Mungkin hari ini adalah hari sialku, seorang teman baru di kelasku selalu menarik tubuhku untuk ikut dengannya, memperlakukanku sedikit kurang sopan karena keterbatasan kami dalam berkomunikasi, dan sekarang saat aku akan pulang, aku tidak tahu kendaraan mana yang harus aku naiki. Good, bahkan aku tidak bisa bertanya dengan bahasa yang ku miliki sekarang. Keberuntungan yang sangat luar biasa di hari ini.
"Hi! What are you doing in here?" gadis tadi yang mengantarku ke ruang guru, sekarang ada di depanku, dia duduk di sampingku dan tetap memamerkan senyumannya.
"Waiting? I don't sure." Jawabku tak yakin seraya menggeleng. Sudah hampir 2 jam aku duduk disini menunggu sesuatu yang tidak akan pernah ku dapatkan tanpa bertanya.
"It looks like you're in trouble. Maybe I can help you? Just say it."
"I just don't know which vehicle I should ride now, they are all the same, and full of colors. They make me dizzy." dia tertawa ringan namun terlihat manis dengan eyes smilenya.
"That's easy, I think I can help you if you didn't overloaded to tell me where's your adress?" tawarnya dengan senang hati tanpa menghilangkan tawa yang masih terdengar pelan di bibirnya.
Disinilah kami sekarang, berjalan berdampingan menyusuri jalanan perumahan yang sepi setelah turun dari kendaraan umum yang kami tumpangi. Ini keberuntungan namanya, dia satu perumahan denganku, dan katanya rumah kami saling bersebrangan. Benar – benar keberuntungan bukan?
***
"Hah... Pagi yang menyenangkan."
Abbie Elsiraz, dia teman kelas baruku. Dia yang seharian kemarin menarikku kemanapun ia pergi. Dia mengangkat tangannya menyapa ke arahku seraya memamerkan cengirannya. Alisnya naik turun beberapa kali. Jangan lupakan tangannya yang lain merangkul bahuku seolah kami sudah akrab cukup lama.
"Les go!" serunya dengan pronounce amburadul sambil menarik ku masuk ke gedung sekolah dengan tangannya yang tak lepas dari rangkulannya di bahuku.
Abbie mengulas cengiran lebih lebar dari sebelumnya saat kami tiba di kelas. Ia melepas rangkulannya dan berlari ke arah meja di baris ketiga, tepat berada dibelakang meja kami. Dia melompat ke arah bangku dan duduk disana, mengabaikan tasnya yang ia lempar sembarangan. Dia menyapa seorang murid laki – laki dengan ceria, mengobrol disana dengan Abbie yang sesekali tertawa, bahkan mungkin menggoda murid itu.
"Ah! Urang poho, kita punya teman baru. Dean!" panggilnya sambil menoleh ke arahku yang baru sampai ke meja kami, dia kembali merangkul bahuku dengan kasar dan berbicara pada temannya yang duduk santai disana. Mungkin memperkenalkanku?
"My name's Radit Candra Witjacksono. You can call me Radit." katanya dengan logat yang berbeda dari Abbie. Terdengar lucu. Dia mengulur tangannya dan memasang senyum ramah ke arahku. Kurasa dia lebih tenang dibanding Abbie yang terlihat begitu lincah dan ceria.
"Dean Finnigan." Sahutku seraya membalas uluran tangannya.
"Nice to meet you!"
"Yeah, nice to meet you!"
Saat jam istirahat, kami pergi ke kantin bersama. Kurasa keadaan akan lebih baik selama ada Radit. Dia menjadi penerjemah bagi kami. Cukup melelahkan memang, tapi apa yang bisa aku perbuat selama aku belum bisa memahami bahasa mereka atau sebaliknya.
Abbie berlari kencang saat bertemu dengan seorang gadis bermata bulat yang sedang menyantap makan siangnya. Dia terlihat begitu senang sedangkan perempuan itu hanya bersikap biasa atas kedatangannya.
"She's Alice Larina, She's from 3 – 1 class. She's a smart girl and Abbie's friend from elementary school. They are very close like a couple. Alice is a girl with flat personality. You can see from her face. Come on!" jelasnya cukup lengkap dengan kekehan ringan di bibirnya. Dia mengenalkanku pada semua makanan yang di jual disini.
