Ravelia. Itulah nama yang kumiliki. Satu-satunya nama yang kuketahui ketika aku masih berumur sekitar tujuh tahun.
Tempat tinggalku adalah desa terpencil yang merupakan perbatasan antara Kerajaan Dafesilo dengan Kerajaan Vourun.
Hidupku, seperti anak-anak pedesaan umumnya. Kadang kala aku membantu Ibuku mengurus hal-hal kecil di ladang, dan kadang aku bermain dengan anak-anak lainnya.
Sebagai orang desa, aku ingin melihat kota dengan mata kepalaku sendiri. Bukan melalui televisi yang menampilkan orang-orang terkenal sedang bersenang-senang.
Aku ingin … melihat gedung-gedung tinggi, pergi ke tempat perbelanjaan yang tangganya berjalan sendiri, pergi ke taman hiburan, dan berbagai hal lainnya.
Ketika aku mengatakan tentang keinginanku itu pada teman-temanku yang ada di desa, mereka mengatakan juga ingin hal serupa.
"Kalau begitu, mari pergi ke sana!"
Salah satu temanku berbicara dengan penuh semangat. Namun yang lain hanya menanggapinya dengan senyum kecut kemudian bertanya bagaimana caranya.
"Tentu saja, dengan kaki."
Benar-benar tidak berguna. Kami semua menggeleng dengan ucapan bodoh yang dikatakan olehnya saat itu.
Bagaimanapun, hal itu tidak mungkin dilakukan karena jarak desa ke kota sangat jauh. Lagipula, sampai di sana uang sangatlah diperlukan. Dan juga, kota terdekat belum tentu menyediakan tempat yang ingin kukunjungi.
Setelah itu, semua kembali seperti biasa. Kami melakukan hal yang sama. Membantu orang tua, bermain, diajar oleh seorang kakak yang tidak kami ketahui asalnya, dan hal-hal lainnya.
Suatu hari, tepatnya hari ulang tahunku yang kedelapan, untuk pertama kalinya ulang tahunku itu dirayakan. Semuanya terasa menyenangkan saat itu.
Sehari sesudah itu, hal yang paling kuinginkan—pergi ke kota—terjadi. Namun, teman-temanku tidak ada yang ikut. Hanya aku dan Ibuku yang memberi tahu kami akan pergi ke sana.
Kami dijemput sebuah mobil hitam yang dibawa oleh seorang pria dan dua wanita. Waktu itu aku tidak tahu kalau mereka adalah pelayan.
Pertama-tama, kami diantar menuju ke kota terdekat—tepatnya bandara di sana. Setelah itu, kami pun menaiki pesawat untuk pergi ke Ibu Kota Kerajaan Dafesilo.
Karena ini pertama kalinya bagiku naik pesawat—padahal naik motor atau angkot saja belum pernah, perutku terus-terusan mencoba untuk mengeluarkan apa yang barusan kumakan.
Waktu sampai, aku meminta Ibuku untuk pergi ke tempat yang ingin kudatangi. Namun, ia hanya menggeleng dengan senyum kecut kemudian berkata :
"Maaf ya, kita akan pergi ke tempat Ayahmu dulu. Kalau sudah, kamu katakan padanya mau ke mana. Jika dia mengizinkan, maka pergilah."
Aku mengangguk seadanya.
Ayah …. Memang benar, aku tidak pernah bertemu dengannya satu kali pun. Sempat aku bertanya-tanya apakah aku tidak memilikinya karena hanya ada aku dan Ibu di rumah. Tidak seperti teman-temanku.
Tentang hal itu, aku tidak benar-benar mempedulikannya. Yah, meski itu sempat terpikir bagiku jika memiliki seorang Ayah akan menyenangkan.
Perasaan seseorang yang memang dari awal tidak memiliki segalanya, tidak bisa disamakan dengan perasaan seseorang yang tiba-tiba kehilangan segalanya.
Saat aku bertemu dengan Ayahku, tidak ada perasaan sedih atau semacamnya di hatiku. Ia sendiri juga bertingkah biasa saja.
Jika pada drama di televisi ini merupakan adegan yang menguras air mata, maka pada diriku kala itu, hanya ada seorang anak yang bersembunyi di balik badan ibunya dari seorang pria yang terlihat acuh tak acuh kepadanya.
Pembicaraan antara Ibuku dan Ayahku berlangsung selama satu jam. Aku hanya bisa duduk dalam diam di sebelah Ibuku yang duduk di sofa panjang yang berseberangan dengan sofa yang diduduki Ayahku.
Akhir dari pembicaraan, aku diantar ke kamar untuk beristirahat, berpisah dengan Ibuku. Untungnya, kamar Ibuku ada di sebelah kamarku.
Dan … seperti yang bisa ditebak, aku tidak pernah menyuarakan tentang keinginanku untuk menjelajahi kota setelah itu.
***
Aku benar-benar menyesal datang ke tempat ini. Tidak ada hal menyenangkan yang dapat kulakukan.
Hidupku terkekang. Yang bisa kulakukan hanyalah membaca buku-buku yang ada di perpustakaan istana ini.
Bermain? Hal itu sudah tidak ada lagi di dalam keseharianku. Aku hanya bisa menatap Ibu Kota dari jendela istana sambil berharap ada teman-temanku yang datang kemari.
