Chereads / Moonlight Power : The Darkness War / Chapter 13 - 12. Petaka di Hutan Peri

Chapter 13 - 12. Petaka di Hutan Peri

Akhirnya, Hefeta berhasil mengantar si gadis buta di depan gerbang Istana Arwah Suci. Sebelum manusia serigala dan roh suci menyadari kehadirannya, ia segera menghilang untuk kembali ke hutan para peri. Sepeninggalnya dari sana, para penjaga istana membuka gerbang. Tampak Guru Mikhael berdiri tegap dengan dua tangan di belakangnya. Wajahnya merah padam memendam amarah. Rupanya ia kesal mengetahui si gadis buta yang berbohong, terlebih saat melihat serbuk hitam menutupi sekujur tubuhnya.

Si gadis buta berjalan memasuki gerbang istana dengan tergugu. Sekali lagi, instingnya tak pernah salah. Kemarahan yang dipendam oleh sang guru, dapat dirasakannya pula. Dengan tertunduk, ia menghadap Guru Mikhael.

Ibu si gadis buta yang sejak tadi berdiri di dekat gerbang, khawatir melihat putrinya akan dimarahi oleh Guru Mikhael. Ia berlari menuju gerbang untuk membela putrinya, tapi tujuan baiknya justru dihalangi oleh penjaga. Dengan kasar, mereka mendorong ibu si gadis buta hingga tersungkur. Gerbang pun ditutup, dan ia tak bisa membela putrinya yang akan diinterogasi oleh sang guru.

Di halaman istana, Guru Mikhael menatap tajam si gadis buta. Sesekali ia menghela napas dalam-dalam, guna meredam amarah yang bergejolak di dadanya sejak tadi. Pria tua itu tahu, bahwa si gadis buta mampu merasakan sesuatu di dalam hatinya.

"Dari mana saja kau? Bukankah tadi kau bilang ingin menemui ibumu?" tanya Guru Mikhael dengan datar.

"A-aku ... bukankah Guru juga tahu, aku bertemu dengan ibuku di luar gerbang?"

"Ya, aku tahu itu. Tapi serbuk hitam di sekujur tubuhmu berkata lain," kata Guru Mikhael, menepuk-nepuk bahu si gadis buta.

Gadis buta itu membelalakkan mata. Pelan-pelan ia menepuk pakaiannya, lalu meraba serbuk yang telah mengotori sekujur tubuhnya.

"Katakan padaku! Kau dari mana saja?"

"A-aku ... aku ... aku habis jalan-jalan. Aku bosan tinggal di sini terus."

"Jika memang begitu, kenapa kau tidak bilang padaku ingin berjalan-jalan di luar? Aku akan mengantarmu."

"Maaf, Guru. Aku ingin berjalan-jalan sendiri saja."

Guru Mikhael memegang kedua pundak si gadis buta dan berkata, "Astaga! Kau masih tidak mengerti rupanya. Kau ini sangat berharga bagi kami dan warga Gothia. Itulah mengapa kau dilindungi di istana ini, di tempat paling aman bagimu."

Si gadis buta terdiam dan menunduk.

"Lain kali, kalau kau ingin berjalan-jalan ke luar, beritahu aku."

Setelah cukup lama bergeming, gadis buta itu berkata, "Guru, mengapa kau dan warga Gothia menganggapku berharga? Bukankah aku sama seperti roh suci lainnya? Mereka semua punya nama dan bisa keluar istana kapan saja, sedangkan aku? Kenapa kau membedakanku dari yang lainnya?"

Alih-alih memberitahu, pria tua itu melenggang ke area istana yang lain tanpa meninggalkan jawaban. Sedikit pun ia tak ingin mengungkapkan sebuah rahasia yang dipendamnya selama ini. Menurutnya, ketidaktahuan si gadis buta lebih baik daripada terungkapnya rahasia besar yang ditutupinya bersama para roh suci.

Sementara itu, Hutan Peri Hitam tampak merah menyala dan asap hitam mengepul dari kejauhan. Hefeta khawatir para prajurit vampir membakar tempat tinggalnya. Dengan kemampuannya berpindah tempat, ia bisa cepat sampai di sana.

