"Salam hormat, Ibu Ratu. Hamba kemari membawa kabar gembira," ujar panglima vampir.
"Kabar apa yang kau bawa? Apa kau berhasil menangkap Likantrof?" tanya Ratu Esther berdiri dari singgasananya.
"Tentu, Yang Mulia. Kami membawanya kemari," jawab panglima vampir meyakinkan. "Prajurit! Bawa dia kemari!"
Lima orang prajurit memasuki ruangan sambil menyeret serigala hasil buruannya. Tombak masih menancap di punggung serigala itu.
Ratu Esther memperhatikan serigala yang mereka bawa dari jauh. Sebuah kekecewaan tergambar di wajahnya. Ia menuruni satu per satu anak tangga, gaun merahnya menjuntai hingga menyapu lantai. Dihampirinya serigala itu dan duduk di hadapannya.
"Apa kalian yakin kalau serigala ini adalah Likantrof?" tanya Ratu Esther sambil mengangkat kepala serigala itu.
"Hamba benar-benar yakin, Yang Mulia," jawab panglima vampir menegaskan.
"Betina?" tanya wanita bermata merah itu menatap tajam sambil mengangkat sebelah alisnya.
Semua prajurit tercengang dan saling tatap satu sama lain. Panglima vampir tampak gugup. Ibu Ratu berdiri dan menampar pipi panglima.
"Kalian benar-benar bodoh! Bukankah seharusnya yang kalian tangkap itu Likantrof jantan? Aku benar-benar kecewa pada kalian semua," bentak Ratu Esther menatap semua prajurit satu per satu.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Kami tidak tahu kalau serigala itu bukan Likantrof jantan," jawab panglima vampir membela diri.
"Jangan memberiku alasan! Harus kalian ketahui, serigala betina ini bukan dari klan Likantrof. Dia hanya serigala dari klan biasa," bentak Ratu Esther sambil menunjuk serigala itu.
Panglima dan kelima prajuritnya bergeming. Mereka berdiri mematung memandangi serigala yang terbaring di hadapannya.
Ratu Esther kembali menatap serigala itu dan berkata, "Cepat ubah wujudmu! Supaya mereka tahu kalau kau itu bukan dari klan Likantrof."
Wujud serigala itu perlahan berubah menjadi gadis cantik berambut biru gelap yang tidak lain adalah Monet. Seketika panglima dan prajuritnya semakin terbelalak melihat penampakan gadis itu di depan matanya. Ratu Esther kembali menatap sinis wajah prajuritnya. Suasana semakin tegang, panglima vampir tidak bisa lagi mengelak.
"Bagaimana? Apa kalian pikir aku mudah dibohongi? Sudahlah! Sebaiknya kalian bawa dia ke penjara bawah tanah. Biar Paduka Raja saja yang menentukan hukuman untuk perempuan ini. Aku sudah muak melihat kalian semua," perintah Ratu Esther.
"Baik, Yang Mulia," jawab panglima vampir bergegas pergi bersama prajuritnya membawa Monet.
Ratu Esther merasa pusing dan mengurut kepalanya. "Ke mana perginya Gotham di saat seperti ini? Apa dia tidak tahu kalau Likantrof sudah kembali?"
"Aku di sini, Ibu," sahut Gotham dari pintu masuk ruang rapat istana.
Ratu Esther membalikkan badannya dan menghampiri putranya dengan kesal. "Dari mana saja kau? Apa kau tidak tahu kalau seseorang dari klan Likantrof telah muncul? Kalau kau terus keluyuran seperti itu, bagaimana kau bisa menjaga takhtamu sendiri? Kau ini seorang raja. Cobalah untuk bersikap bijak."
"Ibu tidak usah khawatir. Apakah Ibu tahu? Tadi aku bertemu seseorang yang sangat istimewa di tepi sungai," kata Gotham terkekeh.
"Seseorang yang istimewa? Apa kau sudah bertemu dengan Gadis Rembulan itu?" tanya Ratu Esther dengan mata berbinar.
"Ya ampun, Ibu," ucap Gotham menepuk dahinya. "Sampai kapan Ibu memikirkan gadis rembulan lagi? Bukankah sudah kukatakan kalau cerita gadis rembulan itu cuma bualan para penyihir?"
"Lalu, siapa orang yang kau maksud itu?"
"Likantrof ... Frey Likantrof," jawab Gotham tersenyum jahat.
