Jam terakhir pelajaran telah usai. Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Semua siswa bertebaran keluar kelas menuju gerbang depan sekolah. Tidak seperti siswa lain yang merasa gembira saat jam pulang sekolah, Frey tampak lesu. Tatapan matanya begitu kosong. Pikirannya masih diliputi banyak pertanyaan yang mengganggu ketenangan hatinya.
Ketika ia hendak mendekati gerbang, seorang gadis berambut panjang terurai melambaikan tangan ke arahnya dari depan gerbang.
"Frey!" panggil gadis itu sambil tersenyum.
"Adinda?" Frey menengok ke arah gadis yang memanggil namanya.
Adinda berlari kecil menghampiri Frey. "Frey, apa sore ini ada acara?"
"Tidak. Ada apa ?"
"Apa kamu bisa antar aku ke toko buku? Aku butuh referensi buat karya tulis ilmiah."
"Kenapa kamu enggak minta antar sama pacarmu?"
"Dia nggak pernah punya waktu buat aku. Ada saja alasannya. Huh, kalau begini buat apa punya pacar?"
"Baiklah, nanti sore aku antar. Kita ketemu jam berapa?"
"Jam lima sore. Aku tunggu kamu di taman dekat rumahmu."
"Jam lima sore? Baiklah."
"Sampai jumpa nanti sore, Frey," kata Adinda bergegas pergi.
Frey membalasnya dengan senyuman. Ajakan Adinda mungkin dapat melupakan kejadian aneh beberapa saat lalu. Peristiwa itu benar-benar telah membuatnya stres. Apalagi kehadiran gadis buta yang membuatnya bertambah gila.
"Sebaiknya kau jangan penuhi permintaan gadis itu," ujar seorang perempuan memecah lamunannya.
Frey terperanjat. "Huwaaa...!!! S-sejak kapan kau ada di situ?!"
Gadis buta itu berkedip tanpa ekspresi.
"Bisakah kau tidak menggangguku untuk saat ini? Aku sudah muak dengan semua kejadian aneh hari ini, ditambah lagi kau ...," gerutu Frey sambil menunjuk gadis buta itu. "Kau datang dan pergi sesuka hatimu tanpa sepengetahuanku. Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku hanya ingin kau datang ke bukit itu tengah malam nanti." Gadis buta itu menunjuk sebuah bukit yang letaknya tak jauh dari sebelah barat sekolah.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan padaku di sana? Apa kau akan memberikan jawaban atas semua pertanyaanku? Jika kau hanya ingin bermain-main denganku, sebaiknya jangan kau lakukan. Buang-buang waktu saja," cetus Frey mendelik.
Gadis itu menunduk. Ia tidak menghiraukan kata-kata Frey. Tangannya merogoh tas selendangnya, lalu mengeluarkan sebuah cermin genggam berbentuk oval.
"Minggir! Aku mau pulang," hardik Frey kesal.
"Tunggu dulu!" Gadis buta itu memegang tangan Frey, kemudian menaruh cermin genggam di tangannya. "Ini. Bawalah! Aku rasa kau sangat membutuhkan cermin ini untuk keadaan genting."
"Apa ini? Jangan karena kau buta, kau bisa mengejekku seperti ini. Aku bukan anak perempuan yang suka bercermin setiap waktu! Aku ini laki-laki!" gerutu Frey geram.
"Tidak, aku tidak bermaksud untuk mengejekmu. Aku hanya ingin meyakinkanmu kalau aku ini tidak sedang bermain-main. Jika kau tidak percaya padaku, percayalah pada bayangan di cermin itu. Kau akan tahu jawabannya."
Frey memperhatikan cermin antik dengan ukiran bunga mawar di bagian genggamannya. Keningnya mengernyit tatkala melihat bayangan di cermin itu. Langit yang cerah justru terlihat gelap seperti malam hari di dalam cermin. Sementara bayangan dirinya berubah menjadi serigala.