Hawa panas terasa sangat membakar sekujur tubuh Hefeta tatkala tiba di hutan. Sambil terbatuk-batuk ia mencari Evodith yang bertugas untuk mengeluarkan para vampir dari hutan itu. Ketika semakin dalam memasuki hutan, tak sengaja ia melihat Evodith yang berukuran manusia sedang terbaring di dekat pohon. Wajah temannya itu tampak lesu dan ada sedikit luka di pipi sebelah kirinya. Mulutnya mengeluarkan sedikit darah.

"Evodith! Evodith!" teriak Hefeta menghampiri Evodith, sambil berubah wujud menjadi seukuran manusia.

Evodith berusaha membuka mata. Samar-samar terlihat Hefeta sedang menepuk pipinya.

"Evodith, bangunlah!" seru Hefeta membaringkan kepala Evodith di pangkuannya.

"Hefeta," ucap Evodith lesu, suaranya terdengar parau.

"Katakan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kau mengusir para vampir itu?"

Evodith menghela napas panjang, lalu memegang tangan Hefeta erat-erat. Untuk sesaat ia menutup mata rapat-rapat, mengingat keajadian mengerikan itu dimulai. Seketika tubuhnya bergidik ngeri ketika bayangan wajah Gotham yang sangat dingin dan mengerikan, melintas di pikirannya.

"Evodith! Kau mengingat apa?"

"Raja para vampir ... d-dia. Dia nyaris membunuhku!" pekik Evodith, suaranya terdengar gemetar ketakutan.

Hefeta terkesiap. "Apa?! Bagaimana bisa dia ke sini?"

Evodith mulai bercerita. Saat itu kekuatannya menumbuhkan pepohonan dan sulur berjalan mulus. Para vampir kesulitan melepaskan diri dari sulur-sulur yang dibuat olehnya, bahkan mereka masih tidak bisa kabur meski berubah wujud. Mereka dimasukkan ke dalam tanah dan Evodith menumbuhkan duri pada sulurnya agar mereka terluka. Para prajurit vampir pun semakin tak berdaya, sehingga dapat dikeluarkan dari hutan dengan mudah. Peri itu berpikir, bahwa semuanya telah selesai. Maka dari itu, ia bersantai lagi di dahan pohon sambil menunggu Hefeta datang. Namun, tanpa sepengetahuannya, ternyata ada satu kelelawar yang luput dari pengawasannya dan berhasil melarikan diri.

Bangsa vampir yang terkenal gigih dan pantang menyerah, tidak mau harga dirinya terluka karena telah dikalahkan oleh satu peri. Vampir yang berhasil meloloskan diri itu melapor pada Gotham bahwa prajurit lainnya telah dikalahkan oleh peri hitam. Gotham tak terima kekalahan prajuritnya dan memutuskan untuk pergi menuju hutan bersama pasukan yang lebih besar.

Dalam wujud kelelawar, mereka terbang menerobos hutan yang sangat gelap itu. Evodith yang tengah bersantai pun terkesiap menyadari banyak kelelawar masuk ke dalam hutan. Dengan mengandalkan kekuatannya, ia menumbuhkan kembali pepohonan sampai sangat lebat. Sulur-sulurnya dibiarkan memanjang agar mudah menjerat kelelawar-kelelawar itu. Akan tetapi, usahanya tidak berjalan maksimal jika dilakukan sendiri. Ia mencoba menggunakan telepati untuk memanggil peri lain agar membantunya.

Sementara beberapa kelelawar terjerat sulur, Gotham menyadari bahwa ada peri yang berusaha menghalanginya. Ia berubah wujud menjadi vampir, dan tak mau tinggal diam saat melihat Evodith sedang mengarahkan sulur-sulur berduri untuk menyerangnya. Ia membuka telapak tangannya, lalu mengarahkan sebuah cahaya merah kepada Evodith. Seketika telepati yang dilakukan Evodith gagal, karena sudah lebih dulu tumbang diserang oleh Raja Gotham.

Untuk mengimbangi serangan Gotham, Evodith berubah wujud. Dari tangannya, muncul ranting pohon yang sangat tajam dan berukuran cukup besar. Dilemparkannya ranting-ranting itu pada Gotham, tapi ternyata raja vampir itu dapat menyingkirkannya dengan mudah. Ranting itu terbakar dan tak melukai Gotham sedikit pun. Evodith mulai panik.

