Evodith masih memantau pergerakan vampir dan si gadis buta yang memasuki hutan. Cahaya terang yang terpancar dari tubuh gadis buta itu membuat Evodith khawatir. Melihat beberapa prajurit vampir mengejar si gadis buta hingga merangsek jauh ke dalam hutan, peri hitam itu semakin cemas.
Menyadari keadaan semakin berbahaya, cepat-cepat ia mendekati si gadis buta yang sedang terduduk letih di bawah pohon. Dengan kekuatan ajaibnya, ia mengeluarkan serbuk hitam kelap-kelip dari tangannya sampai menutupi seluruh tubuh si gadis buta yang bercahaya. Gadis buta menyadari tubuhnya telah ditaburi oleh sesuatu. Ia menepuk-nepuk pakaiannya, berusaha membersihkan bubuk hitam di sekujur tubuhnya. Tentu saja Evodith kesal.
"Oh, ayolah! Yang benar saja aku harus menaburkan semua serbuk hitamku pada gadis ini? Aku harus bagaimana? Jika mengubah wujud dan memperingatkan gadis itu, aku khawatir vampir-vampir itu akan menyerang hutan ini. Apa aku harus memanggil Hefeta kemari untuk memindahkan gadis itu? Hm, baiklah, akan kucoba," gumam Evodith, semakin panik.
Kemampuan telepati antarperi pun dikerahkan oleh Evodith. Ia menutup mata, sambil mencari Hefeta melalui pikirannya. Ternyata temannya itu tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa meter dari para vampir memasuki hutan, diam-diam Hefeta juga sedang mengawasi pergerakan mereka.
"Evodith! Bagaimana bisa mereka kemari? Jangan bilang kau membawanya lagi untuk menemui Crow," kata Hefeta melalui telapatinya.
"Aku tidak sebodoh itu, Hefeta! Ini semua gara-gara gadis yang memancarkan cahaya terang dari tubuhnya. Dia bukannya pergi meninggalkan hutan, tapi malah masuk kemari. Jika saja aku punya kemampuan memindahkan barang sepertimu, pasti sudah kulakukan dari tadi," jelas Evodith.
"Ah, ini masalah besar! Baiklah, aku akan segera ke sana. Sebaiknya kau tutupi saja dia dengan serbuk hitammu sampai aku datang," usul Hefeta.
"Cepatlah ke sini!" pungkas Evodith mengakhiri perbincangannya melalui telepati.
Mendengar suara Evodith yang semakin panik, Hefeta terbang meninggalkan dahan pohon tempatnya memantau. Kecepatan terbangnya semakin tinggi, melewati banyak pohon dan dahan. Dengan cekatan, ia menyelip ke setiap celah yang menghalanginya. Saat hendak melewati cahaya biru di salah satu pohon, ia pun berhenti. Tampak Evodith kelelahan menaburkan serbuk dari tangannya, sedangkan si gadis buta masih sibuk menepuk-nepuk sekujur tubuhnya.
"Evodith," sapa Hefeta mendekati temannya. "Sebaiknya kau buat hutan ini menjadi lebat dan giring vampir-vampir itu keluar. Aku akan urus dia."
Bergegas Evodith menuju para prajurit vampir yang berjalan memasuki hutan. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ditumbuhkannya pepohonan hingga rindang dan tak mampu ditembus. Para prajurit vampir pun mengubah wujudnya menjadi kelelawar agar mampu masuk lebih dalam ke hutan itu. Akan tetapi, Evodith tak mau tinggal diam. Pepohonan di sekitarnya dibuat menjadi lebih tinggi dan bersulur. Beberapa kelelawar tersangkut sulur, bahkan sampai kesulitan melepaskan diri sekalipun mengubah wujudnya kembali menjadi manusia. Evodith tersenyum lebar melihat prajurit vampir kebingungan untuk melepaskan diri.
Di tempat si gadis buta bersembunyi, Hefeta turun dari pohon, kemudian berubah wujud agar lawan bicaranya dapat mendengarkan perkataannya. Memandang roh suci yang justru celingak-celinguk seakan tak mengetahui kehadirannya, peri bergaun hitam itu menepuk pundak si gadis buta.
"Katakan padaku, kau berasal dari mana? Apa kau salah satu dari roh suci?" tanya Hefeta bernada lembut.
"S-siapa kau? Apa kau salah satu dari prajurit vampir?" tanya si gadis buta, suaranya terdengar gemetar.
