GGRRRR
Suara geraman itu masih terdengar di ruang BK. Sesosok serigala berbadan manusia tengah menerkam mangsanya. Darah berlumuran dimana-mana. Seorang pria paruh baya bertubuh tambun yang biasa dipanggil Pak Satrio terpojok di salah satu sudut ruangan. Air mukanya tampak panik dan ketakutan. Matanya terbelalak, napasnya memburu. Keringat dingin mengalir deras di dahinya. Tubuhnya lemas hingga tidak bisa berkutik lagi. Postur badan manusia serigala yang lebih besar membuatnya kesulitan mencari celah.
"Aku mohon, jangan bunuh aku," ucapnya meronta-ronta.
Manusia serigala itu tidak menghiraukannya. Ia mencabik-cabik tubuh Pak Satrio hingga hancur.
Dari luar, terdengar suara langkah kaki sekelompok orang mendekati ruangan BK. Salah seorang dari mereka menyadari suara geraman itu.
"Kawan-kawan, apa kalian mendengar suara aneh?" tanya seorang siswa berkulit gelap.
"Suara aneh? Kita tidak mendengar apa-apa dari tadi," jawab siswa yang berbadan kurus.
"Ah, sudahlah. Kita harus pergi ke ruang guru untuk membawa buku-buku ini," ujar temannya yang berbadan gemuk membawa setumpuk buku di tangannya.
"Tunggu, jangan pergi dulu! Coba kalian dengarkan dengan baik suara aneh itu," ujar siswa berkulit gelap itu meyakinkan teman-temannya.
"Kita tidak punya waktu untuk itu. Sebaiknya kita antarkan buku-buku ini ke ruangan guru. Berat nih," gerutu siswa berbadan gemuk.
"Ssstt..., aku juga mendengarkan suara aneh itu," ujar siswa berbadan kurus itu setengah berbisik.
Kedua siswa itu perlahan mendekatkan telinganya ke daun pintu. Siswa berbadan gemuk pun ikut penasaran dengan asal suara itu. Ia mengintip dari jendela. Ketika melihat segumpal bulu kasar di samping meja Pak Satrio, ia semakin penasaran dan menggeser pandangannya. Seketika, matanya membesar dan terkejut bukan main. Tampak makhluk aneh sedang memakan sesuatu di sana. Tanpa ia sadari, buku-buku yang dibawanya tergeletak dan berserakan. Dua siswa yang sedang menempelkan telinganya di daun pintu pun mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Ssstttt....," desis keduanya.
Siswa berbadan gemuk itu bergeming. Matanya masih melotot, tubuhnya mematung. Ia pun memalingkan wajah ke arah dua temannya itu dengan air muka sangat panik.
"T-teman-teman ... i-itu ... d-di dalam ... A-adaaaa....," ujarnya gemetar.
"Di dalam? Memangnya ada apa di dalam?" tanya siswa berkulit gelap penasaran.
Tanpa berpikir panjang, siswa berkulit gelap membuka pintu. Seketika, ia dan temannya terperanjat mendapati manusia serigala itu sedang menyantap tubuh Pak Satrio yang tidak berbentuk lagi. Kaki mereka tiba-tiba lemas. Rasa takut, panik, dan miris bercampur aduk di benak mereka.
Menyadari kedatangan ketiga siswa itu, manusia serigala tampak panik. Ia memecahkan kaca jendela di belakang meja Pak Satrio dan melompat ke luar. Secepat mungkin makhluk itu berlari hingga berhasil keluar dari area sekolah setelah melompati dinding pembatas. Sosoknya menghilang di antara semak belukar.
"Cepat, beritahu guru-guru dan siswa yang lain tentang hal ini," ujar siswa berkulit gelap masih terpaku melihat darah dan gumpalan daging yang berceceran di lantai.
"Baik," jawab temannya yang berbadan kurus beringsut dari tempat kejadian.
