Chereads / Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan / Chapter 17 - Malam Terakhir Untuk Bersama (?)

Chapter 17 - Malam Terakhir Untuk Bersama (?)

"Clara itu … kalau tidak salah gadis yang berdad– Ehem, maksudku gadis yang pernah disinggung oleh salah satu anggota perpustakaan waktu itu, 'kan?"

Meski sempat menatapku dengan tajam, Revalia mengangguk setelah membuang nafas panjang.

Sekarang, langit sudah senja. Kami juga sudah menaiki semua wahana yang ada—Mungkin ada beberapa yang tidak dinaiki, tetapi anggap saja sudah semua.

Kami berdua berdiri di dataran tinggi untuk melihat seluruh tempat di sini. Aku membelakangi matahari dengan menyandarkan bahu ke pembatas sementara Revalia menghadapinya dengan kopi kalengan di tangan.

"Jadi, kenapa kamu menceritakan itu?"

Tidak tahu kenapa, ketika kami berdua berada di sini untuk menghabiskan waktu, ia menceritakan semua itu kepadaku.

Alih-alih menjawab, ia malah menyampingi matahari, menghadap ke arahku dengan tatapan yang menunjukkan tekad kuat dan tidak mengatakan sepatah kata pun dalam waktu yang lama.

Beberapa menit, adegan ini terus berlangsung. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Hanya bisa diam dengan alis yang sedikit terangkat karena menanti jawaban.

Tidak lama kemudian, menara jam yang ada di bawah kami berbunyi. Karena suara yang tiba-tiba tersebut, kami berdua pun terkejut.

"—Maaf, tadi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk jawabanmu tadi."

Ah, begitu? Yah, aku ingat kalau dalam ceritanya tadi ia mengatakan bahwa jika ia diam, itu artinya ia sedang tidak tahu jawaban yang tepat.

"Kupikir, karena mendengar ceritamu tadi, aku jadi ingin bercerita. Sekalian, anggap saja sebagai perkenalan diri lebih dalam."

"Begitu?"

—Aku ingat kalau ketika kami berada di kincir ria tadi aku menceritakan soal diriku. Kemampuan perisaiku, serta beberapa hal lainnya seperti pasangan tua yang merawatku.

Tentu saja, aku tidak membicarakan soal tunanganku yang menghilang entah ke mana dan kemungkinan besar berada di akademi ini.

"Oh, ya. Apa itu semacam tradisi? Ah, maksudku, kenapa kamu bisa berada di desa itu lalu dijemput ketika bertepatan setelah berumur delapan tahun? Kamu tidak dilahirkan di istana?"

Merenung untuk beberapa saat, Revalia menggangguk kemudiannya.

"Kalau tidak salah, dari buku yang pernah kubaca, itu tradisi keluarga kerajaan yang bukan pangeran atau putri pertama dari istri pertama. Ibuku adalah istri kedua Raja."

"Begitu …."

Yah, aku ingat. Populasi laki-laki dengan perempuan adalah satu banding empat. Dengan kata lain, perempuan empat kali lebih banyak dari laki-laki. Kata lainnya lagi, wajar saja untuk satu laki-laki memiliki dua sampai tiga perempuan, apalagi untuk seorang raja yang berkuasa.

"Omong-omong … menurut ingatanku … bukankah Kakakmu—Pangeran pertama Kerajaan Dafesilo—itu adalah …."

"Sama sepertimu, Kontraktor Roh Laki-laki. Mungkin selang sekitar enam tahun setelah kemunculan pertama dari Kontraktor Roh Laki-laki."

Begitu, ya …. Hmm~ Aku sedikit bertanya-tanya ada berapa banyak Kontraktor Roh Laki-laki selain diriku.

Tiba-tiba, seakan-akan membaca pikiranku, Revalia berkata :

"Dari yang kuketahui—pernah kubaca dari laporan tentang Kontraktor Roh Laki-laki di dukumen organisasi—ketika ada di istana, mereka ada tujuh orang. Nama-nama mereka adalah Ray Alfost, Reus, Alvin, Julien Lemaire, Iwao Katsuhito, kemudian Kakakku—Rio coul Dafesilo."

Banyak juga, ya? Tetapi sayang, namaku tidak termasuk dalam catatan mereka. Mungkin karena dokumen tersebut cuma mencatat Kontraktor Roh Laki-laki yang muncul beberapa tahun sebelum ini.

