Biru menyesali apa yang baru saja dia lakukan. Kalau saja tadi dia bisa menahan diri, dia tidak akan perlu merasa cemas sekarang. Biru merasa sepertinya dia harus lebih banyak melatih kesabarannya lagi.
Ada beberapa orang di tempat itu yang menyaksikan saat dirinya memukul Torin, bagaimana kalau sampai ada yang curiga?. Rencananya ingin berpura-pura bodoh akan gagal, sia-sia sudah pengorbanan gadis itu menahan malu dan rasa sakit selama pertandingan. Biru meremas kepalanya karena merasa stress.
Lalu Biru berpikir, untungnya semua itu terjadi setelah pertandingan selesai, jadi tak banyak yang mengetahuinya, terutama orang-orang yang ada di paviliun. Dengan berpikir seperti itu membuat hatinya jadi sedikit lebih tenang. Dirinya tidak tahu kalau apa yang baru saja dilakukannya, di lihat jelas oleh mereka.
Dengan hati-hati Biru kembali menerapkan salep obat pada memar dan lukanya. "Aduh.. sakit sekali" keluhnya.
Setelah membersihkan dan memberikan obat, Biru dengan hati-hati naik ke tempat tidurnya. Dia memutuskan lebih baik dia tidur siang sebentar sekarang, untuk memberikan waktu pada obat bekerja lebih baik. Tapi sebenarnya dalam hati dia masih merasa sedikit kesal, kalau saja dia tidak mendapatkan tamparan yang terakhir, saat ini Biru pasti sudah berada di rumah kosong untuk mengurus anggur-anggurnya.
Semua sudah terjadi, pada akhirnya tak ada yang bisa dia lakukan. Biru menutup kedua matanya, dan perlahan-lahan dia jatuh tertidur.
Dalam tidurnya Biru bermimpi. Di dalam mimpi itu Biru melihat seorang gadis kecil yang tersenyum cerah, tangan kanannya membawa sebuah manisan, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan seorang wanita. sayangnya dia tidak bisa melihat wajah wanita itu.
Mereka sedang berjalan di sebuah tempat yang ramai. Di kanan dan kiri jalan yang mereka lewati terdapat banyak pedagang, hampir semua barang dapat di jumpai di sana.
Di bagian atas dari jalan itu terpasang aneka hiasan berwarna-warni, hiasan itu terpasang melintang dari kanan ke kiri.
Gadis kecil itu berteriak pada wanita di sebelahnya. "Ibu aku ingin makan yang itu... " dia menunjuk penjual permen beraneka bentuk.
"Sayang~, manisan yang ada di tanganmu saja masih belum habis. Sekarang masih mau makan permen?" kata wanita itu lembut.
Gadis kecil itu mengangguk dua kali.
Wanita itu tertawa "Kalau terlalu banyak makan makanan manis, nanti gigimu bisa rusak. Bukan hanya itu, nanti tubuhmu bisa membengkak seperti Bibi Jenna"
Gadis kecil terkesiap. "Jadi Bibi Jenna sering makan manisan dan permen?"
Sesaat kemudian gadis kecil itu cemberut.
"Bibi Jenna curang, makan permen sendirian tanpa aku?. Kalau pulang nanti aku mau memarahinya!"
Wanita itu terkejut. "Jangan sayang, nanti bisa-bisa Ibu yang akan kena marah"
Kata-kata wanita itu di sambut tawa oleh para wanita di belakang mereka.
Suara ketukan di pintu membangunkan Biru yang tengah bermimpi.
Dia duduk di tepi tempat tidur, sedikit linglung. 'Sepertinya tadi aku bermimpi indah, tapi mimpi apa ya?. Aku tidak bisa mengingatnya'
Dengan malas Biru bangkit dan membuka pintu. Ternyata itu adalah saudaranya yang datang sambil membawa nampan.
Melihat makanan di tangan pria itu, mata Biru yang mengantuk menjadi cerah, dan dengan segera dia mengambil nampan itu masuk tanpa mengatakan sesuatu.
Orang yang membawa nampan diam membeku. Dia masih berdiri diam di depan pintu.
'Apa dia hanya melihat makanan, dan tidak melihat aku?'
Dengan kesal Rudd berjalan maju memasuki ruangan.