Tak lama kemudian, orang-orang berdatangan ke ruang BK. Bau amis darah yang bercucuran di ruangan itu semakin menyengat. Beberapa guru dan siswa merasa mual saat melihat gumpalan daging bercampur darah berserakan di lantai. Pihak sekolah langsung menghubungi rumah sakit terdekat untuk membawa jenazah Pak Satrio. Tidak lupa, kepolisian pun ikut mencari tahu kasus kematian Pak Satrio. Ketiga siswa yang merupakan saksi mata kejadian itu mengalami trauma dan dibawa ke UKS. Mereka masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya beberapa menit lalu.
Di tengah-tengah suasana menggemparkan, seorang remaja berambut cokelat yang memiliki mata berwarna hazel berusaha menyingkirkan kerumunan siswa dan guru yang berdesakan melihat kondisi Pak Satrio. Remaja berusia tujuh belas tahun yang akrab disapa Frey itu merasa penasaran dengan kejadian naas yang dialami guru BK. Ketika dia hendak mendekati tempat kejadian, seseorang menariknya keluar dari kerumunan. Frey sangat kesal hingga melepaskan genggaman orang itu dengan kasar. Ia mengalihkan pandangannya pada seseorang yang baru ditemuinya kali ini. Seorang gadis yang memiliki rambut putih lurus terurai menutupi sebagian dadanya, sedang berdiri di hadapannya. Kulitnya putih pucat, kedua bola matanya yang putih menandakan bahwa ia buta. Pakaiannya rapi seperti seorang siswi teladan.
"Jangan! Kau jangan pergi ke sana! Berbahaya," ujar gadis itu.
"Kenapa tidak boleh? Apakah salah jika aku melihat kondisi pak Satrio sebentar saja? Lagipula, siapa kau? Berani-beraninya kau melarangku seperti itu," kata Frey kesal.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya kau camkan peringatanku dan jangan keras kepala."
"Tapi aku hanya ...."
"Diam! Jika kau tidak percaya padaku, kau akan terkena masalah besar," ujar gadis itu membentak.
"Memangnya masalah besar seperti apa?" tanya Frey sambil melihat kerumunan orang di belakangnya.
Saat Frey kembali memalingkan wajahnya ke arah seseorang yang menegurnya, gadis itu sudah tidak ada lagi di hadapannya. Ia menghilang tanpa sebab. Frey merasa heran dengan kehadiran gadis aneh yang mencegahnya.
"Oi! Cewek aneh! Pergi ke mana kau?" panggil Frey menyapu pandangan ke segala arah.
Tidak ada jawaban dari mana pun. Frey menggaruk kepalanya dan bertanya-tanya. "Sebenarnya siapa perempuan itu? Baru kali ini aku melihat orang itu di sekolah ini. Rambut putih dan berwajah pucat. Apa dia itu hantu? Ah, mana mungkin hantu keluar siang hari. Mungkin itu halusinasiku saja. Sebaiknya aku lanjutkan melihat kondisi pak Satrio."
Frey kembali menyingkirkan kerumunan orang-orang yang menghalanginya. Namun, jenazah pak Satrio sudah dibawa ke dalam ambulans. Ia tak sempat melihatnya sama sekali. Kerumunan warga sekolah pun berangsur berkurang. Frey masih berdiri di depan ruang BK yang dibatasi garis polisi.
Frey memandangi darah yang berceceran di lantai ruangan tanpa berkedip. Bau amis dari darah begitu tajam menusuk indra penciumannya. Tiba-tiba kepala Frey terasa pening. Tanpa disadari, ia menerobos garis polisi dan mendekati lantai itu. Ia mendengus dan menyentuh darah di lantai. Hasratnya berubah ketika hidungnya mengendus darah di tangannya. Dijilatinya darah yang berceceran di lantai. Kesadaran Frey pun perlahan memudar.