Seketika Frey terkesiap. Segera ia mengalihkan pandangan pada si gadis buta yang berdiri di sebelahnya tadi. Akan tetapi, orang aneh yang menjadi lawan bicaranya beberapa saat lalu, sudah tak ada di sana. Pemuda itu mengembuskan napas kasar, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Pertanyaan demi pertanyaan tak berhenti berkecamuk dalam benaknya.
***
"Maaf, ya menunggu lama," ucap Frey berlari kecil menghampiri Adinda.
"Enggak apa-apa. Yuk berangkat sekarang!"
"Tunggu dulu! Aku punya sesuatu untukmu," ujar Frey seraya memberikan cermin genggam.
"Wah! Bagus sekali cermin ini. Terima kasih, Frey," kata Adinda terkesima.
"Sama-sama."
Mereka segera pergi menuju toko buku. Senyum simpul terlukis di wajah Adinda. Sesekali gadis bermata lebar itu tersipu-sipu, menatap cermin pemberian Frey. Ia tidak menyangka, sahabat masa kecilnya itu memberikan barang sebagus cermin antik di tangannya.
Jarak dari taman tempat mereka bertemu dengan toko buku tidak begitu jauh. Cukup naik angkutan umum, sepuluh menit pun sudah sampai di sana. Setibanya di tempat yang dituju, keduanya menyapu pandangan ke segala arah. Toko buku itu begitu luas, sampai-sampai mereka harus menyusuri beberapa rak. Namun, tak butuh waktu lama Adinda menemukan area khusus kumpulan buku pelajaran. Segera ia menarik tangan Frey, mengajaknya mencari buku yang dimaksud.
"Tunggu dulu," kata Frey, menghentikan Adinda.
Gadis itu menoleh dan melepaskan tangan Frey, lalu bertanya, "Ada apa?"
"Bolehkah aku mencari buku yang lain? Sepertinya aku kurang cocok jika harus mencari buku pelajaran juga," ungkapnya, lalu menyengir.
"Tentu saja. Tapi nanti kalau sudah ketemu buku yang cocok, temui aku lagi, ya. Nanti kita ke kasirnya barengan."
Frey mengangguk, lalu bergegas menuju rak kumpulan komik. Buku-buku dengan ilustrasi menarik tersusun rapi di tiap rak. Ada pula yang ditumpuk, dengan keterangan harga diskon di depan meja. Melihat harga yang ditawarkan di tumpukan buku itu, Frey tertarik untuk membelinya. Diambilnya satu buku, lalu membolak-balik sisi depan dan belakangnya.
"Sedang apa kau di sini?" tanya seorang gadis.
"Lihat-lihat komik," jawabnya singkat.
"Oh." Gadis itu mengangguk sebentar. "Tapi kau jangan sampai lupa, nanti malam temui aku di bukit."
Frey tercengang. Segera ia membalikkan badan, lalu membelalakkan matanya. "Kau lagi?! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Mengawasimu. Ngomong-ngomong, di mana cermin itu ?"
Frey menelan ludah. Matanya sesekali melirik ke arah rak tempat Adinda mencari buku pelajaran. Saat melihat lagi gadis buta di hadapannya, ia mencoba untuk mengelabuinya.
"Mana cermin itu?" tanya gadis buta itu sedikit membentak.
"Ini, ada di tanganku. Aku membawanya setiap saat."
"Syukurlah. Selama benda itu tidak jatuh ke tangan orang lain, semuanya baik-baik saja."
"Memangnya apa yang akan terjadi jika cermin itu jatuh ke tangan orang lain?"
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan di samping rak buku yang letaknya cukup jauh dari tempat mereka bertemu. Si gadis buta terkejut mendengar suara jeritan itu, pun dengan Frey yang mulai panik. Secepatnya ia berlari menghampiri suara itu berasal.
