Perlahan-lahan kesadaran Frey mulai kembali. Sayup-sayup terdengar suara bising nyamuk di sekelilingnya. Ia mencoba membuka kedua matanya, mengumpulkan seluruh kesadarannya. Samar-samar terlihat sekumpulan cahaya biru mengelilingi tempatnya terbaring. Pemuda itu mulai bangkit dari tidurnya.
"Cahaya apa ini? Apa aku sedang ada di akhirat?" tanya Frey terdengar lemas.
Lupita tampak gembira melihat Frey siuman. Segera ia mendekati Frey dan mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun, kepakkan sayapnya terhenti saat Evodith menarik bahunya.
"Jika kau ingin berbicara dengannya, ubah dulu wujudmu. Dia pasti akan mengerti dengan apa yang kau katakan," ujar Evodith.
"Begitu ya? Baiklah."
Ketika Lupita hendak pergi untuk mengubah wujudnya, Crow datang menghampiri Frey yang masih terbaring dan kebingungan. Lupita mengurungkan niatnya, lalu kembali bergabung ke dalam kerumunan. Crow berjalan menyingkirkan kerumunan peri sambil membuka tudung jubahnya.
Kini, wajahnya tampak jelas. Matanya hijau menyala. Telinganya tidak seperti peri lainnya yang memiliki bentuk lebar dan lancip di ujungnya. Ia memiliki bentuk kuping seperti manusia, hanya saja kulitnya berwarna abu-abu. Wajahnya memiliki luka bekas tebasan pedang yang memanjang dari kening sebelah kanannya hingga dagu sebelah kirinya. Rambutnya yang berwarna pirang memiliki panjang sampai ujung punggungnya itu, diikat ekor kuda.
Melihat penampakan pria bersayap gagak itu, Frey yang semula kebingungan berubah menjadi gemetar ketakutan. Ia menyatukan kedua tangannya dan memejamkan mata seolah memohon. "Tolong, jangan sakiti aku, Malaikat Pencabut Nyawa. Aku bersumpah kalau aku tidak memakan Pak Satrio. Aku bukan manusia serigala."
Crow mengerutkan dahi. Firasatnya berkata, bahwa Frey memang lugu dan tak tahu-menahu soal Gothia. Raut wajahnya yang tampak ketakutan pun membuat Crow iba. Perlahan ia duduk di sebelah Frey, lalu menepuk pundak pemuda itu.
"Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu," katanya sembari tersenyum simpul.
"K-kalau kau bukan Malaikat Pencabut Nyawa, lalu siapa? Benarkah kau tidak akan mencabut nyawaku?" tanya Frey gemetar hebat, lalu beringsut sedikit dari tempatnya semula duduk.
Crow menggeleng, lalu berkata, "Tentu saja tidak, Anak Muda. Untuk apa aku mencabut nyawamu? Aku pimpinan dari para peri. Panggil saja aku Crow. Oh, ya, siapa namamu?"
Frey termenung sejenak. Terlintas di benaknya akan kata-kata Monet sewaktu di penginapan. Dengan hati-hati, ia pun menjawab, "F-Frey ... namaku Frey."
Crow tidak puas dengan jawaban yang keluar dari bibir Frey. Sembari mengerutkan dahi, ia melihat pemuda itu dengan tatapan menelisik. "Frey saja?"
Pemuda itu mengangguk cepat.
"Frey ... aku rasa kau memiliki nama belakang." Crow bangkit sejenak sambil mengelus dagu, sedangkan Frey masih tampak tegang dan sesekali menelan ludah. "Coba kutebak. Pasti namamu Frey Likantrof. Benar, kan?"
Frey terkesiap tatkala melihat pria tinggi besar itu menatapnya kembali. Napasnya memburu, matanya membelalak. Ia tercenung sejenak dan berpikir, bagaimana bisa Crow mengetahui nama lengkapnya?
"Apakah tebakanku benar?" tanya Crow.
Frey yang kebingungan, berusaha untuk menutupi kebenarannya. Kekhawatirannya seakan menggiring pemuda itu untuk berpikir buruk pada pemimpin peri. Ia curiga, bahwa Crow dan para peri adalah sekutu dari bangsa vampir.