Omong-omong, bukankah Tuan Putri ini sedikit keterlaluan? Ia dengan santainya membaca dokumen milik negara, bahkan sampai menghafalnya ….

"Dukumen itu milik Kakakku. Dialah yang memintanya. Bukan dari permintaan kerajaan. Dia juga mengizinkanku untuk membacanya."

Syukurlah. Tetapi, aku sekarang sedikit bertanya-tanya apakah ia memang bisa membaca isi pikiranku seperti GB atau semua ini hanya kebetulan.

"Aku tidak bisa membaca pikiran."

"Tapi kau baru saja menjawab apa yang kupikirkan!"

…. Yah, sudahlah. Menambah satu atau dua orang lagi yang bisa membaca pikiran tidak akan merubah kehidupanku, mungkin.

"Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"

"Hmm~ Kalau begitu … kenapa kamu tiba-tiba mengajakku untuk …. Yah, berkencan seperti sekarang?"

"Baiklah, sebelum itu …."

Setelah aku memberi pertanyaan tersebut, Ravelia menatapku. Telapak tangan kanannya menyentuh dada sebelum melanjutkan :

"Aku tidak memiliki perasaan apa pun padamu. Kita ini hanya sebatas teman atau jika tidak anggap saja dua korban yang pernah dipaksa Nenek Loli untuk sekamar."

…. Eh? Tunggu. Kenapa aku seperti merasakan perasaan seseorang yang baru saja ditolak padahal aku tidak menyatakan perasaan apa pun padanya?

"Kecewa?"

"Tolong … jangan tanyakan apakah aku merasa kecewa atau tidak. Karena bisa saja monster yang tersegel di dalam tubuhku ini lepas kendali."

"Entah bagaimana, sepertinya aku baru saja mengetahui alasan mengapa Freya mengatakan hal-hal yang berlawanan dengan fakta bahwa dia hanyalah gadis normal yang melakukan kontrak dengan Roh."

Kemudian, Revalia berdehem.

"… Alasanku tidak benar-benar penting. Kita berdua dipaksa untuk sekamar karena Nenek Loli ingin kita berdua saling kenal. Karena ini adalah hari terakhir kita bersama, aku ingin menghabiskan waktu denganmu untuk terakhir kalinya. Aku sudah bilang kemarin, 'kan?"

Senyum kecut terukir di wajahku. Memang benar, ini adalah hari terakhir kami untuk bersama. Besok, seperti yang direncanakan, kami akan berduel. Setelah itu, hanya si Cebol yang tahu.

"Apa kamu kecewa?"

"Arggh …! Kegelapan di dalam diriku lepas!"

***

Sekarang sudah malam. Sekitaran jam delapan dan sembilan. Karena tadi kami menyempatkan diri untuk makan malam.

Rencananya sih kami berdua akan langsung pulang setelah makan malam tadi, tetapi nyatanya … kami malah pergi ke Taman Hiburan lain.

Di taman hiburan itu, terdapat beberapa wahana yang tersedia hanya untuk malam hari. Salah satunya adalah ….

"He-Hei …, bukankah pelukanmu terlalu kuat, Nona?"

"Diamlah. Jangan membuatku mengubah rasa takut ini menjadi malu kemudian melemparmu hingga ke tata surya dunia lain."

"Baiklah …."

Beginilah kami sekarang. Reva yang terasa sangat gemetaran karena takut sedang memeluk erat diriku yang saat ini membawa senter di tangan.

Bersama-sama, kami berjalan melalui lorong wahana rumah hantu ini. Ini masih awal-awal, jadi aku masih bisa menarik-narik nafas.

Hmm~ Kupikir ini cukup menakutkan. Namun masih kalah menakutkan dari ia yang pernah meninggalkan diriku …. Lupakan.

"Entah kenapa aku merasa kalau kau baru saja mengatakan sesuatu di dalam hati. Yah, sesuatu yang biasa dikatakan oleh orang-orang menyebalkan …."

"Ke mana rasa takutmu tadi, Nona?"

Tiba-tiba saja, wajahnya kembali seperti semula. Dan sepertinya, ia memang baru saja membuka kemampuan membaca pikiran.

***

Dari pagi hingga hampir tengah malam atau tepatnya sekitar jam 11 malam, kami berdua terus bersama, melakukan kegiatan yang sama.

Kami berjalan di jalanan Distrik Asrama yang kini sudah sangat sepi. Hanya lampu jalan serta bulan di langit yang jadi penerangan. Seluruh lampu di masing-masing bangunan sudah dimatikan soalnya.