Pasukan vampir merangsek masuk ke hutan dengan mudah, Gotham mendekati Evodith dengan raut wajah yang begitu dingin. Tatapannya tajam menusuk, terlebih bola mata merahnya dapat menyala bagaikan bara api. Evodith berusaha untuk tetap berdiri, meski tubuhnya gemetar hebat akibat ketakutan menatap Gotham. Sesekali ia memunculkan ranting dari tangannya dan melemparnya ke wajah Gotham demi melindungi diri. Akan tetapi, pria berkulit putih pucat itu selalu berhasil menepis serangan demi serangan yang ditujukan padanya.

Ketika jarak di antara mereka semakin berkurang, Gotham memegang tangan Evodith dengan kuat. "Oh, jadi kau yang mengalahkan prajuritku?" tanyanya menyeringai.

Evodith memberontak. "Lepaskan aku! Prajurit kaulah yang tak tahu diri. Berani-beraninya memasuki hutan kami," katanya dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdegup sangat keras, sehingga membuat sekujur tubuhnya melemas.

Gotham memelintir tangan Evodith dengan keras. Peri itu menjerit kesakitan dan memukul-mukul tangan Gotham supaya melepaskan genggamannya. Semakin Evodith memberontak, perlakuan raja vampir itu ternyata semakin kasar. Ia mendorong Evodith hingga tersungkur, lalu menginjak tubuhnya. Selanjutnya, Gotham mengarahkan sinar merah dari tangannya pada peri itu. Evodith menggelinjang hebat tatkala rasa panas menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia memekik sekeras-kerasnya meminta pertolongan.

Setelah cukup lama Evodith menahan rasa sakit, bala bantuan datang. Peri-peri berdatangan, menyiramkan air pada tubuh Gotham sehingga serangannya pada Evodith berhenti. Raja para vampir itu mengejar peri-peri yang telah mengganggunya, kemudian meninggalkan Evodith yang sudah terbaring lemah tak berdaya di bawah pohon.

"Lalu, sekarang dia ke mana?" tanya Hefeta khawatir.

"Aku tidak tahu. Jika sampai dia berhadapan dengan Crow, maka habislah kita."

"Tak perlu berpikiran buruk dulu. Sebaiknya tenangkan dirimu, aku akan memanggil Lupita."

"Jangan, Hefeta. Saat ini dia pasti sedang kerepotan melawan pasukan vampir. Kau bantu saja mereka melindungi hutan ini. Kalau tenagamu masih cukup, pindahkan saja vampir-vampur itu ke tempat yang paling mengerikan."

"Tapi bagaimana denganmu? Kondisimu saat ini sedang tidak baik."

"Tak perlu menghiraukan aku. Aku bisa pulih seiring waktu."

"Apa kau yakin?"

Evodith mengangguk. "Pergilah. Selamatkan hutan ini sebelum semuanya musnah."

Kendati khawatir pada keadaan temannya, Hefeta tetap bergegas pergi menuju sisi hutan yang lebih dalam. Wujudnya berubah, lalu terbang melesat meninggalkan Evodith. Sementara itu, Evodith kembali terbaring lemah, berharap semuanya berakhir baik-baik saja.

Di area hutan yang lain, Hefeta menembus bara api dengan cepat. Sesekali ia menggunakan kemampuannya berpindah tempat, sehingga dapat mencapai pusat konflik terjadi. Terdengar suara pedang saling beradu dari kejauhan, yang membuat Hefeta semakin khawatir.

Ketika mencapai bukit berbatuan, tampak para peri sedang melawan kelelawar dengan menggunakan kekuatan magisnya. Ada yang mengeluarkan air dari tangannya, ada pula yang mencekik kelelawar menggunakan tumbuhan seperti Evodith. Di sisi lain, terlihat Crow sedang beradu pedang dengan Gotham. Pertarungan mereka begitu sengit sampai-sampai percikan api muncul setiap kali pedang keduanya saling beradu. Saat ini Crow dalam keadaan terdesak, ia berada di bawah Gotham sambil menahan serangan pedangnya.

"Katakan padaku! Di mana Likantrof?" tanya Gotham dengan nada tinggi.

"Sudah berapa kali kubilang, aku tidak tahu!"

"Jangan berbohong, Crow! Aku lihat sendiri dia datang ke sini."

"Kalau begitu, kenapa tidak kau tangkap saja dari tadi? Apa ini hanya akal-akalanmu saja untuk menghancurkan tempat tinggal kami?" Crow menendang Gotham hingga terhuyung-huyung ke belakang.