"Apa?! Bagaimana kau bisa yakin kalau orang yang kau temui itu berasal dari klan Likantrof? Jika dia itu bagian dari klan Likantrof, lalu kenapa kau malah membiarkannya pergi?" tanya Ratu Esther memelototi putranya.
"Saat dia pergi, aku melihat tanda bulan sabit merah di tengkuknya. Dari situlah aku yakin kalau dia berasal dari klan Likantrof. Aku tidak buru-buru menangkapnya karena aku melihat jelas ketakutan di wajahnya. Ibu tahu, kan? Aku malas jika harus melawan orang yang lebih lemah dariku," jelas Gotham memandang jauh.
"Baiklah, tapi apa kau sudah punya rencana lain untuk memusnahkan semua anggota Likantrof?"
"Tentu saja, Ibu. Aku tidak akan pernah membiarkan klan Likantrof menguasai kembali negeri ini. Gothia hanya milik kita, bangsa vampir," tandas Gotham meyakinkan.
***
"Kenapa aku malah terjebak di tempat aneh begini sih? Seharusnya aku pergi ke sekolah dan menjalani hidupku seperti biasanya. Lagipula, apa untungnya aku berlama-lama tinggal di sini? Hidupku malah semakin terancam oleh bangsa vampir yang memburuku setiap waktu karena nama belakangku sendiri. Menyebalkan! Tapi, tunggu dulu! Hutan ini ... Kalau tidak salah hutan ini seperti tempat Adinda dikepung oleh serigala. Ah, sepertinya aku harus mencarinya di sekitar hutan ini. Siapa tahu aku juga bisa bertemu dengan manusia serigala lainnya di hutan ini."
Hutan itu ditumbuhi pepohonan lebat, cahaya rembulan pun tidak bisa masuk ke wilayah itu. Frey menyusuri hutan tanpa penerangan sedikit pun. Ia hanya bisa berjalan sambil meraba-raba batang pohon di sekitarnya. Langkahnya telah membawanya pergi jauh dari sungai sehingga sulit mencari jalan untuk kembali.
Di tengah gelapnya hutan, terdengar suara gemeresik dari semak-semak. Frey terperanjat. Rasa takut kembali menyerang benaknya. Ia berusaha untuk berlari, tapi dalam dua langkah saja kakinya tersandung akar pohon. Tubuhnya tersungkur sampai kesulitan untuk berdiri.
Sementara itu, di antara pepohonan yang lebat, ada dua peri hutan tengah menertawakannya.
"Apa kau lihat itu, Hefeta? Dia benar-benar lucu," ujar peri kecil cantik bergaun biru gelap dengan sayap kupu-kupu hitam bercorak abstrak putih dan biru.
"Ha ha ha ... mungkin dia tidak berpikir panjang saat memasuki hutan ini. Bagaimana dia bisa bertahan di dalam hutan ini kalau tidak punya lilin? Haruskah kita mengerjainya saat ini juga, Evodith?" kata peri kecil bergaun hitam yang memiliki sayap biru gelap berkilau seperti capung.
"Untuk apa menunggu lama? Ayo kita kerjai dia!" ajak Evodith.
Mereka berdua pergi ke sebuah pohon bersulur. Dengan kekuatan yang mereka miliki, sulur-sulur itu tumbuh semakin panjang. Kedua peri itu menerbangkan sulur-sulur itu ke arah Frey yang masih berusaha untuk kembali berdiri. Frey pun terkejut saat merasakan sesuatu yang membelit badannya.
"Apa ini?" Frey panik, "seseorang, tolong aku!"
Kedua peri itu malah tertawa terbahak-bahak menyaksikan kepanikan Frey. Kejahilannya pun dimulai. Mereka menggerakkan sulur yang membelit badan Frey hingga membuat seluruh tubuhnya melayang-layang di sekitar hutan. Frey semakin panik menghadapi kejadian ganjil di hutan itu. Sekeras mungkin ia berusaha melepaskan sulur di badannya dengan kedua tangannya.
"Oh, jadi kau ingin melepaskan diri dari sulur itu? Baiklah, aku kabulkan keinginanmu," kata Evodith sambil menjentikkan jarinya.
Sebelum kekuatan Evodith berhasil melepaskan lilitan sulur itu, ternyata tubuh Frey menghantam pohon besar lebih dulu. Sulur-sulur itu terlepas seketika. Frey merasa pusing hingga akhirnya terbaring tak sadarkan diri di bawah sebuah pohon besar. Evodith dan Hefeta terbang mendekati Frey. Keduanya begitu prihatin melihat keadaan Frey.
