Di saat aku masih menatap dunia luar melalui pintu depan asrama yang berupa kaca, ponselku berdering karena sebuah panggilan.
"Halo?"
"Halo. Sudah lama, ya, Elkanah. Apa kau merindukanku?"
Siapa ini …. Tidak, aku tahu siapa ini ….
"Kau …. Ugh, aku tahu siapa kau, tapi entah bagaimana aku tidak ingat namamu …. Ke mana saja kau selama ini!? Aku … sudah lama mencarimu …."
Penelepon– Tidak, lebih tepatnya adalah gadis yang menjadi alasanku datang ke akademi ini tertawa kecil. Penelepon ini adalah tunanganku. Tidak salah lagi.
"Yah, untuk saat ini lupakan tentangku. Sekarang, yang kamu perlukan hanyalah menjawab pertanyaan yang kuajukan."
"Kau memintaku menjawab pertanyaan padahal kau sendiri menghindari jawaban dari pertanyaan yang kuberikan? Luar biasa."
"… Begitulah aku. Kamu sendiri tahu, 'kan? Bag–"
Setelah tertawa kecil dan selesai mengatakan itu, gadis itu melanjutkan, tetapi tersendat karena tiba-tiba terbatuk.
"Kau kelihatannya sedang tidak baik."
"Bisa dibilang begitu, bisa dibilang juga tidak. Hmm~ Bagaimana menjelaskannya, ya~ Ah, kita jadi sedikit menyimpang."
Lalu, gadis itu pun berdehem.
"… Baiklah, sekarang … aku akan memberikanmu tugas yang harus kamu lakukan. Jika kamu melakukannya dengan baik, maka aku akan menunjukkan diri dan menjawab semua pertanyaanmu."
"Apa kau … benar-benar serius mengatakan itu? Aku akan menerimanya jika iya. Akan kupastikan bahwa kau nanti kewalahan menjawab semuanya."
Mendengarnya, ia pun tertawa pelan.
"Hmm~ Aku tidak yakin hal itu. Aku lebih yakin pada saat itu tiba nanti, kamu tidak dapat mengeluarkan satu patah kata pun."
Lalu, ia kembali berdehem.
"Pertama-tama—sebelum membicarakan lebih lanjut soal tugas, jawab pertanyaanku. Apa kamu benar-benar ingin tahu semuanya? Meskipun … kamu nanti ak–?"
"Ya. Meskipun yang kudapatkan nanti hanyalah keputusasaan. Selama kamu kembali nantinya …. Ya, akan kulakukan."
Dari suaranya setelah aku berkata demikian, aku tahu kalau ia sedang tersenyum. Pikirannya pasti mengomentari sikapku ini.
"Selanjutnya, kuberi sebuah pertanyaan yang berbeda. Apakah kamu memiliki satu janji dengan seseorang?"
"Hmm? Tentu saja tid …."
Tiba-tiba saja, aku teringat tentang Reva. Gadis yang cukup kasar dan jarang berekspresi. Akan tetapi, ia tetaplah gadis yang baik.
Reva berkata padaku, untuk datang ke tempat itu, meski badai sedang terjadi di sana. Bisa dibilang itu adalah … janji kami.
"Ada, 'kan? Kalau begitu, pergilah temui dirinya. Sama seperti diriku yang telah kamu selamatkan, tolong selamatkanlah juga dirinya. Kapan-kapan, kita akan bicara lagi, ya?"
Kemudian, panggilan pun terhenti. Karena ia bilang kami akan bicara lagi, maka aku tidak perlu terburu-buru. Yang perlu buru-buru adalah ….
"He-Hei! Mau ke mana kau di badai seperti ini!?"
"Ke stadion yang biasa dipakai untuk duel! Jika aku tidak kembali dalam kurun waktu dua jam, tolong panggil bantuan ke sana!"
Mengabaikan Kepala Asrama, aku berlari menembus derasnya hujan yang dalam beberapa saat membuat badanku basah kuyup.
***
Mana sempat, keburu wafat.
Meski aku tahu itu, aku memaksakan diriku menembus hujan deras ini. Karena aku menggunakan kemampuan fisik anti lecet, aku aman dari masuk angin.
Namun … seharusnya tidak ada hal berarti. Kalau bisa … saat tiba di sana, aku berbicara dengannya untuk menunda duel ini ….
Seketika, aku membelalakkan mata, saat melewati gerbang masuk lapangan stadion, dan mendapati adanya tubuh Reva terbaring lemas di atas tubuh orang lain di sana.
"Reva …!"
Segera, aku mempercepat jalanku yang kemudian berakhir menjadi lari. Karena lumpur di sekitar, langkahku agak lambat.
Saat tiba di sana, aku segera menganggkat tubuhnya. Lukanya parah. Aku tidak memiliki kemampuan penyembuhan. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"… Elkan…ah?"
"Ya …, ini aku."
Terbatuk sekali, gadis dengan rambut biru berpenampilan acak-acakan itu menyebut pelan namaku. Aku tersenyum sebagai tanggapan dan menyapu poni gadis itu ke pinggir.
Apa aku benar-benar tidak bisa melakukan sesuatu untuknya? Setidaknya … sempatkah aku memanggil ambulan atau semacamnya?
"–Master, kupikir … pendarahannya bisa ditutup."
"Bisa? Cepat katakan caranya!"
Mendengar suara anak laki-laki yang merupakan Roh Kontrak-ku di dalam benak, aku pun langsung mendesaknya agar memberitahukan hal tersebut.
"–Menggunakan pelindung, kita bisa menutup lukanya. Ini seperti menutup luka dengan perban, tetapi yang ini tidak akan lepas sampai Anda kehabisan mana."