"Tak usah khawatir, Frey. Kami tidak ada hubungannya sama sekali dengan bangsa vampir," jelas Crow sembari duduk di samping Frey. "Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengetahui nama belakangmu."
Dengan cepat Frey menoleh ke arah Crow, lalu mengangguk. "Iya. Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau punya indera keenam?"
"Kami tidak seajaib itu, Frey. Kau tahu? Klan Likantrof memiliki ciri-ciri khusus di tubuhnya. Mereka memiliki tanda bulan sabit merah di tengkuknya dan kepala serigala di dadanya, termasuk kau."
"J-jadi ... tanda lahirku juga menjadi penanda bahwa aku adalah orang yang dicari bangsa vampir? Astaga!" Frey tertegun dengan mata membelalak. Ia berpikir, sia-sia saja menyembunyikan nama belakangnya, sementara di tubuhnya terdapat ciri khusus yang mudah dikenali.
"Ada apa, Frey?" tanya Crow.
Ketika pemuda itu hendak menjelaskan, seorang peri yang baru saja datang ke bukit berbatu, mengubah wujudnya menjadi seukuran Frey. Wajahnya tampak gelisah, napasnya terengah-engah. Ia begitu tak sabar ingin menyampaikan sebuah kabar pada pimpinannya.
"Crow! Gawat, gawat!" seru peri itu dengan terengah-engah.
Segera Crow bangkit, menghampiri peri bergaun hijau gelap itu dengan tatapan gelisah. "Ada apa Juhl? Kenapa kau terburu-buru begitu?"
"Di Jurang Api ... di Jurang Api ada manusia serigala yang akan dieksekusi," jawab peri bernama Juhl itu dengan nada tinggi.
Semua peri terkejut, pun dengan Crow dan Frey. Setelah sekian lama peperangan antar dua makhluk ganas usai, baru kali ini terjadi kembali eksekusi mengerikan itu. Frey yang tampak cemas, diam-diam memikirkan Monet. Pemuda itu memiliki firasat, bahwa seseorang yang telah menyelamatkannya ditangkap oleh bangsa vampir dan akan dimasukkan ke Jurang Api.
"Crow, bawa aku ke sana," pinta Frey tanpa berpikir lagi.
"Membawamu ke sana? Tidak, tidak! Kau di sini saja. Kondisimu belum benar-benar pulih," cegah Crow.
"Jangan larang aku, Crow! Dia sudah menyelamatkanku. Aku tidak bisa jika harus kehilangan orang baik seperti dia," desak Frey sedikit memaksa.
Evodith yang kesal melihat tingkah sok pahlawan Frey, secepat mungkin mengubah wujudnya. Ia mendorong Frey dengan kasar hingga membuat pemuda itu terkejut.
"Jangan bertindak gegabah, Bocah Bodoh! Apa kau tidak mengerti? Kalau sampai bangsa vampir mengetahui jati dirimu, kau akan dilemparkan ke sana juga," sungut Evodith dengan tatapan berapi-api.
"Aku tidak peduli! Apa gunanya aku hidup di sini, di negeri asing ini? Lebih baik mati daripada dikejar-kejar rasa takut dan bingung," bentak Frey mengelak.
"Evodith benar, Frey," sela Crow menepuk bahu pemuda itu. "Sebaiknya kau tidak usah ke sana. Kehadiranmu di negeri ini bukan tanpa arti. Kau satu-satunya harapan kami untuk bangkit dari cengkeraman bangsa vampir."
"Harapan kalian? Apa gunanya nama belakangku ini, jika aku sendiri tak memiliki kekuatan sama sekali?" Frey tertunduk lesu.
"Kau tidak sendirian, Frey. Ada kami. Dulu kami sekutu klan Likantrof. Kami bekerja sama dengan bangsa manusia serigala dalam segala hal. Bahkan, hingga saat ini para peri hitam tak pernah menampakkan diri di antara bangsa vampir dan tak pernah setuju dengan mereka," jelas Crow menenangkan.
"Jika benar begitu, ayo bantu aku menyelamatkan Monet! Bukankah kau bilang para peri hitam pernah bekerja sama dengan bangsa manusia serigala? Monet bagian dari manusia serigala juga. Jadi, tunggu apa lagi?" kata Frey menatap lekat kedua mata Crow.