"Apa nampan itu lebih penting dari pada saudaramu?, kau bahkan tidak menyuruhku masuk!" pemuda itu melipat tangan ke depan.
Seolah baru menyadari kehadiran Rudd, Biru yang sedang sibuk makan berbicara dengan mulut penuh.
"Oh, masuklah Kak"
"Dasar babi" ejek Rudd masih kesal.
Namun sebenarnya dia sama sekali tidak marah, justru dia merasa lucu melihat cara gadis itu makan.
Gadis itu masih melanjutkan makan, seperti tidak pernah mendengar perkataan kakaknya.
Setelah itu tidak ada satu pun yang berbicara. Di ruangan itu hanya terdengar suara peralatan makan yang beradu. Sampai Biru menyelesaikan makannya, dan meletakkan sendok.
"Terima kasih sudah mengantarkan makanan untukku. Kau menyelamatkanku, aku benar-benar kelaparan tadi" kata gadis itu sambil menyeka mulutnya dengan sapu tangan di sakunya.
Rudd melihatnya tanpa berbicara. Tidak tahu mengapa, tapi dia merasa gadis di depannya ini sudah berubah. Kecuali nafsu makannya.
Sungguh ajaib melihatnya tetap kurus walau pun selalu makan sebanyak itu.
"Bukan masalah. Aku hanya tidak melihatmu di ruang makan. Ibu merasa hawatir lalu menyuruhku mengantarkan makanan".
Rudd mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku bajunya, lalu mengulurkannya ke hadapan Biru.
" Ambil ini"
Biru menatap botol yang berisi cairan berwarna aneh.
"Apa ini?"
"Obat untuk di oleskan ke lukamu"
"Oh, aku sudah punya!" kata Biru sambil menunjukkan salep di atas rak.
"Ini berbeda, punya efek penyembuhan yang lebih cepat. Ibu sendiri yang membuatnya"
"Benarkah?, kalau begitu aku tidak akan sungkan menerimanya"
Biru ingat kalau gurunya selalu memiliki benda ini di kotak obatnya. Setiap kali dia terluka, gurunya selalu menggunakan benda itu sebelum menutup lukanya dengan perban.
'Benar, guru adalah seorang ahli ramuan. Kenapa tidak mencobanya dulu?. Kalau hasilnya bagus, kurasa tidak masalah belajar membuat obat dari guru. Pasti akan berguna di masa depan'
Saat Biru sedang memikirkannya, Rudd meledakkan tawa.
Biru kebingungan. 'Ada apa dengan orang ini?'
Rudd masih tertawa, sambil memegangi perutnya yang keram karena terlalu banyak tertawa.
"Lihat, lihatlah mukamu yang lebam-lebam itu. Benar-benar sesuai dengan namamu. Biru.."
Rudd tertawa semakin kencang, bahkan sampai memukulkan telapak tangannya ke atas meja.
Orang sedang di tertawai masih terdiam. Menunggu Rudd selesai tertawa.
'Apakah memang selucu itu?'
Sampai Rudd merasa lelah tertawa dan perlahan berhenti.
"Cepat segera pakai obat itu, kalau tidak kau akan segera punya nama baru. Bukan lagi Biru, tapi Bonyok"
Pemuda itu tertawa lagi. Kali ini dia tidak sendiri, karena gadis itu juga tertawa bersamanya.
Beberapa menit kemudian Rudd berdiri meninggalkan ruangan. Tidak lupa dia juga membawa nampan yang kini hanya tersisa piring kosong.
"Baiklah, aku pergi dulu. Masih banyak yang harus kulakukan" dia bejalan menuju pintu.
"Jangan lupa memakai obatnya. Sampai jumpa lagi Bonyok... " pemuda itu tertawa lagi.
"Lihat saja saat kau kena pukul nanti, maka aku lah yang akan memanggilmu Bonyok" teriak Biru.
Gadis itu memandang kepergian saudaranya, ada rasa hangat di hatinya. Seperti ini kah rasanya memiliki keluarga?. Ada yang menghiburmu saat sedih, memberimu obat saat terluka, menghawatirkanmu, bahkan saling mentertawakan.
Biru baru sadar kalau selama ini dia sudah memilikinya, meskipun dia tak tahu di mana orang tua kandungnya. Bahkan dalam kehidupan sebelumnya, dia juga belum menemukannya.