"Bukan. Aku peri hutan ini. Berdirilah! Jika memang kau salah satu dari roh suci, maka aku akan membawamu kembali ke Istana Arwah Suci," bujuk Hefeta memegang kedua lengan si gadis buta untuk membantunya berdiri.
"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Meskipun aku buta, aku masih bisa menggunakan insting untuk bisa tiba di sana."
"Kumohon, terimalah bantuan dariku ini. Jarang-jarang aku berbuat baik pada makhluk yang tersesat di hutan ini. Lagi pula, tidak baik kau pulang sendirian. Tubuhmu memancarkan cahaya. Bisa gawat kalau sampai prajurit vampir mengikutimu dari belakang."
Gadis buta itu termenung sesaat, lalu berkata, "Apa kau serius akan mengantarku ke Istana Arwah Suci? Aku tidak yakin kau akan berbuat begitu. Sepengetahuanku, Peri Hitam itu terkenal jahil dan culas."
"Aku serius! Aku melakukan ini karena tidak mau keberadaanmu menjadi bencana bagi kami, para peri. Itulah sebabnya aku akan membawamu pulang ke istana," ucap Hefeta meyakinkan.
"Baiklah. Jika benar begitu, antar aku ke sana," kata si gadis buta memegang tangan Hefeta, lalu beranjak dari tempatnya terduduk tadi.
"Tetaplah di sini. Tak usah berjalan kaki," ujar Hefeta melepas tangan si gadis buta. "Aku akan mengantarmu dengan kekuatanku."
Gadis buta menuruti perkataan Hefeta. Ia berdiri berhadapan dengan Hefeta, hingga peri itu mengeluarkan sebuah cahaya berwarna hijau kelap-kelip dari telapak tangannya. Cahaya itu berpendar mengelilingi tubuh keduanya, lalu lenyap begitu saja bersama hilangnya sosok mereka.
Sementara itu, di belantara hutan yang lain, Vernon dan Gregory kebingungan mencari jalan keluar. Namun, setidaknya mereka bersyukur karena sudah berhasil kabur dari cengkeraman Gotham. Sambil menyusuri hutan, mereka berbincang-bincang tentang nasibnya berada di Gothia.
"Setelah ini kita akan ke mana? Apa kita akan mencari tempat tinggal di permukiman penduduk?" tanya Gregory sambil memandang jauh.
"Tidak. Kita tidak akan ke sana lagi. Bagaimana kalau sampai Gotham mencari-cari kita ke sana? Bisa-bisa usaha kita melarikan diri sia-sia saja."
"Lalu, kita akan ke mana? Kembali ke dimensi lain dan jadi kuli panggul di pasar?"
"Itu mustahil, Greg. Kita harus menemui gadis berkerudung putih itu. Kita juga tidak tahu di mana dia sekarang."
"Ah, benar juga." Gregory mengangguk. "Ini semua salahmu, Vernon. Jika saja kau tidak mengajakku untuk melaporkan kehadiran bocah itu pada prajurit vampir, mungkin hidup kita akan baik-baik saja hingga saat ini."
"Sudahlah, Greg! Mau sampai kapan kau menyalahkanku terus? Aku sudah lelah mendengar omelanmu sejak masuk ke penjara. Sekarang aku semakin pusing memikirkan nasib kita."
"Baiklah. Sekarang kita hanya bisa pasrah, menjalani hukuman dan sumpah yang dilontarkan oleh anak pemilik penginapan itu."
"Ayolah! Jangan ingatkan lagi aku tentang sumpah itu! Aku tidak percaya kalau sumpah itu berlaku pada kita."
Gregory berhenti sejenak, lalu menatap Vernon dengan sinis sembari mengangkat sebelah alisnya. Vernon pun heran melihat temannya tiba-tiba berhenti. Ia menoleh, lalu membalikkan badan.
"Apa?" tanya Vernon mengernyitkan kening.
"Kau yakin sumpah itu tidak berlaku pada kita?"
"Tentu saja."
"Jangan naif, Vernon! Coba kau pikir baik-baik. Walaupun berhasil kabur dari penjara, hidup kita masih tidak jelas, bahkan kau tidak mau tinggal di permukiman warga karena takut ditangkap oleh prajurit vampir. Apa kau masih tidak sadar, kalau sumpah itu sudah berlaku?"
"Terserah kau saja. Yang jelas, aku tidak percaya pada sumpah itu."
"Jika tidak percaya, coba tanyakan pada hati kecilmu."
"Aku sudah bertanya pada hati kecilku. Dia bilang, sumpah itu hanya mitos."