"Ya, aku ingin membunuh kalian bersama Likantrof. Aku sudah muak menahan diri untuk menghancurkan tempat tinggalmu. Dengan begini, aku punya alasan untuk melenyapkan bangsa peri dan sekutunya."

"Percuma saja kau menghancurkan tempat tinggal kami. Hutan ini tidak akan pernah musnah meski kau bakar semua." Crow menendang tubuh Gotham sampai terhuyung ke belakang.

"Sialan kau!" teriak Gotham menyerang Crow lagi.

Memandang pertarungan pemimpin dan teman-temannya melawan bangsa vampir, Hefeta berpikir keras untuk menyelamatkan mereka. Terlintas di pikirannya tentang perkataan Evodith yang menyarankan untuk menggunakan kekuatan telekinesisnya. Dengan ragu, ia masuk ke tempat pertempuran itu, lalu berdiri tepat di tengah bulan purnama. Tubuhnya sudah terlalu letih untuk bertarung, apalagi mengerahkan seluruh tenaga untuk menumpas bangsa vampir. Maka dari itu, ia hanya butuh kemampuan telekinesis agar semuanya cepat berakhir.

Para peri melihat Hefeta berdiri di tengah sinar rembulan. Hefeta mengisyaratkan dengan gerakan tangannya agar mereka mengumpulkan bangsa vampir di satu titik. Pun dengan Crow, ia memahami isyarat dari anak buahnya itu. Sambil bertarung, mereka mengumpulkan semua vampir tepat di bawah sinar rembulan demi memudahkan Hefeta.

Semua vampir sudah berkumpul tepat di bawahnya, Hefeta mulai merapal mantra dan membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Sambil menutup mata dan mendongak ke langit, ia berharap sisa tenaganya dapat berfungsi dengan baik supaya usaha pemimpin dan teman-temannya tidaklah sia-sia. Ditariknya napas dalam-dalam, tapi seluruh tubuhnya mendadak lemas dan tak memungkinkan untuk menggunakan telekinesisnya. Namun di tengah keputusasaannya, tiba-tiba sebuah kekuatan superbesar merasuk ke sekujur tubuhnya. Entah dari mana kekuatan itu berasal. Yang pasti, Hefeta kini merasa mudah untuk memindahkan semua vampir dari sana.

Setelah selesai merapal mantra, Hefeta mengembuskan napas dengan perlahan dan menyatukan kedua telapak tangannya di atas kepala. Kekuatan yang dimilikinya terkumpul penuh di tangannya. Saat hendak memindahkan para vampir, ia pun membuka mata. Telapak tangannya mengeluarkan sinar putih, kemudian diarahkan pada sekumpulan vampir di bawahnya. Pemandangan di hutan menjadi sangat indah, seperti ada sinar rembulan yang turun ke dalam kobaran api.

Semua makhluk kesilauan oleh sinar yang keluar dari tangan Hefeta. Mereka menutup mata, sedangkan Gotham ternganga melihat kemampuan yang ditunjukkan oleh peri itu. Secara perlahan Hefeta mengatupkan kedua telapak tangannya, seperti hendak meraup butiran beras. Sinar putih dari tangan Hefeta seakan memakan seluruh vampir. Lambat laun, sinar yang menyinari bukit berbatuan itu semakin mengecil dan sosok para vampir pun menghilang. Bersama lenyapnya sinar yang menyilaukan itu, Hefeta pergi entah ke mana.

Kejadian itu mengingatkan pada keajaiban yang dilakukan oleh si gadis buta di bukit. Sekarang, gadis buta itu sedang duduk gelisah di pinggir ranjangnya. Sesekali ia menutup mata sambil terengah-engah. Sekujur tubuhnya memancarkan cahaya terang seperti di dalam hutan peri. Jantungnya berdebar sangat cepat, suhu badannya semakin menurun.

Tak ingin perubahan aneh dalam dirinya diketahui, gadis buta itu segera menutup pintu. Sambil mengusap-usap kedua lengannya, ia berusaha menyingkirkan kedinginan yang membuat sekujur tubuhnya menggigil. Seiring kekuatannya melemah, ia berbaring sambil menutup mata.

"Cepat! Bawa mereka ke Jurang Api dan musnahkan!" gumamnya dengan gigi bergemeletuk.