Meski gemuruh petir membuat siapa pun merasakan takut, Revalia coul Dafesilo tetap berdiri di tengah lapangan stadion duel antar murid akademi.
Kakinya gemetaran, tepi bibir terdapat darah yang mengalir, tubuh kotor dengan lumpur disertai seragam akademi yang compang-camping. Meski keadaannya seperti itu, gadis berambut biru muda itu masih menatap ke depan dengan penuh tekad.
Lawannya adalah … seseorang dengan jubah bertudung hitam yang di tangannya terdapat pistol berwarna putih disertai corak api biru.
Sama seperti Reva, jubah gadis itu compang-camping. Darah membasahi sekitar sobekan jubahnya yang kotor itu.
Selaras, mereka berdua mengatur nafas. Jika satu saja dari mereka berhasil lepas dari kebiasan saat lelah itu, maka satu yang lain akan sangat kerepotan.
Dengan semampunya, Revalia mengarahkan telapak tangannya pada gadis bertudung itu, dan mulai merapal Sihir Roh.
"~Buat semua … yang ada di tanah … kehilangan beratnya … dan menjadi … duri yang menusuk …, An–"
Dor! Peluru yang diselimuti oleh api biru bersarang di telapak tangan Revalia. Gadis berambut biru muda yang lembab itu merintih. Tangan kanannya sudah tak bisa digunakan lagi untuk menggenggam.
Namun, itu tidak menguntungkan pihak sebelah. Gadis bertudung itu tersungkur karena tembakan tersebut membuat mananya habis seketika.
"Ini … kemenanganku, 'kan …?"
Walaupun rasa sakit di tubuh membuatnya ingin menangis, Revalia entah kenapa memaksakan diri untuk menggumamkan hal itu sambil tersenyum.
Memang, ia bisa dibilang murid terkuat yang ada di akademi. Namun, jika lawannya adalah yang berpengalaman, maka itu akan sangat menyulitkan.
Menyeret tubuhnya ke depan, Revalia mendekati gadis bertudung hitam itu. Ia membuka tudung tersebut dan membelalakkan mata karena mendapati ….
"Bukankah Anda …."
Saat itu, ia merasakan sakit di perutnya.
"Ugh …. Apa ini …? Darah …?"
Setelah merasakan pandangannya agak mengabur, Revalia tanpa sengaja menyentuh perutnya, dan menemukan darah segar merembes keluar dari sana.
Tanpa Revalia sadari, rupanya ada orang lain yang sedang berdiri dengan senapan di tangannya. Orang tersebut menembak bersamaan dengan dirinya yang membuka tudung tadi.
Kesadarannya pun mulai mengabur. Revalia perlahan tersungkur di atas gadis bertudung hitam sebelumnya. Darah Tuan Putri Kerajaan Dafesilo itu kini tercampur dengan lumpur pada lapangan stadion.
Mata emasnya menatap lekat ke samping kiri. Di sana, ia berhalusinasi tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba datang ke tempatnya sambil meneriakkan namanya dengan rasa khawatir.
****
Beberapa saat sebelumnya,
Pada Asrama Kelas Dua Lion, Revalia merasa sangat khawatir saat menatap dunia luar melalui pintu balkon kamarnya yang terbuat dari kaca.
Hujan lebat yang tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti, terpaan angin yang membuat siapa pun menggigil kedinginan bahkan terbawa olehnya, serta gemuruh petir yang bahkan dapat membuat seorang pemberani bersembunyi di bawah kasur.
Kegelisahan itu tidak datang dari badai lebat yang membuat orang-orang merinding, tetapi karena perkataannya sendiri kemarin.
—Meski badai menghantam sekali pun, kau tidak boleh tidak datang.
Itulah yang dirinya katakan. Memang, ia tidak serius mengatakan itu. Namun … bagaimana jika lelaki itu lebih bodoh dari pemikirannya dan menganggap serius hal itu?
"Tapi itu … tidak mungkin, 'kan?"
Perasaan khawatir berkecamuk dalam hati Revalia. Itu membuatnya tidak bisa tenang dan hanya bisa membaringkan tubuh ke atas ranjang lalu bangkit lagi untuk melihat kembali apa yang terjadi pada dunia luar. Secara berulang-ulang.
Tak lama, pintu kamarnya diketuk. Ia segera memalingkan wajah dari pintu balkon kaca ke sana dan memberikan izin pada orang yang datang ke tempatnya di cuaca seperti ini.
Dari sana, gadis berambut merah panjang yang memiliki hiasan bunga di kepalanya berjalan masuk dengan wajah mengarah ke bawah.
Pakaian yang dikenakannya adalah blus akademi berwarnakan putih. Kancing pada pakaian tersebut nampak berbeda warna karena … sudah pernah diganti beberapa kali.
"Ada apa, Clara?"
Mendapati namanya dipanggil, Clara Gill mengangkat wajahnya, menatap Revalia yang memberi tatapan bertanya serta tanda tanya melayang di kepala.
Bukannya memberikan jawaban, ia malah menggeleng pelan. Pandangannya kembali mengarah ke bawah, karena merasa tidak menemukan kata-kata yang cocok agar tersampaikan pada tuannya.
"… Apa Anda sudah sarapan, Nona Reva?"
Merasa bahwa otaknya masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk dikatakan, Clara mengalihkan pembicaraan.