Lembaran demi lembaran, tanpa kusadari, buku yang kubaca ataupun kondisi di sini mempengaruhi sikapku pada orang lain.
Biasanya, aku menyapa seseorang dengan senyum terlebih dahulu. Dan sekarang, aku tidak akan menyapa jika orang lain tidak memulai lebih dulu. Lebih dari itu, aku tidak sering menunjukkan senyumku lagi.
Aku merasa canggung.
Ekspresiku tidak sepenuhnya hilang. Hanya saja …, aku sedikit lambat untuk menanggapi dan menyadari sesuatu yang terjadi di sekeliling.
Untungnya, jika aku berhasil menyadari apa yang terjadi di sekitar, aku tidak bertindak berdasarkan apa yang terlintas di pikiranku ketika itu.
Contohnya, saat seseorang tanpa sengaja menjatuhkan air ke pakaianku. Aku tidak akan langsung marah, aku akan terdiam sebentar, memikirkan apakah ia punya dendam kesumat atau tidak. Jika tidak, aku akan membiarkannya meminta maaf dan bertanggung jawab. Jika memang punya dendam, berharaplah agar ia masih hidup.
Aku tidak tahu pasti kapan sikapku jadi seperti ini. Mungkin ini memang karena terlalu mendalami satu cerita, atau mungkin karena aku yang telah melakukan kontrak dengan Roh berunsur gravitasi bernama Falfiti.
***
Menginjak usia sembilan tahun, seseorang yang bisa dibilang sebagai pelayan pribadi diberikan kepadaku.
Ia adalah gadis yang seumuran denganku. Wajahnya manis—dibentak dikit nangis, rambutnya sepanjang punggung berwarna merah, matanya yang berwarna ungu seakan-akan berkata untuk tidak disakiti. Tipe-tipe penakut? Sepertinya ….
Sikapnya yang terbilang pemalu dan suka melakukan kesalahan sepele membuatku bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjadi pelayan pribadiku.
Tidak banyak hal yang dapat dilakukan olehnya. Aku juga tidak meminta sesuatu jika bukan benar-benar hal penting.
Paling-paling, ia menegurku untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat memicu masalah. Caranya menegur terasa lebih ke arah meminta maaf.
Meski begitu, aku menurutinya. Tidak ada gunanya juga bagiku membantahnya. Yang ada, jika aku membantahnya, maka masalah yang ia peringati akan menimpaku padaku.
Biasanya, ia menemaniku di perpustakaan. Ia ikut membaca di meja yang lain, cukup dekat denganku, tetapi berjarak.
Pada suatu hari saat aku ada di tempat itu bersamanya, kakak laki-laki seayah denganku datang. Ia mengacak-acak perpustakaan untuk mencari suatu buku, tetapi itu tidak ada di sana.
Saat kesatria yang bertugas sebagai penjaga perpustakaan memintanya untuk merapikan itu, ia marah kepadanya dan menolak.
Kupikir pelayan pribadiku akan bersembunyi atau semacamnya, tetapi nyatanya ia malah maju dan membentak Kakakku untuk merapikannya.
Cekcok terjadi di antara mereka. Dan pada akhirnya, masalah tersebut dibawa ke keluarga masing-masing. Masalah antara Pangeran mahkota Kerajaan Dafesilo serta pelayan pribadiku yang merupakan anak baron.
Bodohnya, aku malah dibawa sebagai saksi. Padahal semua itu hanya masalah sepele, kenapa mereka malah seperti akan menjebloskan salah satu yang lain ke penjara?
Singkat cerita, aku mengatakan semua yang kutahu. Kemudian, Kakak bodohku diperintahkan untuk meminta maaf akan apa yang diperbuat olehnya pada orang-orang yang bersangkutan.
***
"N…Nona Revalia …!"
Begitulah panggilannya padaku. Jarang-jarang baginya untuk bersuara kencang ketika memanggilku.
Aku berbalik, tetapi bingung harus menjawab apa setelahnya. Ketika ia sampai di sisiku, barulah aku menemukan kata yang tepat.
"Ada apa?"
Tidak tahu karena apa, ia tersenyum simpul kepadaku dan menyatakan rasa terima kasihnya. Padahal yang kulakukan hanyalah melakukan apa yang dipinta oleh Ayahku ketika ia menanyakannya.
Meski aku beralasan seperti itu, ia menggeleng dan mengatakan dirinya tetaplah sangat berterima kasih padaku.
Ia juga mengatakan akan melakukan apa pun yang diminta olehku. Sedikit membingungkan jika tiba-tiba berada di kondisi seperti ini.
"Kalau begitu, siapa namamu?"
Yah, kalau diingat-ingat, aku tidak pernah tahu siapa namanya. Mungkin lebih tepat untuk dibilang lupa karena seharusnya ia memperkenalkan diri saat pertama kali bertemu denganku.
Melihat dari tingkahnya ketika kutanya seperti tadi, ia cukup tertekan. Matanya nampak kosong, langkah kakinya terhenti, mulutnya terus-terusan menggumamkan hal yang tidak jelas.
Sepertinya itu sangat menusuk baginya.
"… Nama saya Clara Gill, Nona Revalia."
Saat aku berhenti dan berbalik untuk menatapnya lama, ia memberitahukan namanya. Meski kondisi despresinya tidak jauh berbeda dari yang awal, itu lebih baik.
"Baiklah, Clara Gill. Mulai sekarang, jadilah temanku."