Ketika Frey hendak melewati area buku pelajaran, tampak beberapa pengunjung toko buku sedang berkerumun. Disingkirkannya satu per satu orang yang menghalangi jalannya. Setelah berhasil mencapai pemilik suara itu berada, ia tampak gugup tatkala mendapati Adinda terbaring tak sadarkan diri dengan cermin genggam di tangannya.
"Adinda! Adinda!" ujar Frey terduduk, meletakkan kepala gadis itu di pangkuannya. "Sadarlah Adinda!"
Adinda bergeming. Frey yang cemas pun meminta bantuan orang-orang di sekitarnya untuk mengantar sahabatnya pulang. Perasaan Frey tidak tenang. Ia terus menyalahkan dirinya sepanjang perjalanan ke rumah Adinda.
Sementara itu, si gadis buta geleng-geleng kepala sambil mengurut dahi. "Ya ampun! Harus bagaimana lagi aku menjelaskan semuanya agar dia mengerti? Ckckck, dasar bocah keras kepala."
***
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Frey tampak gelisah meski matanya terpejam. Sebuah mimpi buruk merasuki alam bawah sadarnya. Ia melihat Adinda berada di sebuah hutan yang lebat nan gelap. Gadis itu tampak gemetar ketakutan.
"Frey! Di mana kau? Tolong aku!" teriak Adinda gelisah.
Frey berusaha mendekati Adinda, tapi kakinya terasa berat untuk melangkah. Dari balik semak-semak terlihat sorotan cahaya merah mengarah pada Adinda. Bayangan anjing berukuran besar tampak samar di hutan yang gelap itu.
GGGRRRR ....
Hewan itu menggeram. Perlahan moncong hewan bertaring dan bergigi runcing itu mulai tampak. Rupanya hewan buas itu tidak sendirian, ia membawa dua temannya. Mereka tampak sangat kelaparan. Air liurnya menetes, kakinya terus berjalan perlahan sambil mengamati mangsanya.
Adinda semakin ketakutan melihat tiga serigala mengepungnya. Tangannya gemetar, kakinya mendadak lemas. Napasnya memburu, keringat dingin terus mengucur di dahinya.
"Frey, di mana kau? Aku takut," desau Adinda dengan suara gemetar.
Serigala-serigala itu semakin mendekati Adinda. Geramannya terdengar keras hingga mereka mengeluarkan cakar di kakinya. Salah satu dari mereka sudah tidak sabar menerkam mangsanya. Serigala itu melompat dan mencakar wajah Adinda.
"Adinda!" Frey terkejut dan bangun dari tidurnya.
Keringat mengucur deras di dahinya. Jantungnya berdebar sangat kencang. Untuk sesaat ia menghela napas panjang dan berusaha menenangkan diri. Baginya, mimpi buruk itu hanya sugesti akibat kejadian tadi sore, tak ada hal yang ganjil di dalamnya. Namun, anggapan logis akan mimpi itu seketika buyar saat melihat sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu yang lebat dan kasar. Ia pun beringsut mencari cermin.
Frey menemukan cermin besar yang menempel di pintu lemarinya. Betapa terkejutnya ia mendapati bayangan yang dipantulkan cermin itu. "Apa ini?! Tidak! Tidak mungkin! Aku bukan manusia serigala!"
Dari luar kamar, terdengar suara langkah kaki seseorang mendekati kamar Frey. Ia adalah Nenek Esih, wanita tua yang merawat Frey sejak ayah dan ibu dari pemuda itu meninggal. Tak lama kemudian, Nenek Esih membuka pintu kamar cucunya. Saat memandang sosok manusia serigala yang berdiri di depan cermin, mata wanita tua itu membelalak seakan-akan tak percaya dengan sesuatu yang dilihatnya.
"Ya ampun! Ap-apa yang kulihat ini?" gumam Nenek Esih gemetar ketakutan.