Dengan kesal, Gregory berjalan mendahului Vernon. Lelaki gemuk itu benar-benar tidak peduli lagi dengan tanggapan temannya pada sumpah Monet. Kini ia hanya bisa berharap ada makhluk lain yang memiliki rasa iba terhadap keselamatan mereka.
Sudah cukup jauh mereka berjalan. Rasa dahaga mulai menyerang keduanya. Mereka mencari-cari sungai, tapi nihil ditemukan. Kendati demikian, mereka terus masuk ke dalam hutan dan berharap ada permukiman penduduk di sana.
Ketika memasuki hutan yang cukup lebat, terdengar suara desik dedaunan. Mata Vernon mulai menatap waspada, khawatir kalau-kalau prajurit vampir menemukannya di sana. Sementara itu, Gregory terengah-engah akibat terus berjalan tanpa makan. Sesekali perutnya keroncongan, tapi lelaki gemuk itu berusaha menahan rasa laparnya.
"Vernon, sebaiknya kita istirahat dulu," pinta Gregory dengan napas terengah-engah, sambil membungkukkan punggungnya.
"Kita tidak punya waktu, Greg. Aku curiga, jangan-jangan ada yang mengikuti kita sejak dari penjara tadi."
"Mustahil, Vernon. Sejak kabur dari penjara, aku tidak melihat siapa pun mengikuti kita."
"Sst ...! Diam!" Vernon mulai memasang pendengarannya baik-baik.
Dari balik pepohonan, suara gemeresik terdengar semakin mendekat. Vernon melihat ke sekelilingnya dengan waspada. Pun dengan Gregory yang mulai mengabaikan rasa laparnya, mengawasi keadaan sekitar.
Rupanya, tanpa diduga seekor serigala melompat ke arah mereka. Vernon yang terkejut dengan kedatangan serigala itu, segera menepisnya sekuat tenaga hingga hewan itu tersungkur. Sementara Gregory mendapati seekor serigala lain yang menyusul menerkam mereka. Dengan cekatan, lelaki itu menghindari serigala yang hendak mencakarnya.
"Ayolah! Yang benar saja kalian melawan sesama bangsa manusia serigala," teriak Vernon kesal.
Mendengar ucapan Vernon, kedua serigala itu berhenti menyerang. Mereka justru mengubah wujudnya menjadi manusia. Ternyata Tia dan Mia, adiknya Saga. Gregory ternganga melihat dua manusia serigala kembar di hadapanya.
"Maafkan kami. Kami kira kalian dari bangsa vampir," kata Tia dengan wajah memelas.
"Tidak apa-apa. Aku memakluminya," kata Gregory tersenyum ramah.
"Bagaimana kalian bisa ada di sini? Apa kalian tersesat?" ucap Mia menatap Vernon dan Gregory.
"Kami sebenarnya kab ...." Belum usai Gregory menjelaskan, Vernon buru-buru menutup mulut lelaki gemuk itu.
"Kami sudah lama tersesat di sini. Sudah beberapa kali mencari jalan keluar, tapi tidak ketemu," jelas Vernon menyembunyikan kebenarannya.
"Baiklah. Kalau begitu, kalian ikut kami," kata Tia.
Mereka berempat berubah wujud menjadi serigala. Tia dan Mia berlari di depan untuk menunjuk arah, sedangkan Vernon dan Gregory menyusul di belakangnya. Keempatnya berlari sangat cepat, bahkan melebihi angin. Tak seperti jalur yang dilalui Frey, mereka menempuh jalan penuh pepohonan dan semak belukar di sekitarnya. Maka dari itu, Tia dan Mia sering berbelok mengubah arah larinya.
Perjalanan mereka terbayar tatkala tiba di sebuah kastil tua milik Paula Bronx Likantrof, istri Raja Karl yang terkenal ramah dan penyayang. Tanpa ragu, Tia dan Mia masuk ke dalam kastil itu, membawa dua manusia serigala yang ditemukannya di hutan. Vernon dan Gregory mengikuti dua gadis kembar itu dari belakang. Saat memasuki kastil, mereka tercengang melihat ruangan yang luas dan indah, sangat kontras dengan penampilannya dari luar.
Di tengah kekaguman mereka, datanglah Saga yang penasaran dengan kedatangan dua tamu baru. Vernon dan Gregory pun menoleh, kemudian berbalik badan menghadap Saga.
"Siapa mereka?" tanya Saga pada Tia dan Mia.
"Mereka tersesat di hutan, Kak. Makanya kami bawa kemari," terang Mia.