Para peri hitam saling bertatapan. Terdapat keraguan di wajah mereka. Kejadian di masa lalu yang sangat mengerikan, membuat hati mereka gentar. Beberapa dari peri hitam memilih pergi dari bukit bebatuan itu. Mereka tak mau ambil risiko, kalau-kalau sampai tertangkap, maka tiada lagi peri yang melindungi hutan itu.
Melihat ketidakpedulian para peri, Frey semakin kecewa. Ia bergegas pergi meninggalkan tempat para peri, berharap menemukan jalan keluar dan menyelamatkan Monet secepatnya. Akan tetapi, langkahnya seketika terhenti tatkala seseorang memegang tangannya.
Saat Frey menoleh, tampak seorang gadis bergaun hitam kerlap-kerlip. Rambutnya ikal panjang, bola matanya berwarna hijau terang. Ia tidak lain adalah Hefeta, yang mengubah wujudnya.
"Lepaskan aku! Jika kau tidak mau membantuku, pergi saja bersama peri-peri yang lain," bentak Frey melepaskan genggaman Hefeta dengan kasar.
"Aku akan membantumu," kata Hefeta terdengar meyakinkan.
Frey yang merasa kecewa, berubah senang. "Benarkah?"
Hefeta mengangguk.
"Hefeta, jangan gegabah kau! Bagaimana caranya kau akan membantu dia, sedangkan kita tak punya strategi?" Evodith menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa.
Crow memandang Hefeta dengan tatapan kosong. Hefeta yang menyadari keraguan di mata Crow, menganggukkan kepala sebagai isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan satu kedipan mata, pria berkulit abu-abu itu setuju dengan sesuatu yang akan dilakukan anak buahnya.
"Jangan cegah Hefeta, Evodith. Dia tahu apa yang harus dilakukannya," ujar Crow dengan nada tenang.
Mendengar ucapan pemimpinnya, Evodith menoleh sembari mengerutkan dahi. Ia seakan tak percaya, Crow akan setuju dengan perbuatan Hefeta.
Sementara itu, Hefeta mengeluarkan serbuk berwarna hijau kerlap-kerlip dari tangannya ke tubuh Frey. Seketika pemuda itu menghilang dari bukit bebatuan bersama Hefeta. Crow berharap, anak buahnya tak ceroboh dalam melakukan tipu daya.
***
Gotham bersama pasukannya membawa Monet menuju Jurang Api. Ia menyeret anak pemilik penginapan itu dengan kasar, hingga menggantungnya di tepi jurang. Api menyala-nyala dari dasar jurang, seolah tak sabar melalap gadis yang hendak dieksekusi. Hawa panas menjalar di sekitarnya, membuat pasukan vampir gerah. Makhluk-makhluk yang menyaksikan eksekusi itu memandang ngeri, bahkan tak sedikit yang meneteskan air mata.
Dari kerumunan makhluk yang menyaksikan eksekusi itu, seorang pria paruh baya berjanggut sedang berjalan tergesa-gesa menuju kerumunan pasukan vampir. Ia tidak lain adalah Boris, ayah dari Monet. Hatinya remuk redam setelah mengetahui putrinya ditangkap oleh bangsa vampir. Baginya, hanya sekarang kesempatan untuk menyelamatkan Monet. Dengan kekuatan seadanya, Boris terus berusaha menyingkirkan vampir-vampir yang mendampingi Gotham, meski berulang kali gagal.
Sembari menangis tersedu-sedu, Boris terus mengadang vampir yang menghalanginya. Kegigihannya dalam menyelamatkan Monet benar-benar besar.
"Minggir kalian semua! Apa kalian tidak punya empati pada seorang ayah sepertiku ini? Aku harus menyelamatkan putriku!" hardik Boris dengan sesenggukan, mendorong salah satu anggota pasukan vampir.
"Pria sepertimu tak pantas dikasihani. Salahmu sendiri tak becus mengurus anak!" balas vampir itu mendorong Boris.