"Ups ... maaf," bisik Evodith menyengir.
"O-Ow ... Evodith, kau harus bertanggung jawab," ujar Hefeta mendorong Evodith.
"Itu cuma kesalahan teknis. Tubuhnya sudah menghantam pohon terlebih dulu sebelum sihirku mengenai sulur-sulur ini. Tapi ... kenapa cuma aku yang harus bertanggung jawab? Bukannya kau juga terlibat?"
"A-aku?? Aku berusaha membelokkan gerakan sulur-sulur itu agar tidak mengenai pohon, tapi kau malah melepaskannya lebih dulu," sungut Hefeta membela diri.
"Jangan mencari alasan, Hefeta. Bukannya kau yang punya ide untuk mengerjai dia?"
"Tapi, kau setuju dengan ideku bukan? Seharusnya kau yang bertanggung jawab," tukas Hefeta bersikukuh membela diri.
"Apa? Tidak bisa begitu! Kau yang punya idenya, jadi kau yang harus bertanggung jawab," hardik Evodith.
Perdebatan kedua peri itu semakin sengit. Tanpa mereka sadari, suara bising mereka membangunkan Frey.
Perlahan Frey membuka matanya. Suara bising seperti nyamuk yang mengganggu pendengarannya, hanya saja lebih nyaring. Dilihatnya dua cahaya biru kecil melayang di atas dadanya. Saat mengamati lebih dalam kedua cahaya itu, tampak jelas sosok dua peri sedang adu mulut.
Kedua tangannya perlahan mendekati dua cahaya itu hingga akhirnya berhasil menangkap Evodith dan Hefeta dengan mengatupkan kedua telapak tangannya. Frey memberi sedikit celah pada jemarinya dan mengintip kedua peri itu.
"Oh, jadi kalian berdua peri jahil itu. Meski kecil, kalian berdua berbahaya juga rupanya. Baiklah, aku akan memberikan kalian hukuman," kata Frey sambil terkekeh.
Evodith tampak gemetar ketakutan melihat Frey. Ia berusaha meminta maaf, tetapi Frey hanya mendengar suara bising darinya. Sedangkan Hefeta begitu gelisah, ia memikirkan cara untuk melarikan diri. Saat menemukan celah, Hefeta meloloskan diri dan terbang jauh tanpa mengajak Evodith.
"Oi! Mau terbang ke mana kau? Kembali!" seru Frey kepada Hefeta.
"Hefeta! Tunggu aku!" seru Evodith mengepakkan sayapnya.
Suara bising itu kembali terdengar. Evodith yang mulai terbang, tiba-tiba tertahan oleh kedua tangan Frey.
"Mau pergi ke mana, Peri Kecil? Jangan pikir kau bisa terbang mengikuti temanmu itu. Urusanmu denganku belum selesai," ujar Frey.
Evodith tampak kesal. Ia memilih cara lain agar Frey memahami apa yang dikatakannya. Setelah berhasil melepaskan diri dari kedua tangan Frey, ia mendaratkan tubuhnya di samping pemuda itu.
Seketika percikan cahaya berwarna biru berputar dari ujung kaki sampai kepalanya. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar. Frey dibuat takjub olehnya, matanya enggan berkedip sedetik saja.
Perlahan seorang wanita dengan gaun panjang berwarna biru gelap kerlap-kerlip muncul dari cahaya itu. Rambutnya yang hitam bergelombang menutupi sebagian badan sebelah kanannya. Bola matanya berwarna hijau menyala, daun telinganya lebar dan ujung bagian atasnya lancip seperti milik kurcaci. Ia tidak memiliki sayap kupu-kupu dalam wujud ini. Namun, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya biru yang teduh.
Frey mengucek mata seolah tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. Sekali lagi, ia mendongak melihat penampakan seorang wanita yang berdiri di sampingnya. Frey tetap berusaha untuk bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan remuk.
"Apa kali ini kau masih berpikir kalau aku ini kecil?" tanya Evodith bernada sinis.
"K-kenapa ukuran badanmu bisa berubah begitu?" tanya Frey terbata-bata.
"Tidak usah banyak tanya. Cepat katakan, hukuman apa yang ingin kau berikan padaku?" tanya Evodith menantang.
