Chereads / Moonlight Power : The Darkness War / Chapter 4 - 3. Pertolongan Dimensi Lain

Chapter 4 - 3. Pertolongan Dimensi Lain

Malam menjelang subuh, Nenek Esih masih terjaga. Ia gelisah akan nasib sang cucu yang--menurutnya--naas dimakan serigala jadi-jadian. Sesekali wanita tua itu sesenggukan, saat teringat kejadian masa lalu yang menimpa putri semata wayangnya.

"Tuhan, mengapa Kau mengujiku sekeras ini? Aku tidak sanggup," keluh Nenek Esih, sembari menyeka air mata yang berurai ke pipinya.

Di tengah kesedihannya, terdengar suara langkah kaki mendekat menuju kamar. Kemudian, saat langkah kaki itu terhenti, terdengar beberapa kali suara ketukan di pintu.

"Nek. Apa Nenek ada di dalam?" tanya seorang pemuda, mendekatkan telinga ke daun pintu.

"Frey, kaukah itu?" Nenek Esih berdiri dari tepi kasur sambil tersenyum haru.

"Iya, Nek. Ini aku, Frey," tegasnya meyakinkan.

Nenek Esih segera membuka pintu kamar. Untuk beberapa saat, ia terkesima menatap sosok seorang pemuda di hadapannya. Rasa bahagia dan tak percaya bercampur aduk di hatinya. Kendati demikian, wanita tua itu yakin bahwa orang yang dilihatnya adalah cucu kesayangannya. Tanpa ragu, segera ia memeluk Frey dengan erat, sambil menangis. "Frey, syukurlah kau masih hidup. Nenek senang sekali. Apa kau terluka?" tanya Nenek Esih, menatap nanar wajah Frey dan meraba wajahnya.

"Tidak, Nek. Aku baik-baik saja." Frey memegang kedua tangan neneknya. Senyum simpul tergambar jelas di bibirnya.

"Frey, bagaimana caranya kau bisa lolos dari makhluk mengerikan itu?" Nenek Esih mengerutkan dahi.

Sejenak Frey tertegun mendengar pertanyaan itu. Benar kata si gadis buta, ia tak boleh mengungkapkan dirinya sebagai sosok asli dari monster yang meneror warga kampung, apalagi meminta maaf pada mereka. Pemuda itu pun tak mau jika sampai neneknya jatuh sakit mendengar kenyataan mengerikan yang dialaminya. Dengan tergagap-gagap, ia menjelaskan, "A-aku bersembunyi di kolong ranjang saat manusia serigala itu datang, Nek. Makanya, aku selamat dari serangan makhluk itu."

Nenek Esih lega mendengar penjelasan cucunya. Kembali ia memeluk Frey, mengucapkan rasa syukur atas perlindungan Tuhan pada pemuda itu.

***

Bel jam pelajaran pertama berbunyi. Semua siswa berada di kelasnya masing-masing. Namun, Frey belum juga tiba di kelas. Ia sedang berurusan dengan pacar Adinda, Ben, di sebuah lorong kelas yang sepi. Bersama ketiga temannya, lelaki bertubuh tegap itu memukuli Frey berkali-kali hingga babak belur.

"Frey! Berani-beraninya kamu jalan sama Adinda. Bukannya kamu juga tahu kalau dia itu pacar aku?" bentak Ben sambil menarik kerah baju Frey.

"Maafkan aku, Ben. Aku tidak bermaksud untuk merebut Adinda darimu," jawab Frey gugup.

"Alasan!" bentak Ben mendorong tubuh Frey dan melepaskan tangannya dari kerah baju Frey. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Adinda?"

"Aku cuma mengantarnya ke toko buku, itu saja," jelas Frey.

"Kalau kamu hanya mengantarnya, lalu kenapa sampai sekarang Adinda tidak sadarkan diri? Kamu pasti melakukan hal buruk padanya, benar kan? Ngaku!" bentak Ben dengan penuh amarah.

"Demi Tuhan! Aku tidak melakukan hal buruk padanya."

Ben melancarkan tinjunya ke pipi Frey hingga terjatuh ke lantai. "Lihat saja nanti. Kalau sampai Adinda mati, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Akan aku cabut nyawamu saat itu juga."

"Aku juga tidak mengerti mengapa dia sampai tak sadarkan diri," jelas Frey terengah-engah.

"Aku tidak mau tahu," geram Ben sambil membenturkan kepala Frey ke tembok.