Mengetahui tindakan kasar salah satu anggota pasukannya, Gotham yang semula menikmati hukuman yang hendak dijalani Monet pun berbalik badan. Dihampirinya Boris yang masih tersedu sedan atas ketidakberdayaannya menyelamatkan sang putri. Sembari menyunggingkan senyum, pria berkulit putih pucat itu tampak puas melihat penderitaan di wajah ayah Monet.
Perlahan Gotham menggenggam lengan Boris, lalu berkata, "Kau ingin menyelamatkan putrimu, 'kan? Ayo ikut aku!"
Boris terheran-heran memperhatikan sikap Gotham. Keduanya berjalan ke tepi jurang. Saat melihat Monet yang digantung di tepi jurang, air mata Boris meleleh. Sungguh, hati pria paruh baya itu hancur berkeping-keping mengetahui kondisi putrinya begitu lemas tak berdaya dengan tombak yang menusuk tubuhnya.
"Monet! Putriku!" panggil Boris dengan suara seraknya. Ia bergegas menghampiri putrinya, tapi tertahan oleh genggaman Gotham. Sementara Monet menatap nanar ke arah ayahnya berada sambil meneteskan air mata.
"Mau ke mana kau? Menyelamatkan putrimu?" tanya Gotham disertai seringai jahat di bibirnya.
"Lepaskan aku!"
"Tidak semudah itu, Boris! Kau pikir aku akan membiarkanmu melepaskan pengkhianat itu? Tentu saja tidak."
Kedua mata Boris membelalak.
"Aku membawamu kemari bukan untuk menyelamatkannya," jelas Gotham menatap Boris lekat-lekat. "Kau tahu? Aku akan sangat senang bila melihat kalian berpisah untuk terakhir kalinya. Ha ha ha ... itu akan sangat menghibur."
"Brengsek! Biadab kau!"
Tanpa memedulikan hinaan Boris, Gotham memandang ke arah empat vampir yang berdiri di dekat Monet. "Cepat! Masukkan gadis itu ke jurang api!"
Mereka mematuhi perintah Gotham, salah satunya yang memegang pedang pun langsung memutus tali. Monet berteriak sekencang-kencangnya pada ayahnya, hingga gaung suara gadis itu menghilang bersama tubuhnya yang dilalap api. Para vampir yang menghadiri eksekusi itu tertawa puas. Pun dengan Gotham, merasa senang telah membuat penduduk Gothia ketakutan akan kuasanya.
Sementara itu, Vernon dan Gregory yang meringkuk di balik jeruji besi, masih termenung. Setelah Monet dibawa ke Jurang Api, pikiran Gregory mendadak kalut. Sumpah gadis itu akan kehidupannya dan Vernon masih terngiang-ngiang. Sesekali Gregory menoleh pada Vernon, lalu memejamkan mata. Namun, bayangan dan perkataan Monet kala itu bagaikan mimpi buruk.
"Aku tidak bisa begini terus, Vernon!" teriak Gregory bangkit dari pembaringannya. "Kita harus datangi bocah itu dan meminta maaf."
"Omong kosong apa yang kau katakan itu, Gregory? Tenang saja, kita akan tetap aman. Mereka tidak akan melenyapkan kita. Lagi pula, untuk apa meminta maaf pada Frey? Kita tidak tahu ada di mana dia sekarang."
"Kalau begitu, kita cari dia."
"Jangan bodoh, Greg. Kita sedang ada di dalam penjara, bagaimana bisa kita mencarinya? Sudahlah, jangan pikirkan ucapan gadis itu. Setidaknya kita masih bisa tinggal di negeri ini."
Greg mendengus kasar, lalu mendelik ke arah Vernon. "Lalu kita harus bagaimana? Tetap tinggal di penjara dan memakan makanan sisa prajurit vampir?"
Vernon bergeming. Namun beberapa saat kemudian, terdengar suara penjaga penjara memberitahukan kedatangan Ratu Esther ke sana. Gregory dan Vernon berdiri, bersiap mendengar kabar yang akan dikatakan ibu dari Gotham itu.
Suara langkah kaki mendekat ke sel tempat Vernon dan Gregory ditahan. Tak lama kemudian, muncul sosok wanita beserta dua vampir di belakangnya. Dari penampilannya yang mewah dengan gaun merah menyala, Vernon dan Gregory dapat mengenalinya sebagai ibunda dari Gotham.
