi berpura-pura menjadi bodoh dan juga lemah tidaklah mudah. Biru harus rela menahan rasa sakit karena terkena pukulan dan tendangan dari teman yang menjadi lawan tandingnya.
Kalau di kehidupannya dulu Biru pasti tidak akan bisa sesabar ini. Dia akan langsung meledak kalau ada orang yang berani memukulnya. Satu kali pukulan yang dia terima, maka akan dia kembalikan berkali-kali lipat.
Kesabarannya yang dia dapatkan saat ini hasil dari pengalaman dan latihan selama bertahun-tahun selama tinggal di sisi pangeran. Karena dia melayani seorang anak Raja sudah pasti dia harus berurusan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi setiap harinya.
Orang-orang itu sebagian besar berasal dari keluarga bangsawan atau para pejabat tinggi. Dengan kedudukan dan kekuasaan mereka yang begitu besar, membuat mereka seringkali memandang rendah orang yang ada di bawah mereka. Tak terkecuali Biru.
Perlakuan tidak menyenangkan yang harus diterimanya membuat gadis itu selalu bertanya-tanya. Apakah setiap orang kaya dan berkedudukan tinggi selalu memiliki sifat buruk yang sama?, apakah orang biasa seperti dirinya memang harus diperkakukan seperti sampah?, bahkan sampai dirinya mati karena racun di penjara bawah tanah waktu itu, Biru masih belum bisa mendapatkan jawabannya.
Saat ini Biru sedang duduk di ruang tunggu dan merawat luka-lukanya. Wajah gadis itu yang semula cantik kini bengkak di bagian pipi, dan tubuh nya yang semula halus tak bercela kini terdapat banyak lebam di sana sini.
Dia kalah dengan sukses!
Bagi Biru yang sudah pernah mengalami ratusan pertarungan lukanya itu tidak seberapa. Lebih baik bonyok dari pada dia harus kembali ke istana, dan bekerja di sisi pangeran.
Biru tak bisa tak memuji dirinya yang melakukan perannya dengan sangat baik. Saat ini dia merasa bangga pada dirinya meskipun sedang babak belur.
Di dalam paviliun, Guru Yon Sedang berbincang-bincang dengan seorang tamu sambil menyaksikan pertandingan. Dia adalah seorang pria setengah tua dengan jenggot menjuntai, pakaian abu-abunya yang polos tidak mengurangi kewibawaannya.
Pria itu duduk pada kursi di sebelah Guru Yon, sedangkan di sisi yang lain duduk berjejer gugu-guru yang lainnya. Di belakangnya berdiri seorang pria berpakaian putih, di ikat pinggangnya tergantung sebuah pedang dan wajahnya di tutupi sebuah topeng dengan warna putih sama seperti pakaiannya.
Dari tempat Biru duduk saat ini, Biru bisa melihat orang-orang yang ada di paviliun.
Gadis itu mengenal siapa orang di samping gurunya itu. Dia adalah teman lama Guru Yon saat masih muda, Tuan Gora. Dia orang yang sangat dihormati oleh Pangeran ke dua, sekaligus satu-satunya orang yang diakuinya sebagai guru. Sedangkan orang yang berdiri di belakangnya pasti adalah orang yang di tugaskan untuk mengawal oleh Pangeran ke dua, meskipun dengan kehebatan Tuan Gora pengawalan itu sebenarnya tidak berguna.
Tuan Gora atau yang sering dipanggil dengan Guru Go, adalah seseorang yang diingat Biru sebagai orang yang baik. Selama bekerja di istana, Biru sering bertemu dengan orang itu, ketika berhadapan dengan Guru Go gadis itu melihat sosok guru dalam dirinya. Berbeda dengan Guru Yon yang berwajah kaku, Guru Go lebih sering tersenyum ketika berbicara. Hal ini membuat Biru merasa sangat nyaman ketika berbicara dengannya.
Meskipun beliau adalah guru Pangeran Kedua, Guru Go tidak pernah pelit dalam membagikan ilmu. Tehnik melempar kerikil yang di gunakan Biru untuk mengambil buah apel di hutan kemarin, sebenarnya adalah salah satu yang telah diajarkan Guru Go padanya. Meskipun terlihat biasa saja sebenarnya itu adalah tehnik tingkat tinggi, kalau dikuasai dengan benar penggunanya dapat melubangi kepala lawannya dalam sekali sentil, jauh lebih efektif dari penggunaan anak panah.
Sorak sorai terdengar dari para penonton sesaat kemudian. Torin pemuda berbadan kekar memenangkan pertarungan pada ujian tahunan kali ini, mengalahkan temannya Derian dari tahun yang sama.
Dengan kedua tangan di pinggang dia turun dari panggung, wajahnya sangat bangga waktu dia berjalan ke tempat duduk. Torin berdiri di depan Biru dengan melotot, tidak senang karena melihat gadis itu menempati kursinya.
Biru merasakan ada bayangan yang menutupi tubuhnya, kemudian dia mengangkat kepalanya untuk melihat benda yang menghalangi pandangannya.
"Ada apa ya?" dia bertanya.
Torin menggeretak kan giginya melihat bocah di depannya.
"Minggir kau pecundang, berani sekali kau menduduki tempatnya kakak Torin kami ini!!" kata remaja berkepala gundul di samping.
Biru memiringkan kepalanya bingung. Sejak kapan kursi ini menjadi milik Torin?, rasanya tidak ada nama Torin di kursi ini. Mau di lihat berapa kali pun kursi ini sama dengan kursi-kursi lain di sekitarnya. Apa karena terletak tepat di tengah?.
"Tapi dari awal aku sudah duduk di sini" jawab gadis itu.
"Kurang ajar, beraninya kau bicara seperti itu. Seorang sampah sepertimu bahkan tidak pantas memandang Kakak Torin kami" kata anak muda berambut keriting.
"Benar cepat pergi dari sini"
Biru memandang orang-orang itu satu persatu. "Dasar para penjilat ini" katanya dalam hati. "Tidak disangka di tempat terpencil seperti ini orang yang ingin menaikkan setatusnya dengan menjilat juga ada, mereka mengingatkan gadis itu pada beberapa orang di masa lalunya" tanpa sadar Biru tertawa pelan.
Pemuda berbadan kekar semakin marah melihat Biru tertawa di hadapannya. Tangannya terkepal dengan erat sehingga membuat otot tangannya terlihat seperti ajan meledak.
"Pecundang sialan. Berani kau menertawaiku!"
Satu detik kemudian Torin menampar wajah Biru. Suara tamparan yang keras terdengar hingga ke bangku penonton, dan mengagetkan semua yang ada di sana. Biru nyaris terlempar karena kekuatan tangan pemuda itu, tapi gadis itu berhasil mempertahankan tubuhnya sehingga tetap di atas kursi.
"Itulah pelajaran karena berani tidak menghormati kakak Torin kami" lalu para pengikutnya tertawa.
Pemuda kekar itu terdiam. Dia yang melayangkan tamparan, tapi dalam hati juga terkejut. Kenapa anak itu tidak terlatuh dari kursinya, dia yakin telah mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa. Jadi bagaimana mungkin tubuh kecil yang terlihat mudah patah sanggup menahan tamparannya, dan tetap tidak bergerak. Seolah tamparannya barusan hanya seperti tamparan seorang bayi.