Segera wanita tua itu berlari keluar rumah. Dengan tergopoh-gopoh, ia berusaha meminta pertolongan warga sekitar rumah. Meski suaranya parau, Nenek Esih tak berhenti berteriak mencari perlindungan.
Sementara itu, Frey masih tertegun di depan cermin. Hasratnya untuk memangsa tiba-tiba bangkit saat menyadari Nenek Esih berlari ketakutan. Di luar kesadaran, Frey yang kini menjadi monster mengerikan berlari mengejar neneknya. Ia tidak lagi menganggap wanita tua itu sebagai kerabatnya, melainkan mangsa buruannya.
"Tolooong! Ada monster mengerikan! Ia memakan cucuku! Tolooong ...." teriak nenek Esih panik.
Tiga orang pria paruh baya yang sedang melakukan siskamling, tampak heran melihat perilaku aneh Nenek Esih. Awalnya mereka tak acuh. Namun, setelah berjalan cukup jauh, mereka pun mengakui bahwa ketakutan wanita tua itu bukan isapan jempol belaka. Manusia serigala telah menanti mereka di depan pekarangan rumah Nenek Esih dengan air liur yang menetes dari mulutnya. Mereka tampak panik dan ketakutan. Tanpa memedulikan keadaan sekitarnya, ketiga pria paruh baya itu berlari berlawanan arah untuk menyelamatkan diri.
"Ggggggrrrrr ... ternyata banyak sekali mangsa yang bisa membuatku kenyang malam ini. Tetaplah di sana untuk menjadi santapan makan malamku," kata Frey yang berwujud manusia serigala, berlari mengejar mangsa yang terdekat.
Pemuda itu hilang kendali. Ia melompat dan mencengkeram orang-orang yang terdekat. Tanpa segan monster mengerikan itu mencabik-cabik korban. Taringnya tak henti mengoyak tubuh manusia, lalu memakannya dengan lahap. Jerit tangis warga kampung terdengar riuh malam itu. Suara teriakan meminta pertolongan terdengar di mana-mana. Mereka yang tak mampu menyelamatkan diri, harus rela kehilangan nyawa di tangan Frey.
Buruannya malam ini tidak hanya satu, melainkan lebih dari sepuluh orang mampu dihabisi Frey hingga rasa laparnya terpenuhi. Setelah kekenyangan, ia melangkah gontai ke sudut jalan yang sepi. Ia merebah sejenak dan menikmati pemandangan malam yang diterangi oleh bulan bungkuk yang hampir penuh.
"Frey! Sadarlah!" Seorang gadis menepuk pipi Frey sambil menyodorkan cermin genggam ke wajahnya.
"S-si...," kata Frey terpotong saat melihat bayangannya di cermin genggam itu.
Frey tercengang saat melihat bayangannya di cermin itu. Sosok serigala yang ia lihat sebelumnya, berubah menjadi dirinya. Frey pun kembali ke wujudnya semula, yang kini mulut dan dagunya bersimbah darah.
"Tidak! Tidak mungkin. Katakan padaku! Ini semua cuma mimpi kan?" tanya Frey panik.
"Semua ini nyata. Sebaiknya, sekarang kau ikut aku pergi ke bukit itu," jawab gadis buta itu.
"T-tidak. Aku pasti sudah melukai warga kampung di luar kesadaranku. Sebaiknya aku segera pulang dan meminta maaf pada semua orang," kata Frey tergesa-gesa.
"Jangan, Frey! Kau tidak boleh bertindak gegabah. Jika kau mengatakan yang sebenarnya, kau akan dibakar hidup-hidup," bentak gadis buta itu.
Frey tidak menghiraukannya. Ia bergegas pergi seiring angin berlalu. Sementara itu, si gadis buta tampak sangat kesal dan mengepalkan tangannya. "Arrghhh! Apa lagi yang harus aku lakukan supaya dia mengerti? Dasar bocah keras kepala!"