Setelah Frey terkapar tak sadarkan diri, Ben pun pergi bersama ketiga temannya. Akibat benturan keras, dahi Frey tidak berhenti mengeluarkan darah. Sekujur tubuhnya penuh luka memar. Wajahnya lebam karena pukulan Ben yang menghantamnya terus menerus. Suasana lorong begitu sunyi. Tidak ada seorang pun mengetahui kejadian itu.

***

"Aww," desau Frey meringis kesakitan.

"Syukurlah. Akhirnya kau siuman," kata lelaki berkacamata bernama Yuda, teman dekat Frey.

"Di mana aku?" tanya Frey heran.

"Kau sedang ada di UKS saat ini," jelas Yuda. "Ngmong-ngomong, siapa perempuan yang ada bersamamu tadi?"

"Perempuan? Perempuan yang mana?"

"Perempuan yang rambutnya putih itu. Tadi dia membantuku membawamu kemari."

"Perempuan berambut putih?!" Frey mencoba mengingat perempuan yang dimaksud Yuda. "Sekarang di mana dia?"

"Aku tidak tahu, dia pergi begitu saja. Jangan-jangan ... dia pemuja rahasiamu," ledek Yuda menggoda.

Frey hanya tersenyum sinis. Ia tidak percaya kalau gadis buta itu masih saja mengawasinya. Frey mengarahkan pandangannya ke jendela. Terlihat gadis itu sedang menatap kosong dari balik jendela. Raut wajahnya masih saja dingin, tanpa ekspresi.

"Yuda, apa perempuan itu yang kau maksud?" Frey masih memandang ke arah jendela.

"Mana? Tidak ada siapa-siapa di sana." Yuda celingukan, mencari sosok yang dimaksud Frey.

"Kau tidak melihatnya?" tanya Frey heran.

"Tidak." Yuda menggeleng cepat, sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Hm, ya sudahlah, lupakan."

"Memangnya perempuan itu ada di sana?"

Frey mengedikkan bahu dan menunduk sejenak. Saat kembali melihat ke arah jendela, rupanya gadis itu masih ada di sana. Tatapan matanya yang kosong mengarah ke tubuh Frey yang terluka. Frey terkadang merasa terganggu akan kehadirannya.

"Frey! L-lukamu...," ujar Yuda dengan mata membesar.

"Apa?" tanya Frey menatap Yuda dengan heran.

"Lukamu hilang begitu saja. Ini benar-benar aneh," ujar Yuda terkejut.

Sebenarnya siapa gadis buta itu? Lukaku hilang begitu saja tak lama setelah aku memandanginya, pikir Frey sambil memperhatikan sekujur tubuhnya.

Frey mengarahkan kembali pandangannya ke jendela. Kali ini gadis buta itu tidak ada di sana. Frey turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju jendela.

"Frey, kau mau ke mana?" tanya Yuda mengikuti Frey.

"Ke mana gadis itu?" gumam Frey.

***

"Frey! Makan malamnya sudah siap, cepat kemari!" seru nenek Esih dari dapur.

"Sebentar, Nek. Aku segera ke sana," sahut Frey dari ruang tengah.

"Cepatlah!"

"Baik, Nek."

Frey memandangi cermin genggam antik pemberian si gadis buta. Diyatapnya cermin itu lekat. Setelah cukup lama melihat bayangan tempat-tempat yang digambarkan cermin itu, ia terkejut. Tiba-tiba terlihat bayangan Adinda di cermin itu. Gadis berambut panjang itu sedang diseret oleh enam prajurit bertubuh besar dan tegap menuju tempat yang gelap. Selanjutnya, samar-samar tampak banyak jeruji besi di sekitarnya, seperti penjara bawah tanah. Adinda dimasukkan ke dalam salah satu sel di sana. Mata Frey terbelalak, ia tak percaya akan apa yang dilihatnya. Pemuda itu melemparkan cermin itu ke lantai dan bergegas pergi ke dapur.

"Ada apa, Frey? Kau terlihat tegang begitu."

"Tidak, Nek, aku hanya...," jawab Frey gugup.

"Duduklah, tenangkan dirimu dulu."

Frey duduk sambil memandangi menu makan malamnya. Ia masih terengah-engah. Nenek Esih memberikan semangkuk sup pada Frey. Ditatapnya dalam-dalam wajah Frey yang masih syok.

"Frey, makanlah! Nanti supmu keburu dingin."

"Baik, Nek."