"Kenapa kalian bawa kemari? Bagaimana kalau mereka memberitahu bangsa vampir tentang tempat ini?" tanya Saga cemas.
"Kami tidak akan memberitahu siapa pun. Kami datang dari dimensi lain dan sudah lama tersesat di hutan ini," jelas Vernon.
Saga menatap penampilan Vernon dan Gregory dari ujung kepala sampai kaki. Sesekali ia mengangguk, lalu menatap mereka dengan tatapan menyelidik.
"Baiklah. Kalau begitu, kalian boleh tinggal di sini untuk sementara waktu. Nanti kami akan mengantar kalian ke permukiman penduduk," kata Saga dengan nada datar.
"T-tidak! Tidak usah mengantar kami ke permukiman." Gregory terbata-bata, suaranya terdengar gemetar.
"Kenapa?" tanya Saga.
"Dulu kami punya masalah dengan penduduk lain, makanya pergi ke dimensi lain," jelas Vernon dengan lancar. Ia memang ahli berbohong.
"Ah, baiklah. Sebaiknya sekarang kalian ikut aku. Sepertinya kalian sangat kelelahan tersesat di dalam hutan," ajak Saga, berjalan menuju koridor istana.
Vernon dan Gregory mengikuti Saga dari belakang, sementara si kembar kembali ke hutan untuk melaksanakan tugas. Gregory begitu kagum dengan ornamen kastil yang terlihat mewah. Ukiran berbentuk serigala menyalak tampak artistik di bagian tembok atas. Obor-obor yang terpasang di dinding menerangi jalan mereka. Entah ke mana Saga membawa mereka berdua. Saat menuruni tangga, Gregory khawatir akan dipenjara di bawah tanah.
Setibanya di sebuah kamar yang berdekatan dengan dapur, hati Gregory merasa lega. Saga membuka pintu kamar, lalu mengajak dua orang bersahabat itu masuk. Ukuran kamarnya tidak begitu luas. Ada ranjang bertingkat yang cukup dipakai berdua. Selain itu, terdapat juga lemari dan meja di sudut kiri kamar.
"Beristirahatlah di sini. Aku akan menyuruh petugas dapur membawakan makanan untuk kalian," kata Saga sambil berlalu dari kamar itu.
Vernon dan Gregory mengangguk. Sepeninggal Saga, mereka merebahkan diri di ranjang demi melepas penat setelah kabur dari penjara. Sementara itu, Saga masih menatap curiga di depan kamar. Hatinya mengatakan, firasat buruk akan terjadi jika kedua tamu baru itu berlama-lama tinggal di kastil. Bergegas ia menuju kamar Paula untuk menyampaikan hal ini. Namun, saat beberapa langkah meninggalkan kamar itu, seseorang menepuk pundaknya.
"Kau mau ke mana, Saga?" tanya Frey penasaran.
Saga berbalik badan dan terperangah. "Tuan Muda? Sedang apa Anda di sini?"
"Tadi aku lapar sekali, makanya datang ke sini. Sejak tadi aku mencari-cari dapur, ternyata cukup jauh dari kamarku," jelas Frey.
Saga menepuk jidatnya, kemudian berkata, "Astaga! Maafkan aku, Tuan Muda. Hamba lupa menyuruh pelayan untuk membawakan makanan ke kamar Anda."
"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa mencari makan sendiri." Frey tersenyum lebar. "Oh, ya, maaf aku sudah mengganggumu."
"Tak apa, Tuan Muda. Hamba permisi dulu," kata Saga membungkukkan punggung sebentar, lalu bergegas pergi.
Frey mengerutkan dahi tatkala Saga pergi. Ternyata sejak tadi ia memperhatikan penjaga hutan itu dari dekat pintu dapur. Tatapan Saga yang penuh curiga seakan-akan membuat Frey penasaran.
Setelah memastikan Saga sudah pergi jauh, Frey memegang gagang pintu. Dengan keyakinan penuh, pemuda itu mendorong pintu hingga terbuka lebar. Terlihat ada dua orang yang sedang berbaring di ranjang bertingkat. Satu orang tidur di atas dan yang lainnya berbaring di bawah. Ketika Frey hendak masuk ke kamar itu, seorang pelayan menghampirinya.
"Tuan Muda, air hangatnya sudah siap. Anda bisa berendam sekarang."
"Baiklah, aku akan segera ke sana." Frey mengurungkan rasa penasarannya dan menutup kembali pintu kamar itu. Selanjutnya ia pergi menuju bak mandi yang letaknya cukup jauh dari tempatnya kini berada.