"Sekarang … kita berpisah di sini, ya?"

"Yah~ Mau bagaimana lagi? Memangnya kenapa? Kau akan rindu karena tidak melihatku di sela-sela waktumu, Nona?"

"Mana mungkin!"

Melihat tanggapan Reva, aku terkekeh.

"Lagian, besok kita akan bertemu lagi. Besoknya lagi, ada juga kesempatan serupa karena …. Lupakan."

Hmm? Apa yang ingin diucapkannya tadi? Apa mungkin … ia bisa menemuiku di kantin karena kembali masuk ke kelas?

… Apa pun itu, kurasa tidak masalah. Setidaknya, kami berjalan bersama saat ini. Agar tak ada perasaan aneh karena merasa tidak akan bertemu lagi nanti.

"Sampai jumpa. Besok, aku tidak akan memaafkanmu jika terlambat. Meski badai menghantam sekali pun, kau tidak boleh tidak datang."

"Iya, iya. Sampai jumpa, Reva."

Begitulah, perpisahan kami pada hari itu. Kami akan bertemu lagi di keesokan harinya, dan kami meyakini hal tersebut.

Aku berjalan ke arah asramaku, ia berjalan ke arah asramanya. Hari ini … kurasa lebih lancar dari hari biasanya.

Tanpa kusadari, aku benar-benar lupa waktu. Pintu depan asrama, jelas-jelas ditutup di tengah malam seperti ini.

"Oi! Masa iya aku harus tidur di luar!?"

Ternyata … masalah menantiku di akhir seperti ini.

Dengan cara nekat, aku pun memanjat bangunan—menara—asrama dan entah bagaimana sampai di atap. Lalu, aku kembali ke kamarku dari sana.

Ini memang terdengar seperti pembobolan, tetapi mau bagaimana lagi? Karena tidak ada saksi kejahatanku atau semacamnya, maka harusnya aku aman dari hukuman mempel lantai atau sejenisnya.

***

Pagi pun tiba tanpa kusadari.

Menatap keluar melalui pintu depan asrama yang berupa kaca, aku mendapati pemandangan hujan lebat disertai gemuruh petir dari sana.

"Tidak kusangka ucapan gadis itu jadi kenyataan …."

Seketika, aku tersenyum masam mengingat apa yang telah dikatakan oleh Reva kemarin malam.

Saat ini … apa yang ia lakukan, ya? Jangan bilang kalau ia sekarang benar-benar berada di lapangan stadion tempat duel diadakan.

"Hari ini, pelajaran akademi mau tidak mau diliburkan. Para guru barusan memberitahuku melalui telepon darurat."

Berdiri di belakangku, Kepala Asrama berbicara. Ia adalah gadis berpenampilan kisaran 17 tahunan dengan rambut pirang bob bergelombang.

"Yang benar?"

"Kenyataan ada di kepalan tanganku. Mau mencobanya?"

"Jangan main kekerasan, dong …."

Begitulah Kepala Asrama Kelas Rat. Ia adalah wanita yang tidak bisa diajak bercanda maupun ditanyakan tentang kepastian akan hal yang sudah diberitahukan.

Sekali saja melakukan salah satu dari itu, maka bersiaplah dengan kepalan tangan akan melayang cepat ke perutmu.

Jika bukan karena sikapnya yang kasar, mungkin ribuan laki-laki akan mengantri untuk mengambilnya. Namun sayang, kurasa ia harus hidup sendiri jika tidak mau merubah sikapnya.

"Uh!"

"Asal kau tahu saja, aku ini sudah bertunangan dengan seorang pangeran dari suatu kerajaan."

Tanpa aba-aba, Kepala Asrama yang sepertinya membaca pikiranku memukul perutku hingga aku hampir mengeluarkan sarapan buatan Freya yang baru saja kumakan.

Kata-katanya terdengar seperti bualan. Yah, paling-paling pertunangan karena politik. Aku turut berduka cita pada pangeran mana pun yang menikahinya.

Seakan-akan membaca pikiranku lagi, ia melayangkan tinju untuk kedua kalinya. Hei! Aku baru saja sarapan!

Saat itu, gemuruh petir terdengar sangat mengerikan di luar. Entah bagaimana, aku jadi khawatir kalau Tuan Putri itu benar-benar ada di lapangan stadion ….