Menjawab pertanyaan itu, Revalia menggeleng setelah merenung beberapa saat. Ia ingat, tadi dirinya bangun pada jam setengah tujuh karena tidur tengah malam. Jadi, ia belum memasakan apa pun pada pagi ini.
"Kalau begitu … akan saya siapkan, ya."
Segera, Clara mengangkat wajahnya dan tersenyum. Ia lalu berpindah dari tempatnya berdiri, pergi menuju dapur.
Untuk Revalia sendiri, ia berjalan menjauhi pintu balkon, dan berakhir pada menghempaskan diri kembali di atas ranjangnya dengan wajah yang lebih dulu mendarat seperti sebelumnya.
Melihat kejadian itu, Clara tersenyum dan tertawa kecil. Ia mengambil celemek yang tergantung dan mulai memasak.
Waktu demi waktu, Clara menyadari bahwa Revalia sedang memikirkan sesuatu. Ia tahu hal tersebut karena sikapnya yang terbilang aneh.
Dari tadi, Revalia berguling di ranjangnya. Di hari yang dingin seperti ini, ia seperti cacing yang sedang kepanasan.
Saat Clara memberitahukan bahwa sarapan baru selesai dibuat, Revalia berhenti berguling. Namun sesaat setelahnya, Tuan Putri itu kembali menggulingkan diri hingga terjatuh ke lantai dengan suara keras.
Bukannya berhenti bertingkah konyol, ia malah semakin menjadi dengan berguling di lantai sampai tiba di dekat meja makan.
Mau tak mau, Clara mendesah panjang. Apa yang terjadi pada tuannya hingga jadi cacing kepanasan seperti ini?
"Oooh~"
Revalia bereaksi seperti seorang anak yang kagum ketika melihat makanan mewah ada di atas meja.
Usai tertawa kecil karena melihat tingkah Revalia, Clara memintanya untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
Saat ini, gadis yang sudah lama menjadi pelayan pribadi Revalia benar-benar telah melupakan apa urusannya datang ke sini.
Di akhir sarapan, Clara memberanikan dirinya untuk bertanya mengapa Tuan Putri Kerajaan Dafesilo itu bertingkah aneh.
"Aneh? Apanya yang aneh dariku?"
Jadi … ia menganggap berguling di lantai itu sebagai tindakan normal? Clara mendesah dalam-dalam.
"Jika ada yang mengganggu pikiranmu Nona Reva, saya akan berusaha untuk membantu Anda. Bagaimanapun, Anda telah menganggap saya yang pembantu pribadi Anda sebagai teman. Teman … sudah pasti akan membantu temannya, lalu menepati janjinya."
Setelah terdiam cukup lama, Revalia mengangguk-angguk sambil menggumamkan sesuatu seperti 'Benar juga. Ya, begitulah seharusnya' kemudian menatap Clara dengan senyuman percaya diri di wajah.
"Terima kasih, Clara. Sekarang, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang akan kulakukan … agar aku tidak memikirkan hal konyol ini lagi. Jika ia tidak datang, tinggal salahkan saja. Janji harus ditepati."
Meski tidak tahu apa maksud dari ucapan Revalia, Clara tetap tersenyum karena senang dapat membantu tuan– temannya. Dalam hati, ia membuang nafas lega.
Dan pada kejadian sesaat setelahnya, Clara benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi. Soalnya ….
Revalia mengencangkan dasi, memakai blazer berlengan pendeknya, kemudian membuka pintu balkon dan membiarkan butiran air memasuki kamarnya.
Lalu, ia membalikkan wajah dan berkata :
"Aku pergi dulu, Clara."
Berikutnya, Tuan Putri itu merapal mantra pelepasan Senjata Elemental-nya. Usai melakukan itu, ia mundur beberapa langkah ke dalam sebelum berlari melompati pembatas balkon dan melayang karena kemampuan Roh Kontrak-nya.
Clara hanya bisa berteriak heran. Ia ingin ikut, tetapi tidak mungkin baginya yang punya lemak sedikit lebih banyak dari yang lain di bagian tertentu untuk melompati gedung berlantai disertai deru hujan.
Gadis berambut merah itu pun hanya bisa tersenyum kecut sambil tertawa hampa dan berharap akan keselamatan Revalia dalam hatinya.
***
Meski dingin menusuk ke pori-pori kulitnya, Revalia terus melayang di udara karena Roh Kontrak-nya yang kini telah menjadi Senjata Elemental bernamakan Graviti Orb.
Tak lama, ia pun tiba di lapangan stadion. Namun, bukannya menemukan lelaki yang ia cari, Revalia malah mendapati dua orang gadis bertudung hitam.
Salah satunya berdecak kesal. Ia membisikkan sesuatu di telinga yang lain kemudian pergi meninggalkan stadion.
"Maaf saja. Sampai lingkaran sihirnya selesai ditulis oleh Ayunda di berbagai tempat di akademi ini, aku akan menghadapi dirimu."
Revalia bertanya-tanya tentang apa yang barusan dilihatnya. Namun, mendapati bahaya karena gadis bertudung hitam tersebut merapal mantra pelepasan Senjata Elemental, ia mau tidak mau bersiaga.
Hanya satu kata yang keluar dari mulut Revalia. Dan itu adalah ….
"Organisasi gelap, ya? Sebagai salah satu siswi di akademi yang tercinta ini, maka aku terpaksa meladenimu."
Graviti Orb pun, berputar cepat di sisi Revalia.