"Frey, sejak kemarin nenek melihatmu banyak melamun. Apa yang terjadi sehingga membuatmu seperti itu?"

"Tidak, Nek. Aku tidak apa-apa, tenang saja," ucap Frey sambil menikmati sup buatan neneknya.

"Benarkah? Baiklah jika kau tidak mau menceritakannya pada nenek, nenek tidak akan memaksamu. Kau tahu. Nenek mengkhawatirkanmu setiap waktu. Nenek tidak ingin cucu satu-satunya menderita apalagi mengalami hal yang sama seperti ibumu."

Raut wajah nenek Esih berubah lesu. Hatinya terasa amat tersayat-sayat jika mengingat kejadian tujuh belas tahun lalu. Air matanya menetes begitu saja. Melihat kesedihan di wajah neneknya, Frey merasa iba. Segera ia menghampiri neneknya dan memeluk tubuhnya yang renta.

"Jangan, Nek! Jangan bersedih lagi. Aku akan semakin terluka jika nenek menangis seperti itu. Tenang saja, Nek, aku akan selalu ada untukmu," ucap Frey tersedu-sedu.

"Frey, nenek tidak mau kehilanganmu," ucap nenek Esih terus menangis.

"Tidak. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Aku akan terus berusaha menjadi orang yang kuat dan akan selalu melindungimu. Sudah, Nek, jangan menangis lagi."

***

Malam semakin tua, bulan purnama kemerahan hampir mencapai puncaknya. Menjelang tengah malam, lolongan anjing tak henti-hentinya menggema. Terdengar suara geraman serigala dari kamar Frey. Suara itu membuat Nenek Esih terjaga. Wanita tua itu mencoba memeriksa suara yang berasal dari kamar cucunya. Perlahan ia mengintip dari balik pintu, dan terkejut bahwa manusia serigala itu ada di sana.

Nenek Esih menjadi panik dan berlari keluar untuk berusaha mencari bantuan.

"Tolooong! Tolooong!" teriak Nenek Esih, berlari terbirit-birit.

"Ada apa, Nek?" tanya seorang pria paruh baya yang kebetulan melintas di halaman rumah Nenek Esih.

"Ada serigala jadi-jadian di kamar cucuku! Tolong bantu saya mengusir makhluk itu," ucap nenek Esih panik bercampur takut.

"Baik, Nek. Sebaiknya kita kumpulkan dulu warga lain untuk membunuh makhluk itu secepatnya," ucap pria itu memberi saran.

Nenek Esih dan pria itu segera membangunkan warga desa dan memberitahu tentang keberadaan manusia serigala itu. Beberapa orang dari mereka membawa senjata, sedangkan warga yang tak berani melawan manusia serigala tetap berdiam di rumah.

Frey yang saat itu berubah menjadi manusia serigala sudah siap menerkam mangsanya. Hasrat memangsanya semakin kuat apalagi saat mencium darah di sekitarnya. Ia semakin lapar, air liurnya menetes dari mulutnya. Akan tetapi, mendadak hasrat memangsanya menciut saat melihat sekelompok manusia datang menyerbunya.

Ada apa ini? Mengapa mereka terlihat ingin memburuku? Gawat! Aku harus pergi dari sini, kata Frey dalam hati.

Frey segera berlari sekuat tenaga. Tubuhnya seketika berubah menjadi serigala seutuhnya. Kemampuannya berlari begitu kencang, sehingga dapat menjauhi serbuan warga kampung yang tak terbendung. Di sisi lain, rupanya hasrat warga untuk membunuh Frey lebih kuat dari rasa takutnya. Mereka merasa gemas ingin cepat-cepat mengakhiri terir manusia serigala yang meresahkan permukimannya.

"Cepat tangkap dia!!" seru kepala dusun yang memimpin warga.

Semua orang menyahut dan berlari kencang untuk mendapatkan manusia serigala. Frey semakin panik, berusaha menghindari ganasnya serbuan warga. Ia berusaha mencari persembunyian, tapi sia-sia saja.

"Hei! Apa kau butuh bantuan?" sapa seekor serigala jantan bertubuh gemuk mengikuti Frey.

"Kau berbicara padaku?" tanya Frey heran.

"Tentu saja," jawab serigala gemuk itu.

"Tidak mungkin!" ucap Frey.

"Sudahlah, tidak ada waktu untuk bertanya. Cepat! Ikuti kami!" tukas serigala jantan lainnya yang bertubuh lebih kurus.

"Baiklah," ujar Frey.