Oh, astaga …. Aku terlalu panik hingga lupa apa yang harus dilakukan pertama kali saat di situasi seperti ini.
"Kalau begitu, lakukanlah, Ashley."
"–Sesuai keinginan Anda, Master."
Usai Roh Kontrak-ku bernama Ashley menjawab begitu, medan energi transparan berwarna hijau pun muncul di bagian tubuh Reva yang berdarah dan menjadi perban sementara di sana.
Kulihat wajah Reva, ia terlihat ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa bersuara kencang. Jadi, aku pun mendekatan telinga untuk mendengarnya.
"Berhat…i-hati…lah …."
Langsung saja, aku berdiri dan melompat ke samping. Setelah itu, peluru melintas di tempatku berdiri dan berakhir dengan menancap di dalam tubuh gadis bertudung hitam yang tadi ada di bawah Reva.
Gadis bertudung hitam itu tersentak dan menjerit … kemudian, ia kembali tersungkur ke lapangan stadion dan mati.
Mengikuti lintasan peluru tadi, aku menemukan seorang gadis lain bertudung sama dengan senapan di tangan.
Ia mendecih, lalu mengekerku kembali.
Aku segera melompat mundur, membuat peluru yang ditembakkannya hanya menabrak tanah berumput pendek di sana.
"Maaf, Reva. Aku harus menurunkanmu di tempat lain."
"… Tidak masalah. Itu … lebih baik …."
Sekali lagi, aku melompat mundur, tetapi yang ini hingga ke bagian kursi penonton. Jika di sini, maka Reva tidak perlu kehujanan.
"~Empat anak mencari cerita, empat anak terbimbing menuju kenyataan tentang Kota Suram. Ceritamu yang tidak tertulis, kini akan kubuat dengan gayaku! Datanglah kepadaku sebagai pedang raksasa, demi menghentikan semua yang mencoba merenggut hal berharga bagiku!"
Bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari mulutku itu, rasa sakit yang menyengat datang dari dadaku. Di sana, sesuatu terlihat bercahaya seperti sebelumnya.
Beberapa detik di akhir rapalan, sebuah pedang yang perlu kupegang dengan kedua tangan karena besarnya muncul.
Ia memiliki warna hitam disertai empat kristal berbeda warna di satu sisi pembatas bilah kemudian satu segitiga di sisi lain pembatas.
"Mari kita lakukan ini, Serena!"
"—…."
Ah, aku diacuhkan olehnya. Namun tidak mengapa. Sekarang, aku harus fokus pada seseorang yang ada di depan.
"Huh, aku baru tahu kalau kau ternyata tidak hanya memiliki perisai, tapi juga ada senjata seperti pedang."
Berakhirnya ucapan gadis bertudung hitam itu, ia pun membuka tudungnya, memperlihatkan rambut abu panjang serta mata coklat gelapnya yang terlindung kacamata.
"Ibu-ibu yang ada di UKS!?"
"Siapa yang kaupanggil ibu-ibu!?"
Benar, rupanya ia adalah Guru UKS yang beberapa kali mengurusku saat aku tidak bisa bergerak gara-gara gadis yang sedang terkulai lemas di belakang.
"Yah, terserahlah kaupanggil aku apa. Kan kukatakan padamu, bahwa namaku adalah Victoire Bachelet. Dan kan kupastikan bahwa kau kan menyesal karena telah meledekku. Garlneid!"
Saat ia meneriakkan itu, tubuhnya mengilang tanpa jejak. Suara tembakan kemudian terdengar dan sesaat setelahnya peluru mengenai perutku.
Namun, karena kemampuan pasifku yang tidak dapat dilukai, hanya rasa sakit saja kurasakan. Tidak ada luka sedikit pun di tubuhku.
"Begitu, ya? Kemampuan Roh Kontrak-nya adalah menghilang. Mungkin karena itu dia dapat melukai Reva."
Bergumam, aku menahan rasa sakit maupun dingin dan memaksakan diri untuk mempererat pegangan pada gagang pedang dua tangan.
Yah, jika lawannya terlihat, Reva tidak mungkin mendapat luka seperti itu. Aku tahu kalau ia dapat merasakan bahaya sekecil apa pun itu.
Mengambil ancang-ancang, aku pun melompat ke arah peluru tadi datang dan menebas di sana. Meski begitu, aku tidak menemukan apa-apa di sana.
Dan yang kudapat di sana hanyalah, sebuah peluru meluncur cepat dari belakang, mengincar punggungku yang terbuka lebar.
"Ooooh …!"
Menahan rasa sakit karena serangan itu, aku memutar tubuh dengan pedang dua tangan hitam tersebut untuk ditebaskan pada siapa pun yang ada di belakang.
Tepi pedangku terasa berat. Sesuatu dihantam olehnya. Sesaat setelahnya, sosok Victoire terlihat tengah memuntahkan darah dari mulutnya.
"Kalau bukan karena tidak terlihat, Anda bukanlah seorang Kontraktor yang kuat!"
Aku memperkuat dorongan, lalu membuat Victoire terlempar hingga menabrak kursi di beberapa baris di atas tempat Reva terbaring.
Ah~ Lelahnya …. Aku jadi menusukkan pedang dua tangan itu ke tanah karena berat untuk diangkat-angkat dan mulai mengatur nafas.
"… Ini belum berakhir. Masih ada satu hal yang perlu kulakukan."
Usai mengatur nafas, aku menyeret pedang dua tangan itu untuk tiba ke sisi Reva yang masih berbaring di kursi penonton.
"Kau terlambat, … tahu."
"Maaf …. Kupikir, kau juga tidak datang."
Mendapati diriku yang berjalan ke arahnya, Reva membuka matanya dan berbicara. Aku hanya dapat membalasnya sambil tertawa kecil.