Setelah puas menjilati darah itu, Frey berjalan ke luar ruangan menyusuri bercak darah yang bercucuran saat perawat membawa jenazah pak Satrio di atas tandu. Mobil ambulans yang hendak keluar dari area sekolah ditahannya sekuat tenaga. Ia berusaha membuka pintu ambulans. Suasana sekolah kembali digegerkan oleh sikap aneh Frey. Beberapa guru menahan Frey. Mereka tampak kesulitan mengalahkan kekuatan Frey yang luar biasa. Bahkan, tubuh mereka sampai terpelanting akibat tidak mampu menahan gertakan dari pemuda berusia tujuh belas tahun itu. Melihat guru-guru yang terkapar di belakangnya, kesadaran Frey perlahan kembali pulih. Dia mendapati tangannya dipenuhi bulu kasar bak serigala.
"Apa ini?! Tanganku penuh bulu? Tidak, tidak mungkin! Aku tidak mungkin membunuh pak Satrio. Aku bukan monster! Bukan! Sebaiknya aku pergi dari sini sebelum mereka menyadari sikap anehku ini," gumam Frey panik.
Frey menuju ruang kelas tanpa menghiraukan guru-guru yang masih tidak berdaya. Tampaknya ia sangat stres akan apa yang terjadi padanya. Pemuda itu duduk di sudut ruangan sambil memperhatikan kedua telapak tangannya.
Di tengah kegundahannya, seorang gadis aneh yang ia temui tadi, berdiri di hadapannya sambil tersenyum sinis seolah mengejek.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya Frey gusar.
"Bukankah sudah kubilang kalau kau akan terkena masalah jika tidak menghiraukan kata-kataku?"
"Kata-katamu tidak masuk akal. Apakah hanya dengan melihat korban terkaman monster, aku akan tertimpa masalah? Huh, konyol," ucap Frey ketus.
"Lalu, kenapa kau panik begitu? Bukankah itu lebih konyol dari peringatanku?" Gadis itu sedikit membungkukkan badannya.
"Apa? Huh?! K-Kenapa kau bisa tahu? Bukankah kau itu buta?" Frey terkejut.
"Tidak usah terkejut seperti itu. Aku juga tahu, kalau kau sedang stres memikirkan manusia serigala itu, kan?"
"Katakan padaku! Siapa kau sebenarnya?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Hmm, baiklah. Jika kau tidak mau mengungkapkan identitasmu, aku tidak akan memaksa. Hanya saja aku merasa heran, kenapa kau bisa tahu kalau aku akan terkena masalah jika mendekati ruangan pak Satrio? Lalu, kenapa tanganku menjadi penuh bulu seperti ini? Jelaskan padaku! Apa aku adalah manusia serigala yang telah menerkam Pak Satrio?"
Gadis itu hanya terdiam tanpa ekspresi. Raut wajahnya begitu dingin.
"Hei! Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Frey menggerutu.
"Temui aku tengah malam nanti di bukit. Kau akan tahu sendiri jawabannya," ucapnya.
"Tengah malam? Kau memang perempuan aneh yang pernah kutemui. Aku hanya ingin tahu jawabannya sekarang juga. Cepatlah, katakan sekarang!" desak Frey.
Gadis itu bergeming. Ia tetap bungkam dan bergegas pergi. Wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi.
"Tunggu! Mau ke mana kau? Jawab dulu pertanyaanku!"
Frey mencoba untuk mengejarnya, tetapi tubuhnya mendadak kaku. Gadis itu cepat berlalu. Frey merasa kesulitan menggerakkan seluruh tubuhnya, apalagi berdiri dan mengejar gadis itu. Ia terus berusaha melawan kebekuannya hingga berhasil beranjak dari tempat duduknya.
Tanpa menunggu lama, Frey berlari mencari gadis misterius itu dan menanyakan keberadaannya ke setiap siswa. Namun, tidak ada satu orang pun mengetahui seorang siswi yang memiliki ciri-ciri seperti gadis yang dicarinya. Frey merasa gemas dan kesal. Ia yakin gadis itu memiliki jawaban atas keanehan yang dialaminya hari itu. Kini, pemuda itu di ambang dua pilihan. Menuruti permintaan gadis itu untuk menemuinya di bukit yang ditunjuknya untuk mendapatkan sebuah jawaban, atau mengabaikannya.