Kedua serigala jantan itu berlari lebih cepat dibandingkan Frey. Kecepatannya tak mampu diimbangi oleh pemuda itu.

"Cepatlah! Apa kau ingin mati dan dibakar hidup-hidup?!" gerutu serigala kurus.

"Apa?!" ucap Frey tercengang.

"Cepatlah! Kita harus tiba di atas bukit itu. Dia sudah menunggu kita di sana. Ayo, Anak Muda! Berlarilah lebih cepat!" ujar serigala gemuk.

"Tunggu dulu! Apa yang kau maksud tadi tentang membakarku hidup-hidup? Mereka tidak akan mungkin melakukan itu," ucap Frey berhenti sejenak.

"Tidak mungkin katamu? Pikirkan lagi kata-katamu itu. Mungkin kau akan tahu jawabannya saat kau menyadari seperti apa wujudmu saat ini," jelas serigala kurus.

Saat melintasi sebuah genangan air, ia terkejut melihat bayangan dirinya. Frey bukan manusia lagi, melainkan serigala buas yang tampak sangat mengerikan.

"Bagaimana? Apa kau sudah tahu jawabannya?" tanya serigala kurus ketus.

Frey terdiam.

"Baiklah kawan-kawan, sebaiknya sekarang kita harus segera tiba di sana," kata serigala gemuk.

Mereka melanjutkan perjalanannya menuju puncak bukit. Orang-orang yang menyerbu mereka semakin mendekat. Namun, Frey merasa lelah untuk berlari.

"Cepatlah Anak Muda! Mereka semakin mendekat!" ujar serigala gemuk.

"Dasar payah! Apa kau ingin mati di sini?" gerutu serigala kurus.

"Aku masih lelah. Bisakah kita bersembunyi dan beristirahat sejenak?" keluh Frey terengah-engah.

"Tidak!" geram serigala kurus.

Serbuan warga semakin mengganas. Beberapa dari mereka melempari batu ke arah tiga serigala itu. Salah satu di antara mereka melepaskan bambu runcing. Frey tak sanggup lagi untuk berlari. Dia terus berusaha mengimbangi kecepatan dua serigala yang menggiringnya ke atas bukit. Namun, tiba-tiba ....

JLEB!

"Oh, tidak!" seru serigala gemuk tercengang.

"Sial!" ketus serigala kurus kesal.

"Akhirnya kita mendapatkannya!! Cepat bawa dan bakar dia!" seru kepala dusun.

"Ya!!" sahut semua warga atas keberhasilannya.

Dua serigala yang berusaha menolong Frey pun panik. Frey tampak meringis kesakitan, darah dari dadanya terus bercucuran membasahi bambu yang menusuk di punggungnya. Orang-orang yang haus akan kematian monster meresahkan itu semakin dekat.

"Bagaimana ini? Apa kita tinggalkan saja dia?" tanya serigala gemuk panik.

"Tidak! Jangan tinggalkan dia begitu saja. Kita harus tetap membawanya ke atas bukit," ujar serigala kurus.

"Lalu bagaimana caranya?"

Serigala kurus menggigit leher Frey dan menyeretnya. Warga tak berhenti mengejar mereka.

"Ayo kita buru ketiga serigala itu!" sahut kepala desa.

"Ayo!"

Serigala kurus merasa kelelahan saat mencapai puncak bukit. Tanpa dia sadari, Frey yang di seretnya tertinggal di perjalanan.

"Sial! Aku terlalu lemah untuk membawanya kemari," gerutu serigala kecil.

"Tenanglah, kau tak perlu menyesali dirimu sendiri. Kau sudah berusaha untuk semua ini," ucap seorang gadis di belakangnya.

"Maafkan aku. Aku tidak mampu melakukan apa yang kau perintahkan," kata serigala kurus penuh penyesalan.

"Sudahlah."

Frey masih terkapar di jalan. Warga merasa puas dengan pemburuannya. Beberapa di antara mereka mengangkat tubuh Frey dan membawanya ke tengah desa untuk segera dibakar. Namun, saat mereka hendak menuruni bukit, tiba-tiba sekelompok serigala ganas menghadang mereka.

"Ada apa ini? M-mereka banyak sekali," kata salah satu warga ketakutan.

"Tenang! Siapkan senjata untuk melindungi diri kalian," ujar kepala dusun.

"Tidak! Aku tidak mau mati saat ini," kata salah seorang warga ketakutan.