"Jadi, kalian yang memberitahu putraku tentang keberadaan Likantrof?" tanya Ratu Esther menaikkan sebelah alisnya.
Vernon mengangguk cepat. "Kami membawanya dari dimensi lain."
"Dimensi lain?" Ratu Esther mengerutkan dahi. "Kalian pernah kabur ke dimensi lain? Ah, sudah kuduga. Jika kalian bisa kabur ke dimensi lain, pasti Likantrof juga."
"Yang Mulia, kapan kami dibebaskan dari sini?" Gregory menyela.
"Dibebaskan katamu? Gotham tidak akan pernah melakukan itu," jelas Ratu Esther, tersenyum kecut.
Vernon dan Gregory terkejut.
"Tidak mungkin! Kami sudah memberitahunya tentang keberadaan salah satu dari klan Likantrof. Yang benar saja kami harus dimasukkan ke Jurang Api?!" ucap Vernon dengan nada tinggi. Ia tak terima jika harus kehilangan nyawa setelah melakukan hal yang menurutnya benar.
"Dengarkan aku baik-baik!" kata Ratu Esther menatap tajam. "Manusia serigala seperti kalian tidak pantas bebas di negeri ini. Kalian memiliki kesempatan untuk berkhianat pada kami. Maka dari itu, Gotham tak akan membiarkan kalian tetap hidup."
Kedua mata Gregory membelalak. "Jadi, kami akan segera dimasukkan ke Jurang Api juga?!"
"Tentu saja."
"Tidak bisa begitu, Yang Mulia!" sergah Vernon berang.
"Ah, sudahlah. Setidaknya kami beruntung sudah diberitahu oleh makhluk bodoh seperti kalian." Ratu Esther berbalik badan, lalu meninggalkan sel Vernon dan Gregory bersama dua pengawalnya.
Mendengar ucapan Ratu Esther, sebuah penyesalan muncul di hati Vernon. Ia tak menyangka bahwa perbuatannya justru merugikan. Sesekali ia melirik pada Gregory. Namun, pria berbadan gemuk itu malah menatap sinis.
"Apa? Sekarang kau baru menyesal, kan?" tanya Gregory sambil memelototi Vernon.
***
Frey dan Hefeta tiba di sebuah hutan. Pepohonan tumbuh tidak begitu rimbun, sehingga cahaya rembulan dapat masuk ke sana. Saat memperhatikan pemandangan di sekelilingnya, Frey teringat pada sebuah tempat yang pernah dilihatnya di cermin ajaib pemberian gadis buta. Kendati demikian, ia terheran-heran sekaligus kesal pada Hefeta. Keinginannya menyelamatkan Monet urung terlaksana. Segera ia menghampiri peri jahil itu dengan menatap tajam.
"Apa maksudmu membawaku kemari? Bukankah kau bilang akan membantuku?" tanya Frey bersungut-sungut.
Melihat amarah di wajah Frey, Hefeta terkikik-kikik. "Aku sudah membantumu, Frey."
"Membantu apanya? Ah, kau ini memang tidak waras! Maksudnya, kau antar aku ke Jurang Api, lalu menyelamatkan Monet. Bukan ke tempat aneh ini."
"Sudahlah, jangan menggerutu seperti itu. Sekarang kau berjalan lurus saja lewat sana," kata Hefeta menunjuk sebuah jalan yang cukup lebar di antara rimbunnya pepohonan.
"Memangnya itu jalan menuju ke mana? Ke Jurang Api?"
"Tak usah banyak tanya. Turuti saja perkataanku, nanti kau akan tahu."
Frey mendelik. "Aku curiga, jangan-jangan kau membawaku ke kediaman bangsa vampir. Kalian memang tidak bisa dipercaya."
Hefeta tertawa terbahak-bahak, lalu mengubah wujudnya menjadi kecil. Selanjutnya ia terbang menuju hutan peri tanpa menjelaskan apapun.
"Hefeta! Mau pergi ke mana kau? Beri tahu aku dulu!" seru Frey mengejar cahaya biru, kemudian berhenti dengan napas terengah-engah. "Makhluk-makhluk di sini memang aneh," umpatnya.