"B-baiklah. Bisakah kau tunjukkan jalan keluar dari hutan yang gelap ini?" tanya Frey sambil menggaruk kepalanya.
"Um, kedengarannya itu tidak seperti hukuman," kata Evodith ragu sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Terserah kau mau menganggapnya apa. Pokoknya kau harus menunjukkanku jalan keluar dari hutan ini," gerutu Frey.
"Baiklah, baik. Sekarang kau berdiri di belakangku dan ikuti ke mana aku berjalan. Usahakan untuk tetap di belakangku. Jika sampai jarak di antara kita menjauh, aku tidak akan pernah mencarimu di hutan ini. Mengerti?"
Frey mengangguk. Mereka pun memulai perjalanan. Namun, di sepanjang jalan Frey tidak berhenti mengeluh dan meringis kesakitan. Evodith merasa kesal dengan tingkah pemuda itu. Sesekali ia menengok ke belakang. Hatinya lega memgetahui Frey masih berjalan mengikutinya dengan jarak yang tetap sama.
Ketika melewati sebuah tempat yang memiliki sedikit cahaya rembulan, langkah mereka terhenti sejenak. Tampak tanaman berduri sangat besar yang menjulang tinggi bagai gedung pencakar langit. Evodith melirik lagi ke belakang, terlihat Frey sedang menebarkan pandangannya pada tanaman berduri itu.
"Apa yang kau lihat? Cepat ikuti aku! Kau ingin segera keluar dari hutan ini, bukan?" tanya Evodith dengan ketus.
"Apa kau yakin ini jalan keluarnya? Firasatku mengatakan kalau kau membawaku ke jalan yang salah," kata Frey menatap Evodith ragu.
"Jika kau tidak percaya padaku, silakan saja. Aku berani bertaruh kalau kau tidak akan pernah bisa keluar dari hutan ini," ucap Evodith.
"Oke, oke. Aku akan tetap mengikutimu. Kau kan lebih tahu isi hutan ini daripada aku."
"Maka dari itu, diamlah! Jangan banyak bertanya. Aku peringatkan, jangan sampai terkena duri dari tumbuhan ini. Tumbuhan ini beracun," jelas Evodith memelototi Frey.
"Galak banget sih," umpat Frey mendelik.
Mereka memasuki wilayah yang dipenuhi duri itu. Tanpa Frey sadari, punggungnya sedikit tergores oleh duri. Namun, itu tidak menjadi halangan untuknya. Ia dapat melewati tumbuhan berduri itu dengan baik meski darah bercucuran dari punggungnya.
Setelah cukup lama berjalan, mereka tiba di sebuah bukit bebatuan. Frey semakin tidak yakin bahwa Evodith membawanya keluar dari hutan itu. Di sisi lain, ia percaya bukit berbatu itu ada di luar wilayah Hutan Peri Hitam. Evodith terus berjalan menaiki bukit berbatu itu tanpa menghiraukan Frey. Air mukanya tampak semringah saat menaiki bukit itu.
Di puncak bukit, terlihat sekelompok peri berkumpul di sana. Evodith semakin mempercepat langkahnya, sementara Frey yang masih membuntutinya tampak kelelahan.
"Bisakah kita berhenti? Aku kehausan," keluh Frey.
"Kalau kau membutuhkan air, sebaiknya berjalanlah dengan cepat. Aku akan memberikanmu minum setelah tiba di puncak sana," ucap Evodith.
"Apa kau tidak bisa memberiku air untuk saat ini? Aku benar-benar haus," pinta Frey terengah-engah.
"Kau ini berisik sekali," dengus Evodith kesal.
Frey menaiki bukit itu dengan terhuyung-huyung. Tenggorokannya terasa kering. Tubuhnya yang masih terasa remuk harus dipaksa tetap berdiri dan berjalan dengan cepat. Ia tidak menampik kekecewaannya pada Evodith yang tidak pernah memaklumi rasa sakit yang dideritanya.
Setibanya di atas bukit, Frey terkejut melihat sosok tinggi tegap memakai jubah hitam dengan sayap burung gagak yang sangat besar. Tangannya memegang tongkat yang memiliki arit di ujungnya. Seketika tubuh Frey terkulai lemas sampai harus diseret Evodith untuk menghadap sosok itu.
"Malaikat Pencabut Nyawa, cabutlah nyawaku sekarang juga. Aku sudah pasrah menghadapi kematianku," kata Frey dengan nada memelas.