"M-mungkin mereka ingin menyelamatkan temannya yang kita tangkap," ujar salah seorang lainnya.

"Tidak! Jangan lakukan itu! Kita sudah jauh-jauh mengejarnya sampai sini. Kita tidak boleh menyerahkannya begitu saja pada kawanannya," ujar kepala dusun keras kepala.

Gerombolan serigala itu tampak semakin marah. Mereka menggonggong dan mencakar sebagian orang di kelompok itu. Orang-orang mencoba melindungi diri dengan senjatanya. Namun, tidak ada seorang pun yang mampu mengelak serangan dari serigala-serigala itu. Tubuh mereka terus dicabik-cabik hingga beberapa orang di antaranya tewas di tangan serigala-serigala yang mengamuk. Darah manusia bercucuran dari bukit itu tak ubahnya seperti sungai.

Frey tergeletak di atas tanah. Serigala gemuk yang pernah menolongnya segera menghampirinya kemudian menyeretnya ke atas bukit. Amukan serigala mulai mereda. Mereka mengikuti serigala gemuk yang membawa Frey ke puncak bukit. Warga yang masih hidup merasa heran dengan gerombolan serigala yang tiba-tiba pergi begitu saja.

"Mau pergi ke mana mereka ?"

"Aku tidak tahu, sepertinya mereka mengikuti pemimpin mereka," jawab kepala dusun.

Akhirnya serigala gemuk pun tiba bersama Frey di puncak bukit itu. Serigala kurus tampak senang dengan kedatangan mereka. Frey masih sekarat, darahnya bercucuran membasahi tombak yang menusuknya. Dia mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar, dia melihat seorang gadis memakai jubah putih dengan kerudung yang menutupi sebagian rambut dan wajahnya. Dia mulai teringat kembali pada seseorang yang selalu hadir dalam mimpinya.

"K-Kau?!" desah Frey melemah.

"Jangan bergerak! Tombak ini harus dicabut dari tubuhmu," ujar gadis itu sambil berusaha mencabut tombak yang menancap.

Tombak itu terlepas dari punggung Frey. Gadis itu kemudian mengangkat tombak yang ada di tangannya. Lolongan serigala saling bersahutan di atas bukit. Bulan purnama kemerahan semakin menerangi gelapnya malam. Gadis itu mulai mengangkat kedua tangannya yang memegang tombak ke arah bulan purnama.

Suasana berubah menjadi hening. Angin tidak berani berembus. Cahaya bulan purnama terlihat berkumpul di ujung tombak yang berlumuran darah. Gadis itu menggerakkan tombaknya seperti membelah bulan. Cahaya yang amat terang turun dari langit. Menyilaukan mata setiap makhluk yang ada di bukit itu.

"Apa itu?" tanya salah satu warga takjub.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sana?" tanya warga lainnya heran.

Cahaya itu menerangi seluruh bukit. Semua orang yang menyaksikan hal itu merasa takjub dibuatnya. Gadis itu kemudian menancapkan tombaknya di atas tanah.

"Malam ini, aku kembalikan kalian semua ke tempat yang seharusnya. Kalian penduduk Gothia yang tersesat di dimensi ini harus kembali dan tinggal selamanya di negeri kalian. Ketakutan kalian segera sirna, penindasan atas diri kalian segera berakhir. Kini pintu gerbang menuju negeri Gothia telah terbuka. Kembalilah ke sana dan jangan putus asa. Teruslah berdoa dan berusaha karena pemimpin baru kalian akan segera hadir di antara kalian," ujar gadis itu dengan penuh keyakinan.

Serigala-serigala itu saling bersahutan menggonggong dan melolong. Frey merasa heran dengan apa yang sedang terjadi. Perlahan-lahan cahaya itu mengubah gerombolan serigala menjadi manusia. Frey merasa takjub dibuatnya. Manusia-manusia itu pun perlahan hilang di antara cahaya menyilaukan itu, begitu juga dengan serigala gemuk dan serigala kurus yang pernah berlari bersamanya. Mereka menjadi manusia dan lenyap di antara cahaya itu. Frey pun berubah wujud menjadi manusia kembali.

"Mari! Peganglah tanganku dan segera pulang," ujar gadis itu mengulurkan tangannya.

Frey yang masih merasa kesakitan berusaha untuk bangkit dan melihat wajah gadis yang memegang tangannya. Saat Frey melihat wajah gadis itu, matanya terbelalak dan kaget.

"T-tidak mungkin !"