"Ah, she have a friend too in here, she's a beautiful girl and smart too like her. Her name's Kayla, Kayla Athaleta. She have a beautiful voice if you want to know. She's a unite of art Club. She's very famous and have a many fans."
Dia banyak memberiku berita, baik itu isu, gosip ataupun fakta, dia seperti surat kabar harian.
"And where's she? I think she's not in here." tanyaku, kurasa perempuan itu tidak berada disini.
"She's very busy, of course." sahutnya dengan nada santai yang dimilikinya.
"let's go there!"
"Hi! Radit, bagaimana harimu di Jogja?" tanya Alice saat kami sudah berada di dekatnya.
"Cukup menyenangkan," sahut Radit singkat dengan senyuman.
"Oh! Are you a new student who was be a main topic in here? My name's Alice, Alice Larina. I am friends of Abbie," jawabnya ramah. Seperti biasa aku mejawabnya dan memperkenalkan diri dengan singkat.
"Dimana Kay?" itu Abbie yang bicara.
"Dia sedang berlatih piano bersama Bu Riana, kemana saja kau baru menanyakannya sekarang? Kau sudah duduk disini cukup lama, mancung!" tegur Alice yang terlihat sedikit mengomel pada teman kecilnya itu. Abbie hanya mengerucutkan bibirnya dan tersenyum setelahnya membuat Alice menggeleng dan memutar bola matanya malas.
"Aku tidak mengerti kenapa aku bisa dekat dan sesabar ini menghadapi manusia sepertimu."
"Tapi buktinya kau sudah berteman untuk belasan tahun dengannya." sahut Radit membuat Alice mengangguk dan mendelik pada Abbie yang masih terkekeh disana.
"Ya, aku juga bingung." Balas Alice yang berhasil membuat Radit terkekeh mendengarnya.
***
Setelah pelajaran usai, Abbie mengajakku pergi menemui Alice sebelum pulang. Radit, dia sudah pulang terlebih dahulu, karena Radit memiliki rute yang cukup jauh dibandingkan Abbie dan Alice yang memang berada di kawasan perumahan yang sama.
Kami berhenti di depan pintu ganda dengan papan nama Auditorium, ruangannya sangat luas, ada satu panggung disana, dengan satu grand piano dan seorang gadis yang sedang memainkannya. Abbie mengajaku untuk duduk disamping Alice yang sedang duduk santai di kursi seraya memperhatikan sosok yang sedang memainkan piano di atas panggung.
Permainan yang bagus, lagu Mozart dan Chopin di mainkan beberapa kali olehnya, tidak full memang, hanya bagian reff saja. Aku pernah belajar lagu – lagu mereka saat di Swiss. Berterimakasihlah pada Kris yang menyarankan daddy agar aku ikut les musik disana. Aku bisa memainkan beberapa alat musik berkat itu, dan aku sangat mencintai gitar.
Saat permainan usai, gadis itu langsung bangkit berdiri dan memberi salam ke arah penonton. Tepuk tangan meriah dari kedua sahabatnya menggema di ruangan. Senyumnya merekah setelah mendapat pujian mungkin dari Alice dan Abbie.
"You..." Ia menunjuk ke arahku tanpa suara.
"Kay, kenalkan ini Dean, dia teman baruku di kelas. Dia dari Swiss. Tong nanya nama panjangna, nyebutkeuna pabelit." kata Abbie pada gadis yang di panggil Kay itu. Gadis itu tertawa pelan mendengar ucapan Abbie, sedangkan Alice menepuk kasar kepala Abbie hingga sedikit terantuk kedepan dan membuatnya mengusap kepalanya dan mengaduh kesakitan.
"Kayla Athaleta. I don't expect if we'll meet again." kata Kayla membuatku sedikit memamerkan senyum senang mendengarnya.
"Dean Finnigan. Just call me Dean." balasku. Kay langsung tertawa setelah mendengar namaku kemudian meminta maaf saat melihat ekspresi kebingungan dariku, dia mejelaskan jika Abbie tidak bisa mengucapan kepanjangan namaku dengan alasan rumit dan ia lupa.